Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu.
"Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka.
Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi.
"Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra."
Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belakang kami, di sisi kolam renang lain, terdapat gazebo panjang beratap jerami, dindingnya berwarna nude. Tidak menyilaukan mata. Kafe ini benar-benar sudah dirombak habis. Sangat berbeda dari terakhir aku ke sini.
Mataku memicing ketika menemukan seseorang yang sepertinya aku kenal. Aku memastikan lagi, untuk meyakinkan penglihatanku.
"Mas." Aku mencolek lengan Asta yang dari tadi bermain ponsel. "Itu Ralin bukan sih?"
Asta mendongak dan mengikuti arah pandangku. "Mana?" tanya Asta dengan kening berkerut.
"Itu loh, Mas. Di belakang itu. Dia lagi sama cowok. Apa cowok itu pacarnya? Kok Ralin nggak pernah cerita? Kamu kenal cowoknya enggak?" Aku malah memberondong Asta dengan pertanyaan.
"Mana aku tau, Ra. Aku aja baru liat."
Bukan tanpa alasan aku bertanya tentang cowok itu. Siapa tahu kan dia satu kantor dengan Asta sama seperti Ralin.
"Kirain satu kantor sama kamu juga, Mas."
"Bukan. Orang luar kayaknya."
Aku mengepalkan tangan. "Awas ya dia, punya pacar tapi enggak pernah cerita."
"Mungkin dia malu."
"Perlu aku samperin enggak, Mas?" tanyaku menyeringai.
"Jangan. Nanti kita gangguin dia. Biarin aja. Kalau dia yang nyapa kita baru deh nggak apa-apa."
Aku mencebik. Padahal aku penasaran banget. Ingin tahu lebih dekat wajah cowok itu. Hingga pesanan kami datang, aku terus mengawasi Ralin.
.
"Ra, makan dulu," tegur Asta pelan.
"Gila, aku beneran nggak sabar. Pengin nguyel-nguyel anak itu.
"Udah, makan dulu. Itu makanan jangan terlalu lama dianggurin."
Aku mengangguk lalu menuruti perintah Asta. Aku sempat minta tukar posisi duduk dengan Asta agar aku bisa mengawasi Ralin. Karena dari tempat duduk Asta lebih mudah untuk memperhatikan Ralin, tidak perlu harus menengok ke belakang. Namun, Asta tidak memberikan. Aku harus cukup puas hanya menengok sesekali ke arah meja Ralin. Tapi begitu makananku tandas dan aku memalingkan wajahku kembali ke meja Ralin, dia dan cowok itu sudah raib dari mejanya.
"Loh mereka ke mana, Mas?" tanyaku celingukan.
"Udah pulang beberapa menit lalu," sahut Asta santai.
"I-ih, kok kamu enggak bilang sih?" ujarku sebal. Padahal aku ada niat menghampiri mejanya saat sudah selesai makan.
"Buat apa? Emang itu penting? Jangan terlalu kepo sama urusan orang lain, Ra."
"Ralin bukan orang lain, Mas. Dia sahabatku."
Asta mengangguk. "Ya aku tau itu, tapi kalau sahabatmu itu enggak cerita, jangan lantas memaksanya cerita. Kamu harus bisa menghargai privasi orang meskipun dia sahabat kamu."
Mendadak aku kesal dengan perkataan Asta. "Termasuk privasi ponsel suamiku sendiri. Begitu kan?"
"Ya. Itu juga."
Aku berdecak. "Aku nggak tau apa yang ada di ponselmu sampai harus melarangku mengutak-atiknya hanya karena kata privasi. Aku ini istri kamu, Mas. Apa suami istri itu ada batasan privasi?"
"Demi kebaikan semuanya, iya."
Aku tersenyum miring. "Kebaikan untuk kamu kali."
Mendadak aku mengingat mantan Asta. Apa mungkin di ponsel Asta tersimpan chat pribadinya dengan perempuan itu? Kecurigaannya yang sempat pergi kembali muncul. Serius, aku makin penasaran apa yang Asta lakukan beberapa bulan belakangan.
Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Masih kesal dengan pembahasan tentang privasi tadi di kafe. Begitu sampai rumah pun aku segera beranjak menuju kamar meninggalkan Asta yang kerepotan mengeluarkan belanjaan kami.
Aku baru akan menghubungi Ralin ketika ponselku tiba-tiba berbunyi dan menampilkan caller ID tak dikenal. Ini sudah malam, kenapa masih saja ada orang iseng yang menghubungiku? Aku yakin ini telepon penipuan. Aku menekan tombol riject, sebelum menggulir ke aplikasi chatting. Namun, lagi-lagi caller ID yang tak dikenal menelepon.
Penipu sekarang memang gigih. Sebelum berhasil bicara dengan target, mereka akan terus saja mengganggu. Tapi, aku enggak punya banyak waktu untuk melayani keusilan mereka. Aku kembali me-riject panggilan itu. Tapi, tidak lama setelah aku me-riject nomor itu mengirim pesan.
+628134xxx : Angkat telepon gue, Ra. Gue Lula.
Lula? Aku mengerutkan kening. Tidak banyak nama Lula yang aku kenal. Bukan tidak banyak lagi, melainkan memang cuma satu orang yang aku kenal bernama Lula, yaitu sahabatku sendiri. Yang beberapa tahun belakangan tinggal di luar negeri. Jadi, seandainya memang itu benar-benar dia, berarti Lula ada di Indonesia dong!
Aku melebarkan mata dan kembali membaca pesan itu. Aku hendak mengetikkan pesan balasan ketika ponselku berbunyi lagi. Kali ini tanpa pikir panjang lagi aku mengangkatnya.
"Halo?"
"Astaga, Ra! Sombong amat lo!" semprot orang yang mengaku Lula di ujung sana.
"Ini beneran Lula temen gue?" tanyaku memastikan.
"Ya iyalah, emang siapa lagi?"
"Bentar-bentar. Gue tes dulu."
"Kampret lo ya."
"Soalnya setau gue Lula teman gue itu lagi di Itali. Lah ini masa nelpon gue pake nomer 62."
"Gue udah balik, Raya Andara."
Dia tahu namaku. Apa benar dia Lula teman gue?
"Kok lo tau nama gue."
Terdengar suara menggeram di sana. "Sumpah ya, kalau lo ada di depan gue, pasti udah gue uyel-uyel lo, Ra!"
Aku terkikik. "Iya, iya. Santai dong. Gitu aja sewot."
"Whatever. Besok pagi kita meet up ya. Pukul sepuluh di restoran nyokap. Lo masih inget kan?"
"Wait! Ini beneran lo, La?"
Embusan napas lelah terdengar lagi. "Udah, pokoknya gue nggak mau tau. Lo kudu datang. Kalau enggak persahabatan kita putus."
Dan panggilan putus begitu saja. Aku memandang layar ponsel sesaat heran. Dari dulu kelakuan tuh anak enggak ada yang berubah.
"Telepon dari siapa?"
Aku mendongak saat suara Asta terdengar. Lelaki itu baru masuk ke kamar. Mungkin dia baru selesai membereskan barang belanjaan.
"Bukan urusan kamu, Mas
Ini privasi aku," jawabku sekaligus menyindirnya yang mengagung-agungkan kata privasi.
Asta tampak menggeleng dan tidak menghiraukan aku yang memutuskan beranjak ke kamar mandi. Setidaknya di tengah rasa kesalku gara-gara privasi, ada kabar yang bikin aku lumayan hepi. Apa lagi kalau bukan kepulangan Lula, sahabatku paling bengal sejagat Indonesia.
Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. "Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." Aku serta merta menoleh mendengar
Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur. Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa. Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja. Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendenga
Aku menyunggingkan senyum saat pada akhirnya bisa mengenakan setelah outfit bekerja seperti dulu. Aku berdiri di depan cermin melihat diri sendiri pada pantulan cermin. Tubuhku tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti meski aku sudah menyandang gelar sebagai istri Asta. Aku memutar pinggang kiri-kanan, memastikan penampilanku sudah sempurna. Hari ini pertama kalinya aku bekerja, di perusahaan yang sama dengan Asta. Sebisa mungkin aku akan meninggalkan kesan yang bagus di hari pertama bekerja dengan rekan-rekan nanti. Setelah memastikan semuanya rapi aku bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan. Asta masih di kamar mandi ketika aku keluar. Aku menyiapkan sarapan simpel. Roti bakar isi dan susu segar serta kopi untuk Asta. Meski aku sudah membayangkan akan begitu sangat melelahkan, tapi aku harus melakukannya. Demi menguak misteri perubahan sikap Asta dan dugaan-dugaan Ralin tentang kedekatan Asta dengan mantannya.Aku melihat Asta turun d
Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel
Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing
Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.
Sudah seminggu aku bekerja di kantor Asta. Namun, nggak ada hal berarti yang patut aku curigai. Tania dan Asta terlihat baik-baik saja. Maksudnya aku nggak pernah melihat mereka bersama atau melakukan hal yang mencurigakan. Tania tampak profesional menjalankan tugasnya sebagai staf. Begitu pun sebaliknya. Mataku masih memperhatikan gerak-gerak Tania pada mejanya. Untuk ukuran mantan model, Tania tampak biasa-biasa saja saat berpenampilan. Tidak ada yang menonjol. Dia bahkan mengenakan outfit yang sangat tertutup. Kulot panjang dengan kemeja yang agak longgar. Setiap hari aku nggak melihat dia mengubah tatanan rambutnya. Masih sama diikat satu ke belakang dengan poni rapi menyamping. Satu lagi, dia sekarang mengenakan kacamata yang lensanya lumayan tebal. Meski begitu nggak mengurangi kadar kecantikannya. Aku refleks berdiri dan mengambil sembarang map yang ada di meja saat Tania tampak berdiri. "Ini!" Mataku bergeser ke sisi tangan Debi yang memegang bundel kertas di pembatas kubik
Aku melihat suasana yang lebih cozy di kantin ini. Kantinnya para petinggi perusahaan. Sekilas ini tidak nampak seperti kantin. Lebih mirip kafe. Meja dan kursinya saja didesain berbeda dari kantin yang di lantai empat. Bahkan di sayap kanan menggunakan sofa panjang sebagai tempat duduknya. Mataku mengedar berharap menemukan Asta di kantin ini. Menyisir dari meja paling depan. Orang-orang yang berada di sini wajahnya tampak asing. Ada beberapa yang pernah aku lihat. Jarang, tapi pernah sesekali. Dan di meja yang terletak di tengah-tengah, aku menemukannya. Asta! Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita. Namun, aku tidak melihat wajah wanita itu lantaran posisinya membelakangiku."Ayo, kita ambil makanannya," ajak Andeas menyentuh lenganku. Perhatianku teralihkan, dan aku mengiyakan ajakan Andeas menuju tempat berbagai makanan disajikan.Makanan yang ada di sini berkonsep buffet dengan menu yang lebih bervariasi daripada di kantin karyawan biasa.
Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini
Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu
Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren
"Kasih aku waktu kamu sepenuhnya buat aku, baru aku akan jauhi Andeas."Itu cuma gertakan sambal. Sumpah, aku nggak ada hubungan apa pun dengan lelaki itu. Minat pun enggak. Tapi melihat Asta kebakaran jenggot seperti ini terasa menyenangkan. "Kamu kan tau kalau aku kerja. Kamu paham enggak sih makin tinggi jabatan seseorang itu akan makin besar pula tanggung jawabnya. Aku bukan makin leyeh-leyeh. Kamu pikir aku ngapain coba?" Aku mengeretakkan gigi di dalam mulut. Apa dia pikir aku tidak tahu. Tapi ya ampun, kesibukannya itu ngalahin presiden? Bahkan weekend pun kadang dia berangkat di saat para stafnya libur. Apa menjadi direktur se-hectic itu? "Kalian mah enak, job desk monoton dan bisa fokus. Kalau aku tetap harus mikir bagaimana cara agar omset terus naik tiap bulannya. Kalau penjualan kurang target siapa yang akan disalahkan? Aku, Ra. Sebagai pemimpinnya. Jadi, jangan kamu pikir pekerjaanku main-main." Asta terus mengomel. Padahal aku cuma minta waktunya. Buat apa dia jungki
Aku lumayan syok saat Andeas ternyata mengajakku ke Bakery & Cafe Lula. Reaksi Lula melihat kami berdua masuk ke kafenya sudah bisa aku duga. Dia menyambut kami dengan senyum lebar, tapi matanya tidak berhenti menatapku dengan pandangan bertanya. "Ada yang mau traktir gue makan es krim katanya," ujar Andeas, tidak peduli dengan tatapan curiga Lula. Dia bergerak mencari meja mendahuluiku. Aku yang nggak ingin Lula bertanya macam-macam pun segera beranjak menyusul lelaki yang berprofesi sebagai manajer merketing itu. Namun, aku ternyata kalah cepat dengan tangan Lula yang tahu-tahu sudah menyambar lenganku. "Kok lo ke sini sama Deas nggak sama laki lo?" tanya Lula dengan suara pelan, kedua alisnya bahkan saling tertaut. "Kan lo yang jorogin gue kemarin pulang bareng dia," Aku mendelik sebal. Lula mengangkat kedua alisnya. "Berlanjut?" "Gue nggak tanggung jawab kalau sepupu lo naksir gue."Kini mata Lula melebar. "Serius lo? ada tanda-tanda?" "Gue ada di sini sama dia apa nggak te
Aku nggak suka melihat wajahnya yang pura-pura polos itu. Dia spontan mengusap lehernya sendiri. Dengan raut bingung, entah itu hanya dibuat-buat atau bingung beneran. Tapi, justru makin membuatku kesal. "Tanda apa sih, Ra?" tanya dia mengerutkan dahi. Kenapa sih dia mesti pura-pura? Aku nggak bodoh! "Tanya aja sama selingkuhan kamu!" Asta menyipitkan mata. "Selingkuhan apa? Kamu jangan ngadi-ngadi ya, Ra." "Kamu tau pas aku mual pagi-pagi? itu karena aku jijik melihat tanda merah di leher kamu." "Tanda merah apa sih, Ra?" Ternyata Asta menyangkal. Padahal jelas-jelas aku melihat buktinya. Entah itu tanda yang dibuat sadar atau enggak, yang pasti itu tampak dengan jelas di mataku. Dan aku nggak bodoh buat mengsalah-artikan tanda apa itu. Aku menggeram dan tidak ingin membuang waktu berdebat dengan Asta soal pribadi di kantor. Segera aku mengayunkan kaki menuju pintu keluar. "Ra... Raya..." Aku terus melangkah, mengabaikan panggilannya. Kubanting pintu ruangan Asta dengan ke
Hari ini kerjaan cukup hectic. Aku juga terpaksa harus mempelajari draf fail yang akan Debi presentasikan lantaran wanita itu izin nggak masuk hari ini. Bolak-bolak aku ke ruangan Andeas memastikan semuanya agar lebih matang. "Semangat ya, ini sedikit amunisi biar lo enggak gemetaran di depan Pak Asta." Aldo menyodorkan minuman isotonik ukuran kecil kepadaku. Padahal Asta nggak semenyeramkan itu sampai harus aku takuti."Terima kasih." Aku memang deg-degan. Tapi bukan deg-degan lantaran takut presentasiku gagal, lebih ke takut tidak bisa mengontrol emosi di depan Asta nanti. "Minuman lo lumayan membantu, Do," ujarku setelah meneguk beberapa kali minuman isotonik pemberian Aldo. "Sudah siap? Yuk, kita ke ruang meeting sekarang." Aku menoleh ketika Andeas muncul. Hari sudah beranjak siang, tapi penampilan laki-laki itu masih saja segar seperti baru pertama kali datang. "Siap, Pak." Aku menutup botol minuman dan menyimpannya di atas meja. Lalu segera menyambar laptop dan menyusul An
Pintu tidak dikunci saat aku membukanya. Itu artinya Asta sudah ada di rumah. Aku langsung naik ke atas, menuju kamar. Ingin segera membersihkan diri lantaran seharian ini belum mandi. Aku menemukan Asta duduk bersandar pada tempat tidur. Kakinya lurus dan saling bertumpu. Di atas pangkuannya terdapat sebuah laptop yang layarnya terbuka. Aku tidak peduli dan terus berjalan menuju meja rias. Melepas printilan aksesoris yang kupakai sebelum beranjak ke kamar mandi. "Kenapa teleponku nggak diangkat?" tanya Asta. Lelaki itu belum bergerak dari posisinya. "Baterku low, jadi ponsel aku matikan.""Lalu kenapa tadi bisa pulang bareng Andeas? Kalian—" "Kebetulan Andeas itu sepupu Lula dan kami bertemu di acara Lula," jawabku cepat. Sumpah aku lagi malas ngomong sama dia. Aku bahkan menjawab semua pertanyaannya tanpa menoleh padanya. "Lalu—" "Aku mau mandi," potongku sebelum ada pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku makin muak. Aku bergegas ke kamar mandi, meninggalkan Asta yang mungki
Sekitar pukul sembilan malam acara ultah sekaligus acara tunangan Lula benar-benar selesai. Tidak seperti pesta pada umumnya yang biasa selesai larut. Satu per satu tamu dari keluarga calon suami Lula dan juga paman-paman dan bibi-bibi Lula pamit. Aku sendiri membiarkan Lula mengantar mereka dan memilih duduk di pojokan sofa sembari mengutak-atik ponsel. Rasanya aku enggak beranjak pulang. Lagi nggak ingin bertemu Asta. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari lelaki itu, tapi aku abaikan dan nggak berniat menghubunginya balik. Aku benar-benar malas. Aku baru akan menggulir layar sejenak saat panggilan dari Asta kembali masuk. Dia pasti sudah ada di rumah dan ingin tahu keberadaanku. Buat apa sih? Kenapa dia peduli padahal sudah berkhianat? Lula menghampiriku ketika dia selesai mengantar tamu-tamu pentingnya. "Lo nggak balik?" "Bentar lagi," sahutku menonaktifkan ponsel agar nggak ada gangguan dari Asta lagi. Aku menatap Lula dan tersenyum menggoda. "Gue nggak nyangka lo bakal jadi