"Tiga hari yang lalu, kamu lihai sekali menggodaku. Sekarang, berpura-pura menjadi pemalu. Apakah kamu memang dua orang yang berbeda?”
Pertanyaan tembakan dari Mada membuat Jenar terhenyak.
"Penggoda yang digoda, bagaimana jika itu menjadi topik rapat lanjutan, hmm?" tawar Mada dengan gerak bibir yang sensual.
"Sepertinya menarik, kamu setuju?" Dia memandang ke arah Jenar yang nampak salah tingkah, terlihat dari telinganya yang memerah.
"Pak Mada, tolong jangan diungkit lagi, Pak," tuturnya sopan mengingat kini kondisi mereka berada di dalam area kantor.
"Oh, kamu lebih suka diangkat daripada ungkit ternyata," kata Mada dengan kesimpulannya sendiri sebelum tertunduk dan memainkan jemarinya di spidol besar.
"Tepatnya diangkat ke ranjang. Bukan begitu?" godanya tak berkesudahan sambil mengeluarkan suara animalistik hingga Jenar terlempar kembali pada memorinya saat terus dihujam oleh Mada.
“Lagipula, bagaimana jika aku memaksa? Kamu sudah berada di atas ranjangku dan kamu harus membayar untuk itu.”
“Membayar bagaimana, Pak?”
Mada memutar posisi duduknya sejenak, mengangkat salah satu kaki hingga tumpang tindih di atas paha sedangkan tangannya bersedekap di depan dada ketika matanya meneliti Jenar dengan saksama.
“Tidak ada yang boleh pergi dari jangkauanku jika sudah berada di atas ranjang,” tukasnya dominan dengan mata tertuju tajam kepada Jenar yang nampak kerdil.
“Tiga hari yang lalu adalah kesalahan, Pak Mada.”
“Kesalahan karena terbangun di ranjang presdir?”
“Pak Mada, tolong lupakan yang kemarin.”
“Kemarin itu hari minggu, memang apa yang kita lakukan di hari minggu? Kita melakukannya di hari jum'at malam. Ingat?”
Mada membenahi posisi duduknya hingga Jenar terdiam seribu bahasa, ingin kembali mendebat tetapi dia tidak berani macam-macam karena status Mada yang cukup tinggi.
“Aku sudah bilang kalau kita akan bertemu lagi. Kamu tidak percaya itu, ya?”
Sejujurnya, tidak.
Jenar tidak percaya dengan ucapan Mada bahwa mereka berdua akan bertemu kembali.
Apalagi, di malam itu Jenar benar-benar hanya ingin menyalurkan rasa frustasinya tanpa melibatkan perasaan sama sekali dan siapa sangka bahwa Mada adalah lelaki beristri?
“Jadi kapan kamu akan mabuk lagi? Racauan kamu saat mabuk benar-benar menjadi hiburan.”
“Tidak dalam waktu dekat.”
“Aku tidak bisa memanggilmu Nona Penggoda dalam beberapa waktu dekat?” tanya Mada penuh harap dengan mata yang menyipit penuh selidik.
“Tidak."
“Namaku Mada Lawana,” kata Mada dengan berdiri dari tempatnya duduk hingga Jenar otomatis memundurkan langkah sebelum dikungkung oleh si lele dumbo.
"Dan menyebut 'Jenar' itu terlalu sulit untukku."
Pria yang baru saja didapuk menjadi presdir menggantikan Oscar Lawana ini mendekati Jenar setelah memastikan bahwa pintu ruangan telah tertutup.
Langkah kakinya terdengar cukup menggema dan dengan perlahan tumitnya bergerak guna mengungkung Jenar.
Dengan tangan besarnya, Mada memaksa punggung karyawannya itu untuk melengkung di atas meja kayu panjang yang dipergunakan untuk rapat.
“Aku lebih mudah mengingat nama pertama yang kamu katakan. Nona Penggoda,” jelasnya diselingi jeda hingga Jenar menundukan pandang.
"Nona Penggoda, terdengar lebih cocok untukmu," sambung Mada sensual sambi bernapas lembut di dekat Jenar.
Dengan sengaja, Mada menyentuhkan tubuhnya dengan lengan Jenar sehingga wangi parfum si wanita tertutup oleh miliknya.
“Kamu sendiri yang memperkenalkan diri padaku berkali-kali. Jadi bukan salahku jika lebih mengenal kamu dengan nama itu, ‘kan?”
“Pak Mada,” panggil Jenar dengan tangan berkeringat dingin karena terbius oleh pesona Mada.
Mada gegas menjauhkan diri dari Jenar, karena dia tidak yakin dapat menahan diri agar tidak menggagahi Jenar di saat ini.
Setelah itu, Mada berdiri menjauh lalu bergumam dan kembali mengetuk spidol di atas meja kayu sedangkan Jenar merapikan diri dengan wajah merona.
“Statusku seorang presdir, jadwal akan sangat padat, kehadiran sekretaris akan sangat membantu."
“Apa terdapat opsi untuk menolak?" tanya Jenar tanpa tedeng aling-aling karena mengerti ucapan Mada.
“Kamu bisa menolak."
"Oh, syukurlah."
“Tapi setelah ini aku tidak yakin akan berhenti memanggilmu dengan nama Nona Penggoda meski di kondisi kantor yang ramai sekalipun.”
“Pak Mada--" gerung Jenar sedangkan Mada mengedikan bahu.
“Itu mungkin akan memercikan skandal yang merugikan karyawan baru sepertimu. Jadi, terima tawaranku dengan baik-baik atau harus dengan cara paksaan hmm?”
***
Hampir seminggu setelah permintaan mustahil dari Mada, Jenar tengah mengantri di cafetaria Lawana Corp.
Dia sedang menunggu giliran untuk mengambil jatah makan siang ketika langkah tegap menyamai langkahnya dengan kedua tangan berada di dalam kantung celana.
“Sudah mau menjadi sekretaris pribadi?” tanya Mada dengan berjalan di sebelah Jenar dengan santai.
“Tidak akan pernah," bisiknya.
“Nona Penggoda memang pemberani," sindir si pria yang gengsi karena terus ditolak oleh Jenar secara terang-terangan.
Jenar masih mengabaikan Mada, dia berjalan cepat tanpa mengindahkan kehadiran Mada yang justru menyamakan langkah dengannya.
“Kamu harusnya menghormati saya dengan berhenti mengambil lauk pauk makan siang dan menatap saya saat berbicara, Jenar," lugasnya.
Mada sengaja mengubah sapaan untuk menunjukan tinggi statusnya pada Jenar, semata-mata agar Jenar mau berbincang dengannya dan terintimidasi.
Jenar berhenti, tangannya yang sudah akan mengambil centong nasi dia kembalikan lagi pada tempatnya.
“Ini sudah hampir seminggu dan Pak Mada selalu bertanya hal yang sama, tolong berhenti, Pak."
"Aku sudah menandaimu sebagai calon sekretaris, termasuk menandai di area leher. Ingat?"
Mada mengatakan dengan santai lalu mengetuk lehernya sebanyak dua kali.
Dia senang melakukan dominasi atas hal-hal yang terjadi di sekitarnya termasuk pada karyawan baru dengan prestasi cemerlang ini.
Kali ini, karena Jenar selalu menolak, Mada tertantang untuk terus mengganggu Jenar di sela-sela pekerjaan yang mereka lakukan sebagai seorang presdir dan karyawan baru.
“Bapak seharusnya mencari kandidat laki-laki untuk menjadi sekretaris supaya tetap profesional,” tolak Jenar.
“Kalau kamu menolak, kamu tidak akan kuat dengan konsekuensinya,” balas Mada dengan santai.
“Apa konsekuensinya?” tantang Jenar dengan memandang Mada kelewat berani.
“Menjadi Nona Penggoda untuk saya," bisiknya sensual. "Dan itu artinya, kamu menjadi tawanan ranjang saya."
“Pak Mada, tolong hentikan," pinta Jenar dengan geregetan atas sikap keras kepala Mada yang terus mengusiknya.
"Mungkin saya sedang kurang sadar ketika memperkenalkan diri dengan nama itu, tetapi untuk sekarang—”
“Sekarang kamu mau menjadi sekretaris pribadiku. Begitu?”
“Tidak,” ketus Jenar.
“Sampai kapan kamu ingin dikejar?”
Jenar berhenti sepenuhnya, dia meninggalkan barisan karyawan yang akan mengambil makan siang lalu melangkah dengan tergesa berusaha meninggalkan Mada.
Melihat tindak tanduk Jenar, Mada menyeringai.
Kali ini, targetnya benar-benar liar dan buas hingga harus ditaklukan dengan cara yang keras.
Setelah Jenar pergi, Mada tidak lagi mengejarnya seperti apa yang telah dia lakukan hampir seminggu ini.
Mada justru membalik tubuh dan berjalan cepat dengan ponsel yang berada di telinga, menunggu beberapa saat ketika nada sambung terdengar lebih dahulu.
“Pecat karyawan bernama Jenar Suksma Arawinda,” lugasnya.
“Gaun pernikahanmu yang gagal dipakai, boleh aku beli saja? Nanti akan aku permak sedikit dan bagian perutnya perlu sedikit dilonggarkan. Sedikit dirombak untuk hasil yang lebih bagus." Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah dipecat dari Lawana Corp, sekarang wanita tidak tahu diri ini meminta hal yang mustahil. "Tidak." "Jenar, ayolah," bujuk Rula. "Kamu ini sudah gila atau bagaimana?" cecarnya tak habis pikir. "Katamu, kamu ingin membahas hal yang penting, aku kira kamu ingin meminta maaf bukan memalak!" "Jenar, jangan jual mahal." "Harga gaunku memang mahal, tidak ada yang murahan di hidupku kecuali ..." Jenar memandang Rula, dia mencoba menahan amarah. "Kamu," pungkasnya sadis dengan alis terangkat. Pada sabtu malam, Jenar diajak bertemu oleh Rula di salah satu cafe yang berada di pusat kota, katanya ingin membahas hal yang serius. Dia mulanya menolak, tetapi Rula terus saja mengganggu dan membuatnya kesal. Jenar lantas mengiyakan keinginan Rula dengan sebuah kesepakatan, di
Mada menunduk, menatap cincin kawin yang melingkar dan tak pernah dia lepaskan lalu menghela napas panjang ketika ponsel yang berada di atas nakas berdering dengan cukup kencang. “Saya di apartemen. Ada apa?” tanya Mada saat mengangkat dering tersebut. Tangannya yang lain secara otomatis menarik selimut untuk menutupi punggung polos Jenar dan penuh bercak kemerahan karena ulahnya. “Bagaimana bisa papa naik ke lantai apartemen saya? Siapa yang memberikan kunci prib—oh, saya meninggalkan kunci cadangan di ruang kerja?” tanya Mada yang tidak jadi marah besar meski untuk saat ini kepanikan tercetak jelas diwajahnya. Buru-buru dia menepuk Jenar, meminta agar perempuan itu terbangun padahal baru terlelap setelah malam panjang yang mereka lewati. “Baik, terima kasih,” pungkasnya dengan mengakhiri panggilan serta memijat kening lalu fokus membangunkan Jenar yang tertidur seperti batu, diam tak bergerak. “Jenar! Jenar, bangun! Sembunyi. Sembunyi sek—” “Mada? Mada Lawana?” panggil Oscar y
"Selamat siang, Mbak Jenar. Di bawah ada paket baru datang untuk Pak Mada, ukurannya cukup besar. Ingin diambil sekarang atau kurirnya aku suruh untuk ke atas saja ya, Mbak?" Jenar terdiam sejenak sebelum mengusap tengkuk, kenapa jika ada kiriman untuk Mada, dia tidak tahu sama sekali? "Tolong katakan kepada kurirnya untuk menunggu.” Dua minggu sudah Jenar resmi menjadi sekretaris Mada dan tugas utamanya adalah menyediakan segudang hal untuk si lelaki serta memastikan bahwa hari-hari si pria berjalan lancar. Jenar harus terbiasa untuk membuatkan kopi dengan takaran satu pertujuh sendok kopi di pagi hari sampai mengurus menu makan siang serta memberikan laporan cuaca kepada presdir penggoda satu ini. "Bagaimana, Mbak Jenar?" “Tunggu, jangan langsung di suruh ke atas," sergah Jenar karena dia tahu bahwa Mada tidak suka ada orang asing tanpa izin yang menyeruak masuk ke lantainya tanpa izin. "Sudah aku sampaikan ke kurirnya, Mbak Jenar." Meski sempat tertekan dengan ritme kerja Ma
“Jadi, besok malam tidak akan ada Jenar Suksma Arawinda maupun Nona Penggoda,” ucap Mada dengan menggosok kedua tangan di atas paha. Dalam keheningan yang tercipta, Mada menggerakan dagu ke arah Jenar yang masih memperhatikan dengan saksama gaun serta topeng tersebut. “Jika bukan Jenar ataupun Nona Penggoda,” jedanya dengan bersemu merah jambu sebelum menatap Mada dengan lebih serius. “Aku harus menjadi siapa, Pak Mada?” Pria dihadapannya menjawab dengan cukup tegas, hanya dua kata yang dia sampaikan dan membuat Jenar merasa bulu kuduknya meremang. “Orang lain.” Jenar terhenyak mendengar penuturan dari Mada, dia terdiam sejenak lalu memperhatikan si presdir yang bahkan tidak tersenyum sama sekali, nampak begitu serius menyampaikan tujuannya. “Apakah ini lelucon?” “Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda, Jenar?” Mada mengangkat sebelah alisnya hingga Jenar buru-buru menunduk. “Take it or leave it. Kalau kamu setuju, silakan bawa dua kotak itu ke tempatmu bekerja. Jika tid
Mobil mewah dengan kaca gelap itu masih melaju dengan perlahan memasuki area tempat charity berlangsung. Jenar duduk dengan anggun sambil memandang kotak berisikan topeng sedangkan Mada di sebelahnya terus mengingatkan Jenar dengan berisik. “Jenar, ingat apa yang aku katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan sayang," kata Mada mengingatkan dengan memutar tangan di atas kemudi sebelum Jenar berdeham. "Aku harap kamu tidak mengartikannya berbeda." “Nasi jatuh juga bisa dipanggil sayang,” balas Jenar serampangan kepada Mada yang menggeleng pelan lalu membasahi bibir. “Jangan berbicara kepada siapapun jika tidak ada aku disampingmu, kamu harus diam, anggaplah sedang menjadi patung.” "Oh tentu saja," balas Jenar dengan mengedarkan pandang ke arah luar, memandang para tamu undangan yang tampil semarak dengan gaun mewah serta tukedo yang nampak pas di badan lalu dia menghela napas gusar. Bagi Jenar, ini adalah dunia yang berbeda dan baru baginya. Bagi Mada, ini adalah dunia yang memua
[Rula : Jenar, bagaimana? Apa kamu masih tidak bisa mempertimbangkan untuk memberikan gaun pengantinmu padaku?]Pertanyaan yang disampaikan oleh perempuan tadi kepada Jenar mengudara begitu saja.Suasana menjadi kelewat canggung apalagi setelah Jenar mengintip notifikasi yang muncul di bagian atas ponselnya yang menunjukan nama Rula di sana hingga dirinya dibuat emosi tidak karuan.‘Sialan,’ tukasnya merutuk dengan pelan.‘Dasar lintah tidak tahu diri, masih saja ingin mengambil apa yang menjadi milikku.’“Bianca?” ulang suara tadi hingga Jenar buru-buru mengangkat pandang untuk menatap pihak yang mengajaknya berbicara tadi.“A—apa?” balas Jenar sebelum Mada menggeleng pelan sehingga dia kembali diam.“Aku sudah lama tidak melihatmu, terakhir kali kita bertemu empat tahun lalu dan kamu memilih menetap di luar negeri bersama dengan Mada setelah menikah, kamu lupa denganku?” rentet pihak tadi dengan penuh rasa ingin tahu.“Istriku—”Mada baru akan membuka suara sebelum pihak yang mengaj
Jenar terpojok, ingin lari juga tidak bisa. Mendadak dirinya menyesali langkah yang diambil.“Mada tidak akan mendengarmu.""Mada akan mendengar teriakanku atau orang lain akan melakukannya, jangan macam-macam, sialan!" balas Jenar, berusaha terdengar keras dan mendominasi padahal dia sudah ingin mengompol.Dia kembali melupakan apa yang dikatakan oleh Mada tentang jangan berucap apapun jika tidak sedang bersama dengan si pria.Seharusnya Jenar mempercayai Mada dan tidak bertindak sesukanya seperti ini.Sekarang, ketika dirinya berada di dalam bahaya, di mana Mada untuk menolongnya?Dasar teledor, jika sudah kesulitan begini, Jenar baru sibuk mencari Mada."Silakan menjerit dengan kencang, aku akan menunggu,” bisik si lelaki dengan santai kepada Jenar yang terus meronta-ronta dengan hebat ditemani oleh kencangnya angin malam.“Lepas!” geram Jenar.“Berhenti menjambak diriku, dasar persetan!” sambungnya penuh ceracau karena hanya itu yang dapat dirinya lakukan untuk sekarang.“Oh, kamu
"Kamu ingin tahu siapa aku yang sebenarnya, kan?" tanya Jenar lembut seraya berusaha melunglai beberapa saat kemudian saat sadar usahanya agar terlihat galak, gagal total."Lepaskan aku dan aku akan memberimu jawaban," tantangnya. Jenar mulai meliukan badannya yang padat berisi dengan ekstra dua kantung susu yang menggantung dari balik gaun merah berpotongan rendah yang dikenakan. Sejujurnya, Jenar merasa takut sebelum teringat akan sebuah nama yang tanpa sadar dia sebut saat mabuk. Nona Penggoda. "Apa aku harus mempercayaimu?" tanya si pria pelan dengan nada tidak yakin.Cengkraman yang diberikan pada tubuh Jenar perlahan menjadi kendur. "Aku memang bukan Bianca," kata Jenar agar pria ini percaya padanya. "Kalau aku Bianca, Mada tidak akan melepaskanku sendiri, kan?" "Ya ... itu benar, tetap--" "Apa itu belum cukup?" potongnya seraya memberikan kerling nakal."Namaku Nona Penggoda dan aku tidak suka disakiti, Tuan," adunya dengan suara yang kekanak-kanakan sambil menggerakan j
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya