Emma bekerja keras untuk keluarga kecilnya di beberapa tempat. Ia bekerja di Monroe Flowers & Gifts mulai dari Senin sampai Jumat, sedangkan di The 177 N Restaurant & Bar dari Selasa sampai Sabtu. Di hari liburnya, Emma kerja paruh waktu di sebuah pusat perbelanjaan. Ia bekerja empat jam selama tiga hari dalam seminggu menyesuaikan waktu kerja di dua tempat lain. Emma yang tangguh tetap bekerja di akhir pekan bahkan setelah mengalami pelecehan dari mantan suaminya. “Emma, kau harus menulis kaligrafi untuk lima ini dulu, ya,” terang Lulu sambil menyodorkan catatan berisi pesan yang harus ditulis kaligrafi. “Mereka sudah memesan dari Jumat kemarin dan Charles harus mengantarkan pagi ini.” “Oke, Lu,” jawab Emma yang langsung mengambil catatan dari Lulu. Jumat lalu, Emma terpaksa pulang lebih cepat setelah dibawa paksa oleh Nate. Ia merasa tak enak dengan Ann karena masalah pribadinya membuat kerjaan terhambat. Untungnya, Ann tak mempermasalahkan. Emma masuk ke dalam ruang kaligrafi.
“Cih! Adik? Adik yang bisa ditiduri?” geram Emma sembari mencerocos. “Mereka sudah bertunangan dan akan menikah, tetapi dia masih berani melecehkan aku! Dasar orang gila!” “Dia bahkan menanyakan kenapa aku meninggalkannya?!” ketus Emma di dalam ruang kaligrafi setelah Mia pergi. “Aku membencimu, keluargamu dan Mia!” Semua bermula sejak Nate mengenalkan Emma sebagai kekasih di hadapan Mia. Sejak hari itu, Emma menyadari bahwa Mia tak pernah menyukai dirinya. Ia pernah mempermasalahkan hal itu pada Nate. Namun, Nate mengatakan Mia seperti adiknya. Emma mencoba tak mengambil pusing. Hanya saja, dirinya selalu dipandang sinis dan direndahkan oleh Mia. Sering kali, dirinya melihat Mia di kediaman Mordha karena diundang oleh Josephine bahkan diminta menginap. Ia juga sudah muak dibanding-bandingkan dengan Mia oleh Josephine. Tak tanggung-tanggung, Emma ditertawakan oleh Mia setelah kena teguran dari Josephine. Emma masih mengingatnya dengan baik meski sudah bertahun-tahun berlalu. Ia mem
“Jadi dia mantan suamimu?” tanya Lulu dengan mata memelotot dan suara hampir berteriak. Setelah dua hari berlalu, Emma baru saja mengatakan bahwa laki-laki yang disemprot dengan semprotan merica olehnya adalah mantan suaminya pada Ann dan Lulu. “Untuk apa mantan suamimu mencarimu, Emma?” Ann merasa sangat geram. Ann dan Lulu memang sudah curiga ada sesuatu antara Emma dengan laki-laki yang datang ke toko bunga dengan sangat kasar. Pertama kali datang Nate menyeret Emma dan dua hari lalu Nate sampai mencengkeram rahang Ann. “Sepertinya dia sudah gila!” geram Emma yang masih tak mengerti mengapa Nate harus bolak-balik ke toko bunga. Emma sangat tak enak pada Ann dan memutuskan akan mencari pekerjaan lain. Ia harus berada jauh dari Nate dan orang-orang terdekatnya. “Kau tak perlu mengundurkan diri, Emma,” tutur Ann yang melihat Emma sungkan padanya. “Tak mungkin, Ann. Dia pasti akan terus datang ke sini!” Emma sudah tahu seperti apa watak Nate. “Aku tak tahu kalau dia pemilik gedun
Nate bangkit dari kursi dengan raut wajah datar. Ia meninggalkan Emma karena merasa unggul dan yakin sebentar lagi Emma akan mengemis padanya. Emma bangkit dari kursi sembari menatap punggung Nate yang bergerak menjauh darinya. Ia mengepalkan kedua tangannya dengan erat dengan rahang yang menegang. "Ternyata selain pengecut, kau juga sudah gila!" pekik Emma dari depan meja petugas polisi. Petugas polisi ikut bangkit dari kursinya. “Ms Melgren, saya minta Anda tenang.” Jacob dan James saling bertatapan, kemudian menoleh ke arah Nate yang telah berlalu. Mereka berharap Nate tak akan mendengar kata-kata Emma. Akan tetapi, Nate sudah terlanjur mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Emma dengan bengis. “Apa kau bilang? Gila?” tanya Nate dengan sebelah alis terangkat. Emma tak ada rasa takut sedikit pun karena sedang berada di kantor polisi. Ia yakin Nate tak akan bisa menonjok sesuatu di dekat Emma atau melecehkan Emma. “Iya, gila! Kau sudah gila!” Emma memelo
Emma bangkit dari kursinya dengan mata terbelalak. “Kau ingin membunuh ayahku dengan menjebloskan aku ke penjara, hah?!” teriak Emma dari depan meja polisi pada Nate. Emma bekerja keras untuk keluarga kecilnya karena ayah Emma, Sean, sedang sakit dan hanya bisa duduk di kursi roda. Ia membayar seseorang untuk mengurus kebutuhan Sean saat dirinya sedang bekerja. Ia tak bisa membayangkan jika harus masuk ke dalam penjara, lalu siapa yang akan membayar pengurus Sean. Jika tak bisa membayar pengurus Sean, apa yang terjadi pada Sean. Nate berhenti melangkah dan melirik pada Emma, tetapi tak menoleh. Ia hanya menaikkan tangannya ke arah telinga dengan ibu jari dan jari kelingking terangkat, kemudian berderap meninggalkan Emma yang sedang menatapnya penuh kebencian di kantor polisi. Nate ingin Emma menghubunginya. “Nate, kau bajingan pengecut!” geram Emma dalam hati. Emma kembali terduduk di depan petugas polisi. Ia menoleh pada Ann yang duduk di sebelahnya dengan tatapan kosong. “Ann …
Nate tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar bunyi bel dari pintu kamar yang dirinya tempati.“Akhirnya kau datang juga, Emma,” gumam Nate sembari tersenyum licik.Ia belum lama menerima jawaban dari Emma yang telah memilih tak ingin masuk penjara. Nate tentu saja langsung membalas pesan Emma. Mengirim pesan bahwa Jacob akan mengantar Emma untuk menemui Nate di hotel.Nate si CEO tampan dan kaya raya menginap di kamar Peninsula Suite dengan harga ribuan dolar per malam. Sebuah kamar suite tertinggi dari hotel bintang lima, The Peninsula Chicago.Nate sengaja hanya memakai jubah mandi setelah tadi membalas pesan Emma. Ia berderap menuju pintu kamar seraya melonggarkan ikatan jubah mandinya.“Memang hanya kau yang pantas, Emma,” tutur Nate.Nate masih sempat tersenyum saat di depan pintu kamar. Ia membuka pintu kamar perlahan. Semakin terbuka pintunya, semakin terbuka juga matanya.Nate mengerutkan alisnya. “Mia?” panggilnya.“Hai, Sayang,” sapa Mia dengan genit.Mia meletakkan tang
Emma menatap David yang sedang mengendarai mobil. Ia merasa tak enak dengan David. “Dave, bagaimana aku mengganti uang itu padamu?” tanya Emma khawatir. “Em, berapa lama kita kenal satu sama lain?” David menoleh sejenak sebelum kembali fokus ke jalanan. “Aku tak ingat. Yang jelas lebih dari sepuluh tahun,” ucap Emma sambil menggigit bibirnya karena malas menghitung. David terkekeh di sebelah Emma. “Kau hanya ingat padanya, bukan?” “Aku tak ingat siapa-siapa, Dave!” Emma murung karena kata-kata David. “Maaf, maaf,” tutur David. “Aku hanya bercanda, Em.” David sebenarnya datang ke Monroe Flowers & Gifts dan terkejut saat melihat keadaan toko bunga yang sedang tak baik-baik saja. Dia tadinya ingin menghubungi Emma dan untung saja bertemu dengan Lulu lebih dulu. Dari situ, dia mengetahui Emma sedang di kantor polisi dan segera menuju ke kantor polisi. Saat itu, Emma telah mengirim pesan pada Nate bahwa dirinya tak ingin masuk penjara. Ia menerima pesan dari Nate kalau Jacob yang aka
“Apa? Kesengajaan, Ann?” Emma mengerutkan alis sembari mendesis lirih. “Apa mereka benar-benar melakukan pengecekan?”“Mereka bilang sudah dua kali melakukan pengecekan,” ungkap Ann terisak-isak dari balik ponsel. “Kebakaran itu terjadi karena ada peralatan elektronik yang terhubung dengan stop kontak dalam keadaan korslet hingga menimbulkan percikan api.”“Oh, bullshit!” maki Emma dari balik ponsel. Ia menggertakkan gigi karena merasa jengkel. “Kita tak mungkin mencolok peralatan elektronik dalam keadaan korslet! Apa kita gila?”Emma mendadak merasa geram mendengar penjelasan pihak asuransi pada Ann tentang penyebab kebakaran di Monroe Flowers & Gifts. Ada sesuatu yang mencurigakan tentang kebakaran itu. Sayangnya, Emma bukanlah seorang detektif seperti Sherlock Holmes yang dapat memecahkan masalah.“Kalau aku yang menjadi pihak asuransi, aku juga pasti akan mengat
“Kau mau datang padaku atau aku datang padamu, Emma?” tanya seorang laki-laki dari balik ponsel. Emma sedang bersama sang buah hati saat nomor tak dikenal menghubungi. Perempuan beranak satu itu tadinya tak ingin menerima panggilan, tetapi perasaannya berkata lain. Untung saja, Emma mengikuti perasaannya karena jika tidak laki-laki itu sudah berdiri di depan apartemennya. Emma membelalakkan mata saat mendengar suara lawan bicaranya. “Nate? Dari mana kau tahu nomorku?” “Apa itu penting, Emma?” Nate kembali bertanya. “Aku sudah di depan gedung apartemenmu. Kau yang keluar atau aku yang masuk, hm?” Dada Emma berdetak sangat kencang. Tanpa sadar, kepalanya justru menoleh pada sang buah hati yang sedang asyik belajar mewarnai. “Aku yang keluar!” tegas perempuan yang terpaksa harus meninggalkan putranya sejenak. “Mom—” Suara bocah kecil itu terpotong karena sang ibu dengan cepat menutup mulutnya. “Tunggu saja aku di restoran dekat apartemen ini. Aku akan memberi nama restoran lewat pe
Kelap-kelip lampu dansa mengikuti ingar bingar musik di klub malam Kota London. Sebuah klub ternama yang ramai didatangi pengunjung yang ingin menikmati musik, hiburan sampai minuman keras untuk melepas penat.Seorang perempuan cantik duduk sendiri menunggu hiburan. Dia perlu meluapkan kekesalan karena tunangan yang terang-terangan menolak dirinya. Jika tunangannya ingin bersikap keras kepala, dia pun akan melakukan hal sama karena dia berniat mempertahankan miliknya.Di saat sang perempuan sibuk menenggak minuman pahit dalam gelas kristal, datang seseorang yang segera mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Tamu yang ditunggu-tunggu rupanya laki-laki tampan bertubuh tinggi bak model terkenal.“Kau sudah datang dari tadi, ya?” tanya laki-laki yang mengenakan kemeja berwarna silver.Perempuan cantik berambut hitam itu tak menjawab. Tubuh kesepian yang lama tak tersentuh menuntut ingin dimanja. Dia langsung naik ke atas pangkuan laki-laki bay
Nate baru saja mendarat di Bandara London Heathrow dan wajahnya tampak sangat tak ramah pagi itu. Bukan karena mengantuk, melainkan karena kesal. Bagaimana tak kesal jika perempuan yang dicari olehnya bersembunyi di negaranya. Bodohnya lagi, orang suruhannya tak dapat melacaknya. Nate baru mengetahui keberadaan Emma dari seorang mata-mata. Laki-laki tampan yang sedang kesal itu berniat langsung menemui sang perempuan. Dia sudah tak dapat lagi menahan perasaannya. Apalagi, perempuan yang pernah menikah dengannya seolah sedang bermain kucing-kucingan dengannya. Akan tetapi, Nate mengurungkan niat. Laki-laki yang sedang tampak kejam itu tak boleh membuat takut sang perempuan. Ia tak ingin lagi ditinggalkan karena tujuan sekarang mencari tahu yang terjadi di masa lalu. Jika perempuan yang digugat cerai tak melakukan seperti kesalahan, Nate akan merebutnya kembali. Mia bergegas berlari untuk menyambut tunangannya. “Nate Sayang, kenapa kau tak bilang akan pulang?” “Apa aku tak boleh pula
“Apa aku harus membawamu ke negara lain, Em?” David bertanya dari balik ponsel. Emma tercekat dan matanya membulat. “Aku saja belum bekerja di sini, Dave!” Perempuan cantik yang sudah meninggalkan restoran itu baru berniat ingin menikmati keindahan kota London bersama keluarga dan temannya. Sebab, kemarin seorang pengurus rumah tangga akhirnya berhasil didapatkan. Namun, tak disangka-sangka keberadaan dirinya malah diketahui sang mantan mertua. Emma dalam perjalanan kembali ke apartemen saat dihubungi temannya. Ia kemudian menceritakan kejadian yang baru dialami. Kebetulan restoran yang tadi didatangi olehnya hanya selisih dua gedung dari bangunan menjulang tinggi. Sebuah bangunan yang akan menjadi kantornya selama beberapa bulan ke depan. David belum mulai bekerja persis seperti Emma. Hanya sekedar mengunjungi kantor yang baru buka beberapa bulan lalu. Setelah mendengar cerita dari temannya, laki-laki berambut pirang itu geram. Dia hendak mendatangi Emma untuk menghibur, tetapi pe
“Apa kau begitu menyukai kedua pamanmu, Ethan?” Emma mengangkat kedua alisnya sembari menunggu jawaban sang buah hati. “Kau mengajak main Uncle Dave dan menelepon Uncle Jeff … hampir setiap hari.” Anak laki-laki bertubuh seratus sentimeter itu mengangguk dengan cepat. “Tentu saja.” “Dan kau tak menyukaiku? Padahal aku ibumu!” Emma berpura-pura merajuk. “Aku yang melahirkanmu, tetapi kau tak pernah mengajakku bermain seperti kau dengan Dave. Kau juga tak bercerita padaku seperti kau bercerita pada Jeff.” Bocah mungil itu memeluk sang ibu. “Aku menyukai Mommy, tetapi aku anak laki-laki, Mom. Aku harus bermain dan bercerita pada sesama laki-laki!” Emma yang sedang merajuk pun tertawa mendengar alasan putranya. Ia berjongkok agar tubuh mereka sejajar, lalu dikecup kening sang buah hati. Perempuan itu tak menyangka kesulitan yang dialami saat mengandung putranya sama sekali tak sia-sia karena putranya adalah sumber kekuatan. Emma tak pernah merasa anaknya adalah beban baginya. Ia tak t
David menatap sepasang iris mata cokelat milik teman yang diam-diam disukai olehnya. “Bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku, Em?” Emma terkesiap karena pertanyaan yang mengejutkan. Ia balik menatap laki-laki tampan berambut agak panjang yang berada di sebelahnya sembari mengejapkan mata beberapa kali. “A-Apa maksudmu, Dave?” tanyanya kebingungan. “Bukankah tadi kau bertanya cara membayar hutangmu padaku?” David mengingatkan perempuan itu. “Dan aku menjawab, bagaimana jika aku meminta kau menikah denganku? Untuk membayar hutangmu.” Laki-laki itu menyunggingkan senyuman seraya menaikkan alisnya beberapa kali. “Apa yang akan kau lakukan, Em?” Tak sedikit orang mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki tak dapat berteman. Bukan tanpa alasan, melainkan sudah banyak kejadian. Itu juga yang terjadi pada David. Anak laki-laki dari pemilik Doxon Group sudah menyukai temannya sejak lama mereka masih remaja. Selama lima belas tahun atau dapat dikatakan setengah hidupnya, dia memend
David yang memiliki nama lengkap David John Doxon memang bukan orang sembarang. Laki-laki itu putra pertama sekaligus anak laki-laki satu-satunya dari pemilik Doxon Group. Dia menjabat sebagai COO atau disebut juga sebagai tangan kedua dari CEO yang tak lain adalah ayahnya. Dan cepat atau lambat, Doxon Group juga akan menjadi miliknya. Seperti Mordha Oil & Gas Company, perusahaan milik ayah David bergerak di bidang minyak dan gas bumi. Kedua perusahaan itu sama-sama masuk ke dalam delapan perusahaan minyak dan gas terbesar di seluruh dunia. Mereka berdua sangat kompetitif sampai perusahaan lainnya menyebut mereka sebagai rival sejati. Sebagai pimpinan operasional perusahaan, dia bertanggung jawab mengawasi dan mengambil keputusan. Termasuk kantor yang baru buka beberapa bulan lalu di London, Inggris. Oleh sebab itu, David akan bertugas di sana selama beberapa bulan ke depan. Emma berkali-kali menolak saat David menawarkan pekerjaan dengan alasan tak ingin merepotkan. Namun, perempua
Selama satu minggu, Nate sudah beberapa kali menghancurkan barang karena kesal. Sang pewaris tampan dan kejam itu masih belum menemukan keberadaan Emma. Ia sudah memerintahkan asistennya agar menambah orang lagi yang dapat membantu orang suruhan mereka. Nate tetap melakukan pekerjaannya meski berada di Chicago. Ia sibuk mengurusi pekerjaan, mendengar rengekan tunangan, cerocosan ibu dan memantau pencarian Emma. Kepala yang ditumbuhi rambut cokelat alami miliknya serasa ingin pecah. Sebab itu, Nate memilih menghancurkan barang daripada kepala orang. “Bukankah sudah aku bilang kalau pekerjaanku di sini belum selesai?” Nate sedikit mendesis di ponsel karena rengekan sang tunangan. “Apa tak ada yang bisa kau kerjakan di London selain meneleponku setiap saat?” “Aku meninggalkan pekerjaanku untukmu, Nate!” Mia terdengar tak terima dengan kata-kata dari laki-laki yang dicintainya. “Well, apa aku memintamu?” Nate menantang perempuan yang sedang kesal di balik ponsel. “Kau boleh kembali ke
“Emma …,” panggil suara laki-laki dari belakangnya. Emma terdiam karena suara di belakangnya sembari mencoba menebak-nebak siapa pemilik suara berat dan dalam. Hampir mirip seperti suara Nate, tetapi sedikit berbeda. “Kau … Emma, ‘kan?” Laki-laki itu memastikan. Emma sedikit demi sedikit menoleh ke arah asal suara. Matanya lebih dulu menatap kemeja biru gelap yang menutupi tubuh tegap dan kuat. Ia mengira-ngira laki-laki itu memiliki tinggi yang sama dengan Nate jika dilihat dari tinggi bahu di hadapannya. Perempuan yang hendak masuk ke dalam restoran ayam cepat saji itu menelan air liur. “Dia bukan Nate karena aku hapal suaranya,” batinnya. “Lalu … dia siapa?” Laki-laki berambut pirang agak gelap sedikit meninggikan suara. “Melgren!” tegurnya. “Jangan pura-pura tak mengenaliku!” Emma perlahan-lahan mengangkat kepala sampai mata cokelat tua beradu tatap dengan sepasang iris mata biru pucat. Perempuan itu mengejapkan mata beberapa kali dengan mulut sedikit terbuka karena laki-laki