Azelyn mencoba menggerakkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, semuanya terlihat gelap. Sepertinya ketika dia kehilangan kesadaran tadi kepalanya langsung di tutupi kain. Azelyn bisa merasakan bahwa ikatan di pergelangan tangannya di lepas. Dia merasa bingung mengapa dirinya diculik tapi sekarang dilepas begitu saja. Terakhir, mereka membuka penutup wajah Azelyn. Dia mengerjapkan mata mencoba memfokuskan penglihatannya kembali. Hal yang pertama kali Azelyn lihat adalah kaki seseorang yang memakai sepatu hitam berdiri di hadapannya sekarang. Ukuran sepatu itu terlihat milik seseorang yang sangat familiar untuknya. Gadis bermata biru itu mencoba mendongak untuk melihat apakah pria yang berdiri di hadapannya sekarang ini adalah orang yang dia kira. Seperti tebakannya, benar, orang yang berdiri di hadapannya sekarang adalah Kean. "Kean?...," lirih Azelyn bingung dengan maksud dari semua ini. Kean menyunggingkan senyum sambil memandangi Azelyn yang masih terduduk di kursi. Gadis itu
"Terima kasih sudah datang. Semoga kalian bisa menikmati acara pestanya," sambut Kean singkat kemudian turun dari panggung. Kean berjalan menemui para pengusaha yang menyempatkan hadir ke pestanya. Beberapa pengusaha itu memuji dekorasi ruangan pesta yang diadakannya. Banyak yang tertarik untuk bekerja sama dan berinvestasi ke perusahaannya. Kean tersenyum tipis mendapatkan pujian itu. Allen berjalan menghampirinya sambil membawa segelas minuman. Pria bermanik abu itu memandangi Allen yang berjalan sendirian, sepertinya pria itu datang sendiri. "Terima kasih karena mengundangku, Tuan Kean," ucap Allen sambil mengangkat gelasnya. "Senang melihat kehadiranmu, Tuan Allen," jawab Kean sembari mendentingkan gelasnya pada gelas Allen kemudian meneguknya hingga habis. "Maaf hanya datang sendiri. Karena adikku memiliki urusan yang mendadak harus diselesaikan," jelas Allen yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Kean. Dia juga tak terlalu peduli apakah Nona Marvino datang atau tidak.
Seketika ruangan langsung ricuh dengan suara bisikan semua orang yang berada di aula pesta. Mereka benar-benar tak mempercayai apa yang baru saja Kean katakan. Sebelumnya rumor tentang Kean yang tak menyukai wanita menjadi rahasia umum yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Di tambah selama bertahun-tahun tak ada yang pernah melihat Kean menyentuh satu wanita pun, dan pemandangan ini adalah pertama kalinya. Apalagi yang mereka lihat langsung adalah ciuman singkat dari sepasang suami istri itu. Pemandangan itu langsung memberikan jawaban tentang rumor aneh yang tersebar tentang Kean ternyata sebuah kebohongan. Allen terdiam setelah mendengar pengumuman yang ditegaskan oleh Kean. Sedetik kemudian dia tersenyum tipis sambil berjalan mengambil segelas wine di salah satu meja. "Ternyata karena ini," lirih Allen sembari memainkan gelasnya. Reliza yang berdiri tak jauh dari situ menjatuhkan gelas minumannya sehingga pecahannya berserakan di lantai. Dia berdiri membeku setelah pengun
Laura duduk di tepi ranjang sambil menyeringai memandangi tubuh gadis yang sedang terbaring lemah di atas ranjang itu. Dia mengelus wajah Azelyn yang sedang tertidur akibat obat yang dicampurkannya di minuman tersebut. Laura bangkit sambil menekan tombol di layar ponselnya. Perlahan kesadaran Azelyn sedikit kembali, tetapi tubuhnya tetap lemas dan tak bisa digerakkan. Dia bisa mendengar dengan samar suara Laura yang sedang berbicara di telepon dengan seseorang. "Kamu sudah mempersiapkan apa yang kusuruh, kan? Bawa pria-pria itu ke kamar ini segera, jangan lupa abadikan pemandangannya," lirih Laura sembari tertawa kecil. Azelyn ingin mengepalkan tangannya untuk mengekspresikan amarahnya, tetapi apa daya dia tak memiliki sedikit pun tenaga, bahkan tubuhnya tak bisa digerakkan setelah meminum wine yang diberikan oleh Rian tadi. Sepertinya pria itu mencoba melumpuhkannya agar tak bisa bergerak dan kabur. Laura kembali duduk di tepi ranjang kemudian membelai wajah Azelyn dengan pel
Azelyn mengerjapkan matanya beberapa kali ketika sebuah sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai yang tertutup. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar dan baru tersadar bahwa dirinya berada di kamar tamu yang terletak di lantai teratas perusahaan. Sebuah ingatan semalam langsung terlintas dengan cepat membuat Azelyn tersadar apa yang sudah dialaminya semalam. Azelyn segera bangkit kemudian memeriksa tubuhnya yang masih memakai pakaiannya. "Aku masih memakai pakaian," gumam Azelyn sambil mencoba mengingat-ingat kembali, tetapi tak ada satu pun ingatan yang terlintas membuatnya frustasi. Azelyn merasa bingung, jelas-jelas dia mendengar Laura tertawa bahagia sembari menelepon seseorang. Tak lama setelah itu beberapa pria datang dan salah satu pria itu memeluknya. Namun, kenapa dia masih terlihat baik-baik saja? Semakin mencoba mengingat, kepala Azelyn semakin terasa berdenyut sakit, sepertinya itu efek dari minuman semalam. Dia mencoba turun dari ranjang segera keluar da
Setelah mengganti pakaian, Kean membawa Azelyn menuju sebuah perusahaan yang berjarak sekitar 15 km dari perusahaan mereka. Pemilik perusahaan itu adalah salah satu yang hadir di pestanya semalam. Dia merasa tertarik dengan desain yang dibuat Kean untuk aula pesta sehingga memilih menghubungi Kean untuk membuat kontrak dan meminta pria itu untuk merenovasi perusahaannya. Ketika sampai di perusahaan, mereka berdua disambut dengan ramah oleh para karyawan di sana. Kean dan Azelyn langsung dituntun menuju ruangan pemilik perusahaan tersebut. Selama perjalanan di perusahaan itu, Azelyn hanya memperhatikan sekitar perusahaan. Mungkin karena perusahaan itu adalah perusahaan baru, sehingga terlihat masih sederhana dan juga tak memiliki banyak fasilitas. Karyawan yang menuntun mereka berdua menuju ruangan CEO itu mengetuk pintu memberikan tanda pada atasannya bahwa tamu mereka sudah datang. Kean melirik ke arah Azelyn dan menyodorkan tangannya agar gadis itu menggandengnya. Azelyn
Rian berjalan keluar ruangan Kean sembari memainkan flashdisknya. Dia tersenyum lebar karena mendapatkan barang yang bisa dia manfaatkan. Ketiga temannya berlari ke arahnya dengan raut wajah khawatir. "Pak Kean gak marah, kan? Kita gak bakal dipecat, kan?" tanya salah satu temannya. Rian mengangkat sebelah alisnya bingung. "Marah soal apa?" tanya Rian balik sambil melempar dan menangkap flashdisk yang berada di genggamannya. "Tentu saja soal video itu! Bukankah Pak Kean gak pernah memerintahkan kita untuk meniduri Laura dan merekam videonya, lalu kenapa kamu melakukan itu? Bagaimana kalau Pak Kean marah dan langsung memecat kita berempat?" sahut temannya yang lain dengan perasaan takut. Rian tersenyum kecil melihat kekhawatiran sahabatnya itu. Dia merangkul temannya untuk menenangkan mereka. "Tenang saja, Pak Kean tak peduli soal apa yang kita lakukan pada Laura. Dia hanya akan marah kalau kita mengganggu Azelyn," ucap Rian menenangkan. Dia menunjukkan flashdisk itu kepada
Kean dan Lino baru saja menyelesaikan pertemuan dengan CEO perusahaan yang akan bekerja sama dengannya. Mereka bertemu di sebuah cafe yang tak jauh dari apartemennya. Kean melirik jam tangannya, dia berniat untuk singgah sebentar ke apartemen untuk melihat Azelyn. Ketika turun ke lantai satu cafe, dia tak sengaja melihat seseorang yang tak asing baginya. Kean melihat Allen tengah berbincang dengan seorang wanita. Dia memperhatikan punggung gadis itu dari belakang, terlihat tak asing baginya. Apalagi warna rambut wanita itu adalah merah, sama persis seperti rambut istrinya. "Kean? Kamu mau ke mana?" tanya Lino yang melihat Kean berjalan cepat meninggalkannya padahal setelah ini ada pertemuan lain yang harus mereka hadiri. Kean mencoba mempersempit jarak untuk mencari tahu siapa wanita itu. Ketika gadis itu menoleh, dia bisa melihat bahwa wanita itu adalah Azelyn. Pria bermanik abu itu menatap tajam ke arah Allen sambil mengepalkan tangannya. Dia berjalan menghampiri mereka
Laura berjalan menuju ruangan karyawan dengan perasaan gembira. Dia merasa bahwa mendekati Allen adalah pilihan yang tepat. Dirinya merasa pria itu lebih mudah daripada Kean.Laura mulai menyapu dan memunguti sampah-sampah kertas yang berserakan di lantai. Dia merasa enggan memungut itu, seharusnya posisinya sebagai karyawan yang memiliki meja kerja, bukan yang membersihkan seperti ini.Laura terpaksa melakukan tugas itu karena hal yang dia pikirkan adalah bertahan di perusahaan ini sampai dirinya berhasil mendapatkan Allen."Ambilin aku minum dong," ucap salah satu karyawan wanita pada Laura sambil masih fokus mengetik pada komputernya.Laura menoleh ke sana kemari mencoba mencari tahu kepada siapa wanita itu berbicara. Melihat tak ada orang di sekitarnya, dia lebih memilih untuk melanjutkan membersihkan lantai.Wanita itu merasa kesal ketika Laura mengabaikan perintahnya begitu saja. Dia kemudian menggebrak meja dengan keras membuat sekeliling menatapnya, begitu juga dengan Laura."
Kean mengerjapkan matanya beberapa kali ketika sinar matahari masuk dari sela-sela jendelanya. Dia mencoba mengambil ponselnya dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, sepertinya dia bangun kesiangan karena kelelahan sejak kemarin.Kean segera bangkit kemudian berjalan keluar kamar dan melewati kamar Azelyn, dia mencoba mencari tahu apa yang dilakukan gadis itu, tetapi ketika membuka pintu, sosok gadis itu tak terlihat.Kean berjalan masuk ke kamar Azelyn kemudian melihat secarik kertas yang berada di meja tersebut. Dia mengambil kertas itu kemudian membaca setiap kalimatnya.Azelyn menulis di kertas tersebut bahwa hari ini dia izin untuk pergi karena ada masalah yang terjadi pada temannya. Dia juga mengatakan bahwa dirinya tak tahu apa akan pulang atau tidak.Kean meremas kertas tersebut, bisa-bisanya Azelyn lagi-lagi pergi tanpa sepengetahuannya. Dia mencoba melihat ponselnya dan membuka aplikasi pelacak, kali ini aplikasinya tak berfungsi lagi karena gadis itu mematikan po
Keesokan harinya Allen langsung menyuruh Laura untuk datang ke perusahaan Marvino. Laura menggunakan kemeja putih dengan rok sepaha untuk pergi ke perusahaan Marvino, pakaiannya benar-benar mencerminkan seorang karyawan wanita di perusahaan. Dia tak tahu posisi apa yang akan diberikan Allen padanya, tetapi dia tak terlalu memikirkannya karena tujuan sebenarnya adalah untuk mendekati pria itu. Laura memesan taksi untuk pergi ke perusahaan tersebut. Ketika taksinya sudah datang, dia lansung meluncur tanpa menunda waktu lagi. Butuh waktu 30 menit untuk sampai ke perusahaan tersebut. Jarak perusahaan Marvino lebih jauh dibanding perusahaan Adhlino, tetapi Laura meyakinkan semangatnya karena dia sudah terlalu lelah untuk mencari pekerjaan dan tak akan membuang kesempatan emas ini. Laura berjalan memasuki perusahaan, tiba-tiba seisi perusahaan meliriknya kemudian berbisik-bisik membuatnya merasa risih. Sepertinya berita tentang dirinya yang dipecat di perusahaan Adhlino secara tak t
Laura berdiri diam di tengah jembatan. Di belakangnya beberapa motor dan mobil berlalu lalang tanpa memedulikan dirinya yang sedang berdiri sendirian. Dia menatap kosong ke arah air sungai yang mengalir dengan deras. Gadis bermanik coklat itu sudah mengirimkan lamaran pekerjaannya ke berbagai tempat setelah dia dipecat dari Perusahaan Adhlino, tetapi satu pun tak ada yang menghubunginya untuk interview. Laura mengacak-acak rambutnya kesal. Dia meremas dokumen lamaran pekerjaannya dengan perasaan penuh emosi. "Azelyn! Ini semua gara-gara kamu! Berani-beraninya kamu menghancurkan karirku! Aku tak akan tinggal diam, aku pasti akan membalasmu!" teriak Laura emosi. Suara teriakannya tenggelam karena suara mobil dan motor yang mengebut. Laura melampiaskan emosinya dengan mengacak-acak rambutnya frustasi. Tanpa sengaja dokumennya terlepas dari genggaman dan terjun jatuh ke bawah sungai. Laura secara spontan menaikkan kaki kanan ke penghalang jembatan mencoba untuk menangkap dokumen
Lino tak menduga bahwa Reliza akan mengatakan itu. Dia melirik ke arah Kean yang masih terdiam sembari menyisir rambutnya ke belakang. "Sepertinya Anda sangat mengenal saya, Nona Reliza," ucap Kean dingin. Dia menatap tajam pada gadis itu kemudian melanjutkan kalimatnya, "Karena Anda terlihat sangat mengenal saya, Anda pasti tahu bagaimana sikap saya pada wanita selama ini, kan?" tanyanya. Reliza terdiam, tentu saja dia sangat mengetahui itu. Karena dia adalah salah satu wanita yang mengejar Kean, tetapi pria itu tak pernah meliriknya sedikit pun. "Saya akan langsung mengatakan tidak suka dan sangat membenci wanita yang selalu ingin menempel pada saya. Jadi, apa Anda masih menganggap saya berbohong dan meragukan pernikahan saya sebagai pernikahan palsu yang diatur?" kata Kean yang langsung membuat Reliza terdiam. Reliza menggenggam erat ujung gaunnya mendengar penuturan Kean. Tentu saja wanita yang selalu menempel pada pria itu yang dimaksud adalah dirinya. Kean melirik ding
Allen melirik pada Azelyn sembari mencoba menahan tawanya. Dia merasa tak percaya dengan situasi yang dia hadapi sekarang. Rumor yang diketahui Allen selama ini adalah Kean memiliki sifat yang dingin. Sebelumnya juga banyak yang mengatakan bahwa Kean adalah pria yang tak berperasaan. Namun, apa ini? Kean justru terlihat sangat posesif pada Azelyn. "Maafkan saya atas sikap saya selama ini, Tuan Kean," kata Allen sambil sedikit membungkuk sebagai tanda permintaan maafnya. "Karena saya sudah berpisah cukup lama dengan Azelyn, saya masih ingin bertemu dan mengobrol dengannya lebih lama lagi, tapi sepertinya saya sudah melewati batas," lanjutnya sembari melirik wanita bermanik biru itu. Kean mengeratkan rangkulannya ketika mendengar perkataan Allen. Perasaannya terasa berdenyut sakit mendengar kalimat itu. Apa itu memiliki arti bahwa pria itu masih menyimpan perasaan pada istrinya? "Saya harap ini tidak terjadi lagi, saya merasa tak nyaman jika istri saya bertemu dengan pria lain t
Kean berniat untuk menghampiri mereka, tetapi tiba-tiba dia menghentikan langkahnya lalu segera berbalik membelakangi mereka berdua yang belum menyadari kehadirannya. "Kenapa aku marah?" gumam Kean merasa heran dengan sikapnya sendiri, lalu mengurungkan niat untuk menghampiri Azelyn lalu segera keluar dari restauran tersebut. Meski mengatakan itu, Kean tetap menunggu Azelyn dan Allen yang masih mengobrol di dalam restauran. Dia duduk di dalam mobil sambil memperhatikan pintu restauran menunggu mereka untuk keluar. Tepat saat itu Azelyn dan Allen keluar dari restauran lalu kembali menjalankan mobil mereka menuju ke tempat selanjutnya. Kean mengikuti ke mana tujuan mereka berdua selanjutnya dari belakang. Allen mengendarai mobil kemudian tak sengaja melihat kaca spion mobilnya, dan menyadari mobil yang berada di belakangnya sedang mengikuti mereka. Allen mencoba berbelok ke arah lain dan mobil itu tetap mengikuti arah yang dia tuju. "Mau ke mana? Apartemenku bukan ke arah si
Azelyn berjalan keluar perusahaan sambil melamun, dirinya mengenal Kevin lebih dari 8 tahun, dan pria itu adalah cinta dan pacar pertama Azelyn. Dulu Azelyn sangat tak bisa melihat Kevin bersedih, karena menginginkan pria itu selalu bahagia di setiap harinya dan mencoba mencari segala cara untuk menghiburnya. Namun, ketika berpapasan dengan Kevin tadi dan melihat raut wajah Kevin yang hendak menangis, Azelyn tak merasakan perasaan apa pun lagi. Dia merasa tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada pria itu selanjutnya. Sepertinya perasaannya pada Kevin memang sudah tak tersisa lagi. Azelyn memilih untuk tak terlalu memikirkan itu lagi, mencoba melihat sekeliling perusahaan mencari mobil Kean, tetapi tak terlihat tanda-tanda mobil itu di sekitar situ. Dia berpikir mungkin pria itu sudah pulang lebih dulu untuk beristirahat. Ketika Azelyn hendak pergi menuju halte bus, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di hadapannya. Kaca mobil itu mulai turun dan terlihat Allen berad
"Apa jangan-jangan kamu cemburu?" "Apa?" Mata Azelyn membelalak, apa bertanya mengenai urusan Kean dengan Nona Marvino termasuk ke dalam kategori cemburu? Azelyn mendorong tubuh Kean agar sedikit menjauh kemudian bangkit dari kursi kerja pria itu. "Tentu saja tidak, aku hanya penasaran dengan pertemuan sesama pengusaha besar," ucap Azelyn beralasan.Jawaban Azelyn justru semakin membuat Kean mengangkat sebelah alisnya bingung. "Aku sudah menawarimu untuk ikut, kalau kamu penasaran, seharusnya kamu menerima tawaran untuk pergi bersamaku." Azelyn langsung menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Tidak, aku memang penasaran, tapi aku tahu batasanku," kata Azelyn sembari tersenyum simpul. "Karena semua berkas sudah selesai diperiksa, aku izin pergi," lanjutnya sambil sedikit membungkuk memberi hormat lalu melangkah meninggalkan ruangan. Kean memandangi punggung Azelyn yang berjalan menuju pintu ruangan, kemudian merapikan berkas-berkas tersebut kemudian menghubungi Lino agar datang me