Nathan Alexander Mordha atau Nate, seorang pimpinan kejam, tetapi tampan. Ia adalah seorang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company.
Laki-laki tampan, kaya raya dan berkuasa. Nate memiliki sepasang iris mata hazel yang tampak pas dengan rambut cokelat alami miliknya. Rahang tegas dan kulit mulus diselubungi bulu-bulu tipis yang berbaris rapi sepanjang rahang menyambung sampai ke atas bibir. Ia tahu dengan benar apa itu tampan dan jantan.
Sekarang si CEO tampan sudah bosan dengan Charlotte dan itu bukan hal baru bagi Jacob—asistennya. Charlotte dapat bertahan selama tiga bulan sudah keajaiban. Beberapa sekretaris sebelumnya hanya sampai satu bulan, bahkan ada yang hanya hitungan minggu.
“Baik. Ada yang lain, Sir?” Jacob bertanya dengan sopan.
Nate hanya menggelengkan kepala dan mengibaskan tangannya. Jacob pun berderap keluar menjalankan perintah Nate. Ia bersandar di kursinya, membolak-balik beberapa dokumen di mejanya. Setelah dirasa bosan, Nate memilih memandang ke luar jendela sejenak sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Tepat pukul empat sore, Nate meninggalkan gedung perusahaannya bersama Jacob. Ia diantar ke penthouse mewahnya yang berada di Knightbridge, sekitar sepuluh menit dari perusahaan.
Pukul sebelas malam, Jacob menjemput Nate. Dia membawa Nate ke tempat kesukaannya, Intricats Premier Club London.
“Kau sudah memesannya, Jacob?” tanya Nate dari kursi belakang.
“Sudah, Sir.” Jacob menjawab sembari menatap ke jalanan di depannya.
Jacob sudah memesankan VIP Lounge untuk Nate di Intricats Premier Club London yang menyediakan hiburan dewasa.
VIP Lounge merupakan sebuah ruang privasi untuk menikmati kemewahan dan keintiman. Ruang tersebut berada terpisah dan terletak di lantai bawah hanya untuk pelanggan VIP. Lengkap dengan bar pribadi serta seorang DJ di luar ruang, sedangkan dekorasi mewah, panggung dan tiang penari di dalam ruang tertutup.
Kurang dari tiga puluh menit, Nate dan Jacob tiba di klub tersebut. Nate langsung menghambur keluar mobil dan memasuki klub malam dengan Jacob mengekor di belakangnya. Mereka melewati antrian para pengunjung.
Si pemilik klub terkejut saat mengetahui Nate sudah tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Dia panik, tetapi tetap menyambutnya.
“Selamat malam, Mr Mordha. Anda tiba lebih cepat,” sapa Waylen—pemilik klub malam.
Nate tak berhenti. Ia terus berderap menuju lift untuk turun ke lantai bawah tanah. Ia sudah terlalu sering datang sehingga tak butuh siapa pun untuk mengarahkannya.
“Tak usah basa-basi. Panggil Loretta sekarang, Waylen!” perintah Nate saat mereka semua masuk ke dalam lift.
Selain VIP Lounge, Jacob juga telah memesan seorang penari, Loretta. Dia seorang penari telanjang berambut cokelat dan berkulit eksotik. Loretta memiliki sepasang iris mata cokelat dan bibir sensual.
Sama seperti perempuan lainnya yang berada di klub itu, tubuhnya indah dan berisi layaknya seorang model. Loretta sudah hampir setahun menjadi penari kesayangan Nate.
Malam itu, sebenarnya Loretta sedang libur dan terpaksa datang karena Nate tak ingin dilayani penari selain dirinya.
Waylen hanya bergumam tak jelas. Dahinya berkeringat dan jemarinya bergerak semakin cepat saat dia sedang panik. “Ehm … ehm ….”
Nate yang tak sabar menoleh pada Waylen yang berdiri paling belakang. “Apa—“
Ting.
Lift terbuka dan memotong ucapan Nate.
Waylen dengan cepat menyalip Jacob dan menahan pintu lift untuk Nate. Nate keluar dan berdiri di depan lift seraya menatap tajam ke arah Waylen.
“L-Loretta akan s-segera ke sini, Mr Mordha. Lima belas menit lagi,” jawab Waylen tergugup.
Nate langsung memutar bola matanya dan menghela napas kesal. Ia berderap menuju VIP Lounge.
Jacob membukakan pintu VIP Lounge untuk Nate dan dua orang perempuan berambut cokelat sudah duduk di atas sofa mewah berwarna merah. Namun, tak satu pun dari mereka adalah Loretta.
Sontak Nate dan Jacob menoleh pada Waylen secara bersamaan.
“Bonus …,” terang Waylen sambil memamerkan giginya.
Waylen segera merapatkan bibir ketika Nate memelotot padanya. “Hanya sampai Loretta datang, Mr Mordha.”
Nate masuk ke dalam VIP Lounge dan disambut dua orang penari dengan pakaian yang hanya menutupi bagian intim tubuh mereka.
Jacob menunggu di depan ruangan bersama Waylen yang terus memburu-buru Loretta. Sayangnya, Loretta masih dalam perjalanan.
“Cepat, Loretta! Bisnisku bisa ditutup kalau kau terlambat!” ungkap Waylen dengan mulut hampir terkatup.
Di dalam VIP Lounge, seorang penari menuangkan Louis XIII Cognac kesukaan Nate, sedangkan seorang lagi keluar meminta DJ memainkan musik.
Mereka mulai menari di atas panggung saat Nate menyesap minumannya dengan raut wajah datar. Keduanya belum menari selama sepuluh menit, tetapi Nate sudah melirik jam di tangannya sembari mengentak-entakkan kaki ke lantai.
Melihat Nate yang sepertinya bosan, seorang penari berambut pendek turun dari atas panggung. Dia menanggalkan penutup atas tubuhnya dan mendekati Nate. Dia menari berpegangan pada kedua paha Nate dengan gerakan naik turun yang memamerkan dua gundukan kenyal miliknya di hadapan Nate.
“Selamat malam, Mr Mordha,” sapanya dengan suara menggoda.
Peraturan klub hiburan dewasa yang menyediakan penari telanjang tak memperbolehkan pelanggan menyentuh penari, beranjak dari sofa, berbicara senonoh dan banyak lagi karena mereka penari bukan prostitusi. Namun, para penari boleh menyentuh pelanggan atau duduk di atas pangkuannya.
Untuk VIP Lounge sendiri memang ruang privasi, di mana hanya ada satu orang pelanggan dan satu orang penari atau lebih. Sehingga, apa yang terjadi di dalam ruang itu hanya antara pelanggan dan penari.
Saat si penari berambut pendek sedang melepaskan penutup bawah tubuhnya, Nate melirik si penari berambut ikal di atas panggung. Ia menatapnya dari atas sampai bawah tanpa berkedip dan membuat si penari berambut ikal seakan terhipnotis untuk segera melepas penutup atas tubuhnya dan menari di dekat Nate.
Si rambut pendek langsung membelai wajah Nate agar menatap dirinya yang sudah polos di hadapan Nate. Dia melipat satu kaki di sofa dan menari di sebelah Nate.
“Sentuh aku, Mr Mordha,” bisiknya pada Nate. Si penari berambut pendek meraih tangan Nate dan meletakkannya di atas gundukan kenyal miliknya.
Nate melihat dua gundukan kenyal yang minta disentuh. Ia tanpa ragu meremas dan mengusap puncaknya yang sudah mengeras.
Si penari mendesah seraya menggigit bibir bawah yang dipulas lipstik merah menyala. Dia mendekat dan mengusap bibir Nate dengan bibirnya.
“Maaf, terlambat,” tutur Loretta yang menyelonong masuk dan mengganggu si penari berambut pendek.
Nate memiringkan kepalanya, tetapi masih meremas gundukkan milik si penari. “Kau telat, Loretta. Aku hampir bersenang-senang di sini.”
“Kau bisa melepaskannya sekarang, Nate,” pinta Loretta sambil melirik si penari berambut pendek.
Si penari berambut ikal mengambil penutup atas tubuhnya dan bergegas memakainya. Sedangkan si penari berambut pendek menatap Nate—memohon agar Nate tak memintanya pergi, sayangnya Nate justru melepaskan tangannya.
“Maaf, penariku sudah datang,” ucap Nate sembari membelai perut si penari berambut pendek.
Dua penari bonus keluar meninggalkan Nate dan Loretta berdua dalam VIP Lounge. Loretta menutup pintu, berderap mendekati Nate dan membuka ikatan mantel panjang berwarna maroon dan menjatuhkan mantelnya.
Loretta memamerkan pakaian minim bertali dan menerawang berwarna maroon, stoking jaring hitam sepangkal paha dan sepatu hak tinggi berwarna hitam.
Tanpa buang waktu Loretta meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama di hadapan Nate. Dia tak butuh tiang tari jika bersama Nate. Belum sampai tiga menit, Loretta bahkan sudah membuka seluruh penutup tubuhnya hanya menyisakan stoking hitam dan sepatu hak tinggi.
Loretta melipat kedua lututnya di atas sofa dan menari di sebelah Nate. Dia mengelus pipi Nate dengan gundukan kenyal miliknya, kemudian meremas rambut belakang Nate dengan sebelah tangannya sampai Nate sedikit mendongak.
“Nate … jangan nakal kalau aku belum datang,” ucap Loretta dengan suara lembut.
Dia mendaratkan bibirnya di atas bibir Nate. Lidahnya bermain-main di dalam mulut Nate dan Nate ikut bermain. Sebelah tangannya lagi membelai bulu-bulu di rahang Nate, lalu turun sampai ke dada bidang milik Nate.
Nate merasakan jemari Loretta terus turun ke pangkal paha dan mulai menggoda miliknya. Suara erangan Nate tertahan di dalam mulut Loretta.
“Kau tak seharusnya terlambat, Loretta,” jelas Nate setelah Loretta melepaskan bibirnya.
Loretta tak lagi meremas rambut Nate. “Baiklah, aku salah. Aku akan menebusnya, Nate,” bisik Loretta sembari mengigit pelan telinga Nate.
Loretta menyibakkan rambutnya, kemudian membuka kancing celana Nate. Dia bersimpuh di sebelah Nate dan memanjakan milik Nate. Loretta meraih tangan Nate untuk menyentuh tubuhnya.
Nate membelai tubuh mulus Loretta, meremas gundukan kenyal milik Loretta dan terus bergerak sampai Nate menyentuh pangkal pahanya.
Loretta mulai melengkungkan tulang punggungnya ketika jemari Nate menyusup ke dalam pangkal pahanya. Suara erangan dan desahan Loretta tertahan di tenggorokan.
Loretta mengeluarkan milik Nate dari mulutnya dengan napas terengah-engah. “Kapan kau akan memasukiku, Nate?” tanyanya sedikit memohon.
Selama menjadi penari kesayangan Nate, Loretta tak pernah memuaskan Nate di atas ranjang. Dia tak pernah berani meminta dan hanya menggoda. Dia berharap Nate mengabulkan harapannya, tetapi Nate tak pernah mengajaknya. Loretta semakin menginginkan milik Nate di dalam tubuhnya.
Nate tertawa kecil sambil memainkan ujung jarinya di paha Loretta. “Loretta Sayang … apa kau pikir kau pantas aku masuki?”
Loretta langsung terdiam setelah mendengar kata-kata Nate. Dia menatap Nate tanpa berkata-kata dan perlahan napasnya yang terengah-engah mulai tenang.
“Kenapa diam?” Nate bertanya dengan tajam sambil memberi kode agar Loretta melanjutkan pekerjaannya.
Loretta menuruti Nate. Ada sedikit perasaan kecewa yang membuat Loretta tak lagi bergairah seperti sebelumnya. Dia baru menyadari Nate hanya ingin bermain-main dengannya.
Nate tak mendengar keributan di luar ruangan karena asyik menikmati permainan tangan dan lidah dari Loretta. Ia meremas rambut Loretta seraya mengerang dan mendesah panjang.
Tepat saat itu, seseorang membuka pintu ruangan dan lagi-lagi mengganggu Nate yang hampir mencapai puncak kenikmatan.
Loretta berhenti dan menoleh pada perempuan bertubuh mungil di depan pintu. “Siapa dia, Nate?” tanyanya lirih.
Chicago, Illinois. Emma bekerja sebagai penjaga toko bunga di Monroe Flowers & Gifts. Sebuah toko yang namanya di ambil dari nama jalan tempat toko bunga tersebut berada. Pemiliknya bernama Ann, seorang perempuan cantik dan baik hati yang sudah menjadi teman sekaligus mentor bagi Emma selama lebih dari tiga tahun. Kemarin tokonya mendapat pesanan besar untuk sebuah acara pertemuan. Si pembeli meminta Emma sendiri yang turun tangan untuk mengantar bunga. Ann tak mengerti mengapa si pembeli meminta Emma harus mengantar bunga. Dia akhirnya menyuruh Charles—rekan kerja Emma, membantu pengantaran karena pengantaran bukan tugas Emma. Emma dan Charles sudah tiba sejak pukul delapan kurang sepuluh menit di sebuah gedung tinggi berlantai seratus yang terkenal di Chicago. Mereka berderap menuju lantai sembilan puluh empat—tempat acara pertemuan diadakan. “Kenapa mereka harus jauh-jauh memesan ke tempat kita?” Charles kebingungan. Emma mengangkat kedua bahunya. “Mungkin yang terdekat sudah k
Emma berhasil mengangkat kakinya dari tindihan saat Jeremy mengubah posisinya menjadi membungkuk di atas tubuh Emma. Ia tanpa ragu menendang pangkal paha Jeremy dengan sangat keras sampai Jeremy terjungkal dan genggaman tangannya pada Emma terlepas. “Aw! Aw!” Jeremy berteriak kesalitan. Emma bangkit dari posisinya dan melempar wajah Jeremy dengan ponsel yang berada di meja. “Dasar psikopat berengsek!” maki Emma yang langsung berlari menjauh. “Aw, aduh! Kemari kau, Perempuan Sialan!!” geram Jeremy saat melihat Emma menuju pintu. Jeremy bangkit dari sofa sembari meraung-raung kesakitan. Dia kesulitan mengejar Emma yang sudah bersiap membuka pintu untuk melarikan diri. Emma terkejut saat membuka pintu dan perempuan yang tadi mengantar dirinya hampir terjatuh ke arahnya. Ia memelotot ke arah perempuan yang sedang membawa gelas minuman di atas baki karena tak menolong dirinya sejak tadi dan malah menguping di depan pintu. “Dasar perempuan jalang!” umpat Emma sambil mendorong tubuh si
“Emma, bukankah kemarin aku menyuruhmu cuti?” tanya Anna yang terkejut saat melihat Emma sudah berada di Monroe Flowers & Gifts pagi itu. Lulu dan Charles yang baru saja tiba di Monroe Flowers & Gifts juga terkejut saat melihat Emma. “Kau seharusnya istirahat di rumah, Em!” protes Lulu. Charles yang kemarin bersama Emma juga khawatir. “Kau yakin tak apa-apa, Em?” Kemarin Charles sempat merasa bingung saat Emma tiba-tiba menghubungi dirinya untuk mengganti tempat bertemu. Dia melihat wajah pucat dan tubuh gemetar temannya saat masuk ke dalam mobil. Charles tak berani mengajak perempuan itu berbicara karena terlihat sangat terguncang. Emma baru menceritakan yang dirinya alami setelah mereka tiba di Monroe Flowers & Gifts. Ia sebenarnya tak ingin bercerita, tetapi terpaksa bercerita. Pasalnya, kejadian itu dialami saat sedang bekerja. Ia merasa perlu mengatakan yang terjadi pada atasannya. Ann, Lulu dan Charles sangat geram. Mereka meminta Emma melaporkan Jeremy si Psikopat ke kanto
Emma sungguh perempuan yang tangguh. Ia seakan lupa kejadian menakutkan dan menjijikkan yang dilakukan oleh seorang laki-laki tua bangka. Seorang laki-laki yang seharusnya sibuk memikirkan keluarga, tetapi malah sibuk melecehkan perempuan hanya karena merasa memiliki uang dan kekuasaan. Emma bahkan tak memikirkan sama sekali kejadian yang baru dialaminya kemarin dan malah memikirkan suami yang menggugat cerai dirinya. Ia duduk dengan sebuah sendok di tangan sembari menatap kosong ke arah piringnya. “Apa yang mereka semua lakukan di Chicago?” gumam Emma dalam hati. Emma mengaduk-aduk makan siang dan tak menyuap sama sekali makanannya. “Kenapa Mia sangat panik? Apa Nate melihatku? Apa dia tahu aku sangat membenci Nate?” batinnya. “Em, makananmu!” pekik Lulu saat melihat makanan Emma berceceran. Emma tersadar dari lamunannya karena suara Lulu. “Maaf …,” ucapnya. Itu adalah jam makan siang Monroe Flowers & Gifts dan Emma sedang makan siang bersama Lulu serta Ann. Ia lupa sejenak deng
Emma dan rekan kerjanya di The 177 N Restaurant & Bar kompak melihat ke arah pintu yang ditarik ke arah luar restoran. Mereka menunggu seseorang masuk ke dalam restoran dan perlahan mulai tampak wajah bulat dengan mata kecil melongok di pintu. Suara mengembus napas terdengar bersamaan di dalam restoran itu saat wajah tak asing yang muncul. Wajah milik laki-laki bertubuh tambun yang memakai kaos putih, celana pendek cokelat dan sepatu kets hitam. “Halo semua!” sapa Jack—si pengantar sayur, sembari menyengir lebar. “Ya Tuhan, Jack.” Emma memegang dada karena jantungnya berdetak sangat cepat. “Oh, sht!” umpat Sue. Andy—salah seorang koki, berjongkok karena kakinya lemas. “Damn it, Man. Aku hampir terkena serangan jantung!” Hampir semua yang sedang berkumpul di sekitar Emma mengumpat pada Jack. Bahkan Sue sudah bersiap dengan kotak tisu di tangannya untuk berjaga-jaga. Jack tercengang dengan umpatan yang mereka tunjukkan padanya. “Apa? Ada apa? Kenapa kalian semua memakiku? Apa sala
“Semua sudah sesuai perintah Anda dan ini yang Anda minta, Sir,” terang Jacob meletakkan amplop berisi beberapa lembar foto di atas meja atasannya. Nate memasang wajah datar dan dingin saat mengambil amplop itu. Ia menyandarkan tubuh pada kursi kebesarannya, menyilangkan kaki di atas meja sembari membuka amplop. Nate melihat satu per satu foto yang diambil oleh orang suruhannya. “…, sejauh ini dia pegawai di dua tempat, Sir. Dia bekerja di ….” Jacob mulai menyampaikan semua informasi secara detail yang diperoleh dari orang suruhannya. Tanpa ada yang terlewat sedikit pun. “…, terkadang dia juga bekerja paruh waktu di waktu liburnya,” tutup Jacob. Nate meremas foto-foto dari Jacob kemudian mendengus kesal. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup seperti ini?!” ketusnya. Ia melemparkan foto-foto yang sudah lecek dalam genggamannya ke arah Jacob. Bulatan kertas itu berhasil mengenai Jacob yang hanya tertunduk. Ia menatap Jacob dengan geram. “Dia meninggalkan aku hanya untuk hidup se
Emma diantar kembali ke Monroe Flowers & Gifts oleh Nate. Ia masih tampak sangat pucat saat masuk ke dalam toko bunga. Ann langsung menyuruh Charles yang baru kembali dari pengantaran untuk mengunci pintu serta membalik tulisan di pintu menjadi tutup. Ann menoleh pada Emma dan menggenggam tangan Emma. “Kau tak apa-apa, Emma? Apa dia melakukan sesuatu padamu?” Emma menelan air liur dan memaksakan senyuman. “Aku baik-baik saja, Ann,” jawabnya. Bagaimana mungkin Ann percaya setelah melihat Emma dibawa paksa oleh laki-laki tak dikenal. Belum lagi, seorang laki-laki lain menghalangi dengan menunjukkan senjata api pada Ann dan Lulu. Setelah mereka pergi, datang lagi dua laki-laki menyeramkan memaksa Ann menyerahkan rekaman kamera CCTV. “Siapa dia, Emma?” Lulu penasaran. “Orang gila,” sebut Emma tanpa ekspresi. Lulu justru semakin penasaran dengan jawaban Emma. Sayangnya, Ann mengedipkan mata agar Lulu berhenti bertanya. “Seandainya aku tadi ada di sini!” Charles kesal. “Kau tak akan
Emma bekerja keras untuk keluarga kecilnya di beberapa tempat. Ia bekerja di Monroe Flowers & Gifts mulai dari Senin sampai Jumat, sedangkan di The 177 N Restaurant & Bar dari Selasa sampai Sabtu. Di hari liburnya, Emma kerja paruh waktu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia bekerja empat jam selama tiga hari dalam seminggu menyesuaikan waktu kerja di dua tempat lain. Emma yang tangguh tetap bekerja di akhir pekan bahkan setelah mengalami pelecehan dari mantan suaminya. “Emma, kau harus menulis kaligrafi untuk lima ini dulu, ya,” terang Lulu sambil menyodorkan catatan berisi pesan yang harus ditulis kaligrafi. “Mereka sudah memesan dari Jumat kemarin dan Charles harus mengantarkan pagi ini.” “Oke, Lu,” jawab Emma yang langsung mengambil catatan dari Lulu. Jumat lalu, Emma terpaksa pulang lebih cepat setelah dibawa paksa oleh Nate. Ia merasa tak enak dengan Ann karena masalah pribadinya membuat kerjaan terhambat. Untungnya, Ann tak mempermasalahkan. Emma masuk ke dalam ruang kaligrafi.
“Kau mau datang padaku atau aku datang padamu, Emma?” tanya seorang laki-laki dari balik ponsel. Emma sedang bersama sang buah hati saat nomor tak dikenal menghubungi. Perempuan beranak satu itu tadinya tak ingin menerima panggilan, tetapi perasaannya berkata lain. Untung saja, Emma mengikuti perasaannya karena jika tidak laki-laki itu sudah berdiri di depan apartemennya. Emma membelalakkan mata saat mendengar suara lawan bicaranya. “Nate? Dari mana kau tahu nomorku?” “Apa itu penting, Emma?” Nate kembali bertanya. “Aku sudah di depan gedung apartemenmu. Kau yang keluar atau aku yang masuk, hm?” Dada Emma berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, kepalanya justru menoleh pada sang buah hati yang sedang asyik belajar mewarnai. “Aku yang keluar!” tegas perempuan yang terpaksa harus meninggalkan putranya sejenak. “Mom—” Suara bocah kecil itu terpotong karena sang ibu dengan cepat menutup mulutnya. “Tunggu saja aku di restoran dekat apartemen ini. Aku akan memberi nama restoran lewat pe
Kelap-kelip lampu dansa mengikuti ingar bingar musik di klub malam Kota London. Sebuah klub ternama yang ramai didatangi pengunjung yang ingin menikmati musik, hiburan sampai minuman keras untuk melepas penat.Seorang perempuan cantik duduk sendiri menunggu hiburan. Dia perlu meluapkan kekesalan karena tunangan yang terang-terangan menolak dirinya. Jika tunangannya ingin bersikap keras kepala, dia pun akan melakukan hal sama karena dia berniat mempertahankan miliknya.Di saat sang perempuan sibuk menenggak minuman pahit dalam gelas kristal, datang seseorang yang segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Tamu yang ditunggu-tunggu rupanya laki-laki tampan bertubuh tinggi bak model terkenal.“Kau sudah datang dari tadi, ya?” tanya laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna silver.Perempuan cantik berambut hitam itu tak menjawab. Tubuh kesepian yang lama tak tersentuh menuntut ingin dimanja. Dia langsung naik ke atas pangkuan laki-laki bay
Nate baru saja mendarat di Bandara London Heathrow dan wajahnya tampak sangat tak ramah pagi itu. Bukan karena mengantuk, melainkan karena kesal. Bagaimana tak kesal jika perempuan yang dicari olehnya bersembunyi di negaranya. Bodohnya lagi, orang suruhannya tak dapat melacaknya. Nate baru mengetahui keberadaan Emma dari seorang mata-mata. Laki-laki tampan yang sedang kesal itu berniat langsung menemui sang perempuan. Dia sudah tak dapat lagi menahan perasaannya. Apalagi, perempuan yang pernah menikah dengannya seolah sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Akan tetapi, Nate mengurungkan niat. Laki-laki yang sedang tampak kejam itu tak boleh membuat takut sang perempuan. Ia tak ingin lagi ditinggalkan karena tujuan sekarang mencari tahu yang terjadi di masa lalu. Jika perempuan yang digugat cerai tak melakukan seperti kesalahan, Nate akan merebutnya kembali. Mia bergegas berlari untuk menyambut tunangannya. “Nate Sayang, kenapa kau tak bilang akan pulang?” “Apa aku tak boleh pula
“Apa aku harus membawamu ke negara lain, Em?” David bertanya dari balik ponsel. Emma tercekat dan matanya membulat. “Aku saja belum bekerja di sini, Dave!” Perempuan cantik yang sudah meninggalkan restoran itu baru berniat ingin menikmati keindahan kota London bersama keluarga dan temannya. Sebab, kemarin seorang pengurus rumah tangga akhirnya berhasil didapatkan. Namun, tak disangka-sangka keberadaan dirinya malah diketahui sang mantan mertua. Emma dalam perjalanan kembali ke apartemen saat dihubungi temannya. Ia kemudian menceritakan kejadian yang baru dialami. Kebetulan restoran yang tadi didatangi olehnya hanya selisih dua gedung dari bangunan menjulang tinggi. Sebuah bangunan yang akan menjadi kantornya selama beberapa bulan ke depan. David belum mulai bekerja persis seperti Emma. Hanya sekedar mengunjungi kantor yang baru buka beberapa bulan lalu. Setelah mendengar cerita dari temannya, laki-laki berambut pirang itu geram. Dia hendak mendatangi Emma untuk menghibur, tetapi pe
“Apa kau begitu menyukai kedua pamanmu, Ethan?” Emma mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban sang buah hati. “Kau mengajak main Uncle Dave dan menelepon Uncle Jeff … hampir setiap hari.” Anak laki-laki bertubuh seratus sentimeter itu mengangguk dengan cepat. “Tentu saja.” “Dan kau tak menyukaiku? Padahal aku ibumu!” Emma berpura-pura merajuk. “Aku yang melahirkanmu, tetapi kau tak pernah mengajakku bermain seperti kau dengan Dave. Kau juga tak bercerita padaku seperti kau bercerita pada Jeff.” Bocah mungil itu memeluk sang ibu. “Aku menyukai Mommy, tetapi aku anak laki-laki, Mom. Aku harus bermain dan bercerita pada sesama laki-laki!” Emma yang sedang merajuk pun tertawa mendengar alasan putranya. Ia berjongkok agar tubuh mereka sejajar, lalu dikecup kening sang buah hati. Perempuan itu tak menyangka kesulitan yang dialami saat mengandung putranya sama sekali tak sia-sia karena putranya adalah sumber kekuatan. Emma tak pernah merasa anaknya adalah beban baginya. Ia tak t
David menatap sepasang iris mata cokelat milik teman yang diam-diam disukai olehnya. “Bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku, Em?” Emma terkesiap karena pertanyaan yang mengejutkan. Ia balik menatap laki-laki tampan berambut agak panjang yang berada di sebelahnya sembari mengejapkan mata beberapa kali. “A-Apa maksudmu, Dave?” tanyanya kebingungan. “Bukankah tadi kau bertanya cara membayar hutangmu padaku?” David mengingatkan perempuan itu. “Dan aku menjawab, bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku? Untuk membayar hutangmu.” Laki-laki itu menyunggingkan senyuman seraya menaikkan alisnya beberapa kali. “Apa yang akan kau lakukan, Em?” Tak sedikit orang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak dapat berteman. Bukan tanpa alasan, melainkan sudah banyak kejadian. Itu juga yang terjadi pada David. Anak laki-laki dari pemilik Doxon Group sudah menyukai temannya sejak lama mereka masih remaja. Selama lima belas tahun atau dapat dikatakan setengah hidupnya, dia memend
David yang memiliki nama lengkap David John Doxon memang bukan orang sembarang. Laki-laki itu putra pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari pemilik Doxon Group. Dia menjabat sebagai COO atau disebut juga sebagai tangan kedua dari CEO yang tak lain adalah ayahnya. Dan cepat atau lambat, Doxon Group juga akan menjadi miliknya. Seperti Mordha Oil & Gas Company, perusahaan milik ayah David bergerak di bidang minyak dan gas bumi. Kedua perusahaan itu sama-sama masuk ke dalam delapan perusahaan minyak dan gas terbesar di seluruh dunia. Mereka berdua sangat kompetitif sampai perusahaan lainnya menyebut mereka sebagai rival sejati. Sebagai pimpinan operasional perusahaan, dia bertanggung jawab mengawasi dan mengambil keputusan. Termasuk kantor yang baru buka beberapa bulan lalu di London, Inggris. Oleh sebab itu, David akan bertugas di sana selama beberapa bulan ke depan. Emma berkali-kali menolak saat David menawarkan pekerjaan dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun, perempua
Selama satu minggu, Nate sudah beberapa kali menghancurkan barang karena kesal. Sang pewaris tampan dan kejam itu masih belum menemukan keberadaan Emma. Ia sudah memerintahkan asistennya agar menambah orang lagi yang dapat membantu orang suruhan mereka. Nate tetap melakukan pekerjaannya meski berada di Chicago. Ia sibuk mengurusi pekerjaan, mendengar rengekan tunangan, cerocosan ibu dan memantau pencarian Emma. Kepala yang ditumbuhi rambut cokelat alami miliknya serasa ingin pecah. Sebab itu, Nate memilih menghancurkan barang daripada kepala orang. “Bukankah sudah aku bilang kalau pekerjaanku di sini belum selesai?” Nate sedikit mendesis di ponsel karena rengekan sang tunangan. “Apa tak ada yang bisa kau kerjakan di London selain meneleponku setiap saat?” “Aku meninggalkan pekerjaanku untukmu, Nate!” Mia terdengar tak terima dengan kata-kata dari laki-laki yang dicintainya. “Well, apa aku memintamu?” Nate menantang perempuan yang sedang kesal di balik ponsel. “Kau boleh kembali ke
“Emma …,” panggil suara laki-laki dari belakangnya. Emma terdiam karena suara di belakangnya sembari mencoba menebak-nebak siapa pemilik suara berat dan dalam. Hampir mirip seperti suara Nate, tetapi sedikit berbeda. “Kau … Emma, ‘kan?” Laki-laki itu memastikan. Emma sedikit demi sedikit menoleh ke arah asal suara. Matanya lebih dulu menatap kemeja biru gelap yang menutupi tubuh tegap dan kuat. Ia mengira-ngira laki-laki itu memiliki tinggi yang sama dengan Nate jika dilihat dari tinggi bahu di hadapannya. Perempuan yang hendak masuk ke dalam restoran ayam cepat saji itu menelan air liur. “Dia bukan Nate karena aku hapal suaranya,” batinnya. “Lalu … dia siapa?” Laki-laki berambut pirang agak gelap sedikit meninggikan suara. “Melgren!” tegurnya. “Jangan pura-pura tak mengenaliku!” Emma perlahan-lahan mengangkat kepala sampai mata cokelat tua beradu tatap dengan sepasang iris mata biru pucat. Perempuan itu mengejapkan mata beberapa kali dengan mulut sedikit terbuka karena laki-laki