“Jenar, asal kamu tahu, ada aku yang lebih menarik jika dibandingkan dengan tikus tanah satu itu,” cibir Mada. Dia kembali menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil dan meneguknya seketika. “Kamu mengataiku tikus tanah?" sela Ryota dengan tidak terima. "Bagaimana dengan dirimu, sigung?” sambungnya. Ryota menolehkan kepalanya ke arah Mada tanpa meninggalkan posisinya sama sekali yang berada di hadapan Jenar. “Mengapa kamu ingin menghabiskan waktu dengan sigung jantan itu?” Luka pada sudut bibir Ryota membuat Jenar menyipitkan mata dan terdiam untuk sejenak sehingga keduanya memutuskan untuk menatap satu sama lain dengan kebingungan penuh. “Ryota, kamu memesan shochu atau tidak?” tanyanya sebelum menjentikan jemari. “Ah, aku ingat. Itu bukan sembarang teh hijau, bukan? Melainkan ryokucha. Bisakah memesan shochu? Teh hijau terlalu ringan, tidak sesuai dengan seleraku.” Mada berupaya keras untuk menarik atensi dua orang yang masih berdiri dengan diam. Jenar pada area luar denga
“Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu?” “Hanya sebuah tebakan,” balas Jenar dengan cukup yakin. “Tebakan tanpa bukti?” tukas Ryota seraya memiringkan kepala ke arah Jenar, berusaha dengan keras untuk mengerti arah ucapan si perempuan. “Bukti dapat dikumpulkan seiring dengan waktu berjalan, Ryota.” “Tetapi kalau kamu ingin menuduhku, setidaknya sertakan bukti.” “Bibirmu yang berdarah,” terang Jenar dengan menegakan posisi duduk serta meletakan sumpit pada sebelah kiri posisinya saat ini. “Sudah aku katakan aku terluka karena bermain rugby,” kekeh Ryota yang merasa bahwa Jenar menjadi kelewat konyol. “Oke, baiklah. Mari kita hentikan permainan ini. Apa yang sebetulnya coba kamu katakan mengenai diriku, Nona Jenar?” tanyanya dengan lebih serius dan cengiran pada bibirnya perlahan menghilang sepenuhnya. “Bahwa kamu menyalahkan Mada atas kematian Bianca." Dengan penuh rasa percaya diri setelah melihat luka pada sudut bibir Ryota serta nada suara dan pakaian penuh nuansa biru y
“Kepalaku terasa pening,” keluh Mada yang membuat Jenar tidak habis pikir.Jenar ingin marah, tetapi tidak bisa sebab dirinya terlanjur letih. “Sudah aku bilang, hanya orang gila yang dapat menghabiskan begitu banyak botol shochu dalam satu malam," cebiknya.“Aku bisa, Jenar.”“Buktinya sekarang kepalamu justru terasa pening, Mada.”“Sudah aku katakan padamu, kadar alkohol shochu tidak setinggi dengan alkohol yang sering aku teguk, Jenar,” gerutunya dengan kepala yang menempel pada kemudi sementara kedua tangannya sibuk memijat area kening.“Tetap sama saja, Tuan Keras Kepala,” kata Jenar dengan jengah seraya duduk disebelah Mada, menyilangkan sabuk pengaman melintang di atas tubuhnya.“Jadi, sekarang bagaimana? Kita tidak akan pulang?”Mada mengangkat wajahnya, dia menoleh ke arah Jenar lalu berdeguk sebanyak tiga kali serta mengangkat jemarinya.“Tunggu sampai rasa pening sialan ini pergi dari kepalaku terlebih dahulu.”“Kita sudah berada di mobil ini hampir satu jam lamanya jika k
“Mada, tanganmu!” protes Jenar ketika jemari milik Mada menyusup pada bagian belakang blouse yang dikenakan, mengusap area punggung yang sudah bebas dari kaitan bra.“Mengapa kamu tidak memakai dalaman lagi?” bisik Mada di tengah mobil dengan suasana yang sangat gelap tersebut.Seakan-akan jika Mada tidak menyeringai, maka Jenar tidak akan mampu melihat apa-apa.Deretan gigi berwarna putih natural itu bagaikan penerang di dalam mobil.“Dan kamu tidak memiliki hak untuk memprotes apa yang aku kenakan,” terang Jenar dengan menepuk lembut pipi Mada sebanyak dua kali.“Mengerti?”Mada mengangkat kepalanya seperti akan melakukan olahraga sit-up sebelum mengecup dada sebelah kiri Jenar.“Mengerti,” ujarnya dan beralih pada area sebelah kanan yang menggantung rendah dengan teramat menggoda hingga Mada dibuat berkedut karenanya.“Oh, kamu sekarang sudah memutuskan untuk berlaku adil?”“Mereka harus diperlakukan sama,” celetuk Mada. Dengan segera, dia menegakan tubuh kemudian memeluk Jenar ter
“Sangat cantik,” puji Mada pada Jenar dengan nada yang sangat sensual.Mada membelai Jenar dengan tangan yang berbeda, mengusap lembut area pipi kemudian menjalar ke area perpotongan leher yang sudah memiliki beberapa bercak cinta sebelum meremas kecil payudara Jenar dari arah luar.“Hmm … Mada,” gumam Jenar disertai oleh lenguh panjang berisikan kenikmatan hingga memancing libido Mada pada tahap tertinggi.Pinggulnya bergerak-gerak gelisah, ingin merasakan yang lebih dari seorang Mada.Sampai detik ini, jamah yang diberikan Mada pada tubuhnya tidak pernah gagal dan selalu membuat Jenar ingin merasakan lebih dibandingkan yang terjadi saat ini.Seluruh syaraf ditubuhnya terus memanggil nama Mada, berupaya membelai dan mengajak pria itu untuk beradu peluh bersama seiring waktu yang terlewati.“Sentuh dirimu, Jenar. Aku ingin melihatnya,” tukas Mada.Laki-laki itu berhenti sejenak, dia menarik jemarinya yang berada di dalam tubuh Jenar serta menyelipkan jemari yang basah nan lembab terse
Jenar makin mengetatkan dekapnya kepada Mada.“Astaga, ini … ini—sa … ahhhh.”Tubuhnya benar-benar menuntut agar segera dipuaskan sebab libidonya sudah terpancing sampai tahap tidak masuk akal.Pria itu terus menuduk untuk mengecup serta mengisap payudaranya dengan sangat bersemangat sebelum kembali mencumbu bibir yang menjadi bengkak tersebut.Lidah Mada terus bergerak dengan gerak berputar serta memberikan sedikit gigitan pada puncak yang membengkak tersebut sehingga Jenar melengkungkan punggung lalu memutuskan tuk menjambak-jambak rambut Mada.“Jenar,” panggil Mada dengan lembut dan penuh akan kasih sayang.Pria yang menyandang status sebagai duda itu menggoyangkan bokongnya maju serta mundur teramat perlahan ketika Jenar melempar kepalanya ke arah belakang.Dalam waktu yang sama mereka saling melenguh ketika hasrat perlahan tersalurkan.“Aku baru teringat akan sesuatu,” sela Mada saat mereka bersenggama.Puncak kenikmatan dunia yang sudah Jenar rasakan datang mendekat lantas terta
“Kamu sudah mendengar kabar tentang Pak Mada?”“Apakah itu kabar bahwa dia akan segera melepas masa lajang?” kikik seorang berkaca mata dengan cukup geli.“Kabar apa? Apa menariknya hidup Pak Mada untuk diulik?”“Benar, dia bukanlah seorang selebritis,” bisik yang lain menimpali seraya bersandar pada tepi kubikel yang memisahkan karyawan.“Aku baru dengar dia seorang duda,” terangnya dengan nada pelan hingga yang lainnya mendekat sebelum mencebik dan menjauhkan diri.“Memalukan. Pria sepertinya menjadi duda?” tanya yang lain dengan nada mencibir.“Oh jangan katakan bahwa Pak Mada adalah pihak yang diceraikan,” sambar karyawan yang lain dengan rambut kuncir kuda.“Mungkin Pak Mada adalah orang yang bermasalah dan dia malu mengakui bahwa dirinya duda sehingga berusaha keras untuk menutupinya dari para karyawan.”“Pantas akhir-akhir ini aku jarang melihatnya memakai cincin kawin di jari manis."“KAMU MEMPERHATIKANNYA, DELILAH?!”Delilah si pembawa berita lantas mengangguk dan mengerlingk
“Kalau riasanmu habis, kabarkan padaku. Aku akan membelikannya sebagai stok seumur hidup.”Jenar menoleh ke arah Mada setelah berjingkat-jingkat keluar dari dalam mobil presdir Lawana tersebut.“Kalau begitu, belikan aku saham di salah satu toko kosmetik yang terkenal, bagaimana?”Jenar berjalan dibelakang Mada sedangkan Mada memasang raut dinginnya yang biasa, mencoba menjaga sikap dengan Jenar setelah malam panas di dalam mobil yang keduanya jalani.Tidak ada yang boleh tahu bahwa mereka memiliki kedekatan lebih dari sekadar profesional.Ah, tentu saja mereka profesional.Profesional di kantor sekaligus profesional dalam memuaskan hasrat satu sama lain.“Permintaanmu terlampau sederhana untuk aku turuti, Nona Penggoda.”Mendengar sapaan yang sudah lama tidak terucap dari belah bibir Mada, Jenar menjadi berjengit dan bulu kuduknya mendadak meremang.Dari arah belakang, Jenar memperhatikan Mada dan terus mengekor dibelakangnya, menjaga jarak aman selayaknya sekretaris pribadi dan pres
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya