Share

5. Pilihan Untuk Asta

last update Last Updated: 2021-08-03 12:15:22

Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur.

Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa.

Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]

Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja.

Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendengar suara pintu terbuka. Tidak lama sosok Asta muncul dengan tampang yang terlihat begitu lelah. Entah itu lelah betulan atau hanya akting saja. Rasanya tidak sabar untuk segera menanyakan kebenarannya.

Asta berlalu begitu saja, mengabaikan aku yang berada di meja makan. Dia menaiki tangga satu demi satu sembari melonggarkan ikatan dasinya. Aku membiarkan saja. Biasanya aku akan menyambutnya, tapi kali ini aku teramat malas untuk sekedar menyapa. Aku cukup baik hati tidak mengomel saat melihat mukanya muncul.

Menggeser kursi, aku bangkit dan menghubungi Lula. Aku perlu mendengar pendapat dari pandangan orang lain tentang masalahku.

"Jadi, kamu nuduh Asta selingkuh?" tanya Lula setelah aku menceritakan semuanya.

"Bukan nuduh, tapi hanya menduga. Dengan semua ciri-ciri yang aku sebutkan tadi, ada kemungkinan kan dia begitu?"

"Ya belum tentu."

"Lalu soal foto yang Ralin kirim gimana?"

"Kamu harus cari tahu kebenarannya sendiri. Jangan asal percaya gitu aja," ujar Lula di sana. Dia masih saja berpikiran positif.

"Ya masa Ralin bohongin gue? Untungnya apa coba?" Aku melangkah dan duduk di bangku teras belakang.

"Gue enggak bilang begitu. Makanya kan gue minta lo buat nyari kebenarannya. Coba gih lo tanya langsung sama Asta foto itu benar atau enggak."

Aku tidak langsung menuruti saran Lula. Karena sudah pasti Asta bakal membantah dan mencari alasan buat meyakinkanku. Aku terus berpikir begitu mengakhiri panggilan dari Lula. Sampai sebuah ide tercetus. Aku menyeringai. Agak gila dan aku enggak yakin Asta akan menyetujuinya. Tapi, bagiku itu satu-satunya cara yang aman untuk menghindari perdebatan.

Kalau memang Asta tidak berbuat macam-macam di belakangku, dia pasti tidak akan keberatan menuruti permintaanku.

"Serius lo?" Ralin terpekik di ujung telepon ketika aku memberitahunya tentang keinginanku demi menyelamatkan rumah tangga.

"Serius dong, Lin. Daripada gue terus menduga?"

"Iya sih. Tapi kan aturan perusahaan melarang suami istri bekerja sama di sana."

"Nanti gue cari cara. Pokoknya kalau memang Asta nggak ada hubungan apa pun sama Tania, dia pasti bakal izinin aku bekerja di sana."

Ya! Ide gilaku adalah bekerja di perusahaan yang sama dengan Asta.

Helaan Ralin terdengar di ujung sana. "Oke deh, gue dukung lo juga. Kalau lo udah di sana, pasti Asta engga berani macem-macem sama Tania. Itu sih poinnya."

"Nah, makanya misiku kali ini harus sukses."

***

"Nggak."

Sudah aku duga jawaban itu yang akan aku dengar dari Asta. Penolakan.

"Aku udah capek kerja. Kalau kamu kerja juga siapa yang ngurus aku nanti? Kita bakal sama-sama capek."

Itulah yang menjadi alasanku dulu melepas pekerjaan. Tapi, kali ini aku enggak mau menyerah.

"Aku akan bekerja sewajarnya. Aku akan pulang sebelum kamu pulang. Aku juga akan menyiapkan makan malam seperti biasanya," bujukku masih berharap Asta meluluskan harapanku.

"Kamu nyari apa dengan bekerja? Apa nafkah yang aku beri kurang?"

Aku menggeleng cepat. "Enggak sama sekali. Aku bosan, Mas. Kamu pulang kerja sering sampe larut malam. Aku cuma nunggu di rumah seperti patung. Nggak ada yang bisa aku lakuin selain melongo," ucapku dengan nada merengek. "Ayolah, Mas. Izinin aku kerja."

"Enggak, Ra. Aku enggak mau kamu capek."

Aku cemberut. Jurus jitu yang sering aku lakukan ketika meminta sesuatu sepertinya harus aku keluarkan.

"Alasan." Aku mendorong lengan Asta dengan sebal. Lantas beranjak keluar dari meja makan. "Besok aku mau ke rumah Mama. Mau nginep di sana buat sementara. Nggak usah nyusul. Aku mau nyari udara segar di rumah Mama," ujarku setengah berteriak sebelum naik ke atas tangga.

"Kok jadi gini sih, Ra?"

Aku bisa melihat punggung Asta menegak. Dia meletakkan sendok garpu yang dia genggam. Aku pura-pura tak peduli dan setengah berlari menuju kamar.

Aku sangat yakin tidak lama Asta akan menyusulku, membujuk agar aku tidak pulang ke rumah Mama. Mama mertua yang baik bagi Asta, tapi Asta sering terkena kebawelannya. Bisa dibayangkan kan bagaimana jika Mama melihatku pulang sendiri? Bisa-bisa Asta bisa kena omel tujuh hari tujuh malam.

Dugaanku tepat saat aku mendengar pintu kamar terkuak beberapa saat kemudian. Aku sontak pura-pura tidur.

Langkah kaki Asta terdengar. Aku bisa merasakan tempat tidurku bergoyang, menandakan Asta sudah naik ke ranjang.

"Ra, jangan marah. Aku melarangmu bukan tanpa sebab, kan?" ucap Asta hati-hati. Namun, aku abaikan.

"Ini demi kebaikan kamu."

'Kebaikan kamu kali, biar bebas ke sana ke mari tanpa pengawasanku.' batinku terus memberontak.

"Aku enggak mau kamu lelah. Biar aku saja yang lelah."

Kata-kata yang sangat manis. Tapi, apa Asta pernah berpikir tiap hari aku menunggunya di rumah juga lelah? Ditambah lagi mendengar gosip yang tidak sedap. Lelahku seolah bertambah dua kali lipat.

"Ra." Asta menggoyang lenganku. "Aku tau kamu belum tidur. Kamu paham apa yang aku bilang kan?"

Tidak paham dan tidak mau paham. Aku mendengar Asta membuang napas kencang. Usahanya membujukku gagal. Asta beringsut, berbaring. Sepertinya dia menyerah membujukku dan memilih tidur.

Pagi-pagi aku menarik koper dari dalam lemari. Mengambil beberapa setel pakaian dan menatanya ke dalam koper tersebut. Gertakanku tidak main-main. Mungkin Asta pikir ucapanku semalam hanya bercanda. Demi misi, aku akan melakukan hal apa pun.

"Raya, kamu mau ke mana?"

Aku menoleh mendengar pekikan Asta yang baru keluar dari kamar mandi. Bahkan lelaki itu masih hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.

"Ke rumah Mama," sahutku tanpa menoleh, dan pura-pura sibuk menaruh beberapa barang ke dalam koper.

"Ra, jangan gini dong. Masa gara-gara aku larang kerja, kamu ngambek sih? Ini aku lakukan demi kebaikan kamu. Biar kamu enggak capek." Asta terdengar gusar saat melempar kalimatnya.

Aku membuang napas dan berbalik menghadap suamiku yang paling tampan itu. "Justru aku capek di rumah terus. Lama-lama aku bisa mati kebosanan. Kamu pikir duduk diam sambil nunggu kamu pulang itu nggak capek? Apa lagi enggak sehari dua hari kamu pulang larut. Itu bikin aku makin capek," ujarku dengan suara lantang. Kali ini aku harus berhasil.

Asta menatapku dengan kening berkerut. "Waktu kamu memutuskan dari kerjaan yang lama kayaknya enggak gini deh. Menunggu aku pulang kantor kamu bilang kegiatan paling menyenangkan dibanding kerja di luar," ucapnya menggeleng pelan.

Apa iya aku pernah berkata begitu? Ah, keadaan sudah membuat semua berbeda.

Aku kembali menatap Asta setelah menarik resleting koper. "Sekarang itu bukan kegiatan yang menyenangkan. Lama-lama jenuh, apa lagi kita belum memiliki anak. Jadi, biarkan aku kerja atau biarkan aku tinggal di rumah Mama untuk sementara waktu."

Aku memberinya pilihan yang sulit. Keduanya tidak ada yang menyenangkan bagi Asta. Lelaki itu tidak langsung menjawab, malah terkesan sengaja diam. Diam yang cukup lama. Melihatnya yang hanya berdiri mematung, aku pun bergerak meraih handle koper, lalu menarik pegangan tangan, dan menyeret benda itu menuju ke pintu keluar. Namun ....

"Tunggu!"

Related chapters

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   6. Hari Pertama

    Aku menyunggingkan senyum saat pada akhirnya bisa mengenakan setelah outfit bekerja seperti dulu. Aku berdiri di depan cermin melihat diri sendiri pada pantulan cermin. Tubuhku tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti meski aku sudah menyandang gelar sebagai istri Asta. Aku memutar pinggang kiri-kanan, memastikan penampilanku sudah sempurna. Hari ini pertama kalinya aku bekerja, di perusahaan yang sama dengan Asta. Sebisa mungkin aku akan meninggalkan kesan yang bagus di hari pertama bekerja dengan rekan-rekan nanti. Setelah memastikan semuanya rapi aku bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan. Asta masih di kamar mandi ketika aku keluar. Aku menyiapkan sarapan simpel. Roti bakar isi dan susu segar serta kopi untuk Asta. Meski aku sudah membayangkan akan begitu sangat melelahkan, tapi aku harus melakukannya. Demi menguak misteri perubahan sikap Asta dan dugaan-dugaan Ralin tentang kedekatan Asta dengan mantannya.Aku melihat Asta turun d

    Last Updated : 2021-08-25
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   7. Asta vs Andeas

    Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel

    Last Updated : 2021-08-26
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   8. Makan Siang dengan Ralin

    Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing

    Last Updated : 2021-08-27
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   9. Mampir ke Bakeri Lula

    Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.

    Last Updated : 2021-08-28
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   10. Tania

    Sudah seminggu aku bekerja di kantor Asta. Namun, nggak ada hal berarti yang patut aku curigai. Tania dan Asta terlihat baik-baik saja. Maksudnya aku nggak pernah melihat mereka bersama atau melakukan hal yang mencurigakan. Tania tampak profesional menjalankan tugasnya sebagai staf. Begitu pun sebaliknya. Mataku masih memperhatikan gerak-gerak Tania pada mejanya. Untuk ukuran mantan model, Tania tampak biasa-biasa saja saat berpenampilan. Tidak ada yang menonjol. Dia bahkan mengenakan outfit yang sangat tertutup. Kulot panjang dengan kemeja yang agak longgar. Setiap hari aku nggak melihat dia mengubah tatanan rambutnya. Masih sama diikat satu ke belakang dengan poni rapi menyamping. Satu lagi, dia sekarang mengenakan kacamata yang lensanya lumayan tebal. Meski begitu nggak mengurangi kadar kecantikannya. Aku refleks berdiri dan mengambil sembarang map yang ada di meja saat Tania tampak berdiri. "Ini!" Mataku bergeser ke sisi tangan Debi yang memegang bundel kertas di pembatas kubik

    Last Updated : 2021-08-28
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   11. Kode dari Andeas

    Aku melihat suasana yang lebih cozy di kantin ini. Kantinnya para petinggi perusahaan. Sekilas ini tidak nampak seperti kantin. Lebih mirip kafe. Meja dan kursinya saja didesain berbeda dari kantin yang di lantai empat. Bahkan di sayap kanan menggunakan sofa panjang sebagai tempat duduknya. Mataku mengedar berharap menemukan Asta di kantin ini. Menyisir dari meja paling depan. Orang-orang yang berada di sini wajahnya tampak asing. Ada beberapa yang pernah aku lihat. Jarang, tapi pernah sesekali. Dan di meja yang terletak di tengah-tengah, aku menemukannya. Asta! Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita. Namun, aku tidak melihat wajah wanita itu lantaran posisinya membelakangiku."Ayo, kita ambil makanannya," ajak Andeas menyentuh lenganku. Perhatianku teralihkan, dan aku mengiyakan ajakan Andeas menuju tempat berbagai makanan disajikan.Makanan yang ada di sini berkonsep buffet dengan menu yang lebih bervariasi daripada di kantin karyawan biasa.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   12. Tanda Merah

    Wajah Asta tampak lelah saat aku membukakan pintu untuknya. Dasinya sudah melonggar dengan kancing atas kemeja yang sudah terbuka. Jas hitamnya tersampir pada lengannya. Aku dengan sigap meraih tas dan jas itu. "Mau makan dulu atau mandi dulu, Mas?" tanyaku saat kami berjalan masuk kembali ke rumah. "Mandi," Asta menjawab singkat. Nadanya tak semangat. Langkahnya dengan gontai menaiki satu per satu anak tangga. Aku tidak mengikutinya dan hanya berdiri di tengah ruangan sembari memandanginya. Dan ketika berada di tengah tangga, langkah Asta terhenti. Lelaki itu menoleh padaku yang masih di bawah. "Kamu udah makan?" tanya dia kemudian. Aku pikir dia melupakan sesuatu. Mau tidak mau pertanyaannya membuatku tersenyum tipis. "Udah kok, Mas. Mau aku hangatkan sayur?" "Boleh. Tapi aku mandi dulu." Aku menyiapkan makan malam Asta sembari menunggunya turun. Sekitar lima belas menit kemudian dia turun dan sudah berganti pakaian santai. Wajah lelah yang sempat aku lihat berubah menjadi waja

    Last Updated : 2021-09-04
  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   13. Menangis di Ruang Manajer

    Aku nggak bisa berhenti memikirkan tanda merah kehitaman di belakang leher Asta. Satu jam di depan layar komputer aku hanya bengong nggak menghasilkan konten apa pun. Selama ini praduga-ku nggak menghasilkan bukti apa-apa. Maksudnya aku nggak pernah menemukan sesuatu yang janggal kecuali Asta yang selalu pulang telat atau Asta yang selalu menolak jika diajak berhubungan badan. Namun, pagi tadi dengan mata kepala sendiri aku melihatnya. Aku nggak mungkin salah mengenali tanda itu. Aku yakin 100 persen itu adalah kissmark. Tanpa sadar tanganku mengepal. Dadaku naik turun menahan sesak. Rasanya nggak percaya saja kalau dia selingkuh. Meskipun aku kerap kali berpikir dia selingkuh. Sekarang pikiran itu malah menjadi kenyataan. "Mungkin cuma digigit serangga kali, Ra," ujar Ralin ketika aku meneleponnya. Aku terpaksa izin ke toilet hanya untuk menelepon Ralin. Aku enggak tahan untuk enggak menumpahkan kekesalanku. "Serangga apaan?! Gue bisa bedain kali mana itu gigitan serangga, mana itu

    Last Updated : 2021-09-06

Latest chapter

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   23. Perhatian Kecil

    Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   22. Rencana Outing

    Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   21. Kesal

    Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   20. Debat

    "Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   19. Semanis Gula

    Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   18. Es Krim

    Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   17. Emosi

    Hari ini kerjaan cukup hectic. Aku juga terpaksa harus mempelajari draf fail yang akan Debi presentasikan lantaran wanita itu izin nggak masuk hari ini. Bolak-bolak aku ke ruangan Andeas memastikan semuanya agar lebih matang. "Semangat ya, ini sedikit amunisi biar lo enggak gemetaran di depan Pak Asta." Aldo menyodorkan minuman isotonik ukuran kecil kepadaku. Padahal Asta nggak semenyeramkan itu sampai harus aku takuti."Terima kasih." Aku memang deg-degan. Tapi bukan deg-degan lantaran takut presentasiku gagal, lebih ke takut tidak bisa mengontrol emosi di depan Asta nanti. "Minuman lo lumayan membantu, Do," ujarku setelah meneguk beberapa kali minuman isotonik pemberian Aldo. "Sudah siap? Yuk, kita ke ruang meeting sekarang." Aku menoleh ketika Andeas muncul. Hari sudah beranjak siang, tapi penampilan laki-laki itu masih saja segar seperti baru pertama kali datang. "Siap, Pak." Aku menutup botol minuman dan menyimpannya di atas meja. Lalu segera menyambar laptop dan menyusul An

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   16. Malas Berdebat

    Pintu tidak dikunci saat aku membukanya. Itu artinya Asta sudah ada di rumah. Aku langsung naik ke atas, menuju kamar. Ingin segera membersihkan diri lantaran seharian ini belum mandi. Aku menemukan Asta duduk bersandar pada tempat tidur. Kakinya lurus dan saling bertumpu. Di atas pangkuannya terdapat sebuah laptop yang layarnya terbuka. Aku tidak peduli dan terus berjalan menuju meja rias. Melepas printilan aksesoris yang kupakai sebelum beranjak ke kamar mandi. "Kenapa teleponku nggak diangkat?" tanya Asta. Lelaki itu belum bergerak dari posisinya. "Baterku low, jadi ponsel aku matikan.""Lalu kenapa tadi bisa pulang bareng Andeas? Kalian—" "Kebetulan Andeas itu sepupu Lula dan kami bertemu di acara Lula," jawabku cepat. Sumpah aku lagi malas ngomong sama dia. Aku bahkan menjawab semua pertanyaannya tanpa menoleh padanya. "Lalu—" "Aku mau mandi," potongku sebelum ada pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku makin muak. Aku bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Asta yang mungki

  • Tergoda Cinta Teman Satu Kantor   15. Mengantar Pulang

    Sekitar pukul sembilan malam acara ultah sekaligus acara tunangan Lula benar-benar selesai. Tidak seperti pesta pada umumnya yang biasa selesai larut. Satu per satu tamu dari keluarga calon suami Lula dan juga paman-paman dan bibi-bibi Lula pamit. Aku sendiri membiarkan Lula mengantar mereka dan memilih duduk di pojokan sofa sembari mengutak-atik ponsel. Rasanya aku enggak beranjak pulang. Lagi nggak ingin bertemu Asta. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari lelaki itu, tapi aku abaikan dan nggak berniat menghubunginya balik. Aku benar-benar malas. Aku baru akan menggulir layar sejenak saat panggilan dari Asta kembali masuk. Dia pasti sudah ada di rumah dan ingin tahu keberadaanku. Buat apa sih? Kenapa dia peduli padahal sudah berkhianat? Lula menghampiriku ketika dia selesai mengantar tamu-tamu pentingnya. "Lo nggak balik?" "Bentar lagi," sahutku menonaktifkan ponsel agar nggak ada gangguan dari Asta lagi. Aku menatap Lula dan tersenyum menggoda. "Gue nggak nyangka lo bakal jadi

DMCA.com Protection Status