Beranda / Romansa / Terbangun di Ranjang Presdir Duda / Hadiah untuk Nona Sekretaris

Share

Hadiah untuk Nona Sekretaris

Penulis: Naraya Mahika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Selamat siang, Mbak Jenar. Di bawah ada paket baru datang untuk Pak Mada, ukurannya cukup besar. Ingin diambil sekarang atau kurirnya aku suruh untuk ke atas saja ya, Mbak?"

Jenar terdiam sejenak sebelum mengusap tengkuk, kenapa jika ada kiriman untuk Mada, dia tidak tahu sama sekali?

"Tolong katakan kepada kurirnya untuk menunggu.”

Dua minggu sudah Jenar resmi menjadi sekretaris Mada dan tugas utamanya adalah menyediakan segudang hal untuk si lelaki serta memastikan bahwa hari-hari si pria berjalan lancar.

Jenar harus terbiasa untuk membuatkan kopi dengan takaran satu pertujuh sendok kopi di pagi hari sampai mengurus menu makan siang serta memberikan laporan cuaca kepada presdir penggoda satu ini.

"Bagaimana, Mbak Jenar?"

“Tunggu, jangan langsung di suruh ke atas," sergah Jenar karena dia tahu bahwa Mada tidak suka ada orang asing tanpa izin yang menyeruak masuk ke lantainya tanpa izin.

"Sudah aku sampaikan ke kurirnya, Mbak Jenar."

Meski sempat tertekan dengan ritme kerja Mada yang cepat dan perfeksionis, nyatanya Jenar mulai terbiasa.

"Omong-omong, aku boleh tahu siapa pengirim paket tersebut?" tanya Jenar beberapa saat kemudian.

Dia sibuk mengecek terlebih dahulu apakah ada agenda delivery untuk hari ini lalu mengernyit karena seharusnya tidak ada pengiriman apapun sampai siang ini.

Jika pun Mada memesan barang, Jenar pasti tahu karena Mada yang selalu menyuruhnya melakukan segala hal atas nama si pria karena Mada ingin terima beres.

"Dari salah satu rumah butik, Mbak."

"Kiriman baju?" tebak Jenar dengan memijat kening.

"Bisa jadi. Jadi, bagaimana baiknya, Mbak Jenar?" tanya pihak seberang dengan sedikit menekan Jenar yang memutar bola mata lalu mencoba untuk tenang.

‘Tumben’, batin Jenar karena merasa aneh bahwa Mada memesan baju dari salah satu butik dan diantar ke alamat kantor pula.

"Tunggu, aku akan melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan Pak Mada," ucap Jenar dengan melepaskan gagang telepon dari telinganya.

Jenar harus memastikan semua aman sebelum sampai di tangan Mada sehingga dia putuskan untuk memutar kursi lalu sedikit menunduk untuk mengintip Mada yang sedang berada di ruangannya.

Pria itu nampak sedang menghubungi seseorang, terlihat dari gesturnya yang berjalan mondar mandir.

“Begini saja, nanti aku yang akan mengambil paket itu ke bawah,” usul Jenar dengan kembali memegang gagang telepon.

“Baik.”

Tok. Tok. Tok.

Setelah mengetuk sebanyak tiga kali, Jenar melangkah masuk ke ruangan Mada, bertepatan dengan si pria yang juga mematikan sambungan telepon.

"Ada hal yang tidak kamu mengerti?" tanya Mada tanpa berbasa basi sambil mendaratkan tatap kepada Jenar yang kini mendekatinya.

"Apa Pak Mada habis memesan barang?"

"Tidak," balas Mada dengan mengetik sesuatu sebelum memasukan ponsel ke dalam kantung celana dan berjalan mendekat ke arah Jenar sebelum mengelus bahunya sebanyak dua kali.

"Ah, apakah ada kurir dari butik yang datang?" ralatnya dengan menjentikan jemari lalu memberikan kode kepada Jenar untuk mengambilnya.

"Kalau begitu, bawa barangnya kemari," titahnya.

***

Jenar kembali ke dalam ruangan Mada dengan menggotong kotak yang berukuran cukup besar tersebut lalu menaruhnya di salah satu meja sedangkan Mada menatapnya penuh kepuasan, dia duduk dengan menyilangkan kaki.

“Perlu bantuan?” tanya Mada jenaka ketika Jenar sudah menaruh kotak itu.

“Wah, sangat membantu,” sindir si perempuan pada Mada yang menggelengkan kepala karena sibuk menahan tawa.

“Aku hanya ingin berbasa basi denganmu,” balas si lelaki kepada Jenar yang tengah meregangkan tangannya ketika terasa pegal.

“Tidak perlu bersikap sinis seperti itu, Jenar,” imbuhnya hingga Jenar merasakan cubitan di dasar hati, sadar bahwa dia tidak seharusnya sekasar itu saat menjawab Mada.

“Pak Mada, jika sudah selesai semua, aku akan kembali ke meja depan dan—"

"Buka," kata Mada saat Jenar hendak undur diri hingga matanya terbuka lebar.

Jenar spontan menggelengkan kepala, dia tidak setuju dengan gagasan yang diberikan oleh Mada.

“Ah, tidak, Pak Mada. Kotak ini bukan milikku, ini milik Pak Mada,” jelasnya sungkan.

“Jenar …” panggil Mada dengan memajukan duduk lalu menarik keliman celana yang berada di atas paha sebelum mengusap-usap kainnya dengan pelan.

“Asal kamu tahu, aku membelikannya khusus untukmu.”

“AKU?” tunjuk Jenar pada dirinya sendiri dengan raut tidak percaya sedangkan Mada terlihat sangat percaya diri.

“Tentu,” ucap Mada. “Siapa lagi sekretarisku selain kamu?”

Dia kembali menyandarkan tubuh dan sibuk menggosok kedua tangan, berupaya menyembunyikan cincin kawin yang tersemat dari Jenar.

Mada selalu seperti ini ketika berbicara dengan Jenar.

Laki-laki parlente ini seperti ingin menunjukan sekaligus menyembunyikan keberadaan cincin di jemarinya dan setiap kali Jenar mencoba mengumpulkan keberanian diri untuk bertanya, Mada selalu memiliki cara yang handal untuk mengalihkan pembicaraan.

“Selama dua minggu menjadi sekretarisku, aku harus mengakui bahwa pekerjaanmu sangat tertata.”

“Terima kasih banyak, Pak Mada. Aku anggap itu sebagai pujian,” kata Jenar dengan sopan sedangkan Mada yang menyilangkan kaki sibuk mengetuk jemarinya di lengan sofa yang ditempati sedangkan Jenar berdiri tegak meski sesekali matanya tertuju kepada kotak hitam besar itu.

“Aku tidak perlu ucapan terima kasih darimu, aku hanya ingin kamu menemaniku,” lugas Mada kepada Jenar yang terlihat gengsi serta malu-malu kucing.

Dia melirik ke arah kotak tersebut dengan ragu-ragu lalu menelan saliva, pada satu sisi ingin mendebat Mada, pada sisi yang lain Jenar kadung penasaran akan isi kotak tersebut.

“J—jadi aku boleh membukanya?” tanyanya berbasa basi berusaha menunjukan sopan santun.

“Duduklah dan buka. Itu adalah milikmu, kamu bisa membawanya pulang.”

Maka, Jenar duduk di depan Mada seperti apa yang diperintahkan oleh si pria.

Tangannya terulur untuk membuka pita di atas kotak tersebut lalu mengangkat tutupnya pelan-pelan.

Matanya terlihat begitu berbinar sementara Mada mengulum senyum melihat gestur Jenar.

Sraak.

“Pak, ini—”

Jenar membelalakan mata ketika mendengar permintaan dari Mada.

Dihadapannya, terdapat sebuah kotak hitam terbuka lebar dengab susunan bunga mawar merah serta selapis pakaian mahal yang dibungkus semacam kertas yang mengeluarkan semerbak aroma mawar.

“Kalau kamu masih bertanya itu untuk apa, jawaban yang jelas adalah untuk dipakai dan bukan di makan,” balas Mada dengan asal sambil memperhatikan dengan saksama raut Jenar yang tercengang.

“Kelopak bunga mawarnya juga jangan kamu jadikan ramuan untuk membuatku menyukaimu,” ledek Mada dengan alis terangkat tinggi.

Jemari Jenar membelai kertas penutup lalu membukanya dengan gemetar, dia tahu dengan sangat bahwa rumah butik ini memiliki harga busana yang sangat mahal.

“Acaranya besok malam, ini adalah undangan pribadi dari lembaga charity jadi tidak dikirimkan ke kamu."

Mada menyampaikan rencananya kepada Jenar yang masih berkeringat dingin ketika jemarinya menyentuh permukaan gaun berwarna merah yang dia tebak pasti akan terlihat sangat seksi jika dikenakan.

“Temanya pesta topeng,” tukas Mada lagi dengan berdiri lalu kembali ke mejanya sebelum menarik keluar suatu kotak yang lebih kecil serta menaruhnya tepat di depan Jenar.

Jenar berhenti mengagumi gaun tersebut dan jadi penasaran ketika Mada membuka kotak yang lebih kecil lalu memberikan isinya yang berukuran lebih kecil kepada Jenar.

"Kamu harus mengenakan ini."

Jenar menunduk, tangannya menerima uluran topeng yang diberi oleh Mada dan terdapat bantalan di area dalam sehingga tidak akan menimbulkan sakit serta bekas di permukaan kulit.

"Sama sepertiku yang juga mengenakan topeng, hanya berbeda warna saja."

“A—aku harus ikut dengan Pak Mada?” gugupnya.

Jenar berhenti mengagumi detail dari topeng mewah tersebut lalu meletakannya sebelum menatap Mada.

Entah mengapa suara Jenar berubah menjadi sebuah bisikan padahal kondisinya di ruangan ini hanya ada mereka berdua.

“Tentu,” balas Mada dengan memajukan posisi duduknya lalu menyentuh dagu Jenar penuh kelembutan.

"Untuk apa aku menyediakan semua ini jika kamu tidak ikut?"

Mada berusaha mengukur reaksi dari Jenar sebelum berucap pelan namun mampu untuk membuat Jenar keheranan hingga bulu kuduknya terasa meremang.

"Benar juga," kata Jenar dengan mata yang bolak balik memandang gaun serta topeng.

Dia tertantang karena penasaran dengan acara yang disebutkan oleh Mada, sekaligus merasakan gigilan dingin karena takut.

“Jenar, namun kali ini kita datang bukan sebagai presdir dan sekretaris.”

“Lalu?” balasnya dengan keheranan dan tertawa hambar. "Tapi 'kan pada dasarnya kita merupakan—"

“Kamu harus menggunakan identitas lain yang sudah disiapkan. Bersedia?”

Bab terkait

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Aku Ingin Mencumbu Dirimu

    “Jadi, besok malam tidak akan ada Jenar Suksma Arawinda maupun Nona Penggoda,” ucap Mada dengan menggosok kedua tangan di atas paha. Dalam keheningan yang tercipta, Mada menggerakan dagu ke arah Jenar yang masih memperhatikan dengan saksama gaun serta topeng tersebut. “Jika bukan Jenar ataupun Nona Penggoda,” jedanya dengan bersemu merah jambu sebelum menatap Mada dengan lebih serius. “Aku harus menjadi siapa, Pak Mada?” Pria dihadapannya menjawab dengan cukup tegas, hanya dua kata yang dia sampaikan dan membuat Jenar merasa bulu kuduknya meremang. “Orang lain.” Jenar terhenyak mendengar penuturan dari Mada, dia terdiam sejenak lalu memperhatikan si presdir yang bahkan tidak tersenyum sama sekali, nampak begitu serius menyampaikan tujuannya. “Apakah ini lelucon?” “Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda, Jenar?” Mada mengangkat sebelah alisnya hingga Jenar buru-buru menunduk. “Take it or leave it. Kalau kamu setuju, silakan bawa dua kotak itu ke tempatmu bekerja. Jika tid

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   (Mendadak) Kesayangan Presdir

    Mobil mewah dengan kaca gelap itu masih melaju dengan perlahan memasuki area tempat charity berlangsung. Jenar duduk dengan anggun sambil memandang kotak berisikan topeng sedangkan Mada di sebelahnya terus mengingatkan Jenar dengan berisik. “Jenar, ingat apa yang aku katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan sayang," kata Mada mengingatkan dengan memutar tangan di atas kemudi sebelum Jenar berdeham. "Aku harap kamu tidak mengartikannya berbeda." “Nasi jatuh juga bisa dipanggil sayang,” balas Jenar serampangan kepada Mada yang menggeleng pelan lalu membasahi bibir. “Jangan berbicara kepada siapapun jika tidak ada aku disampingmu, kamu harus diam, anggaplah sedang menjadi patung.” "Oh tentu saja," balas Jenar dengan mengedarkan pandang ke arah luar, memandang para tamu undangan yang tampil semarak dengan gaun mewah serta tukedo yang nampak pas di badan lalu dia menghela napas gusar. Bagi Jenar, ini adalah dunia yang berbeda dan baru baginya. Bagi Mada, ini adalah dunia yang memua

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Sebetulnya, Siapa Dia?

    [Rula : Jenar, bagaimana? Apa kamu masih tidak bisa mempertimbangkan untuk memberikan gaun pengantinmu padaku?]Pertanyaan yang disampaikan oleh perempuan tadi kepada Jenar mengudara begitu saja.Suasana menjadi kelewat canggung apalagi setelah Jenar mengintip notifikasi yang muncul di bagian atas ponselnya yang menunjukan nama Rula di sana hingga dirinya dibuat emosi tidak karuan.‘Sialan,’ tukasnya merutuk dengan pelan.‘Dasar lintah tidak tahu diri, masih saja ingin mengambil apa yang menjadi milikku.’“Bianca?” ulang suara tadi hingga Jenar buru-buru mengangkat pandang untuk menatap pihak yang mengajaknya berbicara tadi.“A—apa?” balas Jenar sebelum Mada menggeleng pelan sehingga dia kembali diam.“Aku sudah lama tidak melihatmu, terakhir kali kita bertemu empat tahun lalu dan kamu memilih menetap di luar negeri bersama dengan Mada setelah menikah, kamu lupa denganku?” rentet pihak tadi dengan penuh rasa ingin tahu.“Istriku—”Mada baru akan membuka suara sebelum pihak yang mengaj

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Gadis Bergaun Merah

    Jenar terpojok, ingin lari juga tidak bisa. Mendadak dirinya menyesali langkah yang diambil.“Mada tidak akan mendengarmu.""Mada akan mendengar teriakanku atau orang lain akan melakukannya, jangan macam-macam, sialan!" balas Jenar, berusaha terdengar keras dan mendominasi padahal dia sudah ingin mengompol.Dia kembali melupakan apa yang dikatakan oleh Mada tentang jangan berucap apapun jika tidak sedang bersama dengan si pria.Seharusnya Jenar mempercayai Mada dan tidak bertindak sesukanya seperti ini.Sekarang, ketika dirinya berada di dalam bahaya, di mana Mada untuk menolongnya?Dasar teledor, jika sudah kesulitan begini, Jenar baru sibuk mencari Mada."Silakan menjerit dengan kencang, aku akan menunggu,” bisik si lelaki dengan santai kepada Jenar yang terus meronta-ronta dengan hebat ditemani oleh kencangnya angin malam.“Lepas!” geram Jenar.“Berhenti menjambak diriku, dasar persetan!” sambungnya penuh ceracau karena hanya itu yang dapat dirinya lakukan untuk sekarang.“Oh, kamu

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Siapa Pelakunya?

    "Kamu ingin tahu siapa aku yang sebenarnya, kan?" tanya Jenar lembut seraya berusaha melunglai beberapa saat kemudian saat sadar usahanya agar terlihat galak, gagal total."Lepaskan aku dan aku akan memberimu jawaban," tantangnya. Jenar mulai meliukan badannya yang padat berisi dengan ekstra dua kantung susu yang menggantung dari balik gaun merah berpotongan rendah yang dikenakan. Sejujurnya, Jenar merasa takut sebelum teringat akan sebuah nama yang tanpa sadar dia sebut saat mabuk. Nona Penggoda. "Apa aku harus mempercayaimu?" tanya si pria pelan dengan nada tidak yakin.Cengkraman yang diberikan pada tubuh Jenar perlahan menjadi kendur. "Aku memang bukan Bianca," kata Jenar agar pria ini percaya padanya. "Kalau aku Bianca, Mada tidak akan melepaskanku sendiri, kan?" "Ya ... itu benar, tetap--" "Apa itu belum cukup?" potongnya seraya memberikan kerling nakal."Namaku Nona Penggoda dan aku tidak suka disakiti, Tuan," adunya dengan suara yang kekanak-kanakan sambil menggerakan j

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Ikut Denganku, Jenar!

    Hening.Jenar mencoba menyerap kata-kata si pria dengan perasaan waswas, mendadak matanya terasa sangat panas dan ketakutan menyelimutinya.Apakah dia lebih baik bersama dengan pria asing ini dibandingkan dengan Mada?"KAU BERBOHONG!" geram Jenar dengan melepaskan rengkuhannya dari si pria, ucapannya terasa sangat tidak masuk akal.Tidak mungkin Mada seperti itu, menyakiti nyamuk yang menggigit kulit saja, Jenar yakin Mada tidak akan tega melakukannya."Jadi, kamu benar-benar ingin kembali pada Mada setelah apa yang aku katakan?""Aku tidak memercayaimu, tidak mungkin Mada melakukan hal keji seperti itu," decihnya penuh rasa keki."Oh tentu saja," kata si pria asing dengan tenang seakan sudah menebak kemana arah pembicaraan Jenar.Dia menyunggingkan senyum pada satu sisi bibir lalu berdecak pelan sebelum menguap kemudian melirik ke arah bahu, tempat sebelumnya Jenar menyentuh dan nampak siap untuk merebah bersama."Mana mungkin Mada mengatakannya kepada wanita malam langganannya seper

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Rahasia Kelam Mada

    "Aku tidak akan mau masuk ke dalam mobilmu!" Jenar menyilangkan kedua tangan di depan dada kemudian mendengkus dengan kasar, dia tidak akan mau mengikuti Mada setelah apa yang terjadi tadi. "Kamu membuatku malu, aku tidak mau! Aku akan pulang sendiri." "Masuk! Kita pulang sekarang, aku tidak menerima bantahan apa-apa lagi darimu, Jenar!" Mada siap untuk menerkam Jenar tanpa ampun karena perempuan dengan balutan gaun merah itu sangat keras kepala sampai membuatnya meradang. Sejak Mada mengungkung Jenar untuk menuruni lift dan memutuskan secara sepihak apa langkah yang akan dirinya ambil, Jenar menjambak-jambak rambut Mada lalu memaki dengan lihai. Kakinya yang memakai sepatu berhak tinggi lantas menepuk-nepuk dada si pria hingga Mada kesakitan. Berpasang-pasang mata mengamati mereka sampai tiba di area parkir valet dan Mada tidak peduli oleh tatapan menyebalkan itu, toh tidak ada yang akan mengenalnya dan Jenar dalam balutan topeng yang dipakai. Brak! "Jangan menguji kesabaran

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Sepakat Untuk Bercinta?

    "Dasar lelaki payah, lelaki mesum," cibirnya tidak habisnpikir seraya memegangi dada."IInikah kualitas dari anak Oscar Lawana?" sembur Jenar yang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya sama sekali ketika mendengar suara terpingkal-pingkal dari Mada. "Hei, aku ini presdir di Lawana." "Oh, itu kalau di hari kerja. Sekarang 'kan, tidak," balas Jenar dengan melepaskan kaitan topengnya lalu menaruh benda yang pada bagian dalamnya terkena bercak riasan itu di atas dasbor mobil. "Jadi, sekarang kamu berani melawanku, hmm?" Mada gemar menggoda dan menggoda Jenar sekarang menjadi hobinya. Dia menaruh pistol mainan dari bahan plastik yang bisa menyemburkan air itu kembali pada tempatnya sembari menikmati raut kesal Jenar. "Ya. Aku harus melawanmu setelah apa yang terjadi," tunjuknya bersungut-sungut pada pistol yang dibawa oleh Mada."Kamu ini spesialisasi membuatku jengkel, tahu!"Lelaki itu tersenyum dengan begitu lebar, memamerkan lesung pipi yang terdapat di sebelah kiri wajah kemudia

Bab terbaru

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Satu Buket Bunga Besar

    "Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Lelaki Berteman Luka

    "Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Mencium Penuh Nafsu

    "Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Laki-Laki Parlente Mencurigakan

    "Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Will You Be My Wife?

    "Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Hei, Penculik Tampan!

    “Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Nenek Lampir Stadium Akut

    "Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Kalian Bertengkar, Ya?

    [Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Jual Beli Sekretaris

    “Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya

DMCA.com Protection Status