Varisha termenung di samping ranjang Marissa. Sudah satu bulan sejak putrinya dirawat di rumah sakit dan juga kepulangannya dari Spanyol yang ternyata malah semakin menambah rasa bersalahnya. “Mama mikirin apa?” Marissa membuka matanya perlahan lalu memandang wajah Varisha.“Mama nggak mau lihat Marissa sakit lagi. Kalau bisa biar Mama saja yang menggantikannya, Sayang.” Varisha mengecup kening Marissa cukup lama.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Mama jangan khawatir. Rissa kuat seperti Mama,” balas Marissa dengan nada menennagkan yang justru membuat air mata Varisha meleleh.“Maafkan Mama, Sayang. Maaf karena Mama belum bisa menjadi ibu yang terbaik untuk Rissa,” lirih Varisha dengan suara gemetar. Marissa menggeleng. “Mama adalah ibu terhebat di hati Rissa. Nggak ada yang kayak Mama. Rissa sayang Mama.” “Apa kamu masih mau bertemu dengan Om yang menyelamatkan kamu, Rissa?” tanya Varisha setelah mengusap air matanya dan menenangkan hatinya.Marissa terdiam sejenak, anak itu tampak
“Untuk apa lagi kau datang menemuinya?” tanya Sophia saat melihat Varisha sedang menunggu di ruang kerja Arshaka.“Aku minta maaf soal malam itu. Tapi, hari ini aku datang karena ada hal yang harus aku bicarakan dengannya.” Varisha menatap wajah Sophia dengan serius.“Hal apa yang masih perlu kalian bicarakan?” tuntut Sophia dengan ketus.“Aku tidak bisa memberitahukannya padamu. Tapi, percayalah aku tidak akan mengganggu hubungan kalian,” kata Varisha dengan lelah. Rasanya sudah tidak ada tenaganya yang tersisa untuk berdebat. Varisha mengosongkan jadwalnya untuk menemui Arshaka di Paris. Dia sama sekali belum istirahat sedikit pun. Tubuhnya terasa lemah, apalagi kalau dirinya harus menghadapi hal diluar perkiraannya. Varisha tidak menyangka akan bertemu dengan Sophia lagi setelah apa yang terjadi malam itu. “Dasar wanita bodoh dan tidak tahu malu. Aku heran kenapa kau masih berani datang menemuinya setelah rasa sakit yang kau tinggalkan untuknya.” Kata-kata Sophia keluar dengan
“Jadi, apa yang kamu mau kali ini?” tanya Arshaka tanpa basa-basi setelah Varisha menghabiskan seluruh makanannya. Varisha terdiam untuk sejenak, mencoba memproses segala sesuatu yang sedang terjadi. Otaknya seperti semakin lambat untuk berpikir. Beberapa kali ia meremas ujung roknya atau menggigit bibir bawahnya. Namun, belum ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.“Katakanlah, Varisha!” seru Arshaka dengan sangat tegas.“Apa hubunganmu dengan Sophia?” Varisha langsung memejamkan matanya dan merutuki dirinya karena kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan. “Apa kamu datang hanya untuk ini?” tanya Arshaka dengan pandangan dan nada mengejek.“Aku cuma nggak mau merusak hubungan kalian. Aku nggak mau dia salah paham dengan kehadiranku di sini.”“Memangnya apa yang akan terjadi? Apa kita akan bercinta di sini?”“Mas! Aku serius!”“Kamu pikir saya sedang bergurau,” balas Arshaka dengan tatapan dinginnya. “Apa sebenarnya tuju
Varisha segera kembali ke Jerman, setelah kembali dari Paris ia langsung mengurus beberapa pekerjaan dan datang ke rumah Ibu Sebastian untuk melihat Stefan. “Mama dari mana saja? Stefan kangen, Mama.” Stefan langsung memeluk Varisha begitu melihatnya.“Mama juga kangen sekali sama kamu. Maaf, ya, Mama baru datang.” Varisha berlutut untuk membalas pelukan Stefan sambil mengusap punggungnya.“Stefan mau pulang, Mama. Stefan mau main di rumah sama Kakak,” ujar Stefan setelah melepaskan pelukannya.“Sebentar lagi, Sayang. Stefan di sini dulu. Kalau Kakak sudah sehat nanti kita main sama-sama lagi.”Stefan hanya mengangguk, meskipun ada segurat kekecewaan di matanya. Varisha yang mengerti perasaan Stefan langsung mengajaknya main, memasak makanan kesukaannya, dan menemaninya tidur. Setelah Stefan tertidur pulas, Varisha kembali menitipkannya pada Mama mertuanya. Wanita itu kembali ke rumahnya untuk menyegarkan diri lalu pergi ke rumah sakit untuk menemui Marissa.Sesampainya di rumah sa
Varisha terdiam seribu bahasa. Kata-kata itu menyambarnya seperti kilatan petir. “Aku nggak salah dengar kan, Mas?” “Kita akan menikah, Varisha. Dan saya rasa itu lah satu-satunya cara supaya kita bisa merawat Marissa bersama.” Arshaka menegaskan kata-katanya dengan seksama. “Tapi, Mas, apa ini nggak terlalu cepat?” Arshaka menatap ibu dari anaknya itu dengan pandangan jijik. “Apa lagi yang mau kamu tunggu? Bukankah kamu pernah bilang kalau kamu akan melakukan apa saja demi Marissa! Nah, kalau begitu buktikan sekarang. Berkorbanlah untuk anakmu, seperti saat kamu memilih laki-laki itu dulu.”“Lakukanlah, Mas, kalau memang itu yang terbaik menurutmu. Asalkan anak-anakku bisa bahagia aku akan melakukannya,” balas Varisha dengan pasrah. Menurutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa. Dirinya harus menebus kesalahannya pada Arshaka dan Marissa. Arshaka tersenyum puas. “Siapkan dirimu, kita akan menikah satu minggu dari sekarang. Dan sebaiknya juga kamu memikirkan kata-kata untuk memberi
“Maafkan aku, Soph. Kita benar-benar tidak bisa bersama. Aku akan kembali dengannya demi anak kami.” Arshaka mengusap punggung Sophia dengan lembut. “Kenapa? Kenapa kau selalu jatuh kepada wanita bodoh itu untuk kesekian kalinya?” Sophia membenamkan wajahnya di dada Arshaka. “Aku iri dengannya, Shaka. Berulang kali dia menyakitimu, tapi kau tetap kembali padanya.”“Kali ini aku kembali hanya untuk anakku. Dia sedang sakit dan sangat membutuhkanku.”“Apa aku bisa memegang kata-katamu ini? Kau tidak kembali dengannya karena masih menginginkannya?”“Carilah pria lain, Soph. Kau masih muda dan sangat cantik. Carilah yang mencintaimu, pasti tidak akan sulit. Aku sudah tua. Jangan berharap padaku. Karena aku pun tidak bisa berjanji masih bisa memberikan hatiku untuk wanita lain. Akan kubiarkan perasaanku mati bersama dengannya. Maafkan aku, Soph.” Sophia terdiam, tidak menangis, tidak berkata kasar. Dia mendongakkan wajahnya menatap Arshaka. Sophia menyatukan bibirnya dengan bibir Arshaka
Satu bulan lebih hidup di bawah atap yang sama dengan Arshaka, Pria itu sama sekali belum menyentuhnya. Arshaka sudah memutuskan untuk menetap di Jerman dan mengurus perusahaannya dari sana. Setiap hari ia pergi bekerja lalu kembali ke rumah dan bermain bersama anak-anak. Sementara Varisha, kembali pada rutinitasnya yang dulu. Semua urusan pekerjaan di perusahaan Sebastian telah ia serahkan pada Arshaka. Kini, Varisha sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang hanya fokus mengurus anak dan suaminya di rumah. Varisha juga fokus pada kondisi Marissa yang masih sering melakukan cuci darah. Itulah rutinitas yang sudah biasa mereka lakukan selama sebulan lebih ini. Varisha berusaha bersikap setenang mungkin, tetap melayani Arshaka sebagaimana mestinya seperti menyiapkan makanan, pakaian kerja, dan kebutuhan lainnya. Hanya kebutuhan biologisnya yang belum Varisha berikan karena Arshaka seperti sengaja menghindarinya. Varisha berusaha memahami sikap dan perasaan Arshaka yang masih terluka ka
Arshaka keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Ia duduk di tepi ranjang. Varisha sudah tidak ada di sana. Wanita itu pasti sudah pergi ke kamarnya setelah apa yang ia lakukan. Arshaka mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa sudah menjadi pria paling berengsek yang pernah ada. Bagaimana bisa ia membuat wanita yang pernah dicintainya atau mungkin memang masih dicintainya tersiksa seperti itu. Air mata dan permohonan wanita itu bahkan masih tercetak jelas dalam ingatannya. Arshaka hanya berpikir bahwa ia harus memegang kendali. Kesalahan Varisha kali ini lebih besar dari sebelumnya dan Arshaka merasa belum bisa mengendalikan kemarahannya pada wanita itu. Namun, bukannya kesenangan yang ia dapat dalam dirimya, malah yang ia rasakan hanyalah kekalahan dan rasa pahit ditambah dengan hasrat tertahan yang semakin memperburuk keadaan.Kata-kata Varisha mungkin memang ada benarnya. Selama ini dorongan untuk menyatukan diri dengan wanita itu lebih kuat daripada apa yang dikira. T
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s