Mendengar ancaman yang dilontarkan oleh Henry Davis, ibu mertua Nicko pun beringsut mundur. Ia tentu tidak dapat berkutik dengan hal itu. Apalagi kedua mata Henry Davis menatap tajam ke arahnya.“Gila! Pria ini berani benar mengancam untuk membunuhku, aku tidak bisa berlama-lama di sini,” pikir Daisy kemudian mengambil mantel dan juga tas yang ia letakkan sembarangan.Daisy yang selalu ahli dalam hal berdebat seakan kehilangan kemampuannya. Ia sama sekali tidak berani membuka mulut untuk menyanggah ucapan pria di hadapannya. Menyelamatkan diri sendiri adalah pilihan yang paling tepat, daripada mati di tangan pria selingkuhan.“Ah keadaan ini sangat tidak menguntungkan untukku,” pikir Daisy kemudian berlalu.Namun baru beberapa langkah saja Tuan Davis sudah memanggilnya lagi.“Tunggu Daisy!” seru pria yang diam-diam menjalin hubungan dengannya.Daisy berhenti sejenak, dan kini hatinya kembali berdebar-debar.“Sepertinya ia ingin meminta maaf padaku, ah tidak boleh menyerah begitu saja.
Henry Davis menghempaskan tubuhnya pada sofa kemudian menghembuskan napas panjang."Huh wanita dimana-mana sama saja, apa yang mereka inginkan selalu sama. Hanya uang, kemewahan tidak pernah ada yang mencoba untuk memahami kondisi sebenarnya," gumam Henry Davis mengungkapkan kekesalannya.Pria paruh baya ini pernah menikah sebelumnya sebanyak dua kali, dan pernikahan itu gagal. Istrinya yang pertama tidak bisa bertahan dengan kemiskinan yang dihadapi oleh Henry Davis.Saat itu usahanya baru saja dimulai dan belum membuahkan hasil apa-apa. Wanita yang dinikahinya tidak tahan untuk berada di apartemen studio yang tidak dilengkapi elevator.Setiap hari selalu mengeluh lelah harus naik turun tangga dan mengkonsumsi menu itu-itu saja. Menu orang biasa, hanya berupa roti lapis atau sup sayuran dengan sedikit irisan daging untuk perasa kaldu. Sama sekali jauh dari kesan mewah. Bukan berarti Henry Davis tidak peduli akan keinginan istrinya, tapi saat ia tengah mengumpulkan uang untuk membeli
“Tuan Davis?” Danny Gibson mengulang sambutannya.“Eh maaf, aku … aku hanya tidak menyangka kau yang membuka pintu sendiri untukku,” kata Henry Davis mencoba menutupi keterkejutannya.Danny Gibson tersenyum dan kini ia membuka pintu kantornya semakin lebar dan memberi ruang pada Henry Davis untuk masuk.“Silakan masuk Tuan,” tawarnya sopan.“Eh, apa kau serius dengan ini? Maksudku apa aku tidak mengganggumu?” Henry Davis mencoba untuk memastikan.Danny tersenyum ramah, “Tuan Davis, apa yang harus Anda khawatirkan? Aku yang membuat janji untuk bertemu dengan Anda di waktu ini, tentu saja anda tidak mengganggu.”“Tapi kau kan tidak sedang sendirian. Apa mungkin kehadiranku tidak mengganggumu?”Danny pun merangkul pundak Henry Davis dan mengajaknya untuk masuk. Memang saat ini ruang kerja Danny sedang kedatangan tiga orang tamu. Mereka semua sama-sama pengusaha muda berusia tiga puluhan.Henry Davis yang ingin membicarakan hal bisnis dengan serius bersama Danny Gibson tentu tak akan nyam
Tuan Davis pun terdiam saat mendengar ucapan Danny. Terlebih saat semua pengusaha muda yang datang di sana mentertawainya.“Ah ternyata kau pandai melawak juga. Kurasa aku memang harus terbiasa dengan kehidupan anak muda yang suka melawak,” kata Henry Davis mencoba untuk menenangkan dirinya.Danny Gibson langsung menyentuh pundaknya dan tersenyum dengan sinis, “Anda kira aku sedang bercanda? Kurasa aku tak memiliki waktu untuk hal itu Tuan,” katanya kemudian berbalik dan memanggil sekretarisnya.“Tolong kau minta orang tua ini untuk meninggalkan kantorku. Jika memang dia tidak mau pergi, panggil saja keamanan untuk mengusirnya!” perintah Danny Gibson lalu berbalik.Tanpa menunggu lama, Henry Davis pun melangkah mengejar Danny Gibson. Bahkan ia berjalan dengan melangkah lebar dan membuat sekretaris Tuan Gibson nyaris terjungkal karena tak sengaja disenggol oleh Tuan Davis.“Hei Danny Gibson! Apa yang kau lakukan? Kenapa kau membatalkan pertemuan denganku kali ini? Atau mungkin kau seda
Henry Davis melangkah dengan gontai lalu memasuki sebuah mini market untuk mencari minuman dingin. Hari ini benar-benar melelahkan baginya, ia yang terbiasa dilayani harus mencari rekan untuk membantunya mendirikan perusahaan kembali. Namun sampai saat ini hasilnya nihil, bahkan ia ditertawakan karena telah bangkrut.“Huh kemana lagi aku harus meminta bantuan. Semua tidak ada yang bersedia untuk bekerja sama denganku. Huh begini rupanya hidup sebagai orang bangkrut,” pikir Tuan Davis sambil menegak sari buah kaleng.Kembali Henry Davis menelepon beberapa rekan yang belum ia kunjungi. Namun sial mereka semua tidak ada yang menjawab panggilan telepon. Bahkan sempat ada yang menjawab halo lalu mengakhiri panggilan.Tidak hanya pengusaha yang usianya masih muda atau pengusaha baru, tapi juga mereka yang sama seniornya dengan Henry Davis. Kehadirannya memang benar-benar tidak diharapkan olehnya.“Sialan! Rupanya begini perilaku mereka terhadapku setelah aku miskin? Benar-benar tidak ada ya
“Ayah, apa ada yang kau pikirkan kali ini?” tanya Catherine saat memperhatikan ayahnya tampak diam di kursi roda sambil menatap lurus ke arah jendela.Sejak kedatangannya ke rumah Chad, pria paruh baya itu masih saja terlihat murung. Seperti ada suatu hal berat yang dipikirkannya.Siang hari saat Daisy pergi meninggalkan Edmund hanya berdua dengan Correy sang perawat, Chad dan Catherine mendatanginya. Walau ingatan Cathy tentang kekacauan yang membuatnya nyaris kehilangan bayinya sudah dihapus oleh Nicko, tapi tetap saja perempuan itu khawatir tentang ayahnya.Kenyataan kalau sang Ibu sering pergi meninggalkan Edmund sendirian tak dapat disembunyikan. Karena kekhawatiran itulah Chad memutuskan untuk membawa Edmund tinggal bersamanya saja. Setidaknya hal itu tidak akan membebani pikiran istrinya yang sedang mengandung.“Ah tidak, ayah hanya berpikir apa tidak jadi masalah jika ayah tinggal di sini. Maksudku dengan keadaan ayah yang seperti ini. Apa ini tidak merepotkan suamimu? Ini kan
Henry Davis masih tampak ragu sebelum ia keluar dari rumahnya. Berulang kali ia berjalan mondar-mandir di dalam rumah sebelum meninggalkan bangunan yang entah sampai kapan ia akan menempati bangunan ini.“Aduh, apa aku benar-benar harus menghubunginya. Aku seperti menjilat ludahku sendiri jika melakukannya,” gumamnya sambil memegang kenop pintu keluar.Satu-satunya pengusaha yang belum ia hubungi adalah Nicholas Lloyd. Jika bicara harta tentu saja Nicko memiliki harta yang tak ternilai. Investasi yang ditawarkan Tuan Davis tentu tidak berarti apa-apa bagi Nicko.Namun rasa benci yang dimiliki oleh Henry Davis itu benar-benar mendalam sampai-sampai melupakan akan kehadirian dirinya.“Huh, tapi uang itu benar-benar aku butuhkan. Huh tapi sudahlah tidak ada pilihan lain selain mempertaruhkan gengsi di hadapan anak muda itu,” pikir Henry. ***Henry Davis berjalan dengan sedikit malas ke ruangan Nicko. Ia menghembuskan napas panjang agar terlihat lebih rileks. Di hadapan
Henry Davis masih terpaku mendengar pernyataan Nicko barusan. Ia lalu menggelengkan kepala sambil mengacungkan telunjuk ke arah Nicko.“Harusnya aku sudah menduganya sejak awal. Tidak ada yang gratis di dunia ini, semua pasti ada imbalannya,” pikir Henry Davis.Melihat sikap Henry, Nicko hanya tersenyum sinis kembali. Kekuatan yang didapat dari batu bertuah itu membuatnya bisa mengetahui isi hati seseorang.“Anda benar-benar cerdas Tuan, memang tidak ada yang gratis di dunia ini,” balas Nicko yang membuat Henry Davis tercengang.“Tapi tenang saja apa yang kuminta ini tidak akan menyusahkanmu, bahkan akan banyak membantumu, tapi itu semua terserah padamu. Jika kau setuju maka kerja sama ini bisa dilakukan, tapi jika tidak maka tidak akan ada masalah bagiku,” balas Nicko kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kebesarannya.“Huh kurang ajar sekali dia. Mentang-mentang aku datang membutuhkan bantuannya, maka ia menyuruhku semau dia. Hmm tapi ia bilang menguntungkanku, meman