"Bisa nggak sih nggak us-" Dinda menggantukan ucapannya saat netranya menangkap petugas Hotel didepan pintu."Kenapa marah-marah Din?" tanya Kanaya yang juga tengah membuka pintu kamarnya. Wanita itu mengernyitkan dahi, menatap heran pada shabat nya itu, bahkan petugas Hotel yang berdiri diambang pintu membawa troly makanan pun nampak tak enak hati.Dinda melirik sekitar, bukan hanya Kanaya dan petugas Hotel yang menatap aneh padanya, namun Rian pun berekspresi sama, membuat Dinda kikuk sendiri."Ahh, tadi aku lagi telpon temen Nay," kilah Dinda seraya menunjukan ponsel yang kebetulan tengah digenggam nya."Oh, aku kirain kamu kenapa," sahut Kanaya. "Ya udah aku masuk ya, laper. Kalian makan berdua gih biar nggak kesepian!" goda Kanaya. Sontak Dinda melirik Rian yang melepar senyum kearahnya."Mau bareng Din?" tanya Rian kemudian."Nggak usah Kap, saya mau mandi dulu soalnya," bohong Dinda seraya menutup pintu kamar Hotel itu.Setelah menyantap makan siang, Rey dan Kanaya benar-benar
"Selamat datang Tuan Rey, saya tidak menyangka memiliki kesempatan bertemu dengan seorang Perwira sekaligus pewaris Hamzah group," ucap seorang pria yang merupakan rekan bisnis Papanya.Rey menyunggikan senyum. "Saya pun merasa terhormat bisa bertemu dengan anda Pak. Papa saya menitip salam sekaligus memohon maaf karena tidak bisa hadir," sahut Rey.Pria paruh baya yang usianya sama seperti sang Papa pun tersenyum. "Tidak masalah Tuan Rey, saya paham jika Tuan Adit sangat sibuk akhir-akhir ini," timpal nya.Acara itu dimulai tepat pukul tujuh malam. Banyak hal yang mereka bahas, meski bukan lah bidang Rey selama ini, namun sedikit-sedikit dia paham dengan apa yang saat ini sedang mereka perbincangkan. "Trimakasih atas waktunya Tuan Rey, saya yakin Hamzah group akan semakin maju jika nanti Tuan Rey sudah terut bergabung," ucap pria paruh baya itu.Rey mengangguk, pria itu membubuhkan tanda tangan sebelum beranjak meninggalkan lokasi.Rey sengaja tidak membawa serta Kanaya untuk menghad
Hoek.. hoek.. Tidak terhitung sudah yang ke berapa kali Kanaya mengalami mual seperti saat ini. Namun hingga kini wanita itu masih juga tetap tidak mau memeriksakan diri, tentu saja sikap keras kepalanya membuat Rey kesal sendiri, dia yang sudah sangat hawatir namun Kanaya nampak santai dan enggan menuruti permintaanya. Tiga hari sudah mereka berada dipulau Dewata. Namun Kanaya dan Rey belum pernah sekalipun berjalan-jalan mendatangi tempat-tempat Wisata yang ada disana. Bukan karena tak mau, namun setelah perayaan ulang tahun Kanaya yang Rey buat ditepi pantai beberapa hari lalu, Kanaya tiba-tiba mengalami mual-mual yang membuat tubuhnya melemas, itu sebabnya Kanaya malas untuk bepergian, padahal sebelumnya dialah yang paling antusias. Alhasil hanya Dinda dan Rian lah yang berjalan-jalan. "Ayo dong Nay kita ke Dokter! Atau paling nggak kamu izinin aku buat panggil Dokter. Aku hawatir tau nggka sih?" protes Rey. Pria itu dengan telaten mengelap mulut istrinya yang basah karena baru
"Nih diminum dulu Nay, biar perut nya enakan!" Rey membantu Kanaya duduk dan memberikan minuman jahe yang tadi dipesannya. Wanita itu kembali merebahkan tubuhnya setelah menenggak beberapa teguk minuman yang suaminya bawa. Meski begitu Rey masih tidak bisa menghilangkan rasa cemasnya. Tentu hal itu membuat Kanaya tak enak hati, dengan sadar dia sudah membuat suaminya hawatir."Udah dong mas! Kok masih gitu mukanya." Kanaya menepuk sisi ranjang, meminta suaminya ikut naik kesana. Rey menghela napas, pria itu ikut merangkak naik, dan dengan telaten memijat kaki istrinya. "Gimana aku mau tenang Nay, lihat kamu kaya gini aku jadi hawatir. Harusnya kita bisa liburan, ini malah aku buat kamu sakit begini."Sudut bibir Kanaya terangkat, wanita itu mengecup pipi kanan suaminya. Sebenarnya Kanaya bisa saja meminta Dokter yang ada disana untuk mengecek kondisi tubuhnya agar Rey tidak lagi hawatir. Namun entah mengapa Kanaya masih enggan, walau sebenarnya dia sudah yakin karena hampir dua bula
Setelah mengudara selama 1 jam 55 menit, akhirnya Rey, Kanaya, Dinda serta Rian kembali landing di Bandara Soetta. Tepat pukul sepuluh siang mereka kembali menginjakan kaki di Jakarta. Namun Rey bergegas membawa Kanaya ke Rumah Sakit, sebab wajah istrinya itu terlihat pucat dan lemas, membuat Rey hawatir dan panik. Alhasil setelah tiba di Jakarta Rian langsung mengemudikan mobil Rey menuju Royal Hospital.Bukan hanya Rey, melainkan Dinda dan Rian yang turut ada disana pun ikut hawatir. Karena tidak biasanya Kanaya seperti ini. Sangking paniknya Rey bahkan sudah menghubungi semua keluarga agar datang ke rumah sakit.Dengan sigap Rian mengambil kursi roda untuk Kanaya, sedangkan Dinda menyerukan Dokter yanga ada di IGD untuk mendekat.Rey menggedong Kanaya, dan meletakannya diatas kursi roda.Dokter yang mendekat cukup kaget, pasal nya ia sangat mengenali siapa pasien yang ada didepan nya."Dokter Kanaya!" sapa Dokter jaga itu."Dok, tolong priksa kondisi istri saya!" pinta Rey.Meski s
Kediaman Hamzah terdengar bising, sebab seluruh keluarga besar Rey dan Kanaya tengah berukumpul disana. Ruang keluarga itu nampak hidup, kabar kehamilan Kanaya membuat mereka semua bahagia.Setelah infus habis Kanaya langsung dibawa menuju kediaman Adit. Wanita itu tidak dibiarkan beraktifitas, dan tetap diminta berbaring diatas ranjang kamar suaminya.Sedang Rey masih setia berada disamping Kanaya. Wajah pria itu memancarkan kebahagian, rasa-rasanya Rey masih tidak percaya jika saat ini sudah hadir buah cinta mereka didalam rahim istrinya. "Terima Kasih Nay." Tidak terhitung sudah berapa kali Rey mengucapkan hal demikian, karena memang sungguh dia sangat amat terharu dan bahagia.Kanaya mengulum senyum, mengusap wajah suaminya dengan sayang. "Terima kasih juga karena sudah sabar menghadapi sikap ku," sahut Kanaya. Sudut bibri Rey terangkat, jika mengingat sikap Kanaya beberapa hari ini membuat Rey kesal, karena istrinya itu terus saja berkata baik-baik saja, namun kenyataannya ada
Lamunan Rey buyar, saat rungunya menangkap suara sang Mama yang tengah berbicara dengen istrinya. Pria tampan itu menoleh, terlihat Kanaya berjalan menuruni anak tangga didampingi Anita disampingnya.Rey bergegas mendekat, meninggalkan kakak ipar serta mertua dan Papanya yang masih asik berdebat prihal calon anaknya."Sayang, kamu kok malah turun sih Nay?" ujar Sarah hawatir."Kanaya pengen ngumpul di bawah Mah, sepi dikamar sendirian," sahutnya.Melihat putrinya Amy hanya menggelengkan kepala. Sudah pasti Kanaya tak akan mendengarkan ucapan mereka, gadis itu memang selalu merasa bosan jika tidak memiliki teman bercerita."Tau nih Naya, udah diteminin Kakanya masih aja nyariin suaminya," ledek Anita, yang berhasil membuat Kanaya bersemu, wanita itu menatap sebal kakanya."Kamu nyariin aku sayang?" tanya Rey yang tiba-tiba sudah berada disamping Kanaya.Efek malu Kanaya tak menyahut, wanita itu tidak enak pada seluruh keluarga, sebab takut orang mengira dia manja karena terus ingin dit
"Coba kamu filirkan lagi. Papa turut bangga dengan keberhasilan mu Rey, tapi jujur Papa berat melepas mu untuk bertugas. Kamu anak kami satu-satunya, banyak kemungkinan yang akan terjadi. Tapi Papa kembalikan lagi semua keputusan ditangan mu! Bicaralah dengan Kanaya, jangan menunda-nuda, lebih cepat dia tahu, lebih tenang juga hatimu. Papa berharap kamu mau mendengar istrimu, jika nanti Kanaya tak mengizinkan, Papa harap kamu urungkan niat mu, dan berhentilah menjadi TNI," ucap Adit memberi saran.Semua orang tua pasti bangga memiliki anak yang berprestasi, begitupun dengan Adit, tidak ada yang salah dengan profesi putranya. Hanya saja berat bagi Adit mengikhlaskan Rey untuk Satgas.Rey menghela napas, entah keputusan apa yang harus di ambilnya. Mungkinkah dia memang harus undur diri dari dunia Militer? Jika nanti Kanaya tidak memberi izin padanya."Secepatnya Rey akan memberi tahu Kanaya Pah," sahut Rey kemudian.Adit mengangguk, bangkit dari kursi tempatnya duduk. Menepuk bahu Rey l