Pagi ini, warga kampus kembali dibuat tercengang saat melihat Rinjani dan Agam jalan beriringan. Pasalnya, hanya maha siswa barulah yang tidak tahu bagaimana sikap gadis itu pasa sosok laki-laki. Jadi, saat dia dekat dengan Agam, sudah pasti menjadi gosip terhangat di kampus.
Banyak yang mulai berbisik-bisik saat sepasang kekasih itu melewati koridor kampus. Tidak sedikit pula yang memuji Agam karena telah berhasil menaklukkan Rinjani. Meski kelihatannya belum sepenuhnya berhasil. Terbukti dengan raut wajah gadis itu yang masih saja datar tanpa.
Meski Agam mendapat banyak pujian dari kaum wanita, banyak pula pria yang merasa patah hati dan kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan Rinjani.
“Gam, bisa ‘kan, biasa aja. Nggak perlu diantar ke kelas juga, lagian aku bukan anak kecil.” Berkali-kali Rinjani menggumamkan kata itu sejak turun dari mobil.
Gadis itu yang terbiasa sendiri dan hidup tenang tanpa menjadi bahan perbincangan, merasa sangat risih. Hi
Benar saja, setelah kejadian hari itu, Agam tidak lagi mencium tangan Rinjani sembarangan. Namun, tangannya yang usil, sesekali tetap mengelus kepala gadis itu. Tidak bisa dipungkiri, jika Rinjani juga mulai nyaman dengan elusan di kepala yang sering dilakukan Agam secara tiba-tiba itu. Hari-hari Rinjani terasa semakin berwarna karena tingkah konyol Agam. Hal-hal tidak terduga yang pria itu lakukan juga berhasil menciptakan senyuman di wajah gadis itu. “Khem! Anak papa kenapa, nih?” Rinjani seolah tuli dengan ucapan sang ayah. Gadis itu masih tetap fokus pada layar ponsel pintarnya sambil sesekali mengetikkan pesan sambil tersenyum. “Hei, kamu kenapa, Sayang? Kenapa senyum-senyum begitu?” ujar Tama yang sudah geram karena tidak dihiraukan oleh putrinya. “Eh, Papa. Sejak kapan Papa di sini?” tanya Rinjani sambil mematikan ponsel pintarnya dan meletakkan benda tipis itu di meja. “Sejak kamu dipanggi nggak nyahut, sejak anak gadis
Rinjani yang baru saja kembali dari kamarnya, merasa aneh saat melihat wajah Agam dan ibunya terlihat sangat serius. Keduanya terlihat tegang seperti baru saja membahas hal yang penting. “Kalian kenapa? Kok wajah Mama sama Agam serius banget?” tanya Rinjani sambil duduk di dekat sang ibu. Wajah Hanna melunak dan tersenyum kepada putrinya seraya berkata, “Nggak apa, kok. Kamu kenapa lama ke kamarnya?” “Rin abis mandi tadi,” sahut Rinjani singkat sambil terus menatap selikid ke arah Agam. “Emang mau kemana, Rin?” Rinjani menoleh malas pada sang ibu yang sedang berusaha menggodanya. “Rin mandi karena udah sore, Ma ….” “Ya sudah, kalian lanjut ngobrol berdua, ya. Mama mau masak,” pamit Hanna seraya berlalu ke dapur. Keheningan tercipta setelah Hanna pergi, hingga akhirnya Rinjani angkat bicara. “Tadi mama ngomong apa aja ke kamu, Gam?” “Bukan apa-apa kok. Cuma pembahasan ringan sama camer,” elak Agam disertai senyum nakal.
Kian hari, Rinjani semakin terbuka dengan Agam. Dinding pertahanan yang gadis itu bangun telah roboh. Traumanya, perlahan pulih. Agam berhasil membawa cahaya kembali ke dalam hidup Rinjani. Layaknya bintang yang menghiasi gelapnya langit malam, begitu pula Agam mewarnai kehidupan Rinjani. Libur panjang sekitar empat hari, dimanfaatkan oleh dua pasang kekasih untuk berkemah. Arsha, Samir, Agam, dan tentu saja Rinjani. Mereka berempat sedang melakukan perjalanan menuju sebuah bukit yang berada di puncak. Kesibukan dengan dunia perkuliahan cukup membuat pikiran mereka lelah. Jadi, saat ada kesempatan libur meski hanya empat hari, Agam mengajak teman-temannya untuk berlibur. “Nanti kalian bagian mendirikan tenda, ya. Biar aku dan Rinjani yang menyiapkan makan,” ucap Arsha kepada dua pria yang berada di kursi depan. Samir yang sedang mengendarai hanya melirik sekilas pada kekasihnya sambil tersenyum. “Kamu atur saja, Bee.” Suara gelak tawa
Arsha segera mendorong Samir menjauh. Napas keduanya terlihat putus-putus seperti baru saja lari marathon. Wajah Arsha sangat merah antara malu dan sedang meredam nafsunya. Samir tidak jauh berbeda, tetapi dia bisa lebih baik menyembunyikan hal itu. Tanpa berucap satu kata pun, Samir bangkit dan berlalu ke dapur. Pria itu tidak tahu harus berkata apa, karena sekarang kekesalan tengah menguasai dirinya. Sedangkan Rinjani bangkit dari duduknya seraya berkata, “Seharusnya kamu berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkanmu dari penyesalan tak berujung.” Setelah berkata demikian, Rinjani berjalan keluar vila. Gadis itu duduk termenung di kursi depan vila. Matanya melihat rintikan hujan, tetapi tatapannya kosong. Dia sadar benar apa yang dilakukan tadi terlalu ikut campur. Namun, dia tidak bisa diam saja jika sahabatnya masuk lingkaran setan itu. “Rin,” panggil Agam seraya duduk di dekat gadis itu. Gadis itu masih tetap di posisinya, tan
Agam mendekat pada Rinjani dan memeluknya dari sambaing sambil mengusap-usap pundak gadis yang sedang menangis itu. “Dava, aku tidak berniat merebut posisimu di hari Rin, karena aku sadar itu tidak mungkin. Tapi aku berjanji, selama aku hidup Rin akan bahagia bersamaku.” Rinjani menoleh dan melihat Agam yang sedang mengucap sebuah janji sambil tangannya memegang batu nisan Dava. Hati Rinjani menghangat melihat ketulusan yang terpancar dari kedua bola mata Agam. Kepala gadis itu disandarkan pada pundak Agam. Dia dapat merasakan usapan lembut penuh kasih di kepala yang membuatnya semakin bahagia. Bahagia karena Agam berhasil mengentaskan dirinya dari belenggu lumpur penghisap, berupa trauma masa lalu. “Sudah? Jika sudah mari kita pulang.” Agam menoleh dan menatap Rinjani yang juga sedang mendongak melihat pria itu. “Sebentar, aku mau berpamitan pada Dava,” ucap Rinjani seraya melepaskan diri dari dekapan Agam. Jari lentik itu terulur, me
Malam itu juga, Rinjani dan keluarganya bergegas menuju ke rumah sakit, sesuai dengan apa yang diberitakan di televise. Gadis itu tidak henti-hentinya menangis dalam dekapan sang ibu. Pikiran Rinjani sangat kacau. Dia tidak sanggup jika harus mengulang kembai apa yang terjadi di masa lalu. hatinya tidak sekuat itu. Dalam mobil abu-abu yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi, hanya suara isak tangis yang mendominasi. Rinjani terus menggeleng, berusaha mengusir pikiran buruk yang seperti monster dalam kepalanya. Suara sang ibu yang memberitahu berita tentang Agam terngiang terus terulang di telinganya. Hal itu sudah mengambil kewarasannya cukup banyak. Siksaan batin setelah hari ini dia baru saja merasakan bahagia, sungguh teramat menyakitkan. Memori indah tentang betapa dekatnya Rinjani dan Agam hari ini, seolah menjadi belati yang turut mencabik-cabik hatinya. “Ma, Rin takut. Rin nggak mau kaya dulu lagi, Rin nggak akan sanggup,” gumam Rinja
Selama Rinjani mengambil cuti kuliah, dia tidak meninggalkan Agam sedetik pun kecuali untuk mandi. Gadis itu benar-benar bertanggungjawab dengan ucapannya yang akan menjaga Agam.Terbukti kini tubuh Agam tidak selemah sebelumnya. Setiap harinya, Rinjani akan menyuapi pria itu agar makanan yang disediakan oleh rumah sakit habis dilahap Agam. Selain itu, Rinjani juga selalu memberikan buah sebagai vitamin alami.Seperti pagi ini, tepat hari ke dua Agam berada di rumah sakit. Rinjani sedang terduduk di samping ranjang sambil sesekali jari lentiknya menyodorkan potongan buah pir.“Bagaimana pir ini? Kamu suka?” tanya Rinjani.Senyuman terukir di wajah Agam, lalu pria itu berkata, “Manis, seperti kamu. Aku suka. Tapi aku lebih suka kamu.”“Ck! Masih sakit juga, udah gombal aja,” sahut Rinjani tak acuh.“Beneran, loh. Kamu manis …,” jawab Agam setengah berbisik.Rinjani berusaha tidak t
Dering ponsel mengalihkan perhatian Rinjani yang sedang menyuapi Agam. Gadis itu meletakkan piring yang dipegangnya di nakas, lalu mengambil ponsel miliknya.“Arsha. Sebentar, ya,” ujar Rinjani yang dijawab anggukan oleh Agam.“Halo, Sha. Gimana?”Halo, Rin. Bu Meggy minta aku kabarin kamu, kalau besok ada ujian dan nggak bakal ada susulan. Jadi, besok kamu harus datang.”Mendengar ucapan Arsha, Rinjani diam sejenak. Mata gadis itu melihat Agam dengan sorot bimbang.Karena tak kunjung ada jawaban, Arsha kembali memastikan jika sambungan telepon masih terhubung. Rin? Kamu masih di sana, ‘kan?
Seperti hari-hari biasa sejak satu bulan yang lalu, Agler selalu mengunjungi Rinjani yang berada di rumah perawatan khusus. Kejiwaan gadis itu sedikit terganggu dan akan mengamuk ketika mengingat bahwa Agam telah tiada. Mau tidak mau, Agler harus terus menerus berperan menjadi Agam sampai Rinjani benar-benar pulih. Seorang suster membuka pintu rumah rawat ketika Agler mengetuknya. “Silakan masuk, Tuan. Nona Rinjani baru saja meminum obat dan sedang berbaring.” “Terima kasih,” sahut Agler seraya melangkah masuk. “Hai, Rin Sayang,” sapa Agler seraya mengecup dahi gadis pucat yang tengah berbaring. “Agam, kamu sudah datang ....” seperti biasa, kalimat itulah yang Agler dengar sebulan terahir setiap mengunjungi Rinjani. Semakin hari, hati pria itu semakin teriris setiap mendengar Rinjani memangilnya Agam. Bohong jika tidak ada rasa yang perlahan tumbuh mengingat bagaimana perannya ketika di samping Rinjani. Agler semakin nyaman menjalankan perannya sebagai seorang kekasih. Tawa Rinj
Mata yang dua telah dua hari perlahan mulai terbuka. Tatapannya terlihat kosong sebelum kembali menangis.“Agam! Agam!” teriak Rinjani membangunkan Tama dan Hanna yang menunggui Rinjani di ruangan tersebut.Tama bergegas memluk Rinjani ketika putrinya berusaha melepas jarum infus di tangannya.“Rin Sayang, kamu tenang, ya. Agam sebentar lagi ke sini,” bisik Tama membuat gerakan berontak Rinjani terhenti.“Benar?” tanya Rinjani dengan tatapan berbinar.“Iya, Sayang. Nanti saat dia selesai dengan kuliahnya, dia akan ke sini,” ucap Tama seraya menangkup wajah putrinya.Hanna berlari keluar tidak tahan melihat keadaan putrinya. Wanita paruh baya itu terduduk di depan ruang rawat seraya menangis terisak.“Tante?” Arsha yang memang tidak ada jadwal kuliah hari ini berniat datang pagi untuk menggantikan orang tua Rinjani menemani gadis itu, justru menemukan Hanna tenga menangis di luar ruang rawat.Hanna bergegas menghapus air matanya. “Sha, Rinjani sudah sadar. Agam. Agler maksud tante. Dia
Tanpa dapat ditahan, air mata mengalir begitu saja dari kedua mata Rinjani. Tatapannya menyiratkan kesedihan dan rasa rindu menatap sosok pria yang berdiri di ujung anak tangga.Tanpa menunggu dipersilakan oleh sang tuan rumah, Rinjani bergegas berlari masuk ke dalam Villa tersebut. Tanpa permisi, gadis itu langsung berhampur memluk pria berkaos hitam yang terlihat seperti baru bangun tidur.“Agam, aku rindu,” ucap Rinjani ditengah isak tangisnya masih mendekap erat pria tersebut.Namun, ketika Rinjani sadar pria di depannya tidak membalas pelukannya, dia pun melepaskan dengan tida rela.Keduanya saling memandang dengan tatapan yang berbeda. Ada luka dan kekecewaan yang tergambar jelas di sorot mata Rinjani. Namun, lain halnya dengan pria di depannya yang menatap datar pada Rinjani.“Kau siapa?” tanya pria itu membuat Rinjani semakin menangis.Rinjani mencengkeram kedua lengan pria di depannya seraya berkata. “Agam, ini aku, Rinjani.”Terlihat pria itu sedikit tersentak sebelum ahirny
Arsha melangkahkan kainya memasuki ruangan di mana Rinjani tengah terbaring. Terlihat mata gadis itu masih tertutup karena obat penennag masih menguasai tubuhnya dan membuat kesadarannya hilang.“Sha, Tante titip Rinjani sebentar, ya. Tante mau ambil baju,” ucap Hanna ketika melihat Arsha memasuki ruangan tersebut.“Iya, Tante. Tante tenang aja, Arsha akan di sini jagain Rin.”Hanna bangkit dari duduknya, mengecup pucuk kepala Rinjani sebelum berjalan keluar dari ruang rawat tersebut.Ketika wanita itu hendak membuka pintu, terlihat daun pintu bergerak dan muncullah sosok laki-lai yang selama ini selalu menemani di sampingnya.“Pa, sudah selesai mengurus administrasi?” tanya Hanna.“Sudah, Ma. Mama mau ke mana?” tanya Tama yang melihat Hanna menjinjing tasnya dan kunci mobil milik mereka.“Mama mau ambil baju ganti buat Rin. Papa mau nitip sesuatu?”Tama mendekat mengambil kunci mobil di genggaman tangan istrinya. “Ayo, Papa yang antar. Papa nggak tenang kalau Mama pergi sendiri.”Akh
Tanpa mengangkat kepalanya, Pria tersebut memberikan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado dan pita merah sebagai hiasan.“Terima kasih.” Rinjani mengalihkan atensinya dari kotak tersebut. “Ini dari siapa, ya?”Tanpa menjawab pertanyaan Rinjani, pria bertopi itu bergegas pergi dari sana, meninggalkan gadis itu dengan penuh tanda tanya.“Eh? Mas! Ini dari siapa?” tanya Rinjani sekali lagi sedikit berteriak karena pria bertopi it uterus berjalan menjauh.“Rin? Ada apa?” tegur Arsha membuat Rinjani menoleh.Rinjani mengangkat kotak kado di tangannya. “Ada yang kasih kado, tapi orangnya pakai topi sama masker. Dan pas aku tanya ini dari siapa, dia malah pergi.”“Coba buka. Siapa tau ada nama pengirim di dalamnya,” ujar Arsha sambil melihat kotak kado itu dengan tatapan penasaran.“Masuk dulu aja. Kita buka di dalam, yuk,” ajak Rinjani sambil lebih
Air mata terus mengalir membasahi pipi gadis itu. Rinjani merasa kalut, bayang-bayang perginya Dava kini kembali memenuhi otaknya. Dan hal itu memicu ketakutan Rinjani tentang Agam.Dengan cepat, Rinjani mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Dia mencari nomor Agam dan segera melakukan panggilan keluar.Beberapa kali Rinjani mencoba menghubungi Agam, tetapi tidak satu pun panggilannya dijawab. Hal itu membuat tangis Rinjani semakin menjadi.Rinjani memeluk lututnya sambil terus-menerus menghubungi Agam. Tanpa sadar, gadis itu bahkan telah menggigiti jarinya.Setelah puluhan kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban, Rinjani baru teringat Arsha. Dia segera mencari kontak Arsha dan mengubunginya.Panggilan pertama terhubung, tetapi masih belum diangkat. Tulisan bordering tertera di layar ponsel Rinjani.Rinjani merasa kesal. “Angkat, Sha!”Panggilan Rinjani berhenti karena yang di seberang sana tidak menerima panggilan
Mobil yang dikendarain oleh Rinjani berhenti membelok dan berhenti di depan sebuah kedai. Itu adalah kedai es krim yang biasa Rinjani datangi bersama Arsha.Varen tetap berada di dalam mobil. Pria itu memilih untuk mengawasi Rinjani dari kejauhan.“Sampai kapan aku akan mengawasi gadis itu?” Varen termenung sambil terus menatap kedai di seberang jalan.Tangan Varen terulur mengambil beberaa camilan yang memang selalu ada di mobilnya. Setelah itu, dia mengambil laptop dan dan mulai menghidupkannya untuk menonton film.Hanya Varen yang bisa sesantai ini dalam misi pengawasan. jikaArsha tahu, bisa dipastikan ada benjolan di kepala pria itu akibat keganasan Arsha.Asik menikmati film yang diputar, Varen terlonjak kaget ketika mobil Rinjani berlalu di hadapannya.“Mau ke mana lagi sih? Bikin repot sumpah!” gerutu Varen sambil membereskan kekacauan di mobil dengan cepat dan menyusul Rinjani.Meski kesal, Varen tetap
“Ayo, Gam, aku antar ke kelas,” ujar Arsha setelah perdebatan kecil mereka selesai.Agam hanya mengangguk mengiyakan. Karena dia paham, jika tidak akan bisa menolak sepupunya itu.“Sha,” panggil Agam sedikit ragu. “Mm, nanti setelah mengantarku, kembalilah ke kelasmu. Aku yakin Rinjani salah paham. Aku tidak bisa menjelaskannya, jadi tolong bantu aku, ya ….”“Udah tenang aja, nggak usah terlalu dipikirkan. Aku yakin nanti Rinjani akan mengerti.” Semoga saja, dia tidak marah padaku.Arsha dan Agam berjalan beriringan menuju ke kelas pria itu. Sebenarnya, Agam sangat ingin menghampiri Rinjani. Tidak dipungkiri jika dia benar-benar merindukan gadis itu.
Sementara itu, di kamar lain, Rinjani sedang bergerak gelisah dengan mata terpejam. Bulir-bulir keringat sudah membasahi tubuhnya. Dan bibir pucatnya terus saja bergumam. “Nggak! Dava, jangan bawa Agam. Nggak!” Rinjani masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Sesekali tangannya juga mengusap keringat yang membanjiri pelipis. Mata gadis itu terpejam berusaha meredam rasa pusing yang tiba-tiba saja menjalar. Rinjani masih tidak bisa memahami maksud dari mimpinya barusan. Di mana dia sedang berada di sebuah tempat sunyi yang sangat asing. “Halo! Ada orang di sini? Bisa tolong bantu aku?” teriak Rinjani sambil melihat ke sekeliling. Terlihat sekeliling Rinjani