“Puluhan juta yang keluar untuk biaya pernikahan, tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku terima.”
Rencana pernikahannya kandas dan menjadi berantakan begitu saja. Harapannya untuk memakai gaun pengantin lagi-lagi tertunda.Harusnya, saat ini Jenar mengambil cuti bekerja untuk menikah serta berbulan madu yang manis, bukan menghabiskan malam dengan menangis.“Sialan,” makinya dengan geram serta menangis tersedu-sedu sambil memegang dada lalu meneguk alkohol ditangannya dengan terburu-buru hingga tersedak.Sama seperti malam-malam sebelumnya, Jenar duduk seorang diri, memeluk gelas berisikan alkohol lalu mengamati tiap lelaki yang datang ke klub sambil menghela napas panjang.Dia sibuk mencari validasi mengapa selalu dicampakan oleh lelaki yang dirinya cintai.Apakah dia kurang menggoda? Apakah dia terlihat tidak menarik? Apa dirinya terlihat seperti karung semen?Selama beberapa hari kebelakang, Jenar sudah menggoda beberapa pria di klub namun tak ada satupun yang tertarik kepada dirinya.Sampai kali ini, disela-sela tegukan dan tuangan alkohol ke dalam gelas khusus, Jenar memicingkan mata saat mendapati incarannya.Itu dia, seorang lelaki yang duduk seorang diri dengan wajah yang terlihat lelah.***“Panggil aku Nona Penggoda," seloroh Jenar tiba-tiba dengan pipi merona merah alami sambil menyodorkan tangannya ke hadapan Mada.Mada yang sedang mabuk menyipitkan mata, berusaha memfokuskan pandang ketika samar bayangan panda dan sapi seliweran di matanya lalu mengerjap cepat karena kebingungan.
"Kamu ini apa? Kamu seperti blasteran sapi yang memiliki susu," lirihnya meneguk saliva saat melihat sepasang susu yang menggantung dengan belahan cukup tinggi.
"Kantung susu yang ... besar," tutup Mada.
"Aku bisa menggodamu sampai kamu bertekuk lutut di hadapanku,” balas Jenar percaya diri tanpa mengindahkan pertanyaan Mada.
“Aku tidak memanggil wanita panggilan, jadi, pergilah,” lugas si lelaki lalu melempar pandang ke arah berlainan sambil meneguk kembali alkoholnya.
“Apa aku terlihat menarik?” Jenar menggoyangkan tubuhnya yang terlihat sintal, berlekuk padat ditambah dua bukit yang menyembul, mirip ayam kate.“Tidak,” dusta Mada yang kepalanya sudah pening dan melihat tubuh Jenar, pikirannya mulai tidak beres.Entah siapa yang harus disalahkan. Liukan Jenar atau justru alkohol.
“Apa kamu menyukai penampilanku?”Mada membasahi bibir, menoleh dan meneguk kembali alkohol dari gelas yang berada di tangan, menikmati pancaran lampu klub yang remang-remang sebelum mendecak-decakan lidah."Jelas tidak. Jadi, berhenti menggodaku,” tegasnya hingga Jenar yang terhuyung mendadak berhenti dan tiba-tiba menampilkan raut menyedihkan.
"Aku tidak menggoda siapa-siapa.""Orang mabuk memang sulit dipegang ucapannya," seloroh si lelaki hingga Jenar yang mabuk berat lantas terbahak-bahak lalu mengempaskan diri di sofa yang di duduki oleh Mada.“Kamu juga mabuk. Artinya, kamu berbohong. Kamu menyukaiku! Itu sudah pasti.”“Mustahil.”“Sekarang sudah menyukaiku?” tanya Jenar dengan berdeguk serta tubuh yang berayun-ayun."Kamu memang gila, menjauh dariku!"
Mada bergerak menjauh, tetapi Jenar terus saja menempel padanya.Dia ingin berdiri lalu meminta untuk pindah sofa ketika Jenar justru menarik kencang celana yang dikenakan olehnya hingga Mada kembali jatuh.“Shit!” berang Mada sejurus kemudian, namun ketika Jenar terus menjamahnya, Mada seolah tersihir dan justru menantikan selihai apa jemari itu saat menyentuhnya.“Kenapa semua lelaki meninggalkan diriku, termasuk kamu?” tanya Jenar dengan mendayu-dayu.“Kita tidak saling mengenal, jadi bukan masalah jika aku pergi darimu,” balas Mada tidak habis pikir.“Oh,” balas Jenar dengan tiba-tiba duduk tegak sambil memuntir rambut dan menjulurkan jemari berhiaskan warna merah muda.“Kalau begitu, kenalkan. Aku Nona Penggoda.”Mada melirik ke arah Jenar, menatap tampilannya yang terlihat sensual terlebih dengan pakaian yang dikenakan sebelum merasa bahwa tubuhnya gerah karena tensi yang tiba-tiba meningkat.“Apa kamu benar-benar bukan wanita panggilan?”“Memang ada wanita panggilan yang cantik sepertiku?” seloroh Jenar sebelum tangannya merambat pada tubuh Mada, menyentuhnya lembut, berputar-putar pada area dada.“Kamu pasti kesepian,” bujuk rayunya dengan membuka kancing teratas dari kemeja yang dikenakan oleh Mada.Mereka bersitatap untuk beberapa saat saat Jenar dengan semangat menggerayangi Mada.Dia ingin laki-laki jatuh pada pesonanya, dia mau membalaskan rasa sakit hati di dasar hati, dia mau diakui bahwa dirinya dapat menggoda lelaki dan seharusnya, lelaki tak semudah itu berpaling darinya.
“Tidak,"Mada berdusta.Dia kesepian dan kedatangannya ke sini memang ingin mencari wanita untuk menemaninya di atas ranjang.Mada hendak menghangatkan gairahnya yang lama terpendam karena dia sudah lama tidak disentuh serta dimanjakan oleh gunungan hasrat.
Siapa sangka dirinya justru dihampiri oleh perempuan yang menyodorkan tubuhnya begitu saja padanya dan mampu membuat libidonya naik dengan pesat.Jenar menangkup wajah Mada, membawanya mendekat ke arah bibir dan ketika dia hendak mencium si lelaki, Jenar menjauhkan kepalanya hingga Mada mengerang tanpa sadar.“Namaku Nona Penggoda, kamu ingin aku goda atau tidak?” tanyanya dengan melompat naik ke atas paha Mada lalu melingkarkan tangan dibelakang leher si lelaki.Limpahan alkohol disekujur tubuh mereka berdua menjadi saksi betapa agresifnya Mada mencumbu Jenar, mengungkung perempuan itu di atas sofa sampai terengah-engah bukan kepalang.***“Kamu bilang, kamu bisa membuatku bertekuk lutut. Nyatanya, semalam, kamu yang merintih dan berlutut di depanku.”Mada melipat kedua tangan di depan dada pada keesokan paginya, rambutnya masih meneteskan air.Handuk melingkar rendah ditepian pinggang, menunjukan sedikit bulu kasar yang nampak keriting.Pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang baru keluar dari kamar mandi dengan berpakaian rapi dan jalannya sedikit mengangkang."Dan aku sangat menyukai posemu saat berlutut dengan mata sayu itu."
"Benarkah?"
"Sangat," balas Mada dengan menyeringai, merasakan kedut pada area yang seharusnya netral.
“Dan siapa namamu, Nona Penggoda?”
“Arabelle,” jawab Jenar penuh kesungguhan sehingga Mada bersiul pelan lalu melemparkan id card yang langsung ditangkap oleh si perempuan.“Jenar Suksma Arawinda, karyawan baru di Lawana Corp."Jenar berkilah lalu gelengkan kepala. "Bukan."
“Nona Penggoda ternyata memiliki banyak nama samaran,” sindirnya dengan memperhatikan Jenar yang mencoba untuk kabur lalu berupaya menghentikannya.Dengan langkah lebar, Mada bergerak lalu mencekal pergelangan tangan Jenar sampai perempuan itu mengangkat pandang.Jenar ingin berontak sebelum sudut matanya melihat benda gemerlap yang terasa dingin pada salah satu jemari Mada.Cincin kawin.“Apakah sakit?”“A—apa?” tanyanya karena tubuhnya membeku, terperangah minta ampun.Jenar mengangkat wajah, melupakan cincin yang membuat jantungnya bertalu-talu bertanya di mana istri si pria.“Semalam, apakah sakit?” ulang Mada dengan perlahan mengendurkan cekalan tangannya dari Jenar dan bergerak mundur.Saat Mada bergerak mundur, bayangan samar dibalik handuk putih itu tercetak jelas hingga Jenar meneguk ludah lalu mengatupkan bibirnya, bertanya-tanya apakah dia sempat ….Ah, tidak mungkin. Itu besar sekali.“Tidak,” kata Jenar kendati sampai detik ini tubuhnya linu. Entah berapa kali dia dibolak balik semalaman oleh Mada, dia tidak ingat karena mabuk.“Artinya kamu memang wanita panggilan.”“Hei! Dasar sok tahu,” balas Jenar dengan mata membola.“Pergilah,” kata Mada dengan bergerak menjauh lalu mendekat ke salah satu meja.Dia mengambil buah anggur yang ada di dalam mangkuk lalu mengunyahnya dengan gerak sensual hingga Jenar terus terbayang-bayang dibenak.“Kamu tahu namaku,” cicit Jenar hingga Mada menganggukan kepala lalu jemarinya mengetuk tepian meja, kembali membiaskan warna cincin yang dikenakan.“Jadi, siapa namamu?”“Nona Penggoda, aku akan merasa tersakiti jika kamu tidak mengenalku.”“Tap—”“Bukankah seharusnya kamu tahu identitas pria yang digoda hmm?” pancing Mada dengan melemparkan sebuah anggur yang diterima oleh Jenar.Dia mengarahkan Jenar pada pintu keluar, setibanya Jenar di ambang pintu utama tempat tinggal si pria, Mada kembali memanggilnya hingga Jenar menoleh.Tatap Jenar tidak lagi tertuju kepada wajah si pria ataupun handuk yang menyembunyikan kedahsyatan dibaliknya, melainkan jemari yang menyugar rambut.“Pastikan kamu mengenalku saat kita bertemu lagi,” pungkas Mada sebelum menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan Jenar yang termangu.Ini kacau, dia tidur dengan lelaki beristri.
Siapa sangka, aksi binal dan beradu peluh serta kulit yang menggesek satu sama lain semalam justru berujung pada bencana? "Harusnya aku menangkap ikan hiu, bukan ikan lele dumbo." Desah itu masih tertinggal di telinga Jenar, hentakan serta elus lembut jemari si pria pada tubuh saat menggerayanginya kini seakan menjadi beban berat di pundaknya. Laki-laki yang dia goda sudah beristri dan itu adalah pukulan telak bagi Jenar. Ketika Jenar mengambil langkah seribu untuk pergi dan melupakan semua hal yang terjadi, pintu kembali terbuka, sebuah kepala muncul masih dengan handuk putih melilit dipinggang. "Nona Penggoda," panggil si lelaki dengan suara berat yang membuat Jenar teringat akan engah yang semalam dia dengar di telinga. "Kamu ingin memata-mataiku?" Jenar tergagap. "Ak—APA? JELAS TIDAK, jangan bermimpi." "Aku mengamatimu melalui CCTV," jelasnya dengan menunjuk ke arah CCTV berbentuk lingkaran kecil yang memang terpasang di atas pintu. "Jadi, aku bertanya-tanya mengapa kamu m
"Tiga hari yang lalu, kamu lihai sekali menggodaku. Sekarang, berpura-pura menjadi pemalu. Apakah kamu memang dua orang yang berbeda?” Pertanyaan tembakan dari Mada membuat Jenar terhenyak. "Penggoda yang digoda, bagaimana jika itu menjadi topik rapat lanjutan, hmm?" tawar Mada dengan gerak bibir yang sensual. "Sepertinya menarik, kamu setuju?" Dia memandang ke arah Jenar yang nampak salah tingkah, terlihat dari telinganya yang memerah. "Pak Mada, tolong jangan diungkit lagi, Pak," tuturnya sopan mengingat kini kondisi mereka berada di dalam area kantor. "Oh, kamu lebih suka diangkat daripada ungkit ternyata," kata Mada dengan kesimpulannya sendiri sebelum tertunduk dan memainkan jemarinya di spidol besar. "Tepatnya diangkat ke ranjang. Bukan begitu?" godanya tak berkesudahan sambil mengeluarkan suara animalistik hingga Jenar terlempar kembali pada memorinya saat terus dihujam oleh Mada. “Lagipula, bagaimana jika aku memaksa? Kamu sudah berada di atas ranjangku dan kamu harus me
“Gaun pernikahanmu yang gagal dipakai, boleh aku beli saja? Nanti akan aku permak sedikit dan bagian perutnya perlu sedikit dilonggarkan. Sedikit dirombak untuk hasil yang lebih bagus." Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah dipecat dari Lawana Corp, sekarang wanita tidak tahu diri ini meminta hal yang mustahil. "Tidak." "Jenar, ayolah," bujuk Rula. "Kamu ini sudah gila atau bagaimana?" cecarnya tak habis pikir. "Katamu, kamu ingin membahas hal yang penting, aku kira kamu ingin meminta maaf bukan memalak!" "Jenar, jangan jual mahal." "Harga gaunku memang mahal, tidak ada yang murahan di hidupku kecuali ..." Jenar memandang Rula, dia mencoba menahan amarah. "Kamu," pungkasnya sadis dengan alis terangkat. Pada sabtu malam, Jenar diajak bertemu oleh Rula di salah satu cafe yang berada di pusat kota, katanya ingin membahas hal yang serius. Dia mulanya menolak, tetapi Rula terus saja mengganggu dan membuatnya kesal. Jenar lantas mengiyakan keinginan Rula dengan sebuah kesepakatan, di
Mada menunduk, menatap cincin kawin yang melingkar dan tak pernah dia lepaskan lalu menghela napas panjang ketika ponsel yang berada di atas nakas berdering dengan cukup kencang. “Saya di apartemen. Ada apa?” tanya Mada saat mengangkat dering tersebut. Tangannya yang lain secara otomatis menarik selimut untuk menutupi punggung polos Jenar dan penuh bercak kemerahan karena ulahnya. “Bagaimana bisa papa naik ke lantai apartemen saya? Siapa yang memberikan kunci prib—oh, saya meninggalkan kunci cadangan di ruang kerja?” tanya Mada yang tidak jadi marah besar meski untuk saat ini kepanikan tercetak jelas diwajahnya. Buru-buru dia menepuk Jenar, meminta agar perempuan itu terbangun padahal baru terlelap setelah malam panjang yang mereka lewati. “Baik, terima kasih,” pungkasnya dengan mengakhiri panggilan serta memijat kening lalu fokus membangunkan Jenar yang tertidur seperti batu, diam tak bergerak. “Jenar! Jenar, bangun! Sembunyi. Sembunyi sek—” “Mada? Mada Lawana?” panggil Oscar y
"Selamat siang, Mbak Jenar. Di bawah ada paket baru datang untuk Pak Mada, ukurannya cukup besar. Ingin diambil sekarang atau kurirnya aku suruh untuk ke atas saja ya, Mbak?" Jenar terdiam sejenak sebelum mengusap tengkuk, kenapa jika ada kiriman untuk Mada, dia tidak tahu sama sekali? "Tolong katakan kepada kurirnya untuk menunggu.” Dua minggu sudah Jenar resmi menjadi sekretaris Mada dan tugas utamanya adalah menyediakan segudang hal untuk si lelaki serta memastikan bahwa hari-hari si pria berjalan lancar. Jenar harus terbiasa untuk membuatkan kopi dengan takaran satu pertujuh sendok kopi di pagi hari sampai mengurus menu makan siang serta memberikan laporan cuaca kepada presdir penggoda satu ini. "Bagaimana, Mbak Jenar?" “Tunggu, jangan langsung di suruh ke atas," sergah Jenar karena dia tahu bahwa Mada tidak suka ada orang asing tanpa izin yang menyeruak masuk ke lantainya tanpa izin. "Sudah aku sampaikan ke kurirnya, Mbak Jenar." Meski sempat tertekan dengan ritme kerja Ma
“Jadi, besok malam tidak akan ada Jenar Suksma Arawinda maupun Nona Penggoda,” ucap Mada dengan menggosok kedua tangan di atas paha. Dalam keheningan yang tercipta, Mada menggerakan dagu ke arah Jenar yang masih memperhatikan dengan saksama gaun serta topeng tersebut. “Jika bukan Jenar ataupun Nona Penggoda,” jedanya dengan bersemu merah jambu sebelum menatap Mada dengan lebih serius. “Aku harus menjadi siapa, Pak Mada?” Pria dihadapannya menjawab dengan cukup tegas, hanya dua kata yang dia sampaikan dan membuat Jenar merasa bulu kuduknya meremang. “Orang lain.” Jenar terhenyak mendengar penuturan dari Mada, dia terdiam sejenak lalu memperhatikan si presdir yang bahkan tidak tersenyum sama sekali, nampak begitu serius menyampaikan tujuannya. “Apakah ini lelucon?” “Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda, Jenar?” Mada mengangkat sebelah alisnya hingga Jenar buru-buru menunduk. “Take it or leave it. Kalau kamu setuju, silakan bawa dua kotak itu ke tempatmu bekerja. Jika tid
Mobil mewah dengan kaca gelap itu masih melaju dengan perlahan memasuki area tempat charity berlangsung. Jenar duduk dengan anggun sambil memandang kotak berisikan topeng sedangkan Mada di sebelahnya terus mengingatkan Jenar dengan berisik. “Jenar, ingat apa yang aku katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan sayang," kata Mada mengingatkan dengan memutar tangan di atas kemudi sebelum Jenar berdeham. "Aku harap kamu tidak mengartikannya berbeda." “Nasi jatuh juga bisa dipanggil sayang,” balas Jenar serampangan kepada Mada yang menggeleng pelan lalu membasahi bibir. “Jangan berbicara kepada siapapun jika tidak ada aku disampingmu, kamu harus diam, anggaplah sedang menjadi patung.” "Oh tentu saja," balas Jenar dengan mengedarkan pandang ke arah luar, memandang para tamu undangan yang tampil semarak dengan gaun mewah serta tukedo yang nampak pas di badan lalu dia menghela napas gusar. Bagi Jenar, ini adalah dunia yang berbeda dan baru baginya. Bagi Mada, ini adalah dunia yang memua
[Rula : Jenar, bagaimana? Apa kamu masih tidak bisa mempertimbangkan untuk memberikan gaun pengantinmu padaku?]Pertanyaan yang disampaikan oleh perempuan tadi kepada Jenar mengudara begitu saja.Suasana menjadi kelewat canggung apalagi setelah Jenar mengintip notifikasi yang muncul di bagian atas ponselnya yang menunjukan nama Rula di sana hingga dirinya dibuat emosi tidak karuan.‘Sialan,’ tukasnya merutuk dengan pelan.‘Dasar lintah tidak tahu diri, masih saja ingin mengambil apa yang menjadi milikku.’“Bianca?” ulang suara tadi hingga Jenar buru-buru mengangkat pandang untuk menatap pihak yang mengajaknya berbicara tadi.“A—apa?” balas Jenar sebelum Mada menggeleng pelan sehingga dia kembali diam.“Aku sudah lama tidak melihatmu, terakhir kali kita bertemu empat tahun lalu dan kamu memilih menetap di luar negeri bersama dengan Mada setelah menikah, kamu lupa denganku?” rentet pihak tadi dengan penuh rasa ingin tahu.“Istriku—”Mada baru akan membuka suara sebelum pihak yang mengaj
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya