"Kamu tidur aja dulu. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku."
Aku lagi-lagi harus menelan kecewa saat Asta mengatakan kalimat yang sama persis seperti malam kemarin. Belum juga aku mengganti pakaian dengan piyama tidur, bahkan membuka lemari saja belum. Tapi, Asta sudah memberi kalimat yang mana bisa juga aku artikan : Aku nggak mau diganggu malam ini.
Aku membuang napas kasar ketika Asta keluar dari kamar. Lelaki itu sudah pasti akan menuju ruang kerjanya, menjauh dari gangguan yang bisa saja sewaktu-waktu aku lakukan.
Sudah dari empat bulan lalu, Asta sedikit berubah sikap. Jadi, lebih dingin. Penyebabnya aku sendiri kurang tahu. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dan menyenangkan. Bahkan aku memutuskan resign dari kantor hanya agar bisa lebih fokus mengurus Asta.
"Mas, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku suatu kali saat suamiku itu baru beranjak rebah ke tempat tidur.
"Kamu belum tidur?" Asta melirik jam dinding. "Ini udah hampir pukul dua belas malam. Dari tadi kamu ngapain aja?" tanya Asta melihat mata bulatku yang masih terbuka lebar.
"Nungguin kamu. Kamu sibuk banget akhir-akhir ini," sahutku manja seraya bergelayut pada lengannya yang kekar.
Asta menghela napas. "Kamu sebaiknya langsung tidur kalau aku lama. Jangan ikut begadang. Perusahaan akan me-launching produk baru jadi kerjaanku menumpuk. Maaf, ya," ucapnya lalu mengusap lembut rambutku yang tergerai.
Dan, hanya berakhir dengan kecupan singkat lantas Asta memilih memejamkan mata daripada menggauliku. Padahal aku sengaja menunggunya berjam-jam.
Malam ini pun sama, Asta kembali menyuruhku tidur cepat. Aku menghela napas dan meraih ponsel. Kebiasaanku kalau sedang badmood gara-gara Asta, aku akan curhat sepanjang malam dengan Ralin—sahabatku dari jaman kuliah.
"Ada apa lagi sih, Ra?" tanya Ralin di sana terdengar bosan. Beberapa kali aku mendengar dia menguap.
"Mas Asta, Lin," rengekku seperti biasa. Selain sahabat, Ralin juga sudah seperti kakakku sendiri. Bersama wanita itu aku bisa bermanja-manja. Mengeluarkan semua keluh kesah tanpa malu atau pun ragu. Sebab Ralin akan selalu memberikan saran atau kadang solusi yang tepat pada setiap masalah yang aku hadapi.
"Kenapa dengan Asta? Lembur lagi?" Ralin di sana menebak. Dia pasti bosan karena akhir-akhir ini sering curhat tentang Asta.
"Iya, gue harus tidur sendiri lagi. Gue udah tiga minggu loh nggak disentuh."
Terdengar helaan napas lelah dari sana. "Ya udah main solo dulu gih."
"Mana enak!"
"Mainnya sambil pantengin poto laki lo dong."
Aku mendesis. "Enggak. Apaan. Saran lo kali ini sesat," ucapku bersungut. Ralin di ujung telepon terbahak.
"Ya terus gimana lagi? Udah dua bulan ini lo ngeluhin hal yang sama. Coba dong ajak laki lo ngobrol. Kali aja nemu solusi."
"Percuma, Lin. Dia malah bilang gue gila seks. Kan nyebelin. Umur pernikahan kami baru dua tahun. Wajar dong kalau gue mau dielus terus. Dia kali yang nggak normal. Udah nggak tertarik sama body gue yang aduhai."
Lagi-lagi Ralin tergelak. Sialan. Bicaraku yang ceplas-ceplos sering membuatnya tertawa. Aku merasa nggak perlu menyembunyikan apa pun darinya. Bahkan urusan ranjang aku berani membeberkan. Saking percaya dan nyamannya aku padanya.
"Sesekali lo datangi ruang kerjanya pake baju haram, plus heels merah merona. Dijamin dia klepek-klepek."
"Gue ada niatan gitu sih. Tapi, takutnya dia marah kalau gue gituin."
"Enggak bakal. Gue jadi kasihan lo tiga minggu nggak dipake. Ntar rapet lagi susah jebolnya," ujar Ralin tergelak.
"Biarin makin rapet makin enak, kan?"
"Ya udah lo coba saran gue aja. Kali aja berhasil," ujarnya cekikikan.
"Kalau nggak berhasil gue jorogin lo dari lantai sepuluh nanti."
Memakai baju haram dengan heels? Hal gila yang nggak pernah aku lakuin sebelumnya. Dan sekarang? Lihat! Aku melakukannya. Hanya demi mengalihkan fokus Asta dari pekerjaannya. Aku sudah seperti istri kedua jika dia sudah berhadapan dengan pekerjaannya.
Beruntunglah aku tinggal di rumah sendiri. Bukan dengan orang tua atau pun mertua. Jadi, saat aku mengenakan baju ala kadarnya seperti ini bisa sesuka hati berkeliaran di dalam rumah.
Heels lima senti yang kukenakan terantuk membentur lantai granit rumahku yang berkilau. Aku berjalan pelan menuju ruang kerja Asta. Pintunya yang berukir asli Jepara melambai, seolah menyuruhku untuk cepat mendekat dan membukanya.
Dengan pelan aku tekan gagang pintu itu. Aku menyeringai tipis saat terdengar bunyi 'klik' karena itu artinya pintunya nggak terkunci. Aku nggak langsung masuk dan memutuskan melongokkan kepala sebentar. Ingin tahu apa yang sedang suamiku lakukan.
Dari sini aku bisa melihat Asta duduk di depan laptop dengan wajah serius. Sesekali membuka sebuah fail yang ada di tangannya. Lalu mengetikkan sesuatu di layar 14 inci di hadapannya.
"Ada apa, Ra? Aku masih sibuk."
Aku cukup kaget. Ternyata dia menyadari kedatanganku. Padahal sebisa mungkin aku nggak menimbulkan suara saat membuka pintu.
Asta sama sekali nggak melirikku bahkan ketika aku bergerak mendekatinya. Dia belum sadar dengan penampilanku yang aneh malam ini. Aku mengitari meja kerjanya. Lalu berdiri bersandar pada tepian meja tepat di sebelah kanannya. Sangat dekat, tapi tetap saja Asta sama sekali nggak tertarik melirikku barang sejenak. Menyebalkan. Kehadiranku nggak bisa menggoyangkan konsentrasinya.
"Mas, lihat aku sebentar dong," ucapku dengan suara yang mendayu.
"Iya, sebentar," sahutnya sembari mengetik sesuatu pada tuts laptop. Kacamata yang bertengger di hidung bangirnya sedikit melorot. Aku berusaha sabar untuk beberapa menit lamanya.
"Mas," lirihku lagi.
"Oke, ada apa?" tanya seraya mengalihkan atensinya padaku.
Yes! Kali ini berhasil.
Tapi, bersamaan dengan itu dia terlonjak kaget. "Astaga, Raya! Apa-apaan kamu?!" pekiknya seperti tengah melihat hantu.
Aku nggak mengharapkan reaksinya yang seperti itu. Harusnya dia senang atau sekadar menyeringai jail saat melihatku berbusana transparan yang memamerkan bentuk sintal tubuhku. Tapi, apa? Dia malah seperti orang kena serangan jantung dadakan.
"Kamu dapat dari mana baju itu? Memangnya nggak dingin?" tanya Asta meneliti lingerie yang aku kenakan.
Bibirku maju satu senti. "Nggak penting aku dapat baju ini dari mana. Yang penting itu Mas suka enggak?" tanyaku tersenyum seduktif.
Asta meringis lalu menggeleng. "Kamu aneh."
Apa? Gimana aku nggak menyangka kalau dia sudah nggak selera padaku? Dia sama sekali nggak tergoda dengan penampilanku. Apa suamiku sudah nggak normal?! Ya Tuhan! Aku mengerang frustrasi dan itu makin membuat Asta heran menatapku.
"Are you okay?"
Sejujurnya aku sudah sangat emosi menghadapi sikap datar Asta belakangan. Puncaknya mungkin sekarang.
"Mas, bisa enggak sih kamu berhenti sebentar ngurusin kerjaan? Emang nggak capek, udah seharian kerja malamnya harus lembur lagi?" tanyaku sebal. Alisku sudah keriting dibuatnya, tapi dia masih saja nggak tahu kalau aku butuh dibelai.
"Raya, ini kerjaan urgent. Kalau enggak, buat apa aku ngoyo-ngoyo kerja begini? Semua juga demi kamu."
Jawabannya membuatku makin meradang. Aku melepas heels dan melemparnya sembarang. Biar dia tahu aku nggak selamanya bisa bersabar.
"Kalau gitu jangan salahkan aku kalau aku pulang ke rumah Mama karena suamiku sudah malas menemaniku tidur," tandasku lantas bergerak menjauhi Asta.
"Raya!"
Aku nggak peduli dan terus bergegas keluar dari ruang kerjanya. Kita lihat, apa setelah ini dia akan menolakku?
Tungkai panjangku baru akan menaiki anak tangga, ketika dari belakang sebuah tangan mendekapku erat. Bukan hanya itu, bahkan aku merasakan sebuah kecupan mendarat di bahuku yang terbuka.
"Aku minta maaf. Oke, aku temani kamu tidur sekarang," bisiknya, yang lantas sanggup membentuk seulas senyum pada bibirku yang kemerahan.
________________
Jangan lupa dukung terus cerita ini ya....
Raline : [ Ra, ternyata mantan Mas Asta masuk ke divisi marketing. Gue baru tau kabar ini. ] Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Ralin. Mantan Asta yang aku tahu itu cuma satu nama. Tania. Mereka pernah pacaran lumayan lama sebelum Asta menikah denganku. Aku mengedikkan balasan cepat. Aku : [ Maksud lo Tania? ] Ralin : [ Siapa lagi? ] Mendadak perasaanku nggak enak. Apa gara-gara itu Asta nggak selera padaku lagi? Tanpa sadar aku menggigit bibir. Semalam servis Asta sangat memuaskan. Tapi, itu pun karena aku yang memulai duluan. Kalau tidak mana mungkin dia mau menjamahku seperti tadi malam. Ralin : [ mending lo tanya langsung sama dia. Siapa tau gara-gara itu dia berubah sama kamu. Mungkin kamu bisa memintanya untuk memindahkan Tania ke divisi lain. Bila perlu depak sekalian. Biar aman. Mantan itu lumayan bahaya loh.] Aku kembali membaca pesan Ralin. Ternyata dia punya pemikiran yang sama denganku.
Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu. "Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka. Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi. "Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra." Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belak
Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. "Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." Aku serta merta menoleh mendengar
Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur. Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa. Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja. Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendenga
Aku menyunggingkan senyum saat pada akhirnya bisa mengenakan setelah outfit bekerja seperti dulu. Aku berdiri di depan cermin melihat diri sendiri pada pantulan cermin. Tubuhku tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti meski aku sudah menyandang gelar sebagai istri Asta. Aku memutar pinggang kiri-kanan, memastikan penampilanku sudah sempurna. Hari ini pertama kalinya aku bekerja, di perusahaan yang sama dengan Asta. Sebisa mungkin aku akan meninggalkan kesan yang bagus di hari pertama bekerja dengan rekan-rekan nanti. Setelah memastikan semuanya rapi aku bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan. Asta masih di kamar mandi ketika aku keluar. Aku menyiapkan sarapan simpel. Roti bakar isi dan susu segar serta kopi untuk Asta. Meski aku sudah membayangkan akan begitu sangat melelahkan, tapi aku harus melakukannya. Demi menguak misteri perubahan sikap Asta dan dugaan-dugaan Ralin tentang kedekatan Asta dengan mantannya.Aku melihat Asta turun d
Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel
Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing
Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.
Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini
Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu
Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren
"Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki
Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te
Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke
Hari ini kerjaan cukup hectic. Aku juga terpaksa harus mempelajari draf fail yang akan Debi presentasikan lantaran wanita itu izin nggak masuk hari ini. Bolak-bolak aku ke ruangan Andeas memastikan semuanya agar lebih matang. "Semangat ya, ini sedikit amunisi biar lo enggak gemetaran di depan Pak Asta." Aldo menyodorkan minuman isotonik ukuran kecil kepadaku. Padahal Asta nggak semenyeramkan itu sampai harus aku takuti."Terima kasih." Aku memang deg-degan. Tapi bukan deg-degan lantaran takut presentasiku gagal, lebih ke takut tidak bisa mengontrol emosi di depan Asta nanti. "Minuman lo lumayan membantu, Do," ujarku setelah meneguk beberapa kali minuman isotonik pemberian Aldo. "Sudah siap? Yuk, kita ke ruang meeting sekarang." Aku menoleh ketika Andeas muncul. Hari sudah beranjak siang, tapi penampilan laki-laki itu masih saja segar seperti baru pertama kali datang. "Siap, Pak." Aku menutup botol minuman dan menyimpannya di atas meja. Lalu segera menyambar laptop dan menyusul An
Pintu tidak dikunci saat aku membukanya. Itu artinya Asta sudah ada di rumah. Aku langsung naik ke atas, menuju kamar. Ingin segera membersihkan diri lantaran seharian ini belum mandi. Aku menemukan Asta duduk bersandar pada tempat tidur. Kakinya lurus dan saling bertumpu. Di atas pangkuannya terdapat sebuah laptop yang layarnya terbuka. Aku tidak peduli dan terus berjalan menuju meja rias. Melepas printilan aksesoris yang kupakai sebelum beranjak ke kamar mandi. "Kenapa teleponku nggak diangkat?" tanya Asta. Lelaki itu belum bergerak dari posisinya. "Baterku low, jadi ponsel aku matikan.""Lalu kenapa tadi bisa pulang bareng Andeas? Kalian—" "Kebetulan Andeas itu sepupu Lula dan kami bertemu di acara Lula," jawabku cepat. Sumpah aku lagi malas ngomong sama dia. Aku bahkan menjawab semua pertanyaannya tanpa menoleh padanya. "Lalu—" "Aku mau mandi," potongku sebelum ada pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku makin muak. Aku bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Asta yang mungki
Sekitar pukul sembilan malam acara ultah sekaligus acara tunangan Lula benar-benar selesai. Tidak seperti pesta pada umumnya yang biasa selesai larut. Satu per satu tamu dari keluarga calon suami Lula dan juga paman-paman dan bibi-bibi Lula pamit. Aku sendiri membiarkan Lula mengantar mereka dan memilih duduk di pojokan sofa sembari mengutak-atik ponsel. Rasanya aku enggak beranjak pulang. Lagi nggak ingin bertemu Asta. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari lelaki itu, tapi aku abaikan dan nggak berniat menghubunginya balik. Aku benar-benar malas. Aku baru akan menggulir layar sejenak saat panggilan dari Asta kembali masuk. Dia pasti sudah ada di rumah dan ingin tahu keberadaanku. Buat apa sih? Kenapa dia peduli padahal sudah berkhianat? Lula menghampiriku ketika dia selesai mengantar tamu-tamu pentingnya. "Lo nggak balik?" "Bentar lagi," sahutku menonaktifkan ponsel agar nggak ada gangguan dari Asta lagi. Aku menatap Lula dan tersenyum menggoda. "Gue nggak nyangka lo bakal jadi