[Hei bajing kecil, di mana kamu berada?] [Apakah perjalanan dari Lawana ke sini memerlukan waktu yang sangat lama?] [Dasar lambat, siput saja jauh lebih cepat dibandingkan dengan dirimu.] “Itadakimasu.” Berbeda dengan Mada yang masih menggebu-gebu untuk diakui oleh Jenar dan secara terang-terangan menyatakan rasa tidak sukanya jika Jenar menyukai Ryota, pada salah satu ruangan pribadi di restoran tersebut, disitulah si topik pembicaraan berada. Ryota Seiji Gaidzan. Dia sedang duduk diatas tatami setelah mengirim rentet pesan kepada Mada. Ryota sibuk mengedarkan pandang lalu bergumam tidak sabar. Matanya menatap beberapa hidangan yang akan dia nikmati dengan Mada, sahabat lamanya. Apalagi, Madasudah mengabarkan pada dirinya bahwa presdir Lawana itu akan datang dengan seseorang. “Ada lagi yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya seorang pekerja setelah menata piring-piring kecil yang menutupi seluruh permukaan meja dengan beragam sajian laut yang segar kepada Ryota. Ryota menggelen
“Jenar, asal kamu tahu, ada aku yang lebih menarik jika dibandingkan dengan tikus tanah satu itu,” cibir Mada. Dia kembali menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil dan meneguknya seketika. “Kamu mengataiku tikus tanah?" sela Ryota dengan tidak terima. "Bagaimana dengan dirimu, sigung?” sambungnya. Ryota menolehkan kepalanya ke arah Mada tanpa meninggalkan posisinya sama sekali yang berada di hadapan Jenar. “Mengapa kamu ingin menghabiskan waktu dengan sigung jantan itu?” Luka pada sudut bibir Ryota membuat Jenar menyipitkan mata dan terdiam untuk sejenak sehingga keduanya memutuskan untuk menatap satu sama lain dengan kebingungan penuh. “Ryota, kamu memesan shochu atau tidak?” tanyanya sebelum menjentikan jemari. “Ah, aku ingat. Itu bukan sembarang teh hijau, bukan? Melainkan ryokucha. Bisakah memesan shochu? Teh hijau terlalu ringan, tidak sesuai dengan seleraku.” Mada berupaya keras untuk menarik atensi dua orang yang masih berdiri dengan diam. Jenar pada area luar denga
“Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu?” “Hanya sebuah tebakan,” balas Jenar dengan cukup yakin. “Tebakan tanpa bukti?” tukas Ryota seraya memiringkan kepala ke arah Jenar, berusaha dengan keras untuk mengerti arah ucapan si perempuan. “Bukti dapat dikumpulkan seiring dengan waktu berjalan, Ryota.” “Tetapi kalau kamu ingin menuduhku, setidaknya sertakan bukti.” “Bibirmu yang berdarah,” terang Jenar dengan menegakan posisi duduk serta meletakan sumpit pada sebelah kiri posisinya saat ini. “Sudah aku katakan aku terluka karena bermain rugby,” kekeh Ryota yang merasa bahwa Jenar menjadi kelewat konyol. “Oke, baiklah. Mari kita hentikan permainan ini. Apa yang sebetulnya coba kamu katakan mengenai diriku, Nona Jenar?” tanyanya dengan lebih serius dan cengiran pada bibirnya perlahan menghilang sepenuhnya. “Bahwa kamu menyalahkan Mada atas kematian Bianca." Dengan penuh rasa percaya diri setelah melihat luka pada sudut bibir Ryota serta nada suara dan pakaian penuh nuansa biru y
“Kepalaku terasa pening,” keluh Mada yang membuat Jenar tidak habis pikir.Jenar ingin marah, tetapi tidak bisa sebab dirinya terlanjur letih. “Sudah aku bilang, hanya orang gila yang dapat menghabiskan begitu banyak botol shochu dalam satu malam," cebiknya.“Aku bisa, Jenar.”“Buktinya sekarang kepalamu justru terasa pening, Mada.”“Sudah aku katakan padamu, kadar alkohol shochu tidak setinggi dengan alkohol yang sering aku teguk, Jenar,” gerutunya dengan kepala yang menempel pada kemudi sementara kedua tangannya sibuk memijat area kening.“Tetap sama saja, Tuan Keras Kepala,” kata Jenar dengan jengah seraya duduk disebelah Mada, menyilangkan sabuk pengaman melintang di atas tubuhnya.“Jadi, sekarang bagaimana? Kita tidak akan pulang?”Mada mengangkat wajahnya, dia menoleh ke arah Jenar lalu berdeguk sebanyak tiga kali serta mengangkat jemarinya.“Tunggu sampai rasa pening sialan ini pergi dari kepalaku terlebih dahulu.”“Kita sudah berada di mobil ini hampir satu jam lamanya jika k
“Mada, tanganmu!” protes Jenar ketika jemari milik Mada menyusup pada bagian belakang blouse yang dikenakan, mengusap area punggung yang sudah bebas dari kaitan bra.“Mengapa kamu tidak memakai dalaman lagi?” bisik Mada di tengah mobil dengan suasana yang sangat gelap tersebut.Seakan-akan jika Mada tidak menyeringai, maka Jenar tidak akan mampu melihat apa-apa.Deretan gigi berwarna putih natural itu bagaikan penerang di dalam mobil.“Dan kamu tidak memiliki hak untuk memprotes apa yang aku kenakan,” terang Jenar dengan menepuk lembut pipi Mada sebanyak dua kali.“Mengerti?”Mada mengangkat kepalanya seperti akan melakukan olahraga sit-up sebelum mengecup dada sebelah kiri Jenar.“Mengerti,” ujarnya dan beralih pada area sebelah kanan yang menggantung rendah dengan teramat menggoda hingga Mada dibuat berkedut karenanya.“Oh, kamu sekarang sudah memutuskan untuk berlaku adil?”“Mereka harus diperlakukan sama,” celetuk Mada. Dengan segera, dia menegakan tubuh kemudian memeluk Jenar ter
“Sangat cantik,” puji Mada pada Jenar dengan nada yang sangat sensual.Mada membelai Jenar dengan tangan yang berbeda, mengusap lembut area pipi kemudian menjalar ke area perpotongan leher yang sudah memiliki beberapa bercak cinta sebelum meremas kecil payudara Jenar dari arah luar.“Hmm … Mada,” gumam Jenar disertai oleh lenguh panjang berisikan kenikmatan hingga memancing libido Mada pada tahap tertinggi.Pinggulnya bergerak-gerak gelisah, ingin merasakan yang lebih dari seorang Mada.Sampai detik ini, jamah yang diberikan Mada pada tubuhnya tidak pernah gagal dan selalu membuat Jenar ingin merasakan lebih dibandingkan yang terjadi saat ini.Seluruh syaraf ditubuhnya terus memanggil nama Mada, berupaya membelai dan mengajak pria itu untuk beradu peluh bersama seiring waktu yang terlewati.“Sentuh dirimu, Jenar. Aku ingin melihatnya,” tukas Mada.Laki-laki itu berhenti sejenak, dia menarik jemarinya yang berada di dalam tubuh Jenar serta menyelipkan jemari yang basah nan lembab terse
Jenar makin mengetatkan dekapnya kepada Mada.“Astaga, ini … ini—sa … ahhhh.”Tubuhnya benar-benar menuntut agar segera dipuaskan sebab libidonya sudah terpancing sampai tahap tidak masuk akal.Pria itu terus menuduk untuk mengecup serta mengisap payudaranya dengan sangat bersemangat sebelum kembali mencumbu bibir yang menjadi bengkak tersebut.Lidah Mada terus bergerak dengan gerak berputar serta memberikan sedikit gigitan pada puncak yang membengkak tersebut sehingga Jenar melengkungkan punggung lalu memutuskan tuk menjambak-jambak rambut Mada.“Jenar,” panggil Mada dengan lembut dan penuh akan kasih sayang.Pria yang menyandang status sebagai duda itu menggoyangkan bokongnya maju serta mundur teramat perlahan ketika Jenar melempar kepalanya ke arah belakang.Dalam waktu yang sama mereka saling melenguh ketika hasrat perlahan tersalurkan.“Aku baru teringat akan sesuatu,” sela Mada saat mereka bersenggama.Puncak kenikmatan dunia yang sudah Jenar rasakan datang mendekat lantas terta
“Kamu sudah mendengar kabar tentang Pak Mada?”“Apakah itu kabar bahwa dia akan segera melepas masa lajang?” kikik seorang berkaca mata dengan cukup geli.“Kabar apa? Apa menariknya hidup Pak Mada untuk diulik?”“Benar, dia bukanlah seorang selebritis,” bisik yang lain menimpali seraya bersandar pada tepi kubikel yang memisahkan karyawan.“Aku baru dengar dia seorang duda,” terangnya dengan nada pelan hingga yang lainnya mendekat sebelum mencebik dan menjauhkan diri.“Memalukan. Pria sepertinya menjadi duda?” tanya yang lain dengan nada mencibir.“Oh jangan katakan bahwa Pak Mada adalah pihak yang diceraikan,” sambar karyawan yang lain dengan rambut kuncir kuda.“Mungkin Pak Mada adalah orang yang bermasalah dan dia malu mengakui bahwa dirinya duda sehingga berusaha keras untuk menutupinya dari para karyawan.”“Pantas akhir-akhir ini aku jarang melihatnya memakai cincin kawin di jari manis."“KAMU MEMPERHATIKANNYA, DELILAH?!”Delilah si pembawa berita lantas mengangguk dan mengerlingk