Kilatan amarah masih membara dalam mata Arshaka saat dia menatap dokter. Ketidakpatuhan Varisha membuatnya marah, dan dia merasa segera membawa wanita itu pulang adalah satu-satunya jalan keluar."Apakah Anda benar-benar tidak mengenalnya?" tanya dokter tersebut dengan sabar.“Saya sama sekali tidak mengenalnya,” jawab Varisha dengan tegas.Arshaka hanya tersenyum pahit, mengabaikan larangan duduk di ranjang yang diucapkan oleh wanita di depannya. Dia menurunkan tubuhnya hanya beberapa jengkal dari tubuh Varisha. Namun, gadis itu tidak mengakui keberadaannya dan tetap bersikeras tidak ingin melihatnya."Bagaimana mungkin seorang istri tidak mengingat suaminya sendiri?" tanya Arshaka dengan sinis.“Apakah benar kondisinya baik-baik saja? Apa tidak ada yang salah dengan ingatannya?” Arshaka menatap dokter dengan dalam seolah mencari jawaban yang pasti.Dokter itu menghela nafas dan akhirnya mengatakan, "Sejauh ini, pasien masih mengingat namanya dan memiliki memori yang cukup baik. Namu
Beberapa hari kemudian, Varisha berbaring di ranjang apartemen mewah milik Arshaka, perasaannya masih berantakan. Varisha sempat berpikir bahwa Arshaka akan langsung membawanya ke Indonesia seperti rencana awal sebelum dirinya melarikan diri. Namun, ternyata Arshaka membawanya kembali ke apartemen pribadinya di London.Varisha masih merasa syok setelah kecelakaan yang mengakibatkan dirinya kehilangan calon anaknya. Bagian terdalam dari hatinya terasa kosong, seolah-olah sebagian besar dari dirinya telah dirobek keluar. kemarahannya pada Arshaka semakin besar karena pria itu mencoba mengendalikan hidupnya, merenggut sedikit kontrol yang tersisa padanya.Varisha menatap kosong piring makanan yang sejak tadi disajikan untuknya. Pikirannya hancur, emosi bergejolak, dan dia merasa seperti dalam penjara emosional.Tiba-tiba, Varisha mendengar langkah kaki dari kamar mandi. Arshaka keluar dengan santainya, telah mengganti baju dan terlihat seperti biasa. Tetapi tatapan dinginnya terasa menus
Varisha turun dari ranjangnya perlahan, merasa kelelahan yang begitu mendalam menyergap tubuhnya. Kamar mewah itu tiba-tiba terasa terlalu sesak, seperti penjara yang mencekiknya. Dia melangkah ke arah balkon, mencari udara segar yang bisa memberinya sedikit kelonggaran. Meskipun malam London bersinar terang dengan lampu-lampu kota yang berkilau, pikirannya masih gelap, dipenuhi oleh bayangan Arshaka dan serangkaian peristiwa yang menyakitkan.Varisha sudah mempertimbangkan berbagai cara untuk melarikan diri, untuk menghindari Arshaka dan menghapusnya dari kehidupannya seperti yang ia lakukan beberapa minggu lalu. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa melarikan diri hanya akan membawa lebih banyak rasa sakit dan kerugian. Dia sudah membayar harga yang sangat mahal, kehilangan calon anaknya. Kejadian itu masih terasa sangat segar di ingatannya.Kali ini, Varisha merasa sudah tak bisa lagi lari dari Arshaka, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Ia tahu bahwa pria itu takkan pernah melepa
Keesokan paginya, Varisha duduk dengan sikap yang canggung di depan Arshaka, yang duduk di seberang meja dengan pandangan penuh perhatian. Arshaka tersenyum dengan bangga saat Varisha dengan canggung menghabiskan telur omelet yang baru saja ia buatkan. Setelahnya, pria itu menyiapkan segelas jus segar untuk Varisha.Varisha hanya diam, menerima perlakuan Arshaka tanpa banyak bicara. Ia merasa masih asing dengan semua perhatian pria itu, namun, dalam hatinya, Varisha sudah membuat keputusan. Ia akan mengikuti permainan Arshaka, setidaknya sampai ia menemukan peluang untuk melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Arshaka melanjutkan untuk menunjukkan perhatiannya dengan menyodorkan segelas jus di hadapan Varisha. "Minumlah, itu akan membantumu merasa lebih baik," katanya.Varisha meraih gelas dengan gemetar, menundukkan pandangannya ke dalam cairan berwarna cerah di depannya. Dia meminum jus itu dengan ragu, mencoba mengabaikan rasa manisnya yang menyelinap ke kerongkongannya, sement
Arshaka yang baru saja selesai mandi menemukan Varisha sibuk di dapur, menggantung gaun hijau gelap yang memeluk tubuhnya dengan anggun. Dalam sekejap, Varisha tampak seperti seorang koki yang piawai, memasak dengan percaya diri dan penuh semangat. Aroma makanan yang sedang dimasak memenuhi ruangan, menambah kehangatan di dalam apartemen itu.Kesibukan Varisha terputus saat langkah-langkah berat terdengar di belakangnya. Arshaka, dengan tatapan dinginnya yang melekat padanya, mendekati Varisha dengan langkah mantap. Ketika Arshaka berada di dekatnya, dia dengan tegas menghentikan Varisha, matanya memancarkan ketegasan dan otoritas.“Apa kamu tidak mendengar perintah saya? tanya Arshaka dengan nada tegas.Varisha menatap Arshaka dengan tenang, matanya mencoba membaca ekspresi dingin di wajah pria itu. "Kamu terlalu berlebihan," ujarnya dengan suara yang tenang namun tegas. "Saya tidak selemah itu kalau hanya untuk memasak. Lagipula saya bosan tidak melakukan apa pun beberapa hari ini."
Hari berlalu, dan mereka terus menjalani rutinitas mereka bersama. Meskipun Arshaka masih sering bepergian untuk pekerjaannya, ia selalu menghabiskan waktu dengan Varisha saat ia ada di apartemen. Mereka bahkan mulai pergi bersama ke berbagai tempat di London, menjelajahi museum dan restoran-restoran eksklusif di kota itu. Arshaka berusaha sebaik mungkin untuk menjadikan pengalaman tersebut sebagai peluang untuk lebih dekat dengan Varisha.Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada momen-momen ketegangan antara mereka. Terkadang, Varisha masih merasa tidak nyaman dengan pendekatan fisik Arshaka, terutama ketika pria itu mencoba untuk mendekatinya. Perasaannya begitu rumit, dan ia terus berjuang untuk memahaminya.Hari itu, Malam telah turun di atas kota London, dan suasana damai membungkus kota megah itu dengan gemerlap cahaya dari jendela-jendela tinggi pencakar langit, memantulkan cahaya kunang-kunang kota yang terhampar luas di bawahnya. Di antara keramaian dan gemuruh kota besar, Arshak
Baru kali ini, Varisha merasa seolah seluruh energinya telah terkuras habis. Setelah momen kehangatan dan gairah yang memenuhi kamar, ia merasakan kelelahan yang menyelubungi setiap serat ototnya. Tubuhnya serasa menjadi lumpur hangat yang begitu sulit untuk digerakkan, dan matanya seakan-akan tertutup rapat oleh kelambu kenangan-kenangan yang baru saja berlalu."Varisha," bisik Arshaka dengan lembut, sementara tangannya masih melingkar di sekitar tubuh wanita itu. Namun, Varisha tak bisa membalasnya. Matanya terasa berat, dan kepalanya terasa kosong.Kenangan tentang gaun yang merosot dari tubuhnya seperti daun yang gugur dari dahan. Ciuman-ciuman yang tak henti-hentinya dari Arshaka, membawanya ke puncak kenikmatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, kenikmatan itu juga membawanya ke titik lelah yang tak terelakkan. Seketika, Varisha merasakan sensasi penuh yang mencapai setiap ujung sarafnya, dan ia tak mampu lagi menahan diri.Dalam kelelahan itu, Varisha bisa merasakan Arsha
Arshaka menutup telepon dengan ekspresi masam, meletakkan ponselnya di meja dengan gerakan tegas. Wajahnya terlihat tegang, dan ia merasa beban berat di pundaknya. Cakra kembali mendesaknya untuk segera pulang ke Indonesia secepatnya. Semua rencana dan masa depannya kini seolah-olah berada di bawah bayang-bayang perintah keras ayahnya.Dalam hatinya, Arshaka merasa begitu resah dan tidak siap. Bagaimana ia bisa membatalkan rencana pernikahannya dengan Adelia, membawa Varisha kembali sebagai istrinya, dan menghadapi Cakra yang pasti tidak akan menerima keputusannya. Semua pikiran ini berputar dalam kepalanya, meninggalkan rasa bingung yang sangat besar.Arshaka terduduk di kursi kulitnya, merenung tentang apa yang harus dilakukannya. Ancaman Cakra yang ingin menceraikan ibunya kembali mengusik pikirannya. Arshaka sudah sangat mengenal Cakra, ayahnya itu selalu menepati apa yang sudah ia katakan. Seandainya saja ibunya tidak begitu mencintai Cakra, mungkin dia tidak akan terlalu ambil
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s