London, dua minggu kemudian.Dalam keheningan ruangan rumah sakit yang sepi, Varisha terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terbungkus oleh linen putih yang bersih. Cahaya redup lampu menyelinap masuk dari balik tirai jendela, menciptakan suasana hening yang menggantung di udara. Setiap napas yang dihela Varisha terasa berat, dipenuhi oleh rasa sakit yang mencabik-cabik hatinya. Sinar mentari sore menyapu lembut wajahnya melalui jendela yang dipagari bilah-bilah besi. Wajah Varisha terlihat pucat dan lelah, cernanya mata itu dipenuhi oleh kekosongan yang sulit diungkapkan.Dua minggu lamanya, Varisha terperangkap dalam dunia yang gelap dan kesepian. Di dalam ruangan rumah sakit yang sunyi, ia merasa seolah-olah seluruh dunianya telah runtuh, dan tidak ada cahaya yang mampu menerangi jalannya.Ketika akhirnya ia membuka mata untuk pertama kalinya, suasana yang menyelimuti kamarnya adalah kehampaan dan kesendirian. Ia merasa seorang diri, terkunci dalam dunianya yang gelap. Semua ya
Kilatan amarah masih membara dalam mata Arshaka saat dia menatap dokter. Ketidakpatuhan Varisha membuatnya marah, dan dia merasa segera membawa wanita itu pulang adalah satu-satunya jalan keluar."Apakah Anda benar-benar tidak mengenalnya?" tanya dokter tersebut dengan sabar.“Saya sama sekali tidak mengenalnya,” jawab Varisha dengan tegas.Arshaka hanya tersenyum pahit, mengabaikan larangan duduk di ranjang yang diucapkan oleh wanita di depannya. Dia menurunkan tubuhnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Varisha. Namun, gadis itu tidak mengakui keberadaannya dan tetap bersikeras tidak ingin melihatnya."Bagaimana mungkin seorang istri tidak mengingat suaminya sendiri?" tanya Arshaka dengan sinis.“Apakah benar kondisinya baik-baik saja? Apa tidak ada yang salah dengan ingatannya?” Arshaka menatap dokter dengan dalam seolah mencari jawaban yang pasti.Dokter itu menghela nafas dan akhirnya mengatakan, "Sejauh ini, pasien masih mengingat namanya dan memiliki memori yang cukup baik. Namu
Beberapa hari kemudian, Varisha berbaring di ranjang apartemen mewah milik Arshaka, perasaannya masih berantakan. Varisha sempat berpikir bahwa Arshaka akan langsung membawanya ke Indonesia seperti rencana awal sebelum dirinya melarikan diri. Namun, ternyata Arshaka membawanya kembali ke apartemen pribadinya di London.Varisha masih merasa syok setelah kecelakaan yang mengakibatkan dirinya kehilangan calon anaknya. Bagian terdalam dari hatinya terasa kosong, seolah-olah sebagian besar dari dirinya telah dirobek keluar. kemarahannya pada Arshaka semakin besar karena pria itu mencoba mengendalikan hidupnya, merenggut sedikit kontrol yang tersisa padanya.Varisha menatap kosong piring makanan yang sejak tadi disajikan untuknya. Pikirannya hancur, emosi bergejolak, dan dia merasa seperti dalam penjara emosional.Tiba-tiba, Varisha mendengar langkah kaki dari kamar mandi. Arshaka keluar dengan santainya, telah mengganti baju dan terlihat seperti biasa. Tetapi tatapan dinginnya terasa menus
Varisha turun dari ranjangnya perlahan, merasa kelelahan yang begitu mendalam menyergap tubuhnya. Kamar mewah itu tiba-tiba terasa terlalu sesak, seperti penjara yang mencekiknya. Dia melangkah ke arah balkon, mencari udara segar yang bisa memberinya sedikit kelonggaran. Meskipun malam London bersinar terang dengan lampu-lampu kota yang berkilau, pikirannya masih gelap, dipenuhi oleh bayangan Arshaka dan serangkaian peristiwa yang menyakitkan.Varisha sudah mempertimbangkan berbagai cara untuk melarikan diri, untuk menghindari Arshaka dan menghapusnya dari kehidupannya seperti yang ia lakukan beberapa minggu lalu. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa melarikan diri hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit dan kerugian. Dia sudah membayar harga yang sangat mahal, kehilangan calon anaknya. Kejadian itu masih terasa sangat segar di ingatannya.Kali ini, Varisha merasa sudah tak bisa lagi lari dari Arshaka, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Ia tahu bahwa pria itu takkan pernah melepa
Keesokan paginya, Varisha duduk dengan sikap yang canggung di depan Arshaka, yang duduk di seberang meja dengan pandangan penuh perhatian. Arshaka tersenyum dengan bangga saat Varisha dengan canggung menghabiskan telur omelet yang baru saja ia buatkan. Setelahnya, pria itu menyiapkan segelas jus segar untuk Varisha.Varisha hanya diam, menerima perlakuan Arshaka tanpa banyak bicara. Ia merasa masih asing dengan semua perhatian pria itu, namun, dalam hatinya, Varisha sudah membuat keputusan. Ia akan mengikuti permainan Arshaka, setidaknya sampai ia menemukan peluang untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Arshaka melanjutkan untuk menunjukkan perhatiannya dengan menyodorkan segelas jus di hadapan Varisha. "Minumlah, itu akan membantumu merasa lebih baik," katanya.Varisha meraih gelas dengan gemetar, menundukkan pandangannya ke dalam cairan berwarna cerah di depannya. Dia meminum jus itu dengan ragu, mencoba mengabaikan rasa manisnya yang menyelinap ke kerongkongannya, sement
Arshaka yang baru saja selesai mandi menemukan Varisha sibuk di dapur, menggantung gaun hijau gelap yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Dalam sekejap, Varisha tampak seperti seorang koki yang piawai, memasak dengan percaya diri dan penuh semangat. Aroma makanan yang sedang dimasak memenuhi ruangan, menambah kehangatan di dalam apartemen itu.Kesibukan Varisha terputus saat langkah-langkah berat terdengar di belakangnya. Arshaka, dengan tatapan dinginnya yang melekat padanya, mendekati Varisha dengan langkah mantap. Ketika Arshaka berada di dekatnya, dia dengan tegas menghentikan Varisha, matanya memancarkan ketegasan dan otoritas.“Apa kamu tidak mendengar perintah saya? tanya Arshaka dengan nada tegas.Varisha menatap Arshaka dengan tenang, matanya mencoba membaca ekspresi dingin di wajah pria itu. "Kamu terlalu berlebihan," ujarnya dengan suara yang tenang namun tegas. "Saya tidak selemah itu kalau hanya untuk memasak. Lagipula saya bosan tidak melakukan apa pun beberapa hari ini."
Hari berlalu, dan mereka terus menjalani rutinitas mereka bersama. Meskipun Arshaka masih sering bepergian untuk pekerjaannya, ia selalu menghabiskan waktu dengan Varisha saat ia ada di apartemen. Mereka bahkan mulai pergi bersama ke berbagai tempat di London, menjelajahi museum dan restoran-restoran eksklusif di kota itu. Arshaka berusaha sebaik mungkin untuk menjadikan pengalaman tersebut sebagai peluang untuk lebih dekat dengan Varisha.Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada momen-momen ketegangan antara mereka. Terkadang, Varisha masih merasa tidak nyaman dengan pendekatan fisik Arshaka, terutama ketika pria itu mencoba untuk mendekatinya. Perasaannya begitu rumit, dan ia terus berjuang untuk memahaminya.Hari itu, Malam telah turun di atas kota London, dan suasana damai membungkus kota megah itu dengan gemerlap cahaya dari jendela-jendela tinggi pencakar langit, memantulkan cahaya kunang-kunang kota yang terhampar luas di bawahnya. Di antara keramaian dan gemuruh kota besar, Arshak
Baru kali ini, Varisha merasa seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Setelah momen kehangatan dan gairah yang memenuhi kamar, ia merasakan kelelahan yang menyelubungi setiap serat ototnya. Tubuhnya serasa menjadi lumpur hangat yang begitu sulit untuk digerakkan, dan matanya seakan-akan tertutup rapat oleh kelambu kenangan-kenangan yang baru saja berlalu."Varisha," bisik Arshaka dengan lembut, sementara tangannya masih melingkar di sekitar tubuh wanita itu. Namun, Varisha tak bisa membalasnya. Matanya terasa berat, dan kepalanya terasa kosong.Kenangan tentang gaun yang merosot dari tubuhnya seperti daun yang gugur dari dahan. Ciuman-ciuman yang tak henti-hentinya dari Arshaka, membawanya ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, kenikmatan itu juga membawanya ke titik lelah yang tak terelakkan. Seketika, Varisha merasakan sensasi penuh yang mencapai setiap ujung sarafnya, dan ia tak mampu lagi menahan diri.Dalam kelelahan itu, Varisha bisa merasakan Arsha