“Kamu bisa bicara denganku baik-baik seperti tadi, tidak perlu menghardik.”Jenar membuntuti Mada lalu menutup pintu ruang kerja si pria kemudian menatap tajam ke arah lelaki yang tadi mempermalukannya.“Itu benar-benar mempermalukan diriku, Mad,” geramnya lagi dengan hati yang terasa panas.“Seolah-olah, kamu berupaya menjatuhkanku dan membuat diriku terlihat buruk di hadapan pekerja yang lain,” protes Jenar dengan berdiri beberapa langkah dibelakang Mada yang sedang memunggunginya.“Mada, jawab,” desak Jenar kepada Mada yang masih menutup mulutnya, berusaha menebar banyak jala teka teki hingga perempuan itu dilanda oleh emosi yang berkecamuk.“Jujur padaku, apa yang aku lakukan selalu mengecewakanmu?” tuntutnya meminta kejelasan.Berkat hardik yang diberikan kepada dirinya oleh Mada tadi, Jenar praktis merasa malu hingga telinganya memerah.Dia merasa bahwa Mada tidak memerlakukannya dengan manusiawi, untuk itu dia meminta penjelasan.Selangkah demi selangkah, Mada mendekati Jenar.
“Semalam, kamu jadi bertemu dengan Mada?” Ryota memandang lurus ke arah luar, menatap lapangan golf yang terlihat begitu hijau sebelum perlahan menatap ke arah Tash yang tengah mengunyah muffin cokelat dengan sangat perlahan. “Tebakanmu benar, dia datang dengan perempuan yang sama dengan di acara charity.” Tash menggerakan jemarinya kemudian meraih gelas berleher tinggi untuk meneguk isinya seraya sedikit memiringkan tubuh menjauhi titik pandang Ryota. “Itu Jenar, sekretarisnya,” balasnya sejurus kemudian setelah mencari tahu lingkup terdekat Mada setelah di acara charity, Mada bersikap mencurigakan. "Dan aku yakin, Jenar bukan sekadar sekretaris bagi Mada." Ryota menyilangkan kedua tangannya di depan dada lalu bersandar di kursi seraya memandang penjuru di lounge tersebut. Matanya menyipit dan sudut bibirnya terangkat pada satu sisi. "Dia pasti spesial, tidak mungkin Mada mengajak sembarang orang ke acara charity lalu berusaha mati-matian menyembunyikan identitasnya." “Aku ta
“Peningkatan dalam kuartal ketiga di tahun ini seharusnya menjadi indikator yang baik untuk Lawana Corporation, tetapi saya kira tidak demikian.” Jenar berjarak cukup jauh dari Mada. Dirinya bosan sekaligus lapar. "Apa yang saya katakan bisa menjadi benar sekaligus salah. Bukankah keraguan adalah pertanda bahwa kita kritis terhadap hal yang dikerjakan?" tanya Mada seraya berjalan menuju tempat duduknya. Mendengar pemaparan rapat meski hal ini merupakan bagian dari pekerjaannya, tetap saja membuat perempuan yang sedang menahan lapar itu jenuh. “Harus diakui bahwa memang kurvanya terlihat lebih tinggi, tapi apakah para stakeholder menyadari bahwasanya …” Jenar memutuskan untuk meneguk air serta mengunyah makanan ringan yang disajikan sambil sedikit memalingkan wajah sedangkan telinganya terus saja mendengar suara Mada. “Pak Mada, saya izin menyela, Pak.” Mada mengangkat kepala, begitu pula beberapa pasang mata yang langsung mengarah kepada si pria paru baya tersebut. “Silakan,” k
“Apa kamu benar-benar tidak memiliki kekasih, Je?” tanya Taka kepada Jenar yang hanya terkekeh geli.[Pak Mada: Kalau ingin berkencan denganku, katakan saja.]Jenar mengibaskan tangan sedangkan matanya tertuju kepada layar ponsel yang memberikan notifikasi terdapat pesan baru dari Mada.“Begitu lah, Mas.”“Jangan berteka teki seperti itu, Je,” kekehnya mengamati raut Jenar yang terlihat cukup“Taka, sejujurnya aku tidak yakin jika Jenar masih sendiri,” sambung Lamina dengan mengedipkan mata ke arah Jenar.“Lami, jangan asal bicara,” timpal Jenar dengan mendengkus.“Artinya kamu sudah memiliki kekasih.”“Hei, bisakah aku memilih untuk tidak menjawabnya?”“Ladies, apa ada yang ingin menambah gyoza?”“Taka, aku kenyang.”“Aku …”Lamina bersiul dengan cukup panjang sedangkan Taka hanya mengangkat bahu, berusaha memberikan privasi kepada Jenar.Jenar sendiri tengah bersusah payah untuk menyalakan kontras di ponselnya agar sorot temaram dari tempat ketiganya bersemayam tidak membuat Jenar k
"Mada, kamu sedang bercanda, kan?""Tidak.""Mengakui hubungan kita kepada Lamina? Tidak," tegasnya dengan disertai gelengan kepala."Hubungan ini ... hal yang sedang kita jalani, entah apapun itu sebutannya lebih baik hanya diriku dan dirimu yang tahu."“Jenar, dengan kamu yang berniat pergi dengan Lamina tanpa melibatkan atau mempertimbangkan perasaanku, maka aku—”“Bagaimana dengan satu kecupan di pipi sebagai bayarannya?” tawar Jenar dengan mencoba menenangkan Mada yang sedang berada di dalam fase merajuk.“Hmm.”Mada bergumam kemudian mengetuk jemari ke atas meja, punggungnya bergoyang-goyang pelan di atas tempat duduk tersebut.“Itu yang kamu inginkan, bukan?”“Tidak,” balas Mada dengan menggerakan jemarinya, memberikan kode kepada Jenar untuk bergerak mendekat ke arahnya.“Kamu tidak ingin aku cium?!” tanya Jenar dengan terperangah kepada lelaki menggemaskan yang sedang merajuk tidak karuan ini.“Aku lebih ingin ikut dengan dirimu dibanding harus menerima satu buah ciuman lalu
“Apa sebaiknya saya pamit dari sini?” tanya Mada setelah beberapa saat.Laki-laki yang masih mengharapkan jawaban dari Jenar itu pada akhirnya memilih menawarkan diri untuk meninggalkan area tersebut dengan suka cita.“J—jangan Pak Mada, tidak apa-apa,” cegah Lamina ketika Mada sudah mengangkat bokongnya.“Mungkin Jenar memang terlihat kaku dan kurang bersahabat,” kilah Lamina dengan melebarkan matanya ke arah Jenar yang nampak jengah bukan main.“Jadi saya bisa tetap ikut bergabung di sini?”“Tidak.”“Iya.”“Tentu saja, Pak Mada.”Oke. Kali ini Jenar kembali kalah suara.Baik Taka dan Lamina menginginkan kehadiran Mada di sana sehingga tidak ada pilihan lain bagi Jenar untuk mengiyakannya saja.“Oh ayolah Je, aku tahu mungkin kamu bersitegang dengan Pak Mada.”Mada yang sudah kembali duduk pada posisinya lantas melirik ke arah Jenar, bersitegang apanya?Padahal selama ini di kantor, Mada sellau memperlakukan Jenar dengan sangat lembut dan manis, tidak ada kurangnya perhatian yang dia
“Kekasih,” ulang Jenar dengan memutar bola mata sebelum tubuhnya bergoyang-goyang pelan. “Kamu menganggap diriku lelucon semata, Jenar? Apa yang lucu dari kata yang aku lontarkan?” tanyanya. “Itukah sebabnya kamu menolak untuk menjawab pertanyaan yang tadi aku lontarkan? Itukah sebabnya kamu bersikap dingin dan menjaga jarak?” “Mada,” balas Jenar keheranan ketika menyadari bahwa Mada tengah bersikap pasif agresif kepada dirinya. “Apa yang kamu katakan? Ini sudah malam, jangan melantur,” kata Jenar dengan menguap dan nyaris terantuk sebelum memutuskan berdiri meski dirinya sedikit terhuyung. “Lagipula, apa benar kamu sedang menunggu seseorang untuk—” “Aku menunggumu,” potong Mada dengan senyum hangat yang membuat Jenar merasakan kehangatan matahari terbit di pagi hari. "Oh itu sangat manis, Mada." "Memang aku selalu manis, bukan?" Dirinya berjalan mendekat ke arah Jenar, lalu mengulurkan tangan agar Jenar dapat memegangnya sebelum berdiri dengan sempurna. Tubuh Mada yang menju
“Taka, kamu melihat di mana aku meletakan tas riasanku?” tanya Lamina dengan menunduk diliputi kepanikan. Dia sibuk membuka tas kerja yang dia letak di atas paha lalu mengecek bagian dalamnya. Lamina hendak mencari tas yang berukuran lebih kecil di dalamnya dengan cukup berisik. "Aaaah, kenapa tas riasanku tidak ada? Oh Tuhan, di mana aku meletakannya?" ceracaunya. Taka yang berada dibelakang kemudi lantas menoleh ke arah penumpang yang berada di sebelahnya dan mengedikan bahu. “Aku tidak membuka tas kerjamu sama sekali, jadi aku tidak tahu. Kamu yakin benda itu tidak terselip?” “Oh, sangat tidak mungkin,” keluhnya dengan suara pelan sebelum mengadah lalu menggembungkan pipi. “Apa mungkin aku meninggalkannya di restauran tadi?” “Ingin kembali?” tanya Taka beberapa saat kemudian setelah melihat tanda untuk putar arah yang semakin dekat dengan posisi mereka saat ini. “Tidak, itu akan membuang-buang waktu,” putusnya sambil mengetuk sisi jendela menggunakan punggung tangan. Duduk
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya