William Jackson hanya mengangkat tangannya meratapi kepergian Sharon. Perempuan yang dua tahun terakhir ini dianggap sebagai perempuan yang bisa mendampinginya seumur hidup. Melewati malam-malam yang indah bersama ternyata meninggalkannya.
William sudah berencanan untuk melamar Sharon, dan meninggalkan Evelyne sendirian. Memang rumah yang selama ini ditinggal rencananya akan menjadi tempat tinggal bagi Evelyne dan putranya. Nanti ia akan membeli rumah yang lebih megah untuk ditempati bersama Sharon.
Namun kenyataan berkata lain, ia justru merana dan tak mendapat apapun. Bahkan uang lima puluh dolar yang didapat karena mengikuti perintah Russell pun diambil paksa oleh Sharon sebagai ganti dari uang seribu dolarnya yang diberikan oleh Evelyne.
“Hmm apa maksud semua ini Evelyne, apa kau tidak juga puas dengan semua harta yang kau rebut. Kenapa kau masih merebut uang milik Sharon dan membuatnya mengambil uangku,”
William masih saja menunduk, kedua matanya menatap lantai marmer yang menjadi material utama di rumah sakitnya. Lebih tepatnya mantan rumah sakit, yang sekarang menjadi milik keluarga Lloyd.“Hei William! Kau jangan bercanda. Aku tak ada waktu untuk bercanda denganmu!” seru dokter Benjie sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah William.Tak cukup di situ, bersama dengan James ia berbalik ke arah Russell yang duduk di kursi dengan kedua kaki bertengger di atas meja.“Hei kau! Siapa yang berani menyuruhmu berada di sini! Apa kau tidak pernah diajarkan sopan santun hingga harus duduk dengan cara seperti itu? Atau mungkin kau memang tak berpendidikan seperti penjahat jalanan?” tantang Benjie kemudian menggebrak meja.Russell memperhatikan sosok lelaki yang berani melabraknya dari atas ke bawah. Kemudian ia tersenyum sinis dan menertawai kedua lelaki yang sok berani itu.&nb
“Tentu saja jenis mobil tak akan mempengaruhi reputasimu sebagai seorang dokter bedah. Namun percobaan penculikan terhadap seorang perempuan dan anak lelaki sembilan tahun bisa membuat karirmu hancur,” Russell kembali mengulangi pernyataannya.“Percobaan penculikan … karirmu hancur.”“Percobaan penculikan … karirmu hancur.”Ungkapan-ungkapan itu terus menerus terngiang di telinganya. Seperti musik yang diputar secara terus menerus.Benjie menggeleng dan menutupi telinganya seperti orang gila. Padahal saat itu tak ada yang sedang berbicara, semuanya diam. Russell sendiri sudah diam dan mempermainkan pistolnya kembali.“Kau! Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?” tanya Benjie sambil menuding Russell.Russell hanya tersenyum sinis. Benjie sendiri teringat akan perempuan yang tadi secara tak sengaja ingi
Nicko melirik Josephine yang masih mendekap putranya erat-erat, dan ia tampak masih berusaha untuk menghindari Nicko. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Josephine ini mengundang tanda tanya pada diri Nicko.Tadi ia sudah melepaskan Ian dan membiarkan anak kecil itu bicara dengan ayah angkatnya. Namun saat anak itu mulai membuka mulut dan bicara tentang nenek sihir, Jo malah kembali mendekapnya.“Jo, sebenarnya ada apa?” tanya Nicko lembut.Ia sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara istrinya. Semakin lama Jo bersikap sangat protektif pada putranya, semakin Nicko mencurigai ada sesuatu di sana.Jo masih menggeleng.“Tidak ada apa-apa sayang,” jawab Josephine.Nicko mengerutkan dahi dan menatap ke arah istrinya.“Jo,” panggilnya sekali lagi.Tak tahan terus menerus ditanya, akhirnya Jo
Nicko langsung menggenggam erat kedua tangan Josephine. Dengan lembut ia mengusap punggung tangan istrinya.Pemuda bermata hazel itu pun menggeleng, “Tidak Sayang, aku tak mungkin marah padamu. Aku mencintaimu.”Jo merasa malu mendengar ucapan Nicko kali ini. Bagaimana mungkin Nicko mengatakan mencintai dirinya sementara ia telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkannya.“Nicko kenapa kau tak memarahiku, kenapa kau tak kecewa padaku. Aku telah diam-diam menemui kedua orang tuaku,” tanya Jo memberanikan diri.Nicko tersenyum dan menggelengkan kepala tanda tidak setuju dengan ucapan Josephine.“Sayang, kau pergi untuk menemui orang tuamu bukan lelaki lain untuk apa aku melarangmu. Aku tahu kau pasti ingin mengetahui keadaan ayahmu. Aku tahu kau begitu mengkhawatirkannya kan. Wajar jika seorang anak ingin bertemu dengan orang tuanya,” balas
Gadis-gadis cantik nan seksi masih saja mengerubungi Kyle. Mereka semua berteriak melayangkan protes pada pria paruh baya itu.“Kami sudah bersusah payah datang kemari, tapi tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Tuan Muda. Apa maksud semua ini, kenapa Tuan Muda bersikap begitu tidak adil?” tanya salah seorang perempuan.Kyle hanya diam dan terus mendengarkan protes mereka. Hanya Barbara saja yang masih diam menunduk. Perempuan itu juga terlihat tidak sabar menunggu keputusan.Tadi Nicko sempat bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Barbara hingga mau melamar sebagai asisten pribadinya. Namun berita tentang kecelakaan Josephine membuatnya harus segera pergi dan mengurus keadaan istrinya.“Hei bagaimana ini? Kau bekerja untuknya kan? Kudengar kau adalah penasihat dari properti Lloyd, apa kau tak bisa memberikan solusi pada kami?” tanya pelamar pertama.
Seorang perawat pun masuk ke kamar Jo. Sudah menjadi tugasnya untuk memeriksa keadaan.pasien dan melaporkannya pada dokter."Bagaimana kondisi istri saya?" tanya Nicko kemudian pada perawat yang tengah memeriksa tekanan darah Josephine.Perawat menoleh ke arah Nicko dan mengangguk, kemudian mendatanginya. Lagi-lagi Nicko mendapatkan lirikan mata menggoda dari sang perawat.Siapa juga yang tak akan mengantri untuk berkencan dengan Nicko. Dia adalah sosok laki-laki sempurna idaman para wanita.Parasnya tampan, tubuh proporsional dan yang terpenting dia kaya dan berkuasa. Sebuah posisi impian bagi para wanita."Maaf Tuan, saya tidak memliki wewenang untuk menjelaskan, tapi Anda bisa menemui dokter yang menanganinya," kata perawat.Nicko menghela napas panjang. Memang yang dikatakan perawat itu benar, ia tak berhak untuk mendiagnosa penyakit dari pasien. Secara profesional dokterlah yang memberikan
"Hah kau?" tanya Nicko terkejut begitu melihat sosok yang berada di depannya.Dokter bukanlah sosok baginya. Dia sudah mengenal sebelumnya bahkan sempat terjadi insiden di apartemen itu membawa membuat hubungan mereka merenggang."Apa kabar Tuan Muda," sapa perempuan berseragam putih yang kini sudah menghadap ke arah Nicko."Dokter Dolores?" tegur Nicko yang tiba-tiba saja merasa tidak nyaman, karena ada kenangan buruk dengan dokter Dolores beberapa waktu lalu.Nicko gelagapan, tak tahu harus bersikap seperti apa . Tentu ini mengejutkannya, tapi dokter Dolores malah tersenyum dan mempersilakan Nicko untuk duduk.Nicko yang awalnya malas pun akhirnya tetap saja maju dan menemui dokter Dolores. Bukannya langsung mengatakan apa yang terjadi pada Josephine, tapi dokter Dolores justru memperbaiki riasan wajahnya dan menyemprotkan parfum pada leher dan tengkuknya."Dokter, cepat katakan apa yang terj
Nicko mengusap rambutnya dengan kasar. Ia tak henti memaki-maki dokter dan perawat yang baru ditemuinya.Kali ini ia bingung bagaimana harus menyampaikan pada istrinya. Lumpuh separuh badan tentu saja bukan hal yang mudah untuk diterima.Josephine memiliki perasaan yang begitu halus. Istrinya mudah sekali terharu dan terpancing emosi. Sudah pasti Jo akan merasa tertekan saat mendengar vonis yang menimpanya."Bagaimana Jo bisa menghadapi ini semua. Haruskah aku memakainya?" Pikir Nicko.Pemuda itu tiba-tiba teringat akan pertemuannya dengan lelaki misterius beberapa waktu lalu.Saat itu malam begitu gelap dan Nicko tengah menyetir sendirian. Ia melihat sekumpulan anak muda melempari batu pada seorang pria paruh baya berpenampilan kumuh.Nicko yang melihat hal itu pun tak sampai hati, tapi ia tak ingin buru-buru untuk mengambil kesimpulan. Pemuda kaya itu pun mulai mendekat pada keributan itu dan mendeng