Varisha terdiam seribu bahasa. Kata-kata itu menyambarnya seperti kilatan petir. “Aku nggak salah dengar kan, Mas?” “Kita akan menikah, Varisha. Dan saya rasa itu lah satu-satunya cara supaya kita bisa merawat Marissa bersama.” Arshaka menegaskan kata-katanya dengan seksama. “Tapi, Mas, apa ini nggak terlalu cepat?” Arshaka menatap ibu dari anaknya itu dengan pandangan jijik. “Apa lagi yang mau kamu tunggu? Bukankah kamu pernah bilang kalau kamu akan melakukan apa saja demi Marissa! Nah, kalau begitu buktikan sekarang. Berkorbanlah untuk anakmu, seperti saat kamu memilih laki-laki itu dulu.”“Lakukanlah, Mas, kalau memang itu yang terbaik menurutmu. Asalkan anak-anakku bisa bahagia aku akan melakukannya,” balas Varisha dengan pasrah. Menurutnya sudah tidak ada lagi yang tersisa. Dirinya harus menebus kesalahannya pada Arshaka dan Marissa. Arshaka tersenyum puas. “Siapkan dirimu, kita akan menikah satu minggu dari sekarang. Dan sebaiknya juga kamu memikirkan kata-kata untuk memberi
“Maafkan aku, Soph. Kita benar-benar tidak bisa bersama. Aku akan kembali dengannya demi anak kami.” Arshaka mengusap punggung Sophia dengan lembut. “Kenapa? Kenapa kau selalu jatuh kepada wanita bodoh itu untuk kesekian kalinya?” Sophia membenamkan wajahnya di dada Arshaka. “Aku iri dengannya, Shaka. Berulang kali dia menyakitimu, tapi kau tetap kembali padanya.”“Kali ini aku kembali hanya untuk anakku. Dia sedang sakit dan sangat membutuhkanku.”“Apa aku bisa memegang kata-katamu ini? Kau tidak kembali dengannya karena masih menginginkannya?”“Carilah pria lain, Soph. Kau masih muda dan sangat cantik. Carilah yang mencintaimu, pasti tidak akan sulit. Aku sudah tua. Jangan berharap padaku. Karena aku pun tidak bisa berjanji masih bisa memberikan hatiku untuk wanita lain. Akan kubiarkan perasaanku mati bersama dengannya. Maafkan aku, Soph.” Sophia terdiam, tidak menangis, tidak berkata kasar. Dia mendongakkan wajahnya menatap Arshaka. Sophia menyatukan bibirnya dengan bibir Arshaka
Satu bulan lebih hidup di bawah atap yang sama dengan Arshaka, Pria itu sama sekali belum menyentuhnya. Arshaka sudah memutuskan untuk menetap di Jerman dan mengurus perusahaannya dari sana. Setiap hari ia pergi bekerja lalu kembali ke rumah dan bermain bersama anak-anak. Sementara Varisha, kembali pada rutinitasnya yang dulu. Semua urusan pekerjaan di perusahaan Sebastian telah ia serahkan pada Arshaka. Kini, Varisha sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang hanya fokus mengurus anak dan suaminya di rumah. Varisha juga fokus pada kondisi Marissa yang masih sering melakukan cuci darah. Itulah rutinitas yang sudah biasa mereka lakukan selama sebulan lebih ini. Varisha berusaha bersikap setenang mungkin, tetap melayani Arshaka sebagaimana mestinya seperti menyiapkan makanan, pakaian kerja, dan kebutuhan lainnya. Hanya kebutuhan biologisnya yang belum Varisha berikan karena Arshaka seperti sengaja menghindarinya. Varisha berusaha memahami sikap dan perasaan Arshaka yang masih terluka ka
Arshaka keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Ia duduk di tepi ranjang. Varisha sudah tidak ada di sana. Wanita itu pasti sudah pergi ke kamarnya setelah apa yang ia lakukan. Arshaka mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa sudah menjadi pria paling berengsek yang pernah ada. Bagaimana bisa ia membuat wanita yang pernah dicintainya atau mungkin memang masih dicintainya tersiksa seperti itu. Air mata dan permohonan wanita itu bahkan masih tercetak jelas dalam ingatannya. Arshaka hanya berpikir bahwa ia harus memegang kendali. Kesalahan Varisha kali ini lebih besar dari sebelumnya dan Arshaka merasa belum bisa mengendalikan kemarahannya pada wanita itu. Namun, bukannya kesenangan yang ia dapat dalam dirimya, malah yang ia rasakan hanyalah kekalahan dan rasa pahit ditambah dengan hasrat tertahan yang semakin memperburuk keadaan.Kata-kata Varisha mungkin memang ada benarnya. Selama ini dorongan untuk menyatukan diri dengan wanita itu lebih kuat daripada apa yang dikira. T
Entah sudah berapa lama Varisha menunggu Arshaka. Sekarang sudah larut malam dan pria itu sama sekali tidak menghubunginya, bahkan ponselnya tidak aktif karena Varisha juga tidak bisa menghubunginya. Varisha mencoba menahan kantuknya dengan membuat segelas kopi susu. Sesekali matanya menatap jam dinding di ruang tamu, tetapi menit demi menit berlalu pria itu masih juga belum kembali sampai rasa kantuknya sudah tidak tertahan lagi dan akhirnya ia terlelap di sofa.Varisha terbangun ketika merasakan tubuh seseorang menindihnya. Ia membuka matanya perlahan dan samar-samar melihat Arshaka yang berada di atas tubuhnya. Aroma alkohol menyeruak ke indera penciumannya. Sebelum Varisha bisa bergerak, tangan Arshaka menahan tubuhnya. Pria itu mulai mencium bibir, wajah, dan bagian tubuh Varisha dengan kasar. Varisha hanya pasrah saat tangan Arshaka dengan kasar mengoyak gaun malamnya. Varisha mencoba menahan mualnya ketika aroma alkohol yang kuat itu menguar di mulutnya. Tangan Arshaka mulai
Lambat laun, setelah dua tahun lebih pernikahan mereka, segalanya mulai berubah. Setiap harinya Varisha berusaha menyentuh hati dan perasaan Arshaka. Dengan penuh kesabaran ia menerima segala perlakuan Arshaka. Tidak peduli bagaimana pria itu mencari cara untuk menyakitinya, Varisha tidak pernah menunjukkan perasaannya yang sebenarnya. Ditelannya bulat-bulat semua perbuatan Arshaka padanya dan hanya ia balas dengan senyuman.Varisha terus menunjukkan tekadnya, bahwa dirinya buka Varisha yang mudah menyerah seperti dulu. Kali ini, Varisha benar-benar memperjuangkan Arshaka semampunya. Varisha terus akan menunjukkan cintanya pada pria itu. Setiap hari ia berharap ada keajaiban dan semuanya bisa kembali lagi dan Arshaka bisa memaafkannya.Akhirnya setelah penantian yang cukup lama, segalanya itu berbuah manis, kebencian Arshaka kepadanya mulai terkikis. Sedikit demi sedikit Varisha bisa merasakan kasih sayang dan cinta yang mungkin tidak pernah hilang dari hati pria itu. Pria itu selalu
Varisha baru saja selesai menjalani pemeriksaan untuk mendonorkan ginjalnya. Terangnya cahaya lampu memancarkan suasana yang tenang, tetapi di wajah Varisha terpancar kegelisahan yang mendalam. Seorang Dokter profesional berpenampilan serius dan penuh empati, duduk di hadapannya dengan berkas medis di tangan. Wajahnya menunjukkan ketegasan yang diselingi dengan kelembutan saat dia menghadapi situasi sensitif ini. “Maaf, Varisha. Saya memiliki beberapa kabar yang sulit untuk disampaikan. Kami tidak bisa melanjutkan rencana transplantasi ginjal Anda untuk Marissa.”“Kenapa, Dok? Apakah ada masalah dengan kesehatan saya?” tanya Varisha dengan sedih.“Varisha, saat ini Anda sedang hamil. Proses donor ginjal sangat mempengaruhi tubuh, dan dalam kondisi kehamilan, itu bisa membawa resiko besar bagi Anda dan janin yang Anda kandung."Tapi, bagaimana dengan Marissa? Apa yang harus saya lakukan sekarang?" desah Varisha, dengan air mata mengalir di pipinya.“Saya paham perasaan Anda, Varisha.
Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu adanya donor ginjal yang cocok untuk Marissa. Sebenarnya sudah ada beberapa pendonor yang mau memberikan ginjalnya untuk Marissa, tetapi dari beberapa orang itu belum ada satu pun yang lolos dari pemeriksaan. Di tengah penderitaan yang seakan tidak berujung ini, Varisha dan Arshaka sepakat untuk tidak menyerah dan putus asa. Setiap hari mereka berdoa dan berharap akan ada keajaiban datang untuk Marissa. Mereka masih percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan doa mereka.Dan sepertinya Tuhan sudah menunjukkan kuasanya ketika Dokter mengatakan jika sudah ada pendonor yang bersedia memberikan ginjalnya. Kabar baiknya pendonor tersebut sudah menjalani pemeriksaan dan hasilnya cocok dengan ginjal Marissa.“Ada seorang pendonor yang telah menjalani pemeriksaan dan hasilnya cocok dengan kebutuhan ginjal Marissa!”Sesaat Arshaka dan Varisha termenung mendengar kabar itu, semuanya terasa seperti mimpi. Mereka memang sering memimpikan hal itu. Satu da