“Jadi, besok malam tidak akan ada Jenar Suksma Arawinda maupun Nona Penggoda,” ucap Mada dengan menggosok kedua tangan di atas paha.
Dalam keheningan yang tercipta, Mada menggerakan dagu ke arah Jenar yang masih memperhatikan dengan saksama gaun serta topeng tersebut.“Jika bukan Jenar ataupun Nona Penggoda,” jedanya dengan bersemu merah jambu sebelum menatap Mada dengan lebih serius.“Aku harus menjadi siapa, Pak Mada?”Pria dihadapannya menjawab dengan cukup tegas, hanya dua kata yang dia sampaikan dan membuat Jenar merasa bulu kuduknya meremang.“Orang lain.”Jenar terhenyak mendengar penuturan dari Mada, dia terdiam sejenak lalu memperhatikan si presdir yang bahkan tidak tersenyum sama sekali, nampak begitu serius menyampaikan tujuannya.“Apakah ini lelucon?”“Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda, Jenar?”Mada mengangkat sebelah alisnya hingga Jenar buru-buru menunduk.“Take it or leave it. Kalau kamu setuju, silakan bawa dua kotak itu ke tempatmu bekerja. Jika tidak, aku terpaksa mencari wanita lain untuk menemani.”Kalimat terakhir yang disampaikan oleh Mada membuat Jenar membulatkan kedua bola mata, buru-buru dia merapikan dua kotak tadi termasuk menyisipkan kembali tali berwarna perak ke dalam kotaknya.“Terima kasih banyak, Pak.”“Sama-sama,” balas Mada sebelum mengeluarkan ponsel lalu menghela napas panjang ketika Jenar sibuk berusaha mengangkat kotak yang berat tersebut kemudian hendak pamit undur diri.Baru dua langkah Jenar menjauh dari sana, Jenar mampu mendengar suara Mada yang menjawab panggilan dengan nada yang terdengar riang gembira.“Hai, apa kabar?”***[Pak Mada : Jenar, tolong kirim alamatmu.]Keesokan siangnya, Jenar sedang sibuk mengamati satin wrapped gown tersebut dengan saksama.Tangan kanannya sejak semalam tidak pernah berhenti mengelus permukaannya yang halus sedangkan tangan kirinya memegang topeng yang diberikan oleh Mada.Dia menarik napas panjang ketika ponselnya berdering, memutus pandangan Jenar dari gaun tersebut sebelum meletakan topeng dan berjalan ke arah ranjang.[Jenar Suksma : Baik Pak.][Jenar Suksma : Mengirimkan lokasi.][Pak Mada : Ok.]Setelah kemarin pagi, Mada tidak berkata apa-apa lagi kepada Jenar selain hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.Berat untuk Jenar akui, selama tiga minggu lebih mengenal Mada, tidak ada sehari pun pria itu berhenti menggodanya untuk alasan apapun itu.Dia akan menyelipkan lelucon yang membuat Jenar jengah sekaligus penasaran dan menunggu-nunggu serangan godaan dari Tuan Penggoda.Mada seperti sedang diserang oleh angin ribut sejak mengangkat telepon.***Secantik-cantiknya Jenar menyiapkan diri, dia tidak tahu apakah ini akan membuat Mada terkesima.Dia tidak memiliki ekspektasi apapun sampai sebuah mobil mewah berhenti di depan tempat tinggalnya dan Jenar melangkah masuk ke dalam dengan tenang.“Siang, Pak Mada,” sapanya penuh sopan santun yang langsung diralat oleh Mada.“Mada saja, jangan pakai Pak.”“Eh—”Jenar yang tengah mencoba menyilangkan sabuk pengaman di depan dada sontak melirik ke arah Mada yang masih bungkam.Lelaki itu tidak menjelaskan apa-apa lagi sehingga sekretaris itu menganggukan kepala, tidak ingin membuat Mada kembali berada di dalam mode nya yang jelek.“Baik, Mada.”“Jangan terlalu formal,” kata Mada beberapa saat kemudian setelah menggaruk dagu lalu melempar pandang ke arah kanan, dia mengatakannya dengan nada yang teramat lirih hingga Jenar mencium ketiaknya sendiri.Ketiaknya tidak berbau, mulutnya juga. Kenapa Mada seolah-olah sedang dalam fase menghindari dirinya?“Pak—eh—Mada, aku bau tubuh, ya?” tanya Jenar ceplas ceplos hingga Mada mengubah pegangannya pada kemudi lalu menoleh ke arah sekretarisnya ini.“Stunning,” kata Mada hingga Jenar tersipu.Dia bahkan mulai melupakan fakta bahwa sampai detik ini, Mada masih memakai cincin kawin yang pertama kali Jenar lihat beberapa waktu yang lalu.“Hmm.”Jenar bergumam dan meremas kotak kecil yang menyimpan topeng seperti pesanan Mada.“Kalau aku tidak salah ingat, bukankah acara charity-nya malam hari?”“Benar.”“Tapi sekarang masih siang,” ucap Jenar dengan menatap ke arah Mada yang kontras dengannya karena pria itu terlihat begitu santai, Jenar merasa dia seperti tante girang.“Aku punya kejutan,” balas Mada dengan penuh teka teki kepada Jenar.***Rasanya, Jenar mulai menghapal tiap ruangan di apartemen Mada, dia mulai merasa nyaman berada di sana.Dia berjalan dengan santai seolah dirinya merupakan seorang nyonya Lawana sebelum menemukan seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang terikat kencang dibelakang kepala serta posturnya yang tegak.Dengan percaya diri, Jenar langsung menabur senyum lalu mendekati si perempuan lalu menyodorkan tangan.“Selamat siang Nyonya Lawana, saya Jenar. Sekretarisnya Pak Mada.”“Nyonya?” tanya si perempuan yang berparas ayu itu kepada Jenar yang langsung kalang kabut.“Ah, maaf. Ibu. Ibu Lawana,” ralat Jenar dengan canggung sebelum menarik mundur tangannya sedangkan Mada mendengkus pelan.“Tuan Mada, apakah—”“Benar,” balas Mada dengan meneguk air mineral dari balik bar sedangkan Jenar mengernyitkan alis.“M—maksudnya?”Melalui ekor mata, Jenar terus mengikuti arah yang dituju oleh Mada sebelum pria itu menghilang sepenuhnya ketika deham cukup kencang terdengar di telinganya hingga Jenar memutar tubuh lalu tersenyum canggung.“Saya Hanum, personality branding Tuan Mada,” jelas perempuan bernama Hanum itu kepada Jenar yang bingung dan mencoba tersenyum meski canggung.“Dan kali ini, sebelum datang ke acara charity, Tuan Mada meminta saya untuk mengajarkan beberapa dasar gestur serta intonasi saat berbicara untuk Nona Jenar.”Jadi, ini adalah hadiah yang diberikan oleh Mada untuk Jenar?***Jenar rasanya lelah bukan main setelah berjam-jam berlatih bersama Hanum hingga tangannya menjadi kebas.Dari mulai berjalan, berbicara serta gestur-gestur kecil harus Jenar ulangi agar semua menjadi sempurna sampai dirinya semaput dan sejak tadi dia duduk sambil mengunyah makanan yang dipesan oleh Mada sedangkan Hanum sudah pergi.“Bagaimana?” tanya Mada yang melangkah keluar dari kamar tidur, dia memakai kemeja yang dipadukan dengan vest serta jas yang senada dengan warna pakaian Jenar.“Tampan,” balas Jenar dengan mulut yang terbuka lebar karena dia benar-benar mengagumi penampilan Mada seolah-olah pria itu baru saja melangkah keluar dari dunia dongeng.Mada menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang berada di belakang punggung.“Aku? Tentu saja aku tampan, namun maksudku bukan itu. Kemarilah,” katanya hingga Jenar buru-buru berdiri.“L—lalu?”“Pembelajaran singkat dengan Hanum. Itu menyenangkan, bukan?”“Menyenangkan sekaligus melelahkan.”Mada memajukan langkah, suara sepatu yang dikenakan menggema diruangan yang di dominasi oleh warna hitam tersebut, nampak kelam sekaligus elegan.Dia berhenti tepat di depan Jenar yang masih mencoba mencerna semua hal ini, mereka bersitatap, aroma maskulin dan dominan menguar deras dari tubuh si pria, rasanya Jenar ingin sekali mendaratkan wajahnya di dada Mada.Rasanya, Jenar ingin mengulang intimasi di antara mereka berdua namun kali ini, dia tidak mau ada alkohol yang terlibat di antaranya.“Apa aku melupakan suatu janji?”“Tidak,” kata Jenar spontan dengan mengadah, menatap manik mata Mada yang terlihat sedikit kehijauan tertimpa cahaya lampu.“Tentu aku melupakan sesuatu. Jadi, sekarang lepas sepatumu.”“Apakah sepatuku jelek?”“Bagus, hanya saja kurang cocok,” balas Mada hingga Jenar memutuskan untuk melakukan yang diminta hingga tingginya makin tenggelam di depan Mada.Mada melirik Jenar yang sudah bertelanjang kaki sebelum dia menunduk, menarik keluar benda yang dia sembunyikan dibelakang punggung sejak tadi hingga Jenar memundurkan tubuh karena kaget.“Pak Mada—”“Sepatu yang aku bawa sepertinya lebih cocok dipadukan dengan gaun yang kamu kenakan, Jenar,” jelasnya sambil memakaikan sepatu hak tinggi itu di kaki Jenar.Jenar sedikit oleng dan memutuskan untuk meletakan tangannya di bahu Mada sampai pria itu selesai memakaikan sepatunya.“Sudah,” kata Mada dengan berdiri lalu menatap Jenar sepenuhnya.Salah satu tangannya berada di dalam kantung celana sedangkan tangan yang berbeda mengelus pipi Jenar.“Kamu cantik.”“Terima kasih, Pak Mada,” balas Jenar dengan suara pelan ketika Mada tiba-tiba menariknya, mengalungkan lengan di pinggang langsing si perempuan.Wajah mereka teramat dekat, Jenar ingin sekali rasanya mencium Mada ketika presdir itu buru-buru melipat bibir, menjauhkan jaraknya dari Jenar.Mada memegang dagu Jenar lalu berbisik pelan, matanya penuh binar-binar sedangkan Jenar meremang dibuatnya."Rasanya aku ingin mencumbu dirimu.""Ada acara yang harus didatangi. Bukan begitu, Pak?" tanya Jenar takut-takut meski dia juga ingin bercumbu rayu dengan Mada.“Kamu benar dan panggil aku Mada khusus untuk malam ini. Maka aku akan memanggilmu dengan …”Mobil mewah dengan kaca gelap itu masih melaju dengan perlahan memasuki area tempat charity berlangsung. Jenar duduk dengan anggun sambil memandang kotak berisikan topeng sedangkan Mada di sebelahnya terus mengingatkan Jenar dengan berisik. “Jenar, ingat apa yang aku katakan tadi, aku akan memanggilmu dengan sayang," kata Mada mengingatkan dengan memutar tangan di atas kemudi sebelum Jenar berdeham. "Aku harap kamu tidak mengartikannya berbeda." “Nasi jatuh juga bisa dipanggil sayang,” balas Jenar serampangan kepada Mada yang menggeleng pelan lalu membasahi bibir. “Jangan berbicara kepada siapapun jika tidak ada aku disampingmu, kamu harus diam, anggaplah sedang menjadi patung.” "Oh tentu saja," balas Jenar dengan mengedarkan pandang ke arah luar, memandang para tamu undangan yang tampil semarak dengan gaun mewah serta tukedo yang nampak pas di badan lalu dia menghela napas gusar. Bagi Jenar, ini adalah dunia yang berbeda dan baru baginya. Bagi Mada, ini adalah dunia yang memua
[Rula : Jenar, bagaimana? Apa kamu masih tidak bisa mempertimbangkan untuk memberikan gaun pengantinmu padaku?]Pertanyaan yang disampaikan oleh perempuan tadi kepada Jenar mengudara begitu saja.Suasana menjadi kelewat canggung apalagi setelah Jenar mengintip notifikasi yang muncul di bagian atas ponselnya yang menunjukan nama Rula di sana hingga dirinya dibuat emosi tidak karuan.‘Sialan,’ tukasnya merutuk dengan pelan.‘Dasar lintah tidak tahu diri, masih saja ingin mengambil apa yang menjadi milikku.’“Bianca?” ulang suara tadi hingga Jenar buru-buru mengangkat pandang untuk menatap pihak yang mengajaknya berbicara tadi.“A—apa?” balas Jenar sebelum Mada menggeleng pelan sehingga dia kembali diam.“Aku sudah lama tidak melihatmu, terakhir kali kita bertemu empat tahun lalu dan kamu memilih menetap di luar negeri bersama dengan Mada setelah menikah, kamu lupa denganku?” rentet pihak tadi dengan penuh rasa ingin tahu.“Istriku—”Mada baru akan membuka suara sebelum pihak yang mengaj
Jenar terpojok, ingin lari juga tidak bisa. Mendadak dirinya menyesali langkah yang diambil.“Mada tidak akan mendengarmu.""Mada akan mendengar teriakanku atau orang lain akan melakukannya, jangan macam-macam, sialan!" balas Jenar, berusaha terdengar keras dan mendominasi padahal dia sudah ingin mengompol.Dia kembali melupakan apa yang dikatakan oleh Mada tentang jangan berucap apapun jika tidak sedang bersama dengan si pria.Seharusnya Jenar mempercayai Mada dan tidak bertindak sesukanya seperti ini.Sekarang, ketika dirinya berada di dalam bahaya, di mana Mada untuk menolongnya?Dasar teledor, jika sudah kesulitan begini, Jenar baru sibuk mencari Mada."Silakan menjerit dengan kencang, aku akan menunggu,” bisik si lelaki dengan santai kepada Jenar yang terus meronta-ronta dengan hebat ditemani oleh kencangnya angin malam.“Lepas!” geram Jenar.“Berhenti menjambak diriku, dasar persetan!” sambungnya penuh ceracau karena hanya itu yang dapat dirinya lakukan untuk sekarang.“Oh, kamu
"Kamu ingin tahu siapa aku yang sebenarnya, kan?" tanya Jenar lembut seraya berusaha melunglai beberapa saat kemudian saat sadar usahanya agar terlihat galak, gagal total."Lepaskan aku dan aku akan memberimu jawaban," tantangnya. Jenar mulai meliukan badannya yang padat berisi dengan ekstra dua kantung susu yang menggantung dari balik gaun merah berpotongan rendah yang dikenakan. Sejujurnya, Jenar merasa takut sebelum teringat akan sebuah nama yang tanpa sadar dia sebut saat mabuk. Nona Penggoda. "Apa aku harus mempercayaimu?" tanya si pria pelan dengan nada tidak yakin.Cengkraman yang diberikan pada tubuh Jenar perlahan menjadi kendur. "Aku memang bukan Bianca," kata Jenar agar pria ini percaya padanya. "Kalau aku Bianca, Mada tidak akan melepaskanku sendiri, kan?" "Ya ... itu benar, tetap--" "Apa itu belum cukup?" potongnya seraya memberikan kerling nakal."Namaku Nona Penggoda dan aku tidak suka disakiti, Tuan," adunya dengan suara yang kekanak-kanakan sambil menggerakan j
Hening.Jenar mencoba menyerap kata-kata si pria dengan perasaan waswas, mendadak matanya terasa sangat panas dan ketakutan menyelimutinya.Apakah dia lebih baik bersama dengan pria asing ini dibandingkan dengan Mada?"KAU BERBOHONG!" geram Jenar dengan melepaskan rengkuhannya dari si pria, ucapannya terasa sangat tidak masuk akal.Tidak mungkin Mada seperti itu, menyakiti nyamuk yang menggigit kulit saja, Jenar yakin Mada tidak akan tega melakukannya."Jadi, kamu benar-benar ingin kembali pada Mada setelah apa yang aku katakan?""Aku tidak memercayaimu, tidak mungkin Mada melakukan hal keji seperti itu," decihnya penuh rasa keki."Oh tentu saja," kata si pria asing dengan tenang seakan sudah menebak kemana arah pembicaraan Jenar.Dia menyunggingkan senyum pada satu sisi bibir lalu berdecak pelan sebelum menguap kemudian melirik ke arah bahu, tempat sebelumnya Jenar menyentuh dan nampak siap untuk merebah bersama."Mana mungkin Mada mengatakannya kepada wanita malam langganannya seper
"Aku tidak akan mau masuk ke dalam mobilmu!" Jenar menyilangkan kedua tangan di depan dada kemudian mendengkus dengan kasar, dia tidak akan mau mengikuti Mada setelah apa yang terjadi tadi. "Kamu membuatku malu, aku tidak mau! Aku akan pulang sendiri." "Masuk! Kita pulang sekarang, aku tidak menerima bantahan apa-apa lagi darimu, Jenar!" Mada siap untuk menerkam Jenar tanpa ampun karena perempuan dengan balutan gaun merah itu sangat keras kepala sampai membuatnya meradang. Sejak Mada mengungkung Jenar untuk menuruni lift dan memutuskan secara sepihak apa langkah yang akan dirinya ambil, Jenar menjambak-jambak rambut Mada lalu memaki dengan lihai. Kakinya yang memakai sepatu berhak tinggi lantas menepuk-nepuk dada si pria hingga Mada kesakitan. Berpasang-pasang mata mengamati mereka sampai tiba di area parkir valet dan Mada tidak peduli oleh tatapan menyebalkan itu, toh tidak ada yang akan mengenalnya dan Jenar dalam balutan topeng yang dipakai. Brak! "Jangan menguji kesabaran
"Dasar lelaki payah, lelaki mesum," cibirnya tidak habisnpikir seraya memegangi dada."IInikah kualitas dari anak Oscar Lawana?" sembur Jenar yang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya sama sekali ketika mendengar suara terpingkal-pingkal dari Mada. "Hei, aku ini presdir di Lawana." "Oh, itu kalau di hari kerja. Sekarang 'kan, tidak," balas Jenar dengan melepaskan kaitan topengnya lalu menaruh benda yang pada bagian dalamnya terkena bercak riasan itu di atas dasbor mobil. "Jadi, sekarang kamu berani melawanku, hmm?" Mada gemar menggoda dan menggoda Jenar sekarang menjadi hobinya. Dia menaruh pistol mainan dari bahan plastik yang bisa menyemburkan air itu kembali pada tempatnya sembari menikmati raut kesal Jenar. "Ya. Aku harus melawanmu setelah apa yang terjadi," tunjuknya bersungut-sungut pada pistol yang dibawa oleh Mada."Kamu ini spesialisasi membuatku jengkel, tahu!"Lelaki itu tersenyum dengan begitu lebar, memamerkan lesung pipi yang terdapat di sebelah kiri wajah kemudia
"Apa kamu pernah bercinta dengan calon suami yang namanya tidak boleh disebut itu?" Jenar menoleh ke arah Mada yang berdiri di sebelahnya setelah melakukan tapping menggunakan kartu akses apartemen ke arah sensor lift. "Bercinta bukan hal baru bagiku," tuturnya dengan pipi bersemu merah jambu. "Oh ya?" tanya Mada dengan terperangah. Jenar mencebik, keringat membanjiri tengkuk dan kakinya yang menjejak terus saja berubah posisi. Membahas tentang calon suaminya membuat si perempuan benar-benar jengah tetapi nampaknya Mada tidak menyadari hal tersebut. "Begitulah," kilahnya sederhana. Jenar menggaruk hidung ketika mengatakannya lalu berdecak sebal. "Dia menyebalkan. Aku membencinya." "Karena?" timpal Mada, otomatis. "Dia tidak pernah membiarkan aku puas. Kamu tahu, membuat mie instan saja durasinya lebih lama dari gerilya ular miliknya di dalamku," seloroh Jenar dengan nada yang keki. "Cukup denganku," kata Jenar dengan mengangkat kedua tangannya untuk bersilang di depan dada.
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya