London, Inggris.
Sebuah Rolls-Royce super mewah anti peluru dengan model limosin berhenti di depan sebuah rumah super megah. Seorang pelayan membukakan pintu mobil untuk perempuan cantik berambut cokelat keemasan yang baru saja tiba.
“Terima kasih, Sofia,” ucap perempuan berambut cokelat keemasan dengan ramah.
Sofia tak menjawab ucapan dari perempuan berambut cokelat keemasan. Dia terlihat gugup dan berkali-kali mendesis lirih.
“Ada apa, Sofia?” tanya perempuan berambut cokelat keemasan.
Sofia lagi-lagi mendesis lirih dan bergumam. “Hm … hm … itu ….”
“Itu apa, Sofia?” perempuan berambut cokelat keemasan tak sabar. “Jangan membuatku bingung.”
“Hm … itu … M-Mrs Mordha m-mencari Anda sejak tadi, Mrs Emma Mordha,” ungkap Sofia tergugup.
Perempuan berambut cokelat keemasan yang dipanggil sebagai Emma Mordha masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Ia yang sebelumnya sedang bahagia pun mendadak waswas.
Emma menoleh sembari mengerutkan alis. “Apa Eleanor tak bilang kalau aku ke rumah sakit?”
“S-Sudah, tetapi hm … Beliau … t-tetap marah,” terang Sofia gelagapan dengan langkah kaki tergesa-gesa mengikuti Emma.
Emma berhenti sejenak saat tiba di depan pintu kayu berwarna putih dan berukiran warna emas. Seluruh interior ruangan pada rumah didekorasi menggunakan warna tersebut. Namun, pintu berukiran paling mewah hanya milik kamar tidur utama.
Emma tak tahu apa yang akan ibu mertua katakan padanya sekarang. Yang pasti, dirinya akan terkena teguran lagi. Ia salah karena tak izin pada nyonya besar, tetapi dirinya pergi mengunjungi rumah sakit bukan jalan-jalan.
Emma menoleh pada Sofia yang masih setia berada di sebelahnya. “Kau boleh pergi sekarang, Sofia,” pintanya.
“B-Baik, Mrs Emma Mordha,” jawabnya patuh.
Emma seorang perempuan berkebangsaan Amerika yang menikah dengan seorang laki-laki berkebangsaan Inggris. Ia ikut dengan Nate—suaminya, pindah ke Inggris sejak menikah dua tahun yang lalu. Mereka berdua tinggal di kediaman Mordha karena kediaman itu terlalu luas jika hanya dihuni oleh orang tua Nate saja.
Sejak itu, ada dua Mrs Mordha di kediaman Mordha. Nyonya besar milik Josephine—ibu Nate, sedangkan nyonya kecil milik Emma. Mereka memutuskan memanggil Emma lengkap dengan nama depannya agar tak tertukar.
Emma menarik napas dalam-dalam, kemudian mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Suara ketukan pada pintu pun terdengar sangat pelan dan hati-hati. Namun, tak ada jawaban dari dalam kamar tidur. Emma mengulangi ketukan sebanyak tiga kali lagi.
Emma menunggu beberapa saat sebelum hendak mengulangi lagi, tetapi seseorang lebih dulu membuka pintunya. Ia yang sudah bersiap menarik kedua sudut bibir ke atas, mendadak urung saat seorang perempuan berambut panjang warna hitam di hadapannya.
Emma terkejut karena bukan Josephine yang membuka pintu, melainkan perempuan yang tak disukai olehnya.
“Mia?” panggil Emma.
“Halo, Emma,” sapa Mia dengan aksen Inggris yang kental. “Lama tak bertemu denganmu.”
“Siapa, Mia?” Josephine bertanya dengan sangat lembut dan mendayu-dayu.
“Emma sudah datang, Mrs Mordha,” terang Mia.
“Aneh!” batin Emma. “Bukankah aku menantu di sini?”
Emma memalingkan wajah dari Mia. “Apa karena dia sudah lebih dulu datang ke sini jadi merasa tuan rumahnya?” gerutunya dalam hati.
Emma merasa jengkel karena merasakan kedekatan Josephine dan Mia. Ia tak pernah ditanya oleh Josephine dengan sangat lembut seperti yang baru saja didengar olehnya. Selain itu, dirinya diperlakukan seperti seorang tamu yang baru datang oleh teman kecil dari Nate.
Emma mengetahui Josephine sering menghabiskan waktu bersama Mia setiap Mia sedang berada di London. Jujur saja, dirinya jijik sampai ingin muntah setiap mendengar Mia begini sedangkan dirinya begitu. Emma muak dibanding-bandingkan dengan Mia.
Raut wajah Emma berubah saat melihat Mia. Ia hendak meninggalkan depan kamar tidur dan kembali lagi nanti. Sayangnya, Josephine sudah lebih dulu tiba di belakang Mia.
Josephine langsung mengambil alih pintu kamar dari Mia. Dia berdiri dengan dagu terangkat dan tangan di pinggang, lalu mulai mencerocos tanpa mempersilakan Emma masuk lebih dulu.
“…, kenapa kau selalu saja membangkang, Emma?” ketus Josephine dari pintu kamarnya.
“Membangkang?” Emma mengulangi dengan lirih.
Ia melirik ke kanan kirinya. Ada beberapa pelayan sedang membersihkan sekitar kamar tidur utama yang pasti mendengar pembicaraan mereka. Emma tak merasa malu pada para pelayan karena sudah sering diperlakukan seperti itu oleh Josephine.
Yang menjadi masalah, Josephine memarahi dirinya di hadapan Mia. Maka, bertambah lagi bahan untuk membanding-bandingkan mereka berdua. Ia yakin kalau Mia sedang menertawakan dirinya dalam hati.
Emma menghela napas pasrah. “Mum, aku tak enak bad—”
“Aku tahu!” potong Josephine sembari membentak. “Bukankah tadi aku bilang akan menyuruh Eleanor memanggil Dokter Morgan untuk memeriksamu?”
Josephine memicing. “Tetapi kau sudah lebih dulu keluar rumah!” sinisnya.
Emma sudah dua tahun tinggal di kediaman Mordha dan sangat jarang keluar kediaman itu. Ia baru keluar jika Nate mengajaknya makan malam di restoran atau ada acara. Meski begitu, Emma memiliki sebuah ponsel pintar sehingga dapat mengecek letak rumah sakit terdekat.
Kediaman Mordha berada di Merton Lane, Camden, sedangkan rumah sakit terdekat berada di Magdala Ave, Islington. Kurang lebih jaraknya hanya tujuh menit.
Emma merasa memanggil dokter akan memakan waktu lebih lama karena hari sudah sore dan khawatir akan ada kemacetan. Apalagi, rumah sakit Dokter Morgan berada di Westminster Bridge Road, Southwark, yang berjarak kurang lebih empat puluh menit.
“Mum, Dokter Morgan pasti akan tiba lebih lama,” jelas Emma dengan lembut.
“Alasan! Kau hanya ingin keluar rumah, Emma!” Josephine menatap sinis pada Emma. “Apa kau sadar yang kau lakukan? Orang-orang akan membicarakan tentang keluarga Mordha!”
Emma tak mengerti yang ditakutkan oleh Josephine. Orang-orang tak mungkin bergunjing tanpa sebab hanya karena keluarga Mordha keluar dari kediaman.
Emma agak melongo. “Mum, aku—”
“Diam!” Josephine lagi-lagi memotong kata-kata Emma. “Kalau sampai ada omongan yang tidak-tidak tentang keluarga Mordha, itu salahmu!”
Josephine dan Mia menatap Emma dengan sinis. Seolah Emma baru keluar kediaman untuk menjelek-jelekkan keluarga Mordha atau berselingkuh dari Nate.
“Pergi dari sini, Emma!” perintah Josephine dengan kasar. “Aku kesal melihat wajahmu!”
Emma melihat Mia terkekeh di belakang Josephine, tetapi tak ada yang dapat Emma lakukan. Ia hanya mengepalkan tangan di gaunnya, kemudian berbalik dan menuju ke arah tangga. Langkah kakinya berhenti sejenak saat mendengar Josephine mengatakan lebih suka Mia yang menjadi menantunya daripada Emma.
Jujur saja, Emma merasa sakit hati. Ia mengetahui kalau Josephine tak pernah menyukainya. Paling tidak, Josephine bisa lebih menyembunyikannya. Padahal selama menikah, baru sekarang Emma tak menuruti Josephine.
Emma tiba di kamar tidurnya dan kembali menghubungi Nate yang sudah seminggu tak ada kabar. Ia hanya ingin berbicara dengan Nate. Bukan untuk mengadu, melainkan rindu. Emma hanya ingin mendengar suara Nate.
Akan tetapi, hasilnya masih nihil. Emma masih belum bisa menghubungi Nate. Ia lagi-lagi mengirim pesan meski tahu tak akan mendapat balasan, lalu berbaring di atas ranjang dan menangis sendirian.
“Apa Nate sangat sibuk sampai tak ada waktu untukku?” Emma terisak-isak.
Setelah lelah menangis, Emma pun tertidur lelap. Ia tak mendengar suara ketukan di pintu kamar dari pelayan dan terlewat makan malam.
Selama sebulan belakangan, Emma jarang terlewat makan malam karena harus mengerjakan tugas harian kaligrafi. Ia mengikuti kelas kaligrafi setelah waktu makan siang dan baru mengerjakan tugas setelah makan malam. Jadi, tangannya tak gemetar.
Selama sebulan itu juga, Emma hanya bangun pagi untuk menyiapkan pakaian Nate ke kantor. Ia tidur lagi karena tak boleh mengantuk untuk kelas lainnya. Belum lagi, kalau harus melayani suaminya dulu maka tugas kaligrafi akan sampai lewat dini hari.
Keluarga Mordha selalu sarapan pukul tujuh pagi, para pekerja sarapan pukul delapan pagi dan setelah itu semua akan melakukan aktivitas masing-masing. Jika terbangun pukul sembilan, Emma harus sarapan di dapur sendirian.
Emma baru saja terbangun saat matahari pagi sudah naik. Sinar matahari pagi sudah menyusup antara tirai jendela kamar yang terembus angin. Emma tertidur bahkan sebelum sempat menutup jendela kamar.
Ia tercekat dan terduduk di atas ranjang. “Jam berapa sekarang?” tanyanya sendiri.
Emma beringsut turun dari ranjang untuk bersiap-siap. Alih-alih memperbaiki hubungan dengan Josephine, Emma justru melewatkan semuanya. Ia tak makan malam semalam, tak sarapan dan belum mengerjakan tugas kaligrafi yang diberikan oleh Mrs Jones.
“Ah, selesai hidupku,” gumamnya lirih saat menuruni anak tangga. “Jika Mrs Jones mengadu pada Josephine, aku pasti dimarahi lagi!”
Emma tiba di lantai dasar dan semua orang sudah melakukan aktivitasnya masing-masing. Ia bergegas sarapan agar sempat mengerjakan sebagian tugas kaligrafi sebelum kelas pagi dimulai. Berkat Josephine, Emma harus mengikuti banyak kelas yang menurutnya tak berguna.
Belum selesai sarapan, seorang pelayan datang menghampiri Emma. Dia menyampaikan bahwa pengacara keluarga Mordha datang untuk menemui Emma.
Emma terkejut sampai tak menyelesaikan sarapannya. Ia menuju ruang tamu untuk menemui James—pengacara keluarga Mordha.
Tanpa basa-basi, sang pengacara mengeluarkan dua lembar kertas. Dia menyodorkan pada Emma di atas meja ruang tamu.
Emma mengambil kedua lembar kertas tersebut. Wajah mulai pucat dan bibir pun bergetar saat membaca bagian atas surat tersebut. Air mata menetes di atas kertas yang dipegang olehnya.
Ia menatap James dengan lekat. “Nate ingin menceraikan aku?”
“Kau menjatuhkan perusahaanku, Emma!” tuduh Nate dari balik ponsel. “Apa kau menuduhku, Nate?” tanya Emma dengan suara bergetar. “Sudahlah, Emma. Jangan berlebihan!” sergah Nate. “Tanda tangani saja surat itu, aku akan transfer uang pisah padamu!” Nate telah menjadi kekasih Emma selama empat tahun dan menikahi Emma dua tahun lalu. Ia selalu lembut dan menyayangi Emma dengan sepenuh hati. Bagi Nate, Emma adalah cinta pada pandangan pertama. Entah mengapa sekarang semua berubah. Nate sedang dalam perjalanan dinas. Ia seharusnya pulang sejak minggu lalu, tetapi mendadak kepulangannya diundur. Sejak itu, Nate tak dapat lagi dihubungi oleh Emma. Emma selalu mengira Nate sibuk dengan pekerjaannya. Ia menghubungi berkali-kali bahkan mengiriminya pesan dan tak pernah mendapat balasan. Namun, tak sekali pun berpikiran buruk tentang Nate. Setelah James menyodorkan surat gugatan cerai, Nate langsung mengangkat panggilan telepon dari Emma. Tanpa menunggu tiga kali nada sambung berbunyi. Emm
Emma menghubungi seorang teman sejak dirinya mengemas pakaian ke dalam koper kecil. Kebetulan seorang teman sedang berada di London dan berniat kembali ke Los Angeles siang itu. Emma meminta teman tersebut datang untuk menjemput dirinya agar mereka kembali ke Los Angeles bersama. Untung saja, dirinya masih berkebangsaan Amerika meski telah menikahi Nate. Tanpa ragu, teman tersebut datang untuk menjemput Emma. Dia langsung memesan tiket untuk Emma setelah mendengar cerita dari Emma. Emma dan temannya tiba setelah kurang lebih sebelas jam penerbangan dari London menuju Los Angeles. Mereka dijemput mobil milik temannya. Sebuah sedan mewah berwarna putih. Keduanya menuju sebuah kediaman di Beverly Hills. “Kau tak perlu mengantarku sampai rumah,” tutur Emma yang merasa tak enak. “No prob, Em,” jawab teman yang bersama Emma. “Kita bukan orang asing, ‘kan?” Emma tak menghubungi ayahnya sejak memutuskan untuk pulang ke Los Angeles. Bukan ingin memberi kejutan, melainkan tak ada yang meng
London, Inggris. Enam tahun kemudian. Masa kini. Tiga orang laki-laki paruh baya sedang berdiri berjajar. Mereka menundukkan kepala dan kedua telapak tangan terpaut di depan. Mereka berdiri dengan patuh dan mendengarkan setiap cacian yang ditujukan pada mereka. Mereka sadar telah melakukan kesalahan, tetapi dicaci oleh seorang yang usianya di bawah mereka rasanya sangat menyakitkan. Terlebih mereka telah mengabdi lebih dari setengah usia mereka sekarang. Namun, apa boleh buat. Tak peduli berapa usia mereka dan apa jabatan mereka. Mereka tetap saja hanya bawahan di hadapan pimpinan mereka yang kejam. Plak! Plak! Plak! Ketiganya mendapat pukulan di atas kepala mereka menggunakan beberapa lembar kertas yang sengaja digulung oleh si pimpinan. “Kalian tak becus kerja, HAH?!” teriaknya tepat di hadapan mereka. Mereka hanya diam menunduk penuh penyesalan. Si pimpinan meletakkan ujung jari di dahi ketiganya dan mendorong kepala mereka ke belakang. “Kalian dibayar mahal olehku untuk meng
Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company. Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan. Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu. “Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan. Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memanda
Chicago, Illinois. Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun. Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma. Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan. “Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan. Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah k
Emma berhasil mengangkat kakinya dari tindihan saat Jeremy mengubah posisinya menjadi membungkuk di atas tubuh Emma. Ia tanpa ragu menendang pangkal paha Jeremy dengan sangat keras sampai Jeremy terjungkal dan genggaman tangannya pada Emma terlepas. “Aw! Aw!” Jeremy berteriak kesalitan. Emma bangkit dari posisinya dan melempar wajah Jeremy dengan ponsel yang berada di meja. “Dasar psikopat berengsek!” maki Emma yang langsung berlari menjauh. “Aw, aduh! Kemari kau, Perempuan Sialan!!” geram Jeremy saat melihat Emma menuju pintu. Jeremy bangkit dari sofa sembari meraung-raung kesakitan. Dia kesulitan mengejar Emma yang sudah bersiap membuka pintu untuk melarikan diri. Emma terkejut saat membuka pintu dan perempuan yang tadi mengantar dirinya hampir terjatuh ke arahnya. Ia memelotot ke arah perempuan yang sedang membawa gelas minuman di atas baki karena tak menolong dirinya sejak tadi dan malah menguping di depan pintu. “Dasar perempuan jalang!” umpat Emma sambil mendorong tubuh si
“Emma, bukankah kemarin aku menyuruhmu cuti?” tanya Anna yang terkejut saat melihat Emma sudah berada di Monroe Flowers & Gifts pagi itu. Lulu dan Charles yang baru saja tiba di Monroe Flowers & Gifts juga terkejut saat melihat Emma. “Kau seharusnya istirahat di rumah, Em!” protes Lulu. Charles yang kemarin bersama Emma juga khawatir. “Kau yakin tak apa-apa, Em?” Kemarin Charles sempat merasa bingung saat Emma tiba-tiba menghubungi dirinya untuk mengganti tempat bertemu. Dia melihat wajah pucat dan tubuh gemetar temannya saat masuk ke dalam mobil. Charles tak berani mengajak perempuan itu berbicara karena terlihat sangat terguncang. Emma baru menceritakan yang dirinya alami setelah mereka tiba di Monroe Flowers & Gifts. Ia sebenarnya tak ingin bercerita, tetapi terpaksa bercerita. Pasalnya, kejadian itu dialami saat sedang bekerja. Ia merasa perlu mengatakan yang terjadi pada atasannya. Ann, Lulu dan Charles sangat geram. Mereka meminta Emma melaporkan Jeremy si Psikopat ke kanto
Emma sungguh perempuan yang tangguh. Ia seakan lupa kejadian menakutkan dan menjijikkan yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua bangka. Seorang laki-laki yang seharusnya sibuk memikirkan keluarga, tetapi malah sibuk melecehkan perempuan hanya karena merasa memiliki uang dan kekuasaan. Emma bahkan tak memikirkan sama sekali kejadian yang baru dialaminya kemarin dan malah memikirkan suami yang menggugat cerai dirinya. Ia duduk dengan sebuah sendok di tangan sembari menatap kosong ke arah piringnya. “Apa yang mereka semua lakukan di Chicago?” gumam Emma dalam hati. Emma mengaduk-aduk makan siang dan tak menyuap sama sekali makanannya. “Kenapa Mia sangat panik? Apa Nate melihatku? Apa dia tahu aku sangat membenci Nate?” batinnya. “Em, makananmu!” pekik Lulu saat melihat makanan Emma berceceran. Emma tersadar dari lamunannya karena suara Lulu. “Maaf …,” ucapnya. Itu adalah jam makan siang Monroe Flowers & Gifts dan Emma sedang makan siang bersama Lulu serta Ann. Ia lupa sejenak deng
“Kau mau datang padaku atau aku datang padamu, Emma?” tanya seorang laki-laki dari balik ponsel. Emma sedang bersama sang buah hati saat nomor tak dikenal menghubungi. Perempuan beranak satu itu tadinya tak ingin menerima panggilan, tetapi perasaannya berkata lain. Untung saja, Emma mengikuti perasaannya karena jika tidak laki-laki itu sudah berdiri di depan apartemennya. Emma membelalakkan mata saat mendengar suara lawan bicaranya. “Nate? Dari mana kau tahu nomorku?” “Apa itu penting, Emma?” Nate kembali bertanya. “Aku sudah di depan gedung apartemenmu. Kau yang keluar atau aku yang masuk, hm?” Dada Emma berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, kepalanya justru menoleh pada sang buah hati yang sedang asyik belajar mewarnai. “Aku yang keluar!” tegas perempuan yang terpaksa harus meninggalkan putranya sejenak. “Mom—” Suara bocah kecil itu terpotong karena sang ibu dengan cepat menutup mulutnya. “Tunggu saja aku di restoran dekat apartemen ini. Aku akan memberi nama restoran lewat pe
Kelap-kelip lampu dansa mengikuti ingar bingar musik di klub malam Kota London. Sebuah klub ternama yang ramai didatangi pengunjung yang ingin menikmati musik, hiburan sampai minuman keras untuk melepas penat.Seorang perempuan cantik duduk sendiri menunggu hiburan. Dia perlu meluapkan kekesalan karena tunangan yang terang-terangan menolak dirinya. Jika tunangannya ingin bersikap keras kepala, dia pun akan melakukan hal sama karena dia berniat mempertahankan miliknya.Di saat sang perempuan sibuk menenggak minuman pahit dalam gelas kristal, datang seseorang yang segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Tamu yang ditunggu-tunggu rupanya laki-laki tampan bertubuh tinggi bak model terkenal.“Kau sudah datang dari tadi, ya?” tanya laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna silver.Perempuan cantik berambut hitam itu tak menjawab. Tubuh kesepian yang lama tak tersentuh menuntut ingin dimanja. Dia langsung naik ke atas pangkuan laki-laki bay
Nate baru saja mendarat di Bandara London Heathrow dan wajahnya tampak sangat tak ramah pagi itu. Bukan karena mengantuk, melainkan karena kesal. Bagaimana tak kesal jika perempuan yang dicari olehnya bersembunyi di negaranya. Bodohnya lagi, orang suruhannya tak dapat melacaknya. Nate baru mengetahui keberadaan Emma dari seorang mata-mata. Laki-laki tampan yang sedang kesal itu berniat langsung menemui sang perempuan. Dia sudah tak dapat lagi menahan perasaannya. Apalagi, perempuan yang pernah menikah dengannya seolah sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Akan tetapi, Nate mengurungkan niat. Laki-laki yang sedang tampak kejam itu tak boleh membuat takut sang perempuan. Ia tak ingin lagi ditinggalkan karena tujuan sekarang mencari tahu yang terjadi di masa lalu. Jika perempuan yang digugat cerai tak melakukan seperti kesalahan, Nate akan merebutnya kembali. Mia bergegas berlari untuk menyambut tunangannya. “Nate Sayang, kenapa kau tak bilang akan pulang?” “Apa aku tak boleh pula
“Apa aku harus membawamu ke negara lain, Em?” David bertanya dari balik ponsel. Emma tercekat dan matanya membulat. “Aku saja belum bekerja di sini, Dave!” Perempuan cantik yang sudah meninggalkan restoran itu baru berniat ingin menikmati keindahan kota London bersama keluarga dan temannya. Sebab, kemarin seorang pengurus rumah tangga akhirnya berhasil didapatkan. Namun, tak disangka-sangka keberadaan dirinya malah diketahui sang mantan mertua. Emma dalam perjalanan kembali ke apartemen saat dihubungi temannya. Ia kemudian menceritakan kejadian yang baru dialami. Kebetulan restoran yang tadi didatangi olehnya hanya selisih dua gedung dari bangunan menjulang tinggi. Sebuah bangunan yang akan menjadi kantornya selama beberapa bulan ke depan. David belum mulai bekerja persis seperti Emma. Hanya sekedar mengunjungi kantor yang baru buka beberapa bulan lalu. Setelah mendengar cerita dari temannya, laki-laki berambut pirang itu geram. Dia hendak mendatangi Emma untuk menghibur, tetapi pe
“Apa kau begitu menyukai kedua pamanmu, Ethan?” Emma mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban sang buah hati. “Kau mengajak main Uncle Dave dan menelepon Uncle Jeff … hampir setiap hari.” Anak laki-laki bertubuh seratus sentimeter itu mengangguk dengan cepat. “Tentu saja.” “Dan kau tak menyukaiku? Padahal aku ibumu!” Emma berpura-pura merajuk. “Aku yang melahirkanmu, tetapi kau tak pernah mengajakku bermain seperti kau dengan Dave. Kau juga tak bercerita padaku seperti kau bercerita pada Jeff.” Bocah mungil itu memeluk sang ibu. “Aku menyukai Mommy, tetapi aku anak laki-laki, Mom. Aku harus bermain dan bercerita pada sesama laki-laki!” Emma yang sedang merajuk pun tertawa mendengar alasan putranya. Ia berjongkok agar tubuh mereka sejajar, lalu dikecup kening sang buah hati. Perempuan itu tak menyangka kesulitan yang dialami saat mengandung putranya sama sekali tak sia-sia karena putranya adalah sumber kekuatan. Emma tak pernah merasa anaknya adalah beban baginya. Ia tak t
David menatap sepasang iris mata cokelat milik teman yang diam-diam disukai olehnya. “Bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku, Em?” Emma terkesiap karena pertanyaan yang mengejutkan. Ia balik menatap laki-laki tampan berambut agak panjang yang berada di sebelahnya sembari mengejapkan mata beberapa kali. “A-Apa maksudmu, Dave?” tanyanya kebingungan. “Bukankah tadi kau bertanya cara membayar hutangmu padaku?” David mengingatkan perempuan itu. “Dan aku menjawab, bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku? Untuk membayar hutangmu.” Laki-laki itu menyunggingkan senyuman seraya menaikkan alisnya beberapa kali. “Apa yang akan kau lakukan, Em?” Tak sedikit orang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak dapat berteman. Bukan tanpa alasan, melainkan sudah banyak kejadian. Itu juga yang terjadi pada David. Anak laki-laki dari pemilik Doxon Group sudah menyukai temannya sejak lama mereka masih remaja. Selama lima belas tahun atau dapat dikatakan setengah hidupnya, dia memend
David yang memiliki nama lengkap David John Doxon memang bukan orang sembarang. Laki-laki itu putra pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari pemilik Doxon Group. Dia menjabat sebagai COO atau disebut juga sebagai tangan kedua dari CEO yang tak lain adalah ayahnya. Dan cepat atau lambat, Doxon Group juga akan menjadi miliknya. Seperti Mordha Oil & Gas Company, perusahaan milik ayah David bergerak di bidang minyak dan gas bumi. Kedua perusahaan itu sama-sama masuk ke dalam delapan perusahaan minyak dan gas terbesar di seluruh dunia. Mereka berdua sangat kompetitif sampai perusahaan lainnya menyebut mereka sebagai rival sejati. Sebagai pimpinan operasional perusahaan, dia bertanggung jawab mengawasi dan mengambil keputusan. Termasuk kantor yang baru buka beberapa bulan lalu di London, Inggris. Oleh sebab itu, David akan bertugas di sana selama beberapa bulan ke depan. Emma berkali-kali menolak saat David menawarkan pekerjaan dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun, perempua
Selama satu minggu, Nate sudah beberapa kali menghancurkan barang karena kesal. Sang pewaris tampan dan kejam itu masih belum menemukan keberadaan Emma. Ia sudah memerintahkan asistennya agar menambah orang lagi yang dapat membantu orang suruhan mereka. Nate tetap melakukan pekerjaannya meski berada di Chicago. Ia sibuk mengurusi pekerjaan, mendengar rengekan tunangan, cerocosan ibu dan memantau pencarian Emma. Kepala yang ditumbuhi rambut cokelat alami miliknya serasa ingin pecah. Sebab itu, Nate memilih menghancurkan barang daripada kepala orang. “Bukankah sudah aku bilang kalau pekerjaanku di sini belum selesai?” Nate sedikit mendesis di ponsel karena rengekan sang tunangan. “Apa tak ada yang bisa kau kerjakan di London selain meneleponku setiap saat?” “Aku meninggalkan pekerjaanku untukmu, Nate!” Mia terdengar tak terima dengan kata-kata dari laki-laki yang dicintainya. “Well, apa aku memintamu?” Nate menantang perempuan yang sedang kesal di balik ponsel. “Kau boleh kembali ke
“Emma …,” panggil suara laki-laki dari belakangnya. Emma terdiam karena suara di belakangnya sembari mencoba menebak-nebak siapa pemilik suara berat dan dalam. Hampir mirip seperti suara Nate, tetapi sedikit berbeda. “Kau … Emma, ‘kan?” Laki-laki itu memastikan. Emma sedikit demi sedikit menoleh ke arah asal suara. Matanya lebih dulu menatap kemeja biru gelap yang menutupi tubuh tegap dan kuat. Ia mengira-ngira laki-laki itu memiliki tinggi yang sama dengan Nate jika dilihat dari tinggi bahu di hadapannya. Perempuan yang hendak masuk ke dalam restoran ayam cepat saji itu menelan air liur. “Dia bukan Nate karena aku hapal suaranya,” batinnya. “Lalu … dia siapa?” Laki-laki berambut pirang agak gelap sedikit meninggikan suara. “Melgren!” tegurnya. “Jangan pura-pura tak mengenaliku!” Emma perlahan-lahan mengangkat kepala sampai mata cokelat tua beradu tatap dengan sepasang iris mata biru pucat. Perempuan itu mengejapkan mata beberapa kali dengan mulut sedikit terbuka karena laki-laki