Selepas Mas Ibra pergi dengan membawa kopernya, terdengar ucapan salam kala Laras dan Kinara hendak masuk ke dalam rumah. Dalam keheranan, Laras tetap menjawab salam.
"Siapa itu, Ma?" Kinara bertanya kala perempuan yang cukup asing baginya itu berjalan mendekatinya."Nggak tahu, Ki. Mama juga nggak kenal," jawab Laras sekenanya."Pagi, Mbak."Merasa ada yang aneh dari gelagat perempuan itu. Laras pun menyuruh Kinara masuk ke dalam rumah lebih dulu. Takut ada kata-kata yang belum sepatutnya dia dengar. Untung Kinara menurut tanpa protes.Dia melepas maskernya, membuat Laras kaget bukan main. Jelas dia tahu betul dengan sosok yang berdiri di depannya saat ini."Apa kabar, Mbak?""Liana? Kok bisa tahu rumah mbak di sini? Aku baik, silakan masuk!""Iya, Mbak. Ada yang ingin aku sampaikan," sahutnya kala masuk ke dalam rumah."Kayaknya serius betul. Mau sampaikan apa, Li? Kedengarannya serius.""Iya, Mbak. Ini memang hal penting dan serius.""Apa? Sampaikan saja atau mau aku buatkan minuman dulu?""Tidak usah, Mbak. Aku hanya sebentar kok, masih ada urusan juga soalnya.""Oh begitu. Apa yang mau kamu sampaikan, Li?""Aku juga bingung jelasinnya dari mana, tapi yang jelas aku ke sini mau meminta maaf secara langsung sama mbak."Kening Laras mengkerut, dia bingung, Liana yang bisa dikatakan tidak pernah berkomunikasi dengan dirinya, bahkan ketemu juga sudah lama sekali, mungkin ada delapan tahun yang lalu."Minta maaf soal apa, Li? Setahu mbak, kita nggak pernah slek. Jadi minta maaf dalam rangka apa?"Perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari Laras erta lebih modis dari Laras itupun tampak menarik napas dalam juga sedikit merubah posisi duduknya."Aku sudah menikah siri dengan mas Ibra, Mbak." Begitu lancar kalimat pengakuan keluar dari bibir tipisnya itu."Nikah siri? Sama mas Ibra? Kamu istri ketiganya mas Ibra, Li?""Istri ketiga? Kenapa mbak bilang aku istri ketiganya mas Ibra? Kini, giliran Liana yang terlihat bingung."Terus kamu istri ke berapa? Yang aku tahu, mas Ibra menikah siri dengan Annisa namanya, bukan kamu, Liana.""Annisa itu aku, Mbak. Di kantor memang biasanya aku dipanggil Annisa. Beda kalau dipanggil keseharian di keluarga.""Apa? Jadi, Annisa yang disebut mas Ibra semalam itu kamu?" Liana mengangguk yakin."Iya, itu aku, Mbak.""Jadi, kamu janda yang dinikahi mas Ibra?" Laras seakan tak percaya atas pengakuan Liana.Liana kembali mengangguk yakin. Sedangkan Laras masih dalam sikap tak percaya bahwasanya Liana yang notabenenya adalah sepupu jauhnya tak lain dan tak bukan adalah madunya saat ini."Iya, Mbak. Apa yang dijelaskan mas Ibra, itu adalah aku. Aku juga yang sudah mengirim capture-an chat semalam pada mbak. Dan, itu memang atas persetujuan mas Ibra.""Oh begitu. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan, Li?" Terlampau sakit yang dirasakan Liana, hingga dia tidak sanggup untuk menanggapi penjelasan Liana.""Mbak, maaf, jika aku memberi tahu mbak soal ini, karena memang sudah waktunya mbak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku minta maaf atas semua ini. Namun, mbak jangan juga berburuk sangka padaku. Aku hanya butuh teman hidup. Sekedar itu saja, aku juga tidak akan meruntuhkan keluarga yang mbak bina dengan mas Ibra selama ini."Dibalik darah yang berdesir hebat, dibalik emosi yang dia kontrol, Laras menyuguhkan senyuman kecut pada Liana."Memang, memang sepatutnya saya tahu. Kamu ambil saja secara utuh, Li. Jika nanti mas Ibra memilih tidak meninggalkan kamu, biar aku yang mundur, jadi kamu bisa miliki seutuhnya.""Jangan, Mbak. Jangan beri pilihan itu. Selama lima tahun belakang kita baik-baik saja, bukan? Mas Ibra juga tetap memberi yang terbaik buat mbak dan juga Kinara.""Iya, semua tampak baik, karena kalian pandai menutupi semuanya dari saya. Dan, semua baik-baik saja ketika saya belum tahu. Dan, saya tidak akan pernah melakukan apa yang kalian inginkan.""Tapi, Mbak. Aku ikhlas jika mas Ibra lebih memberi perlakuan lebih pada mbak juga Kinara kok. Aku mohon, jangan minta pergi dari kehidupannya mas Ibra, Mbak.""Kalau begitu, kamu saja yang pergi, Li! Gimana?""Aku tidak bisa, Mbak. Aku sudah terlalu cinta dengan mas Ibra, Mbak. Aku ---.""Ssstttt ... saya tidak butuh penjelasan kamu, Li. Silakan pergi dari sini, Li!"Liana bangkit dengan penuh emosi. Harapannya tidak sesuai dengan realita. Berharap bisa bergandengan tangan dengan kakak madunya.Kembali luruh air mata Laras. Banyak tanda tanya yang bersarang dalam pikirannya. Namun, dia memilih enggan mencari tahu. Sakit, sakit sekali rasanya, jika yang mengisi hati Ibra adalah sepupu jauhnya. Mungkin akan berbeda jika dengan orang yang tidak dikenal."Din, di mana?" Laras menghubungi Dinda."Lagi di sarapan nih sama Dennis.""Lho, kok tumben pagi-pagi udah bareng, Din?""Iya, lagi ada perlu. Kenapa, Ras? Kok suaramu bindeng gitu kedengarannya. Lagi sakit?""Nggak kok, Din. Siang ini ada acara nggak?""Enggak, kok. Kenapa, Ras? Mau ketemu?""Iya, ada yang mau aku ceritain. Kita ketemunya di Playground tempat biasa Kinara mainnya. Biar lebih enak ceritanya."Telepon mereka berakhir dengan kata salam.Kinara tiba-tiba keluar dari kamarnya tak lama usai Laras menutup teleponnya. Bahkan dia belum sempat mengusap bersih sisa air mata di wajahnya."Ma, tante tadi itu ngapain? Kok dia nyebut-nyebut nikah siri. Nikah siri itu apa, Ma?""Sayang, kamu di mana? Kok mas sampai hotel resepsionisnya bilang kamu lagi keluar. Ke mana? Kok nggak bilang-bilang dulu?""Iya, Mas. Aku udah di jalan, paling lima belas menit lagi sampai hotel."Terbang ke Padang kali ini Ibra tidak sendirian, dia bersama istri mudanya. Namun, Ibra sama sekali tidak tahu jika istri mudanya itu datang menemui Laras."Dari mana kamu, Sayang?" Pertanyaan yang pertama kali terlontar kala Liana menghampiri dirinya yang tengah duduk di ruang tunggu hotel"Ntar aja ceritanya di kamar, Mas."Mereka pun menuju kamar sembari bergandengan tangan, terlihat mesra sekali."Jadi kamu pilih yang mana, Mas? Aku sudah berusaha membujuk mbak Laras untuk tidak berpisah dengan kamu. Tapi ...,"Liana menceritakan semuanya pada Ibra."Mungkin Laras masih shock dengan apa yang terjadi, Sayang. Harusnya kamu tidak perlu ke sana. 'Kan sudah janji sama mas juga.""Iya, cuma aku nggak tenang, Mas. Apalagi setelah mendengar cerita kamu semalam. Bahkan mbak Laras milih tidur di
"Mas, kenapa kamu harus memenuhi semua permintaannya mbak Laras? Kamu tahu, itu menyakitkan bagiku.""Aku bisa apa, Sayang. Aku juga tidak mau kehilangan Laras apalagi kehilangan Kinara, lima tahun sudah aku di sini sama kamu. Apa salahnya jika aku sekarang hidup serumah bersama Laras juga anak semata wayang kami. Laras belum mau aku sentuh dalam hal r*nj*ng. Jadi, cuma kamu seorang yang akan melayaniku sejauh itu. Dia juga tidak membatasi aku untuk bertemu dengan kamu, Sayang. Bukankah itu kelonggaran yang cukup lapang?""Aku tidak yakin, Mas. Aku tidak percaya. Kalian menikah sudah 10 tahun, mana mungkin mbak Laras menolak kalau kamu ajak, apalagi kalian serumah. Bisa-bisa semakin intens.""Jangan berlebihan cemburunya, aku akan komit pada syarat yang diberikan Laras. Kamu tenang saja.""Gimana aku bisa tenang, Mas. Kamu di sana bukan dalam waktu sehari ataupun dua hari. Namun, lebih dari itu.""Ini konsekuensi aku, Sayang. Kamu juga harus berlapang dada jika yang terjadi seperti in
"Dik, aku sudah di sini, tapi kamu selalu mengacuhkan aku," protes Ibra saat dia sedang membuat surat lamaran pekerjaan."Oh, maaf, Mas. Mungkin karena aku terbiasa tanpa ada kamu di sini kali ya.""Kamu tumben rapi banget hari ini, apa mau sesuatu dari ku, Dik?""Nggak lah, Mas. Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu mau yang intens silakan terbang ke rumah adik maduku, aku belum siap.""Ngilu hatiku, Dik. Dengar kamu berujar seperti itu. Padahal aku kangen sama kamu, bukan Annisa.""Oh iya, tapi sayangnya, aku belum siap menyambut kangen kamu, Mas. Tolong pahami, ya! Kamu ingat dan nggak akan ingkar janji atas kesepakatan kita 'kan? Aku yakin kamu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang aku berikan ya 'kan, Mas.""Iya, Dik. Iya, meski sakit, aku coba untuk mengerti kamu. Semoga segera kamu bisa menjawab rasa kangen aku, Dik.""Aku pamit, ya, Mas. Buru-buru soalnya ada kegiatan. Jangan lupa, nanti tolong jemput Kinara sekolah sama suapin dia makan siang, ya! Jangan sampai telat jem
"Selamat ya, Bu. Ibu hamil. Sudah tujuh minggu.""Haa? Apa, Dok? Aku hamil?" Laras tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter yang memeriksa perutnya secara manual.Iya, kita USG dulu, ya, Bu.""Dokter serius? Istri saya benaran hamil?" Ibra ikut kaget, tapi ada bahagia tergugat dari wajahnya."Iya, Pak. Mana mungkin saya berbohong. Selamat ya, Pak."Kinara ikut pun ikut bahagia mendengar bahwa dia akan jadi kakak.Ibra memutuskan mengantar Laras ke rumah sakit selepas pingsan ketika memasak di dapur tadi pagi. Awalnya, Laras menolak, tapi Ibra terus memaksa. Apalagi wajah Laras terlihat begitu pucat."Saya pesan 'kan sama bapak dan ibu agar lebih menjaga kandungan kali ini, agak lemah. Untuk ibu jangan sampai banyak pikiran juga.""Bapak juga bantu ibu agar dia tidak banyak pikiran. Kalau tidak kasihan sama calon bayi di kandungannya.""Baik, Dok."Dokter Irda pun meresepkan obat penguat serta vitamin tambahan untuk Laras."Aku tidak perlu di papah, Mas!" Laras berusaha melepaskan
"Laras hamil.""Haa? Apa? Hamil? Nggak, itu nggak mungkin. Gimana dia bisa hamil. Katamu, kalian sudah sebulanan lebih tidak berhubungan bagaimana bisa? Pasti ini akal-akalan kamu aja 'kan? Jawab, Mas!""Ini serius, Sayang. Laras hamil. Aku menyentuhnya tepat waktu kamu mengatakan semuanya itu. Setelahnya nggak pernah lagi.""Aku nggak percaya, Mas. Bagaimana bisa coba.""Ya, jelas kamu nggak percaya. Orang kamu nggak pernah hamil!" "Apa? Jahat kamu, Mas! Tega kamu bicara seperti itu sama aku, Mas!"Sambungan telepon di putus sepihak oleh Annisa. Amarahnya tak bisa lagi dikendalikan. Kabar yang disampaikan Ibra, sangat-sangat menyakitkan baginya. Rasa takut kehilangan Ibra semakin terpampang nyata di pelupuk matanya.Ibra tidak mempedulikan Annisa yang merajuk. Di pikirannya ini adalah bagaimana merebut kembali apa yang sudah hilang sebulan lebih ke belakang. Dia begitu kehilangan sosok Laras yang hangat ketika bersama dirinya. Kehamilan Laras saat ini akan dia manfaatkan dengan seba
"Iya, Sayang. Ada apa?""Ada apa kata kamu, Mas? Semingguan ini kamu cuekin aku giliran tersambung kamu nanya ada apa? Kamu benar-benar sudah berubah sekarang! Kamu nggak mikirin gimana sakitnya aku seorang diri di sini.""Ya 'kan kamu tahu sendiri aku lagi sibuk ngurus rumah sama Kinara juga.""Apa, Mas? Jadi kamu ngebabu di sana? Kok kamu mau aja sih. Coba pikir ulang deh, Mas. Mending di sini. Berkarir lagi sama aku. Kita hidup kayak dulu lagi.""Ya 'kan Laras lagi susah hamil kedua ini. Jadi, aku yang ngurus semuanya. Tidak ada yang salah juga 'kan. Sepertinya aku tidak bisa berkarir di sana lagi. Soalnya Senin depan udah masuk kerja di sini.""Haa? Kamu kerja di mana?" Annisa sontak kaget tak percaya. Harapannya makin sia-sia."Perusahaan farmasi juga. Udah, ya, Sayang aku mau jalan dulu."Tanpa menunggu persetujuan dari Annisa, Ibra langsung mematikan sambungan telepon."Apa ini karena jawaban doa kamu, Dik?" gumamnya menatap kosong.Sebelum menyala mesin mobil, dia menelepon ib
Jantung Ibra mulai berdetak karuan kala dia menatap wajah ibunya yang tidak enak dipandang."Mau bicara soal apa, Bu?" tanyanya dan kembali duduk di sofa."Kenapa kamu mengkhianati, Laras? Apa kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati itu? Kamu tahu gimana sakitnya ibu dikhianati ayahmu? Kenapa kamu lakukan itu pada Sarah, Ib?"Ibra seakan tercekat. Tak menyangka sama sekali deretan kalimat itu yang keluar dari mulut ibunya. Dia mengira, ibunya tak akan pernah mengetahui bangkai yang disimpan dengan rapat."Ras, kamu ngomong semuanya ke ibu? Kamu kalau dendam, nggak gini caranya, Ras." Suara Ibra meninggi."Diam, Ibra. Laras tidak salah, dia juga tidak mengadu pada ibu. Satu hal yang tidak ada pada lelaki, yaitu kepekaan yang dilihat pakai mata hati. Termasuk kamu! Kamu juga tidak punya soal itu. Kamu pikir, ibu akan membela kamu begitu? Ingat, Ibra. Kamu meminta Laras pada ibunya bukan untuk disakiti. Kamu yang berbuat dosa, ibu yang menanggung malu. Mentang-mentang karirmu sudah bagus,
"Benar lah, Mas. Kalau aku tahu dia sepupu jauh, ngapain aku nikah sama suami sodara aku sendiri. Emang kamu pikir aku nggak punya perasaan? Siapa fitnah aku? Jawab, Mas?""Tadi ibuku nanya, Laras yang bilang begitu ke ibuku.""Apa? Jadi ibumu sudah tahu, Mas. Gimana? Dia marah kamu punya istri dua?""Jelaslah marah dia. Udah ah, aku mau istirahat, pusing!""Eh ... Mas. Aku ---."Tanpa mempedulikan Annisa, Ibra mematikan sambungan teleponnya.***Esok harinya, keadaan rumah tak sehangat kemarin, sejak kejadian semalam, bu Yani bungkam tak berbicara pada Ibra. Ibra pun demikian, biasanya menyalami ibunya sebelum pergi bekerja, tapi kali ini tidak. Dia cukup kecewa dan marah, karena fitnah Laras, ibunya tega menampar dirinya."Ibu serahin semuanya sama kamu, Ras. Kalau misalnya tetap mau berpisah silakan. Ibu tak akan memaksa kamu bertahan, karena ibu tahu sakitnya seperti apa.""Iya, Bu. Hatiku benar-benar sudah hancur sekarang. Berpisah memang pilihan ku. Aku berharap, mas Ibra bisa m
"Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
Laras, Bryan, dan Liana hampir berdiri dengan serentak saat Ibra ingin kembali di bawa ke luar ruang sidang."Jangan berbangga hati kamu, Laras. Ini bukanlah akhir selagi aku masih hidup." Tatapan dendam itulah yang tersirat saat mantan suami ini saling bertatapan."Dan, kamu Bryan. Jangan menjadi manusia sok suci. Kamu tak lebih dari pengkhianat ulung. Jangan terlalu berbangga diri karena mereka memilihmu. Ingat! Suatu saat nanti, jika anak itu butuh aku, jangan harap." Tak hanya pada Laras, Ibra juga mengancam Bryan. Entah apa maksud dari yang diucapkannya itu. "Semoga kamu memanfaatkan waktu untuk bertaubat, Mas!" ucap Liana. Sisi lain, dia juga prihatin dengan kondisi yang menimpa Ibra. Sedikit banyaknya, dengan apa yang terjadi, tentu dia masih bersalah dengan apa yang dia perbuat. Kalau bukan karena dirinya, pasti perjalanan yang ditempuh tidak akan se-runyam dan menyakitkan seperti ini."Ck! Kamu Liana. Jangan pikir saya lupa apa yang kamu perbuat. Apa yang kamu hancurkan, sam
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 42"Tenang, Bry. Jangan pikir macam-macam dulu." Bryan kemudian menepis yang ada dalam pikirannya.Setelah menghela napas panjang, Bryan pun melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Dia memesan kamar VVIP pokoknya demi kenyamanan Kinara. Lagian sejauh ini, uangnya juga tidak seberapa dibanding rezeki yang dia peroleh."Mama!" sentak Laras saat mendapati mertuanya datang ke rumah sakit."Kenapa bisa begini, Ras?" lirih Yati.Yati pun mencium kening Kinara sembari menangis. Untung Kinara masih lelap dalam tidurnya. Pedih juga bagi Yati mendapat kabar dari Bryan. Tadi, saat Laras ke ruangan dr. Rani, Bryan memutuskan untuk memberi kabar pada mamanya."Mama kok bisa tahu?" tanya Laras heran."Bryan yang nelpon. Kenapa kamu tidak kasih tahu mama, Ras?" Mereka berdua agak berjarak berdiri dari ranjang pasien yang ditiduri Kinara. Takut dia terjaga."Panjang ceritanya, Ma. Tapi aku bersyukur kalau Kinara selamat.""Kamu juga tadi kata Bryan
"Iya, boleh, Bu?" tanyanya lagi."Tidak apa, Ras. Periksa aja, demi kamu juga. Jangan sepele 'kan," tukas Bryan. "E-e, iya, Uda," sahut Laras gugup."Bu, kita usg ya!" titah sang dokter setelah memeriksa."Keluarga Kinara! Keluarga Kinara! Keluarga Kinara!" Rasa gugup tadi berubah saat Laras mendengar seruan itu. "Bentar, Dok. Saya seperti mendengar seruan panggilan untuk keluarga Kinara. Kamu dengar nggak, Uda?""Keluarga Kinara ... Keluarga Kinara ....""Iya, Bu. Itu panggilan untuk keluarga Kinara," jawab sang dokter. "Saya lihat anak dulu, Dok. Makasih, Dok." Laras yang sudah beringsut turun dari ranjang pasien dari pertama kali mendengar seruan itu berlari keluar ruangan."Nanti saya dan istri ke sini lagi, Dok. Makasih sebelumnya, Dok.""Baik, Pak."Bryan pun menyusul Laras kemudian."Aku sangat menyayangkan dia menyembunyikan sesuatu," gumam sang dokter sembari menggelengkan kepalanya."Bu ... Bu ... Bu ... tunggu!" seru Laras saat melihat petugas IGD ingin masuk ke dalam."
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 41Pintu kamar Kinara akhir terbuka juga saat pak Tony dan pak Budi tidak henti berusaha. Kadang menggunakan tubuhnya, sesekali menggunakan kaki. Puncaknya, saat keduanya menghempaskan tubuh dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sampai-sampai lelaki berdua itu hilang kendali dan ikut masuk ke dalam kamar saat pintu kamar terbuka lebar. Napas kedua sopir itu jelas sudah tersengal-sengal, akan tetapi akan gurat puas. Sedangkan Laras berlari sigap bersama Bryan ke dalam kamar. Tak lupa asisten rumah tangga bik Minah dan bik Teti menyusul langkah majikannya dari belakang.Semua pasang mata yang ada di dalam kamar terbelalak bersamaan. Mata mereka tertuju pada obyek yang sama."Kinara ...," pekik Laras saat mendapati anak sulungnya tergeletak. Dia berlari lalu berjongkok, memegang kedua pangkal lengan anaknya. Dia guncang, akan tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Ada darah yang membuat hati Laras semakin terasa tersayat. Pergelangan tangan selama
"Innalillahi Wainnailaihi Raji'un."Laras menceritakan pada Liana semua hal sebelum kepergian Dennis."Ya Allah, Kak. Padahal mas Dennis orangnya baik.""Iya, Li. Aku titip doa buat dia ya.""In syaa Allah, Kak."Setelah selesai menikmati hidangan barulah Laras mengecek ponselnya. Puluhan panggilan telepon dari suaminya terpampang nyata di layar ponselnya."Uda, maaf. Nadanya silence.""Kamu sama siapa sekarang?""Kenapa Uda Bryan nanya seperti itu, ya?" tanyanya dalam hati."Aku sudah di restoran tempat kamu makan. Maaf aku terpaksa ngelacak kamu. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Ras. Kamu lagi sama siapa?""Aku sama Liana, Uda." Laras dengan jujur."Urusan apa? Kamu harus hati-hati!""Nanti aku ceritakan di rumah ya, Uda. Ini udah selesai kok. Abis ini aku mau antar Liana dulu. Baru langsung pulang. Kamu jadi ikut nanti?""Iya, aku ikut."Percakapan mereka lewat sambungan telepon berakhir tak lama kemudian."Mas Bryan marah ya, Kak?" tanya Liana saat Laras menaruh ponselnya di da
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 40"Ya sudah, Kak. Tapi tunggu sebentar biar aku rapikan dulu jualan ini.""Aku bantu ya, Li.""Makasih, Kak."Liana semakin malu, semakin rasa bersalah pun menghantui detik demi detik. Sesekali mereka saling menatap, akan tetapi tidak sampai beradu pandang. Liana yang semakin diselimuti rasa bersalah, lain hal dengan Laras yang merasa prihatin dengan kondisi serta nasib adik sepupu jauhnya itu."Kita naik mobil ya. Kruk-nya kita tinggal aja atau bawa?"Langkah Liana terhenti saat berjalan menghampiri Laras yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya."Kenapa, Kak? Kakak malu ya?""Malu? Malu apa maksud kamu, Li?" tanya Laras seiring kerutan di kening perempuan yang tengah memakai stelan gamis polos berwarna maroon itu. Tidak sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Liana."Iya, kakak malu 'kan karena aku pake alat bantu jalan ini. Lebih baik kita nggak usah pergi, Kak. Aku takut nanti kakak malu saat mereka melihat kita berjalan bagi bumi
Mata Liana terasa memanas saat kata demi kata terlontarkan dari mulut Ibra. Kembali pada penyesalan, kata-kata yang dia dengar tentu tabur tuai atas perbuatannya dulu. Mata yang memanas itu perlahan menerbitkan air bening. Menggenang di bawah mata tanpa kedipan bulir bening itu lolos begitu saja. Sesak dada jangan ditanya lagi."Mas, aku tahu aku salah. Tapi apa yang kamu tuduhkan itu semua tidak benar.""Stop, kamu jangan mendekatiku. Aku tidak ingin ketiban sial lagi!" bentak Ibra saat Liana baru ingin melangkahkan kakinya."Aku hanya ingin mengetahui gimana kondisimu. Sangat kaget ketika tahu kamu masuk rumah sakit lagi. Itu luka apa, Mas?" tanya Liana."Tidak usah sok peduli. Sekarang kamu pasti tertawa kan karena aku kembali masuk rumah sakit.""Bukan, Mas. Bukan.""Permisi, ada apa ini?" Seorang petugas medis akhirnya menghampiri mantan sepasang insan yang pernah merajut kasih ini. Suara Ibra yang tak terkendali membuat salah satu petugas memutuskan untuk menemuinya."Pak Ibra.