Varisha turun dari ranjangnya perlahan, merasa kelelahan yang begitu mendalam menyergap tubuhnya. Kamar mewah itu tiba-tiba terasa terlalu sesak, seperti penjara yang mencekiknya. Dia melangkah ke arah balkon, mencari udara segar yang bisa memberinya sedikit kelonggaran. Meskipun malam London bersinar terang dengan lampu-lampu kota yang berkilau, pikirannya masih gelap, dipenuhi oleh bayangan Arshaka dan serangkaian peristiwa yang menyakitkan.Varisha sudah mempertimbangkan berbagai cara untuk melarikan diri, untuk menghindari Arshaka dan menghapusnya dari kehidupannya seperti yang ia lakukan beberapa minggu lalu. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa melarikan diri hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit dan kerugian. Dia sudah membayar harga yang sangat mahal, kehilangan calon anaknya. Kejadian itu masih terasa sangat segar di ingatannya.Kali ini, Varisha merasa sudah tak bisa lagi lari dari Arshaka, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Ia tahu bahwa pria itu takkan pernah melepa
Keesokan paginya, Varisha duduk dengan sikap yang canggung di depan Arshaka, yang duduk di seberang meja dengan pandangan penuh perhatian. Arshaka tersenyum dengan bangga saat Varisha dengan canggung menghabiskan telur omelet yang baru saja ia buatkan. Setelahnya, pria itu menyiapkan segelas jus segar untuk Varisha.Varisha hanya diam, menerima perlakuan Arshaka tanpa banyak bicara. Ia merasa masih asing dengan semua perhatian pria itu, namun, dalam hatinya, Varisha sudah membuat keputusan. Ia akan mengikuti permainan Arshaka, setidaknya sampai ia menemukan peluang untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Arshaka melanjutkan untuk menunjukkan perhatiannya dengan menyodorkan segelas jus di hadapan Varisha. "Minumlah, itu akan membantumu merasa lebih baik," katanya.Varisha meraih gelas dengan gemetar, menundukkan pandangannya ke dalam cairan berwarna cerah di depannya. Dia meminum jus itu dengan ragu, mencoba mengabaikan rasa manisnya yang menyelinap ke kerongkongannya, sement
Arshaka yang baru saja selesai mandi menemukan Varisha sibuk di dapur, menggantung gaun hijau gelap yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Dalam sekejap, Varisha tampak seperti seorang koki yang piawai, memasak dengan percaya diri dan penuh semangat. Aroma makanan yang sedang dimasak memenuhi ruangan, menambah kehangatan di dalam apartemen itu.Kesibukan Varisha terputus saat langkah-langkah berat terdengar di belakangnya. Arshaka, dengan tatapan dinginnya yang melekat padanya, mendekati Varisha dengan langkah mantap. Ketika Arshaka berada di dekatnya, dia dengan tegas menghentikan Varisha, matanya memancarkan ketegasan dan otoritas.“Apa kamu tidak mendengar perintah saya? tanya Arshaka dengan nada tegas.Varisha menatap Arshaka dengan tenang, matanya mencoba membaca ekspresi dingin di wajah pria itu. "Kamu terlalu berlebihan," ujarnya dengan suara yang tenang namun tegas. "Saya tidak selemah itu kalau hanya untuk memasak. Lagipula saya bosan tidak melakukan apa pun beberapa hari ini."
Hari berlalu, dan mereka terus menjalani rutinitas mereka bersama. Meskipun Arshaka masih sering bepergian untuk pekerjaannya, ia selalu menghabiskan waktu dengan Varisha saat ia ada di apartemen. Mereka bahkan mulai pergi bersama ke berbagai tempat di London, menjelajahi museum dan restoran-restoran eksklusif di kota itu. Arshaka berusaha sebaik mungkin untuk menjadikan pengalaman tersebut sebagai peluang untuk lebih dekat dengan Varisha.Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada momen-momen ketegangan antara mereka. Terkadang, Varisha masih merasa tidak nyaman dengan pendekatan fisik Arshaka, terutama ketika pria itu mencoba untuk mendekatinya. Perasaannya begitu rumit, dan ia terus berjuang untuk memahaminya.Hari itu, Malam telah turun di atas kota London, dan suasana damai membungkus kota megah itu dengan gemerlap cahaya dari jendela-jendela tinggi pencakar langit, memantulkan cahaya kunang-kunang kota yang terhampar luas di bawahnya. Di antara keramaian dan gemuruh kota besar, Arshak
Baru kali ini, Varisha merasa seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Setelah momen kehangatan dan gairah yang memenuhi kamar, ia merasakan kelelahan yang menyelubungi setiap serat ototnya. Tubuhnya serasa menjadi lumpur hangat yang begitu sulit untuk digerakkan, dan matanya seakan-akan tertutup rapat oleh kelambu kenangan-kenangan yang baru saja berlalu."Varisha," bisik Arshaka dengan lembut, sementara tangannya masih melingkar di sekitar tubuh wanita itu. Namun, Varisha tak bisa membalasnya. Matanya terasa berat, dan kepalanya terasa kosong.Kenangan tentang gaun yang merosot dari tubuhnya seperti daun yang gugur dari dahan. Ciuman-ciuman yang tak henti-hentinya dari Arshaka, membawanya ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, kenikmatan itu juga membawanya ke titik lelah yang tak terelakkan. Seketika, Varisha merasakan sensasi penuh yang mencapai setiap ujung sarafnya, dan ia tak mampu lagi menahan diri.Dalam kelelahan itu, Varisha bisa merasakan Arsha
Arshaka menutup telepon dengan ekspresi masam, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan tegas. Wajahnya terlihat tegang, dan ia merasa beban berat di pundaknya. Cakra kembali mendesaknya untuk segera pulang ke Indonesia secepatnya. Semua rencana dan masa depannya kini seolah-olah berada di bawah bayang-bayang perintah keras ayahnya.Dalam hatinya, Arshaka merasa begitu resah dan tidak siap. Bagaimana ia bisa membatalkan rencana pernikahannya dengan Adelia, membawa Varisha kembali sebagai istrinya, dan menghadapi Cakra yang pasti tidak akan menerima keputusannya. Semua pikiran ini berputar dalam kepalanya, meninggalkan rasa bingung yang sangat besar.Arshaka terduduk di kursi kulitnya, merenung tentang apa yang harus dilakukannya. Ancaman Cakra yang ingin menceraikan ibunya kembali mengusik pikirannya. Arshaka sudah sangat mengenal Cakra, ayahnya itu selalu menepati apa yang sudah ia katakan. Seandainya saja ibunya tidak begitu mencintai Cakra, mungkin dia tidak akan terlalu ambil
Langit Jakarta terasa berat di atas gedung-gedung pencakar langit yang menjulang. Arshaka memasuki ruangan kantor Cakra dengan langkah mantap. Sementara Cakra duduk di balik meja besarnya, melihat putranya masuk. Tatapannya tajam, seolah-olah mencoba memahami rencana apa yang sedang terlintas di pikiran Arshaka.“Saya tidak akan melanjutkan rencana pernikahan itu. Saya mencintai wanita lain," ucap Arshaka dengan nada yang tak tergoyahkan dan tanpa basa-basi.Sejenak, suasana hening memenuhi ruangan. Cakra menatap putranya tanpa sepatah kata. Detik itu seolah berjalan sangat lambat, dan kemudian Cakra akhirnya membuka mulutnya. "Siapa wanita itu?"Arshaka tersenyum, bukan senyuman penuh keceriaan, melainkan senyuman yang mengandung kepastian dan keputusan. "Saya akan segera memperkenalkannya. Tapi sebelum itu, saya ingin membuat semuanya jelas. Kali ini, Papa tidak akan bisa memisahkan saya dari wanita yang saya cintai."Cakra tetap tenang, mata tajamnya tetap menatap Arshaka. "Apa ka
Ruangan mewah itu dihiasi dengan cahaya lembut dan aroma harum dari lilin yang menyala. Ornamen-ornamen seni menjadikan suasana semakin elegan. Tertata rapi di sekeliling meja makan besar yang sudah disiapkan untuk acara keluarga Diaksara dan keluarga Hirawan.Semua anggota keluarga, yang sebelumnya hanya bersama dalam berbagai pertemuan formal, kini berkumpul dalam acara makan malam yang diadakan oleh Cakra. Wajah-wajah yang akrab namun jauh dari kebersamaan tampak tersenyum, menunjukkan kehangatan di antara kerabat yang sudah lama tidak bersua. Selain makan malam bersama, acara malam itu juga berlangsung untuk merayakan ulang tahun Cakra ke 60 tahun. Acara akan dimulai, dan semuanya telah duduk di tempat masing-masing. Namun, Anindya, menghentikan semua kegiatan dan tersenyum dengan penuh misteri. "Maafkan saya, namun ada satu anggota keluarga lagi yang seharusnya ikut hadir malam ini. Seorang yang mungkin sudah sangat dinantikan."Semua orang memandang satu sama lain, bingung deng