“Lamina?” ulang Jenar dengan mencicit penuh keterkejutan.“Lamina,” tegas Mada berupaya membuat Jenar percaya bahwa dia tidak sedang bercanda.“Kenapa tiba-tiba kamu menyebutkan nama Lamina?” bisiknya.Dia mendadak mengadah, menatap duda usil dengan tinggi menjulang dihadapan yang tengah mencengkram pergelangan tangannya cukup kencang sehingga Jenar kesulitan untuk bergerak.“Karena ada Lamina,” terang Mada dengan menarik Jenar pelan ke arah dekapnya.Pertikaian mereka mendadak menjadi menguap begitu saja seiring suara alas kaki yang bergerak ke arah nama yang di maksud.”“Kalau ada papa, aku pasti menyebut nama papa.”“Ya, tentu.”Jenar mengerjap cepat, merutuki kebodohannya sekaligus merasa bahwa Mada hanya sedang mempermainkan dirinya saja.“Dasar lucu, seharusnya aku tidak mempercayai ucapanmu begitu saja karena aku tahu dengan pasti bahwa kamu sedang menyampaikan kelakar.”“Well said, Nona. Aku memang lucu,” ledek Mada kepadanya hingga Jenar berdecih pelan.Perempuan yang tengah
[Duda Premium : Papa membelikanmu madu ramuan rahasia, Josh sudah mengantarkannya ke resepsionis.]Mada berhenti berjalan, menoleh ke arah kanan dan kiri lalu memaki dengan pelan.“Dasar duda pengganggu. Apakah dia benar-benar kesepian hingga terus mengganggu anaknya?”[Mada Lawana : Tentu. Terima kasih, papa.][Duda Premium: Itu ramuan supaya p3nismu besar.]“Konyol,” kekehnya tidak habis pikir dengan balasan yang diberikan oleh Oscar.“Lagipula siapa yang memerlukan ramuan pembesar kalau milikku saja sudah ….”Mada menggantung ucapannya, teringat akan raut Jenar yang tidak bisa dia lupakan ketika sedang mengulum miliknya sehingga perlahan Mada memilih untuk menggelengkan kepala.Dia berupaya menjernihkan benaknya dari pikiran aneh yang menyeruak.“Ah, aku harus bertanya pada Jenar,” tutur Mada dengan kesimpulannya sendiri.“Membahas hal ini sungguh membuat kepalaku pening. Sangat sangat pening,” racaunya pelan, berusaha agar tidak ada yang mendengar tutur konyolnya.Laki-laki itu la
“Oh Tuhan, ini sangat membosankan.” Mengetuk jemarinya di atas keyboard seraya memandang layar tempatnya bekerja seperti yang dirinya lakukan berbulan-bulan kebelakang pada hari senin siang tidak pernah membuat Jenar merasa bosan seperti ini. Dia sampai berulang kali menguap ketika merasakan serangan kantuk yang luar biasa. Mada tidak ada di kantor dan hal tersebut membuat hari yang dilalui Jenar terasa sangat panjang. Secara resmi, Mada mengabarkan kepada Jenar bahwa dia memiliki urusan pribadi yang tidak bisa ditinggal lalu akan melakukan pekerjaan secara daring, tidak onsite. Secara tidak resmi, Mada mengatakan pada Jenar agar jangan merindukannya khusus untuk hari ini. Tidak ada pesan yang dibalas oleh si lelaki, dia tidak tahu kemana dan apa yang sedang dilakukan sama sekali oleh Mada. Ditambah lagi fakta bahwa pria tersebut terakhir kali terlihat aktif pada aplikasi pengirim pesan kemarin malam. “Jadi, di mana kekasihmu?” Lamina mendekat ke arah Jenar, meletakan satu pap
“Kamu salah dengar, Lila,” balas Jenar dengan santai, tidak ingin terpancing oleh emosi kendati Dalilah sibuk menggedor dirinya tanpa henti.“Apa ini memang pekerjaanmu, Lila? Kamu gemar menguntit dan mencuri dengar pembicaraan orang lain?” serang Lamina yang segera berdiri kemudian mendorong tubuhnya untuk berdiri sebelum perlahan beradu tatap dengan Dalilah.Setelah tempo hari Dalilah membahas mengenai perceraian Mada, Lamina mulai memupuk rasa tidak suka di hatinya.Bagi Lamina, jika Dalilah menggunjingkan orang lain dalam konotasi yang negatif, dia masih sedikit bisa menerimanya. Akan tetapi, berbeda jika yang digunjingkan adalah presdir Lawana.Tidak. Dia tidak bisa terima.Apalagi setelah dirinya tahu bahwa Mada serta Jenar tengah menjalin hubungan, Lamina langsung menjadi protektif dan tidak akan dia biarkan debu satu ini mengusik romansa di antara sekretaris dan atasannya ini.“Aku hanya mengatarkan setumpuk kertas dan ingin berinteraksi, Lami. Kamu tidak perlu bersikap terlal
“Jangan kemana-mana,” ucap Mada pelan dengan mencoba menarik Jenar kembali ke dalam dekapnya.Dia tidak ingin berjauhan dengan si perempuan ketika jantung dan benaknya sedang penuh akan gemuruh.“Aku tahu dengan pasti kalau kamu ingin mengatakan bahwa jangan terlalu berlebihan karena kita sedang berada di kantor, bukan?” terkanya hingga membuat Jenar bungkam seribu bahasa.Mada benar, itulah yang dipikirkan oleh Jenar. Apakah semudah itu Mada menebak apa yang tengah dipikirkan oleh Jenar?“Jenar, jangan pergi,” tegasnya hingga Jenar menggigit bibir bawah.“A—aku tidak kemana-mana,” lirih Jenar gugup.Tubuhnya terasa begitu kaku seperti robot, berada di dalam dekapan Mada saat keduanya berada di dalam kantor terasa sangat benar sekaligus penuh akan kesalahan.Bukankah mereka sudah sepakat untuk menjalani hubungan selepas jam kerja?Jika berpelukan seperti ini, bukankah keduanya justru menyalahi aturan tidak tertulis yang keduanya tetapkan sendiri?“Tapi aku—”“Kali ini saja, Jenar. Kal
Sudah dua hari Mada mabuk berat di dalam griya tawangnya.Jenis mabuk yang membuatnya bahkan harus berjalan dengan cara merangkak karena dunianya berputar teramat cepat dan kedua kaki tidak lagi dapat menopang bobot tubuhnya seperti biasa.Mada tidak mudah mabuk, tubuhnya sudah terbiasa sejak pertama kali dirinya mengenal alkohol.Dia bisa meneguk berbotol-botol minuman keras seperti sedang meminum air mineral dan bahkan tidak akan merasakan pusing sekecil apapun.Akan tetapi, dua malam ini di dalam keremangan griya tawangnya, Mada luruh sampai benar-benar memuntahkan isi perut hingga tersisa cairan semata. Mereka menyebut hal ini sebagai jackpot.Sebelumnya, Mada berulang kali meminta kepada Jenar untuk menemani dirinya, tetapi tidak sekalipun Jenar berkeinginan untuk menginap di griya tawang sehingga hal ini—bagi Mada—makin memperburuk keadaan dan kekalutan yang sedang bersarang di dalam hatinya.“Sugarplum,” panggilnya lirih dengan duduk bersandar dengan lutut tertekuk serta tangan
“Josh, bagaimana dengan keadaan Mada untuk dua hari terakhir ini?” Oscar yang sedang bersantai sambil mengelus anjing peliharannya seraya duduk di serambi rumah menoleh ke arah Josh yang berdiri dengan gagah di sebelahnya. “Belum ada kabar, Tuan.” Mendengar penuturan dari Josh membuat Oscar serta merta menoleh ke arahnya lalu menyipitkan mata sambil berdecak pelan. “Apa kamu menyampaikan bualan kepadaku semata?” selidiknya sebelum terdiam, merasakan semilir angin lembut khas siang hari yang menerpa wajahnya. "Tuan Oscar, saya—"“Mada pasti sedang mabuk,” gumamnya maklum seraya tersenyum miring. “Kali ini mabuknya pasti lebih parah jika dibandingkan dengan sebelumnya,” lanjut Oscar dengan membentuk kesimpulannya sendiri seraya melirik ke arah anjing yang kepalanya bergerak-gerak pelan. “Sekarang … tahun keberapa?” tanya Oscar pelan. Josh berjalan mendekat ke arah Oscar, kemudian menghitung waktu mundur sejak kematian Bianca.“Emp—maaf, Tuan Oscar. Maksud saya lima,” ralat Josh d
Memasuki ruang kerja Mada pada detik ini membuat Jenar tercengang. Suatu pemandangan yang niscaya tidak akan pernah dirinya lihat untuk kali kedua kini tersuguh dengan terang-terangan di hadapannya. "Ada apa denganmu?" tanya Jenar keheranan, berusaha mengulum senyum dan menyembunyikan keinginan untuk meledak dalam tawa. Dirinya gegas mendorong pintu ruang kerja Mada menggunakan punggung agar tertutup dengan sempurna disusul dengan suara sepatu hak tingginya terdengar menggema saat memasuki ruangan. "Ini tidak lucu," jedanya setelah beberapa waktu seraya membasahi bibir, membuat permukaan yang sudah lembab tersebut menjadi semakin basah. Kakinya bergerak gelisah, tumpuannya kerap berpindah dari satu sisi ke sisi yang lainnya. "Sebetulnya apa yang tengah kamu lakukan?" sambung Jenar, bibirnya terangkat untuk menunjukan seulas senyum canggung tetapi Mada tidak memberikan reaksi apapun yang berarti. Perlahan, Jenar bergerak memutar seraya memperhatikan Mada dengan sakama. "Kamu seda