Jantung Ibra mulai berdetak karuan kala dia menatap wajah ibunya yang tidak enak dipandang."Mau bicara soal apa, Bu?" tanyanya dan kembali duduk di sofa."Kenapa kamu mengkhianati, Laras? Apa kamu tahu bagaimana rasanya dikhianati itu? Kamu tahu gimana sakitnya ibu dikhianati ayahmu? Kenapa kamu lakukan itu pada Sarah, Ib?"Ibra seakan tercekat. Tak menyangka sama sekali deretan kalimat itu yang keluar dari mulut ibunya. Dia mengira, ibunya tak akan pernah mengetahui bangkai yang disimpan dengan rapat."Ras, kamu ngomong semuanya ke ibu? Kamu kalau dendam, nggak gini caranya, Ras." Suara Ibra meninggi."Diam, Ibra. Laras tidak salah, dia juga tidak mengadu pada ibu. Satu hal yang tidak ada pada lelaki, yaitu kepekaan yang dilihat pakai mata hati. Termasuk kamu! Kamu juga tidak punya soal itu. Kamu pikir, ibu akan membela kamu begitu? Ingat, Ibra. Kamu meminta Laras pada ibunya bukan untuk disakiti. Kamu yang berbuat dosa, ibu yang menanggung malu. Mentang-mentang karirmu sudah bagus,
"Benar lah, Mas. Kalau aku tahu dia sepupu jauh, ngapain aku nikah sama suami sodara aku sendiri. Emang kamu pikir aku nggak punya perasaan? Siapa fitnah aku? Jawab, Mas?""Tadi ibuku nanya, Laras yang bilang begitu ke ibuku.""Apa? Jadi ibumu sudah tahu, Mas. Gimana? Dia marah kamu punya istri dua?""Jelaslah marah dia. Udah ah, aku mau istirahat, pusing!""Eh ... Mas. Aku ---."Tanpa mempedulikan Annisa, Ibra mematikan sambungan teleponnya.***Esok harinya, keadaan rumah tak sehangat kemarin, sejak kejadian semalam, bu Yani bungkam tak berbicara pada Ibra. Ibra pun demikian, biasanya menyalami ibunya sebelum pergi bekerja, tapi kali ini tidak. Dia cukup kecewa dan marah, karena fitnah Laras, ibunya tega menampar dirinya."Ibu serahin semuanya sama kamu, Ras. Kalau misalnya tetap mau berpisah silakan. Ibu tak akan memaksa kamu bertahan, karena ibu tahu sakitnya seperti apa.""Iya, Bu. Hatiku benar-benar sudah hancur sekarang. Berpisah memang pilihan ku. Aku berharap, mas Ibra bisa m
"Kamu yakin mau mengundurkan diri secara mendadak gini, Sa?" Denada, selaku atasan Annisa, memastikan apakah keputusan yang diambil perempuan bermata coklat itu sudah dipikirkan matang-matang."Yakin, Bu. Sangat yakin," jawab Annisa tegas."Tapi ini cukup gila lho, Sa. Kamu resign mendadak, nggak bisa dapat surat pengalaman kerja, gaji bulan ini juga di potong, sebanyak kamu hadir aja dibayar. Malah sekarang pertengahan bulan lagi. Apa nggak sebaiknya di tunggu sampai bulan depan aja? Dua minggu lagi lho, padahal? Kalau dihitung hari kerja, juga cuma lima hari lagi.""Iya, Bu. Aku sudah tahu konsekuensi gimana prosedur kalau resign dadakan gini. Dan, aku emang nggak bisa undur, karena udah banyak planning yang mau aku kerjakan, Bu.""Kamu diterima di perusahaan lain?"Annisa menggeleng cepat, disusul sahutan kemudian, "nggak, Bu," jawabnya sekenanya saja."Hmm ... baiklah, kalau memang kamunya sudah bulat tekad dan memikirkan matang-matang saya juga tidak bisa berbuat banyak. Meskipun
"Ras, itu kok kayak mas Ibra, ya?" Dinda menunjuk ke arah pintu masuk, kebetulan posisi Laras membelakangi pintu masuk utama. Dia pun menoleh."Iya, Din."Saat berpapasan jalan, Dinda pun menyapa Ibra."Eh, mas Ibra, apa kabar?" sapanya dengan ramah."Mas," sapa Laras pelan, seulas senyum pun terukir di bibirnya yang tanpa polesan itu."Baik," jawabnya ketus. Bukannya menyapa Laras, dia malah menatap nanar, tersirat benci di gurat wajahnya."Oh, syukurlah. Kita duluan, ya!" Dinda masih bersikap sopan meski dalam dadanya bergemuruh hendak menyerang."Siapa tadi, Ib?" tanya Bryan penasaran kala mereka sedang menunggu pesanan datang."Bukan siapa-siapa, Bry." Ibra menjawab agak ketus seolah mengisyaratkan tak ingin ditanya lebih lanjut."Oh."Seakan paham, benar saja, Bryan tak lagi menanyakan lebih lanjut perihal dua perempuan yang tadi. Sempat menaruh curiga karena tatap Ibra yang tak biasa, akan tetapi liat gurat wajahnya seperti itu, Bryan lebih memilih untuk tidak ikut campur.***L
"Jangan menghalangi apa yang sudah menjadi milikku, Bu!" Senyuman kecut pun dia suguhkan.Tampak Ibra berjalan menghampiri mereka, Liana malah pura-pura mundur seperti di dorong. Dari belakang memang tidak begitu jelas. "Au ... bu, aku salah apa sih? Sampai di dorong seperti ini," celetuk Liana."Bu! Ibu kalau nggak suka sama istri kedua aku, nggak gini juga caranya, Bu." Ibra langsung membentak tanpa bertanya lebih dahulu.Tanpa menggubris lebih lanjut, bu Yani pun bertolak dari sana. dia lebih memilih diam daripada mendengar setiap kata makian yang keluar dari mulut anaknya itu.Melihat Ibra memarahi ibunya, tentu ada kemenangan tersendiri bagi Liana. Berhasil meruntuhkan rumah tangga Laras, sekarang meruntuhkan kasih sayang antara ibu dengan anak. Ini terjadi, dikarenakan bu Yuni lebih memilih Laras ketimbang dirinya."Kamu tidak apa 'kan, Sayang?"Ibra menyentuh pundak Liana juga memeriksa bagian tubuh lainnya. "Tanganku agak ngilu, Mas. Dicengkeram sama ibu kamu. Aku udah ramah
"Setahu aku, belum sampai sekarang, Bu.""Nah, berarti dia selingkuhannya istri kamu. Anak yang dikandung nak Laras, itu anaknya teman lelakinya itu."*"Setelah telponan dengan ibu, aku sempat merenung, dan benar juga kata ibu. Kalau hamil, harusnya kamu yang hamil, bukan Laras. Terus juga kenapa hamilnya malah sekarang, saat semuanya terungkap."'Nah, aku bilang juga apa. Udahlah, Mas. Tinggalin aja. Buat apa lagi kamu pertahankan, lelaki selingkuh biasa. Tapi kalau perempuan? Apalagi sudah punya suami juga anak? Apa nggak malu itu, Mas? Mencoreng nama baik keluarga." Dengan bersemangat Annisa berujar."Nantilah, aku pikirkan lagi soal itu. Aku bertahan juga demi Kinara kok, Sayang. Rasaku pada Laras juga sudah berkurang.***Sesampainya di hotel, Ibra langsung memesan kamar untuk tiga hari dia pikir, Annisa akan berlibur dan cuti hanya tiga hari saja. Annisa pun juga tidak protes.Di dalam kamar pergelutan pun terjadi. Rindu menggebu harus tuntas malam ini. Ganasnya Annisa, membuat
"Iya, Bry. Sorry, aku lupa ngasih tahu kamu. Kalau nggak bawa istriku ke rumah sakit, mungkin hari ini aku tidak akan telat." Ibra memang ahli dalam berkilah, semenjak dirinya menggapai sukses di perusahaan lama.""Oke, semoga ini untuk terakhir kalinya, Ib. Kita memang temanan, tapi aku nggak bisa ngasih toleransi terlalu jauh dalam soal pekerjaan.""Siap, Bry. Aku paham. Sorry.""Sip, hari ini, aku mau kamu temuin beberapa user, silakan nanti mulai promosikan produk yang kamu bawa.""Oke, Bry. Kamu ikut?""Hmm, rencananya begitu, Ib. Hanya saja, aku harus bertemu user yang lain. Nanti aku kasih database user mana aja yang akan kamu temui seharian ini, juga sama jadwal prakteknya.""Oke, sip, Bry."Pukul dua siang, Bryan lebih dulu keluar dari kantor. Memang banyak user dokter juga apoteker yang akan dia temui hari ini. Selain itu, dia juga ingin mengetahui langsung pergerakan produk divisinya, apakah sesuai target atau tidak."Hallo, Ib. Di mana?" "Ni udah di user yang pertama, Bry
"Nggak, cuma nanya gimana kunjungan kemarin? Penyambutan usernya ke kamu gimana? Bagus nggak?""Bagus, Bry. Ramah-ramah mereka. Ya, sedikit banyaknya kemarin aku cerita soal alasan pindah ke sini. Ya, mereka juga prihatin apalagi karir aku di sana bagus. "Oh begitu, awal kunjungan yang bagus ya, berarti, Ib?""Iya, Bry. Alhamdulillah. Semogalah nanti banyak produk kita yang diresepkan. Tawaran promosi jabatan masih berlaku 'kan, Bry?""Oh, jelas masih lah, Ib. Aku nggak pernah ingkar janji, kok. Buktikan aja.""Pasti, Bry. Aku juga tidak mungkin mengecewakan kamu.""Sip. Eh iya, ini daftar user yang akan kamu temu hari ini, Ib." Bryan, menyerahkan selembar kertas HVS."Oh, oke-oke. Kita visit, Bry?" tanya Ibra memastikan."Hari ini sepertinya belum, Ib. Aku masih ada janji dengan user lain."Bryan, memang tidak ingin langsung menyimpulkan apa yang sudah dia temukan kemarin. Kebohongan Ibra memang fatal. Namun, Bryan, ingin memberinya kesempatan sekali lagi."Bry, dari lima dokter yan
"Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
Laras, Bryan, dan Liana hampir berdiri dengan serentak saat Ibra ingin kembali di bawa ke luar ruang sidang."Jangan berbangga hati kamu, Laras. Ini bukanlah akhir selagi aku masih hidup." Tatapan dendam itulah yang tersirat saat mantan suami ini saling bertatapan."Dan, kamu Bryan. Jangan menjadi manusia sok suci. Kamu tak lebih dari pengkhianat ulung. Jangan terlalu berbangga diri karena mereka memilihmu. Ingat! Suatu saat nanti, jika anak itu butuh aku, jangan harap." Tak hanya pada Laras, Ibra juga mengancam Bryan. Entah apa maksud dari yang diucapkannya itu. "Semoga kamu memanfaatkan waktu untuk bertaubat, Mas!" ucap Liana. Sisi lain, dia juga prihatin dengan kondisi yang menimpa Ibra. Sedikit banyaknya, dengan apa yang terjadi, tentu dia masih bersalah dengan apa yang dia perbuat. Kalau bukan karena dirinya, pasti perjalanan yang ditempuh tidak akan se-runyam dan menyakitkan seperti ini."Ck! Kamu Liana. Jangan pikir saya lupa apa yang kamu perbuat. Apa yang kamu hancurkan, sam
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 42"Tenang, Bry. Jangan pikir macam-macam dulu." Bryan kemudian menepis yang ada dalam pikirannya.Setelah menghela napas panjang, Bryan pun melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Dia memesan kamar VVIP pokoknya demi kenyamanan Kinara. Lagian sejauh ini, uangnya juga tidak seberapa dibanding rezeki yang dia peroleh."Mama!" sentak Laras saat mendapati mertuanya datang ke rumah sakit."Kenapa bisa begini, Ras?" lirih Yati.Yati pun mencium kening Kinara sembari menangis. Untung Kinara masih lelap dalam tidurnya. Pedih juga bagi Yati mendapat kabar dari Bryan. Tadi, saat Laras ke ruangan dr. Rani, Bryan memutuskan untuk memberi kabar pada mamanya."Mama kok bisa tahu?" tanya Laras heran."Bryan yang nelpon. Kenapa kamu tidak kasih tahu mama, Ras?" Mereka berdua agak berjarak berdiri dari ranjang pasien yang ditiduri Kinara. Takut dia terjaga."Panjang ceritanya, Ma. Tapi aku bersyukur kalau Kinara selamat.""Kamu juga tadi kata Bryan
"Iya, boleh, Bu?" tanyanya lagi."Tidak apa, Ras. Periksa aja, demi kamu juga. Jangan sepele 'kan," tukas Bryan. "E-e, iya, Uda," sahut Laras gugup."Bu, kita usg ya!" titah sang dokter setelah memeriksa."Keluarga Kinara! Keluarga Kinara! Keluarga Kinara!" Rasa gugup tadi berubah saat Laras mendengar seruan itu. "Bentar, Dok. Saya seperti mendengar seruan panggilan untuk keluarga Kinara. Kamu dengar nggak, Uda?""Keluarga Kinara ... Keluarga Kinara ....""Iya, Bu. Itu panggilan untuk keluarga Kinara," jawab sang dokter. "Saya lihat anak dulu, Dok. Makasih, Dok." Laras yang sudah beringsut turun dari ranjang pasien dari pertama kali mendengar seruan itu berlari keluar ruangan."Nanti saya dan istri ke sini lagi, Dok. Makasih sebelumnya, Dok.""Baik, Pak."Bryan pun menyusul Laras kemudian."Aku sangat menyayangkan dia menyembunyikan sesuatu," gumam sang dokter sembari menggelengkan kepalanya."Bu ... Bu ... Bu ... tunggu!" seru Laras saat melihat petugas IGD ingin masuk ke dalam."
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 41Pintu kamar Kinara akhir terbuka juga saat pak Tony dan pak Budi tidak henti berusaha. Kadang menggunakan tubuhnya, sesekali menggunakan kaki. Puncaknya, saat keduanya menghempaskan tubuh dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sampai-sampai lelaki berdua itu hilang kendali dan ikut masuk ke dalam kamar saat pintu kamar terbuka lebar. Napas kedua sopir itu jelas sudah tersengal-sengal, akan tetapi akan gurat puas. Sedangkan Laras berlari sigap bersama Bryan ke dalam kamar. Tak lupa asisten rumah tangga bik Minah dan bik Teti menyusul langkah majikannya dari belakang.Semua pasang mata yang ada di dalam kamar terbelalak bersamaan. Mata mereka tertuju pada obyek yang sama."Kinara ...," pekik Laras saat mendapati anak sulungnya tergeletak. Dia berlari lalu berjongkok, memegang kedua pangkal lengan anaknya. Dia guncang, akan tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Ada darah yang membuat hati Laras semakin terasa tersayat. Pergelangan tangan selama
"Innalillahi Wainnailaihi Raji'un."Laras menceritakan pada Liana semua hal sebelum kepergian Dennis."Ya Allah, Kak. Padahal mas Dennis orangnya baik.""Iya, Li. Aku titip doa buat dia ya.""In syaa Allah, Kak."Setelah selesai menikmati hidangan barulah Laras mengecek ponselnya. Puluhan panggilan telepon dari suaminya terpampang nyata di layar ponselnya."Uda, maaf. Nadanya silence.""Kamu sama siapa sekarang?""Kenapa Uda Bryan nanya seperti itu, ya?" tanyanya dalam hati."Aku sudah di restoran tempat kamu makan. Maaf aku terpaksa ngelacak kamu. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Ras. Kamu lagi sama siapa?""Aku sama Liana, Uda." Laras dengan jujur."Urusan apa? Kamu harus hati-hati!""Nanti aku ceritakan di rumah ya, Uda. Ini udah selesai kok. Abis ini aku mau antar Liana dulu. Baru langsung pulang. Kamu jadi ikut nanti?""Iya, aku ikut."Percakapan mereka lewat sambungan telepon berakhir tak lama kemudian."Mas Bryan marah ya, Kak?" tanya Liana saat Laras menaruh ponselnya di da
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 40"Ya sudah, Kak. Tapi tunggu sebentar biar aku rapikan dulu jualan ini.""Aku bantu ya, Li.""Makasih, Kak."Liana semakin malu, semakin rasa bersalah pun menghantui detik demi detik. Sesekali mereka saling menatap, akan tetapi tidak sampai beradu pandang. Liana yang semakin diselimuti rasa bersalah, lain hal dengan Laras yang merasa prihatin dengan kondisi serta nasib adik sepupu jauhnya itu."Kita naik mobil ya. Kruk-nya kita tinggal aja atau bawa?"Langkah Liana terhenti saat berjalan menghampiri Laras yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya."Kenapa, Kak? Kakak malu ya?""Malu? Malu apa maksud kamu, Li?" tanya Laras seiring kerutan di kening perempuan yang tengah memakai stelan gamis polos berwarna maroon itu. Tidak sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Liana."Iya, kakak malu 'kan karena aku pake alat bantu jalan ini. Lebih baik kita nggak usah pergi, Kak. Aku takut nanti kakak malu saat mereka melihat kita berjalan bagi bumi
Mata Liana terasa memanas saat kata demi kata terlontarkan dari mulut Ibra. Kembali pada penyesalan, kata-kata yang dia dengar tentu tabur tuai atas perbuatannya dulu. Mata yang memanas itu perlahan menerbitkan air bening. Menggenang di bawah mata tanpa kedipan bulir bening itu lolos begitu saja. Sesak dada jangan ditanya lagi."Mas, aku tahu aku salah. Tapi apa yang kamu tuduhkan itu semua tidak benar.""Stop, kamu jangan mendekatiku. Aku tidak ingin ketiban sial lagi!" bentak Ibra saat Liana baru ingin melangkahkan kakinya."Aku hanya ingin mengetahui gimana kondisimu. Sangat kaget ketika tahu kamu masuk rumah sakit lagi. Itu luka apa, Mas?" tanya Liana."Tidak usah sok peduli. Sekarang kamu pasti tertawa kan karena aku kembali masuk rumah sakit.""Bukan, Mas. Bukan.""Permisi, ada apa ini?" Seorang petugas medis akhirnya menghampiri mantan sepasang insan yang pernah merajut kasih ini. Suara Ibra yang tak terkendali membuat salah satu petugas memutuskan untuk menemuinya."Pak Ibra.