Beranda / Pernikahan / Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut / Bab 24: Pelaku Kecelakaan Ngaku

Share

Bab 24: Pelaku Kecelakaan Ngaku

Penulis: Ana Sh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Waktu menjelang tidur tiba, anak-anak sudah terlelap semuanya. Mas Wildan pun usai mengunci pagar dan pintu. Aku sudah posisi tidur di kamar anak-anak. Rezha yang minta dikeloni menjadi alasan yang tepat untuk menghindar dari Mas Wildan malam ini. Padahal kami biasannya selalu melakukan pillow talk sebelum tidur. 

“Dik, sudah tidur?” Mas Wildan memanggilku. Namun aku pura-pura terpejam. Setelah dipanggil berkali-kali aku tetap tidak menyahut, akhirnya ia menyerah. Kubuka mata sedikit, dia telah bergeser ke kamar sebelah sepertinya. Suasana malam yang sunyi menjadikan sedikit saja ada bunyi, maka akan mudah tertangkap indera pendengaran. Termasuk nada getar dari gawai Mas Wildan yang berulang-ulang. Sepertinya dia belum tidur. Tetapi sedang berbalas pesan. 

Hingga setengah jam kemudian, suara dengkuran halusnya terdengar. Sepertinya dia sudah terlelap. Perlahan kutegakkan badan. Kutengok k
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 25: Terusir

    "Mas, ini ada undangan reuni sama kaos.” Kuberikan kepadanya barang yang diantar Mbak Susi kemarin.“Kamu dapat dari mana?”“Mbak Susi.”“Kok bisa kenal?”“Katanya lihat info di profil medsosku. Trus dia datang ke kantor.”“Makanya medsos itu jangan di-setting public informasinya. Kalo ada orang-orang yang niat jahat gimana? Mereka akan dengan mudah menemukan keberadaanmu.”“Iya, sudah kejadian, mau gimana lagi.”“Tuh, 'kan. 'Kan sudah kuingatkan dari dulu.”“Kemarin ada yang koar-koar menelpon nomor kantor. Buat woro-woro kalo dia istri ke duamu, Mas.”“Siapa?”“Siapa lagi kalo bukan Nely?”“Kamu punya bukti? Jangan menuduh orang sembarangan!”“Lah, siapa lagi kalo bukan dia? Apa ada wanita lain yang diam-diam kamu nikahi selain Nely?”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 26: Minggat

    Entah pukul berapa netraku akhirnya terpejam. Alarm alami tubuh kembali membangunkanku pukul setengah tiga. Ternyata ibu sudah bangun juga. Beliau kelihatan repot di dapur.“Bu, buat apa?”“Sahur. Kamu mau puasa juga?”Cukup kujawab dengan anggukan. Ini hari Kamis. Ibu memang termasuk orang yang rutin mengamalkan puasa sunah Senin Kamis. Sementara diri ini puasa hanya saat bulan Ramadan saja. Plus nyaur utang dari puasa wajib yang bolong karena datang bulan. Aku pernah mendengar, kekuatan seseorang pada hakikatnya bukan dari fisiknya semata. Melainkan lebih utama pada kekuatan ruhiyah.Kenapa ada orang sampai memilih untuk mengakhiri hidupnya? Sebab ruhiyahnya kering. Meski fisiknya sehat, nyatanya orang seperti itu tak kuat menghadapi beban hidup yang menimpanya. Makanya jika ingin kuat menjalani ujian hidup, perkuatlah aspek ruhiyah. Salah satunya dengan puasa sunah.Oleh karenanya, saat ditawari ibu untuk ikut puasa sunah

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 27: Cincin Menghitam

    Oh... Jadi Mas Wildan mendatangi Nely. Bukannya Nely kata Mas Wildan kemarin lagi di Jakarta? Berarti Mas Wildan naik pesawat ke sana. Sebab jika ditempuh dengan kereta atau bus jelas belum tiba. Sebegitu istimewanya wanita itu di hatimu, Mas. Sampai kau bela-belain menyusulnya ke sana.Lamunanku buyar begitu ada bunyi pesan masuk.[Hai Say, pingin telpon takut ganggu waktumu sama Pak Wildan]Pesan dari Mila itu langsung kubalas.[Orangnya minggat]Tak ada semenit Mila langsung menghubungiku.“Hallo Say, minggat gimana sih? Duh … duh …”Kuceritakan semua yang terjadi kepada Mila.“Kamu yakin Nely di Jakarta? Kayaknya dia masih di Jatim, deh. Paling ngumpet cari kontrakan karena gak tahan gunjingan orang.”“Entahlah. Bilangnya Mas Wildan begitu, Mil.”“Aku sih nggak percaya. Mana ada kantor nerima pekerja perempuan berumur gitu. Yang

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 28: OTW Pelabuhan

    Di sinilah aku sekarang, dalam bus antar provinsi bersama kedua anakku. Dinginnya pendingin ruangan berhasil menembus outer rajut yang kukenakan. Aku sengaja tidak memilih pakai jaket agar meringankan bawaan.Saat menaiki bus tadi, pak kondektur tampak iba kepadaku. Sehingga tas baju yang kutenteng hendak dibawakannya untuk dimasukkan ke bagasi bus. Namun, aku menolaknya. Sehingga tas itu diletakkan pada celah di bawah kursi. Sebagai pijakan kaki kedua anakku.Kursi bus hanya dua berjejer, namun kuisi bertiga karena anak-anak masih kecil tak mau dipisah dari bundanya. Sama pak kondektur pun aku hanya diminta membayar dua karcis.“Asyik … Rohim mau naik kapal.”Wajah Rohim berbinar. Keinginan yang sudah lama ia nantikan akhirnya akan terwujud. Aku mengelus kepalanya. “Mas Rohim senang?”“Iya, Bunda.”Baiklah, Nak. Setidaknya bunda sudah memenuhi permintaanmu untuk naik kapal. Meski mungkin ini akan m

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 29: Subuh Mengharu

    Suara azan Subuh dari musala kapal membangunkanku. Astaghfirullah. Aku kelewatan waktu salat lail. Mungkin karena tubuhku capek menempuh perjalanan delapan jam, juga sambil menggendong Rheza. Mereka kubangunkan. Kuajak ke kamar mandi untuk wudu lalu salat di musala. Saat menunggu Rohim wudu, kutengok keadaan di luar dari jendela berbentuk lingkaran di atas wastafel. Sorot lampu dari menara memecah kegelapan permukaan laut. Suasana subuh yang indah.Setelah salat anak-anak kuajak mandi bergantian. Selepas rapi, Pak Dhimas kutelepon untuk meminta tolong menjaga anak-anak selagi aku membersihkan diri. Mereka akan menuju deck paling atas yang ada prosotan dan mainannya. Memang kapal ini di-design ramah anak. Sebab tidak sedikit penumpang yang juga terdiri dari anak-anak. Ini agar mereka tetap betah selama perjalanan yang memakan waktu 36 jam di atas laut.Untuk menuju ke deck paling atas, aku masih harus naik satu tangga tegak lagi. Saat pandanganku menyisir lantai deck at

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 30: Lamaran di Anjungan

    Sebenarnya aku malas menanggapi pertanyaan Nely barusan. Namun tak ada salahnya kami terlibat debat secara langsung. Mungkin ini bakal nggak kalah seru dengan acara Indonesian Lawyer Club. Hahaha.“Bukannya aku yang harusnya bertanya, kenapa Kamu di sini?” Dengan nada sangat tenang kusampaikan jawaban sanggahan.Nely terdiam lalu menoleh ke belakang. Begitu terlihat Mas Wildan telah usai menaiki anak tangga, Nely segera menghambur kepadanya. Seperti anak kecil yang hendak mengadu ke bapaknya.Sementara Rohim dan Rheza tatkala melihat ayahnya datang, mereka tak mau kalah. Dua anak laki-lakiku itu berlari dan menyeru sekencang-kencangnya, “Ayah …!”Nely yang hendak menggandeng tangan Mas Wildan diurungkannya sebab laki-laki itu fokus hendak menangkap anak-anak yang berlari kepadanya. Kulihat Nely mendengkus kesal. Mukanya dialihkan memandang langit. Sambil tangannya sendekap dan kakinya menghentak-hentak.Sambil mendeka

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 31: Siapa Ikut Berlayar?

    Aku tak bisa membayangkan seberapa merah wajahku sekarang. Mungkin sudah seperti kepiting rebus. Pernyataan itu sungguh di luar dugaan. Meski Mila pernah mengabarkan. Dulu kupikir itu hanya guyonan. Saat ini, aku mendengarkan langsung dari lisannya Bos Anton. Lidahku keluh. Wajah kutundukkan. Saat ini aku sungguh tak berani menatap wajah Bos Anton.“Maaf, Pak. Saya izin ke bawah dulu.” Tetap dengan wajahku yang menunduk, aku pamit. Mana mungkin aku membahas lamaran, sementara aku masih berstatus istri Mas Wildan. Meski aku telah dikhianati, aku tak akan bermain hati sebelum statusku kembali lajang.“Iya, hati-hati. Oya, kejujuranku barusan jangan diambil hati ya. Maaf kalo aku lancang.” Suara Bos Anton terdengar bergetar. Aku masih tak berani melihat wajahnya.“Iya, Pak. Terima kasih untuk semuanya.”Segera kuraih tangan Rohim dan Rheza agar berhenti menyentuh alat-alat kapal itu.“Bos Anton, Rohim pamit du

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 32: Serangan Malam

    Deru mesin kapal mulai memecah keheningan. Truk dan mobil lainnya sudah terparkir rapi. Setiap unit kendaraan itu diikat dengan rantai besi yang terhubung ke lantai deck dasar. Itulah bedanya mobil yang diparkir di darat dan di atas kapal. Pekerjaan rutin para ABK saat proses muat.Para penumpang pun sudah berduyun-duyun memasuki badan kapal. Suasana yang tadinya senyap, kini terdengar banyak orang bercakap-cakap. Mereka juga membawa barang bawaan yang tak sedikit. Rata-rata tiap orang menenteng kardus mie instan. Mungkin isinya oleh-oleh khas dari Jawa untuk sanak kerabat di Pulau Borneo.Setelah berjibaku di kamar, merapikan isi lemari, juga membersihkan lantai, kuputuskan melihat suasana di luar. Semua kru kapal tidak ada yang menganggur. Ketika semua muatan sudah dipastikan naik ke kapal, akhirnya ramp door itu ditutup. Kapal pun siap berlayar menuju pulau terbesar di Nusantara.Aku dan anak-anak duduk di ku

Bab terbaru

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 98: Kelahiran (Tamat)

    Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 97: Menebus Rasa Bersalah

    Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 96: Kematian

    “Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 95: Ekspresi Terima Kasih

    Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 94: Kunci Istikamah

    “Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 93: Raungan Ibu

    “Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 92: Firasat

    “Mas, aku mau cerita tapi kamu jangan marah, ya?” Alya sedang duduk di kursi goyang. Pemandangan taman mini di halaman rumahnya yang baru menjadi tempat favorit menghabiskan sore.“Ngomong saja. Mau minta rujak cingur lagi?” Akmal memperlihatkan giginya yang rapi. Selama hamil istrinya itu memang sering minta dibelikan beraneka ragam rujak. Mulai dari rujak kikil, rujak cingur, rujak manis, dan rujak gobet.“Hm … bukan.” Wanita yang perutnya mulai buncit itu menggulung-gulung ujung kerudungnya.“Lalu?”“Aku mimpi Rohim sama Rheza diajak ayahnya pergi sholat jama’ah ke masjid. Lain waktu lagi mereka main bola di sebelah,” ucap Alya sambil menggigit bibir bawahnya. Bersiap Akmal mungkin akan marah atau cemburu.Perumahan garapan tangan dingin Akmal ini memang kelasnya diperuntukkan kalangan menengah ke atas. Sehingga, dised

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 91: Hakikat Ujian

    “Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih. 

  • Tenggelam: Ketulusan Istri Pelaut   Bab 90: Nasihat Usia 40 Tahun

    “Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,

DMCA.com Protection Status