Home / Thriller / Tenebrarum; Tumbal Leak / Bab 1 (Bayi-bayi Mati Tak Wajar)

Share

Tenebrarum; Tumbal Leak
Tenebrarum; Tumbal Leak
Author: Rochy Mario Djafis

Bab 1 (Bayi-bayi Mati Tak Wajar)

last update Last Updated: 2022-12-28 13:56:53

Jeritan dan teriakan histeris itu kembali menggemparkan malam yang tadinya sunyi. Tak lama, samar-samar terdengar suara orang bercakap di luar. Sebagian warga Dusun Karang terbangun karena suara pilu dari dusun sebelah yang hanya dipisahkan sungai kecil. Mereka saling bertanya, anak siapa lagi yang mati di dusun itu malam ini.

Bulan menggantung tepat di tengah kolong langit. Gumpalan awan tebal sesekali melintas menghalangi pendaran cahayanya sehingga gelap kembali melingkupi semesta sesaat. Bayangan-bayangan makhluk aneh sesekali tertangkap mata warga sedang terbang saat bulan kembali menerangi.

"Leak! Leak! Tuselak! Tuselak!"

Teriakan warga sambil menunjuk ke arah langit meriuhkan malam yang hanya bercahayakan rembulan dan beberapa obor itu.

"Oo, Nenek Kaji! Malik kejadian." Suara seorang guru ngaji bernama Pak Umar terdengar dari dalam rumah. Ia heran karena peristiwa mengerikan itu kembali terjadi di dusun sebelah.

"Ada bayi mati lagi, Kak?" tanya Syahida kepada Fajar --suaminya-- dengan raut wajah cemas.

Syahida baru sebulan lalu melahirkan anak pertamanya. Sebab itu, ia sangat khawatir akan keselamatan bayinya.

Beberapa bulan terakhir, Dusun Indus yang berada di sebelah selatan Dusun Karang digemparkan dengan kematian bayi-bayi dan orang dewasa dengan cara tak wajar. Belum diketahui siapa pelakunya dan apa motifnya.

"Kamu tunggu di sini, saya keluar sebentar." Fajar menggulung sarung di pinggangnya. Ia berniat keluar rumah untuk memastikan keadaan.

"Jangan! Saya takut sendiri, Kak." Tak sadar, Syahida menautkan jemarinya karena cemas. Ia berusaha menahan langkah suaminya.

"Nggak apa-apa. Sebentar saja, kamu tunggu di sini." Fajar mencium kening istrinya.

Mata Syahida mengiba, ia tampak berat mengijinkan suaminya keluar walau hanya berdiri memastikan dari halaman rumah. Namun, Fajar tetap melangkah keluar rumah.

Tak lama, teriakan minta tolong pun terdengar.

Tung! Tung! Tung! Tung!

Suara khas kentongan bambu yang dipukul dengan ritme cepat, menjadi kode untuk warga bahwa situasi genting sedang terjadi.

Seketika situasi semakin mencekam. Bunyi kentongan dalam gelap saling bersahutan dari setiap sudut dusun. Semakin keras, semakin nyaring, dan suaranya semakin mendekat menuju Dusun Karang tempat tinggal Fajar.

Samar-samar di kejauhan, terlihat seseorang berlari menembus jalan gelap dengan obor bambu di tangannya. Ia tampak akan menyeberang melalui jambatan bambu yang mengarah menuju Dusun Karang. Warga pun saling bertanya, siapa yang datang mendekat itu.

"Pak ... tolong, Pak! Bayi-bayi, Pak ...," ucap orang itu panik, napasnya tersengal. Dengan terbata-bata ia berusaha menyampaikan peristiwa yang terjadi di dusunnya.

Sekujur badan pria paruh baya itu basah oleh peluh. Bajunya yang tak terkancing membuat bagian depan tubuhnya terlihat mengkilap terkena pantulan cahaya api dari obor yang dibawanya.

"Pak Artadi?! Ada kejadian lagi?" tanya Pak Umar kepada laki-laki itu.

Ternyata ia adalah Pak Artadi, warga Dusun Indus. Sesaat mata pria paruh baya itu menyapu sekitar. Ia gelisah, khawatir ada yang mengikutinya.

"Bayi-bayi di dusun kami ... m-mati, Pak!" jawabnya dengan raut wajah panik. 

Pak Artadi kembali berlari menuju kerumunan lainnya untuk mengabarkan apa yang terjadi di dusunnya.

Setiap tanggal lima belas bulan atas atau sehari setelah purnama, selalu saja ada berita bayi-bayi yang mati tak wajar. Sudah empat purnama kejadian ini terjadi. Bayi-bayi itu mati dengan dubur mengeluarkan darah segar.

Menurut kabar yang beredar, bayi-bayi itu mati karena usus, jantung, dan hatinya hilang dari tempatnya. Rongga perut dan dadanya kosong. Semua tampak jelas dari perut mayat bayi yang mengempis. Hampir bisa dipastikan, ini ada hubungannya dengan praktek ilmu hitam.

Sebelas bayi telah menjadi korban. Semua sama, duburnya mengeluarkan darah segar dan perutnya mengempis. Aneh, tetapi siapa yang melakukan ini dan bagaimana ia melakukannya?

Suasana semakin mencekam, udara dingin semakin lembut membelai tubuh warga. Bersamaan dengan itu, bau busuk menguar dan menyulitkan warga untuk menarik napas. Khawatir terjadi sesuatu dengan keluarga masing-masing, warga Dusun Karang kembali masuk ke dalam rumah masing-masing dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Fajar segera masuk ke dalam rumah menemani istrinya, Syahida. Segera ia memalang kayu balok berukuran satu setengah meter di belakang pintu untuk mengunci. 

Dari lubang kecil pada dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, Fajar bisa melihat warga dusun sebelah berlarian menembus gelap. Mereka mengungsi mencari tempat aman. Suara tapak kaki warga yang berlarian dan jerit tangis anak-anak yang diungsikan tengah malam itu membuat ia semakin khawatir dan gelisah.

Entah kenapa, hanya warga Dusun Indus yang menjadi sasaran, tetapi tetap saja mereka khawatir karena bukan tidak mungkin penjahatnya menyasar Dusun Karang.

Malam itu, tidak ada di antara mereka yang memilih untuk tidur lagi. Di dalam rumah masing-masing, mereka berjaga untuk anak dan istrinya. Nyala obor di halaman rumah dibiarkan tetap menyala.

"Gimana bayi kita, Kak?" Syahida menangis sambil memeluk Asgaf, putera mereka.

"Kamu jangan takut, saya akan jaga kalian dengan nyawa saya." Fajar memeluk istrinya erat agar merasa aman.

*

Langit di ufuk timur mulai menguning. Ayam pun turut berkokok menyambut pagi yang cerah. Fajar hendak berangkat berjualan ke pasar yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Di sepanjang jalan, warga membentuk kerumunan-kerumunan kecil membincangkan tragedi semalam. Bahkan, saat di pasar pun, berita kematian bayi-bayi itu seakan menjadi topik wajib yang dibicarakan. Pasalnya, mereka mati sehari setelah purnama dan terus berulang.

"Pagi, Dayu ...," sapa Fajar kepada pemilik warung kecil di pintu masuk pasar.

Dayu hanya tersenyum manis mendengar suara Fajar yang menyapa ketika lewat di depan warung kecil miliknya. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya, hanya senyum dan tatapan mata yang menawan.

Dayu Siam, perempuan cantik nan ayu. Ia datang setahun lalu, asalnya dari pulau seberang yang sangat menjunjung tinggi adat. Ia begitu memesona dengan tatapan mata tajam yang khas. Senyum manisnya selalu saja mampu membuat setiap orang yang melihatnya terpana, termasuk Fajar. Ia sering membayangkan perempuan berparas cantik itu walau ia telah memiliki Syahida.

Dayu Siam hidup seorang diri di sebuah gubuk tak jauh dari pasar tempat ia berjualan pisang goreng dan kopi. Tak pernah ada yang tahu siapa keluarganya, bahkan warga sekitar pun tak tahu. Namun, seorang laki-laki penjual tembakau bernama Norman selalu mengawasi dan tampak begitu possessive terhadap Dayu.

Mungkin Norman punya hati kepada Dayu Siam, sama seperti laki-laki lainnya. Ia sering sekali mencari masalah kepada siapa saja yang begitu dekat dengan Dayu. Tak jarang, laki-laki bertubuh tinggi itu terlibat perkelahian di pasar. Ia memang berwatak keras dan suka bikin onar. Mungkin itu sebabnya, jarang ada yang datang membeli barang dagangannya.

Warung kecil milik Dayu Siam selalu ramai oleh pengunjung yang mampir untuk mencicipi pisang goreng dan kopi buatannya. Mulai dari kusir cidomo, juragan beras, hingga kepala desa sering mampir di warungnya. Namun, tentu saja, mereka tak semata-mata mampir hanya untuk minum kopi atau mencicipi pisang goreng. Mereka berusaha menggoda dan mendekati Dayu Siam karena terpesona oleh kecantikan dan kemolekan lekuk tubuh indah sang Dayu.

Pengunjung mampu duduk berjam-jam, bahkan hingga tengah hari. Mereka hanya akan pergi saat Dayu hendak menutup warungnya. 

Di sebelah lapak tempat Dayu mencari rizki, ada seorang gadis muda berjualan gulai dan satai, namanya Sukreni. Ia tak kalah cantik dengan Dayu, tetapi warungnya selalu sepi pengunjung. Padahal, gulai dan satai yang dijualnya cukup enak, kata mereka yang pernah mampir.

Sukreni hidup bersama neneknya yang sudah renta, mereka juga tinggal tak jauh dari pasar. Orang tuanya meninggal saat terjadi bencana gempa dan tsunami beberapa tahun lalu yang menerjang Teluk Awang. 

Sebulan setelah kedua orang tuanya meninggal, Sukreni pernah dilamar oleh seorang juragan emas bernama Ang Kok Liong. Namun, Sukreni menolak karena usia yang terpaut hampir empat puluh tahun. Ang Kok Liong masih menyimpan harapan, bahkan ia selalu mengawasi Sukreni dengan preman-preman bayarannya.

Saat baru saja Fajar menggelar tikar untuk berjualan, suasana pasar yang ramai dan kondusif tiba-tiba berubah gaduh. Seorang pria paruh baya berteriak di tengah ramainya pasar. Ia menangisi buah hatinya yang baru lahir seminggu lalu setelah sebelas tahun lamanya menanti. Ia adalah Nyoman Ari, sahabat Fajar ketika duduk di Sekolah Rakyat dulu.

Nyoman Ari mengamuk, ia merusak benda-benda yang ada di dekatnya karena depresi. Ia mengayun-ayunkan sebilah keris, lalu menantang duel siapa pun yang telah merenggut nyawa anaknya. Laki-laki itu tampak benar-benar terpukul, tetapi tak ada seorang pun yang berani mendekatinya.

"Keluar kamu!" teriak Nyoman Ari. "Keluar kamu, siapa pun yang membunuh anak saya!" lanjutnya dengan nada keras dan serak.

Hati Nyoman Ari terbakar dendam. Napasnya terengah seperti embusan napas hewan buas yang sangat marah. Tampak matanya memerah menggoreskan kemarahan. 

Tak jauh dari pasar, Pak Nengah Kompyang juga kehilangan bayi perempuannya. Ia terduduk lemas dan tak percaya atas apa yang terjadi, bahkan berkali-kali ia jatuh tak sadarkan diri.

Mereka adalah dua orang ayah yang benar-benar kehilangan permata hidupnya.

*

Dari hari ke hari, situasi semakin mencekam. Para orang tua menjadi lebih waspada, bahkan mereka melarang anak-anak mereka bermain terlalu jauh walau siang hari. Semua itu karena cerita kematian bayi-bayi yang tak wajar.

Sejak ditemukannya bayi pertama yang mati dengan kondisi sangat mengerikan beberapa bulan lalu, aura desa berubah menjadi sangat lain, hawanya kini berubah seakan menjadi desa terkutuk. Mencekam! Tak ada yang berani berjalan sendirian jika sandikala tiba.

Siapa pelakunya? Belum ada yang tahu.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erma Wang
ini sekolah rakyat ya, Bang? berarti tahun dulu banget ya? kakekku pas itu sekolah rakyat.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 2 (Nenek Di Kebun Pisang)

    Matahari kini tepat berada di atas ubun-ubun. Teriknya begitu menyengat. Tak ada gumpalan awan di langit yang menaungi bumi siang itu. Semua biru dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan.Suhu panas yang terpantul dari permukaan tanah membuat Fajar menyeka peluh berkali-kali. Bahkan, bau pesing dari genangan kencing kuda menguar, menusuk rongga hidung karena terpanaskan.Perlahan pasar mulai sepi dari pengunjung. Tak lama, azan zuhur pun terdengar dikumandangkan oleh beberapa orang dari atas menara masjid tua yang berada di Dusun Karang.Satu persatu pedagang menutup lapaknya. Begitu juga dengan Dayu Siam dan Sukreni, mereka juga hendak menutup dagangannya.Fajar melihat ada pemandangan tak biasa yang terjadi saat hendak membereskan lapaknya. Dari balik pohon waru yang teduh, Nyoman Ari menatap tajam kepada dua perempuan cantik itu sambil menancap-nancapkan ujung keris pada permukaan batang pohon di hadapannya. Ia mencabutnya kemudian menancapkan lagi, berulang-ulang hingga kulit poho

    Last Updated : 2022-12-28
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 3 (Salah Sasaran)

    "Kak ... Kak Fajar, bangun ...." Terdengar suara yang tak asing memanggil berulang-ulang seakan berusaha menarik Fajar dari ketidaksadaran. Suaranya terdengar begitu jauh, jauh sekali.Perlahan Fajar membuka mata. Samar-samar, wajah Syahida tergambar. Tak lama, wajah istrinya terlihat semakin jelas, tetapi ia hanya bisa diam. Perasaan bingung menyerang. Kenapa banyak warga di tempat itu? Kenapa bajunya tanggal dan sekujur tubuhnya dirasa pegal? "Fajar, lebih baik kamu segera pulang. Warga semakin ramai karena penasaran apa yang menimpamu" saran Pak Tohri.Fajar masih tak mengerti ada apa sebenarnya. Ia benar-benar seperti orang bingung dan linglung."Fajar!" Suara Pak Tohri agak keras diiringi tepukan di bahunya.Sontak tubuh Fajar sedikit terangkat karena terkejut, lalu menghadapkan wajah ke arah Pak Tohri."Ini ke-kenapa, Pak?" tanya Fajar bingung."Nanti kita bicarakan di rumahmu, yang penting pulang saja dulu." Fajar pun menarik napas dalam dan segera berusaha bangkit. Ia masih

    Last Updated : 2022-12-28
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 4 (Guru Ngaji Disesatkan)

    Setelah kejadian tewasnya laki-laki pencari kayu bakar itu, warga dikumpulkan di balai desa untuk mencari solusi terbaik dari masalah yang terjadi."Kecerobohan seperti ini tidak boleh terjadi lagi! Orang tak berdosa malah jadi sasaran. Seharusnya, kita tidak boleh main pukul ... main hakim sendiri!" tegas Pak Tohri sebagai Kepala Dusun Karang.Hampir semua warga tertunduk mendengar Pak Tohri berbicara agak keras. Wajar saja jika dia agak keras karena kejadian ini terjadi di dusun yang menjadi tanggung jawabnya."Tapi, bagaimana kita hadapi masalah seperti ini, Pak Kadus? Sudah cukup lama kita hidup dalam ketakutan, selalu was-was karena kita belum tahu siapa dalang dari masalah ini." Pak Sukri menimpali."Itulah makanya kita urun rembuk di sini, Pak. Kerja sama antar warga dusun sangat penting! Saran saya, ketika bapak-bapak lihat sesuatu yang mencurigakan, mohon agar segera melaporkan ke pos ronda terdekat agar kita selesaikan bersama. Di pos ronda akan tetap ada orang berjaga siang

    Last Updated : 2022-12-28
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 5 (Di Mana Pak Umar?)

    "Sudah pulang, Kak?" tanya Syahida sambil tangannya lincah mengipasi putera kecilnya. Suhu siang itu memang terasa agak panas dan gerah."Iya, Dek. Nanti, dusun kita akan ada ronda tiap malam, jadwalnya sedang dibuatkan. Yang laki semuanya wajib kena jadwal bergilir," jawab Fajar sambil membuka baju karena gerah."Kalau Kak Fajar kena jadwal ronda, saya di rumah sama siapa?" Syahida tampak khawatir."Ya sendiri dong ... lagian warga ngeronda di sekitar sini aja, kok. Toh, rumah Pak Umar juga depan mata. Kalau ada apa-apa, kamu tinggal teriak, Pak Umar pasti datang.""Ya tetep aja saya gak berani, Kak. Apalagi, anak kita masih kecil begini. Kata orang tua-tua sini, kan, bayi itu masih amis baunya ... bau begitu disenengi leak. Kak Fajar nggak khawatir apa?""Amis? Ha-ha, bahasamu itu. Emang ikan baunya amis?" canda Fajar."Pokoknya bau-bau yang bisa mengundang gitu, dah, Kak.""Nggak apa-apa, kok. Nanti, sesekali saya pulang untuk ngawasi kamu sama Asgaf." Fajar mencoba meyakinkan. Dia

    Last Updated : 2022-12-28
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 6 (Kepala Terbalik)

    Fajar bersama Pak Tohri, Pak Muksan, dan Pak Samsuri bergegas mencari Pak Umar ke arah balai desa. Sekali lagi Fajar kembali untuk memastikan, ternyata Pak Umar memang tidak berada di sana. "Kira-kira paman saya di mana ya, Pak Kadus?" tanya Fajar kepada Pak Tohri."Terakhir saya lihat ya di sini, Jar," jawab Pak Tohri sambil menyapukan pandangan ke sekitar balai."Sepertinya, Pak Umar memang tidak di sini, Jar," sambung Pak Samsuri. "Sudah dua kali saya kelilingi tempat ini hingga halaman belakang, tapi ndak ada siapa-siapa.""Kalau begitu kita coba kembali saja, kita cari ke arah lain," usul Fajar.Tak bertemu siapa pun, mereka akhirnya kembali dan mencoba mencari ke arah lain. Saat mereka hendak kembali dan melewati kebun bambu, samar-samar tampak seseorang berjalan ringkih menembus gelap tanpa penerangan sama sekali."Hujan-hujan begini, itu siapa yang jalan sendirian, Jar?" tanya Pak Samsuri saat kilat memberikan pandangan sekilas.Perlahan langkahnya semakin dekat ke arah warga

    Last Updated : 2023-01-07
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 7 (Leak Tertangkap)

    Melihat kejadian di luar nalar, sontak semua warga yang mencari Pak Umar terperanjat dan berlari berusaha keluar dari area kebun jati. Semua lari tunggang langgang tanpa peduli satu sama lain, semak-semak pun diterobos, bahkan Pak Samsuri tak menyadari sarungnya terlepas entah di mana. Semua warga terus berlari menembus gelapnya kebun jati yang rapat dan sangat luas. Hujan yang terus mengguyur menambah ngeri suasana."Sialan, apa tu barusan?" tanya Pak Tohri panik sambil terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Perutnya yang buncit menggelambir terguncang hebat saat berlari."Huaaa ...," teriak Pak Muksan berlari menyalip warga yang lain dengan langkah seribu, bahkan ia berhasil melompati kali selebar tiga meter lebih karena lari yang sangat kencang.Setelah mereka berhasil keluar dari kebun jati, mereka berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah. Tak ada suara lain selain engahan napas memburu.Pak Samsuri yang tiba paling akhir, seketika menjadi perhatian warga yang lain. Darah menga

    Last Updated : 2023-01-09
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 8 (Siapa Pelakunya?)

    Mentari seakan melunturkan ilmu pengeleakan yang dimiliki Norman. Anehnya, ia terlihat bingung kenapa tangannya terikat di bawah pohon waru seperti itu dan menjadi bahan tontonan warga."Leak kamu!" "Tuselak kamu Norman! Kamu tidak pantas jadi warga di sini!""Usir! Usir!"Teriakan-teriakan bernada mengucilkan menggema di pasar itu. Mereka tak ingin Norman berjualan lagi di pasar itu."Kenapa saya diikat?!" teriak Norman tampak bingung."Jangan pura-pura kamu, Norman! Kamu itu leak!" Udin menunjuk wajah Norman."Pak Ida Bagus, saya pamit pulang dulu. Saya titip Norman ini agar dia tidak dilukai oleh warga. Yang penting kita sudah tahu siapa leaknya. Lebih baik lepaskan saja. Mungkin nanti kita bisa tahu siapa ratu leaknya dari dia. Saya yakin dia tidak akan berani lagi berbuat macam-macam," ucap Pak Umar kepada tokoh Dusun Indus itu."Nggih semeton ... saya akan meminta warga saya untuk melepaskan Norman. Tetapi, kemungkinan warga tidak menerima Norman berjualan lagi di pasar ini," b

    Last Updated : 2023-01-13
  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 9 (Perburuan)

    Kematian Asgaf membuat warga semakin yakin bahwa tidak hanya bayi-bayi di Dusun Indus yang menjadi incaran, melainkan bayi-bayi di dusun lain juga tak luput dari sasaran. Semua hanya menunggu waktu.Suasana duka menyelimuti kediaman Fajar. Langit seakan turut berkabung dengan warna kelabunya. Awan abu pekat menggantung di bawah kolong langit, bergolak, dan bergulungan seakan hendak terjadi badai. Namun fenomena alam pagi itu tak menyurutkan niat warga untuk datang melayat. Beras tampak menggunung di dalam beberapa bakul besar yang terbuat dari anyaman bambu sebagai bentuk belasungkawa warga atas kematian Asgaf. Banyak warga penasaran dengan kondisi jenazah bayi itu, tetapi Pak Umar melarang mereka untuk menyaksikan karena hal itu hanya akan membuat Fajar dan Syahida semakin sedih.Syahida telah berkali-kali tak sadarkan diri karena belum bisa menerima kenyataan anak pertamanya telah pergi. Begitu besar sesal dalam dirinya karena menolak anjuran untuk menginap di rumah Pak Umar. Tak j

    Last Updated : 2023-01-16

Latest chapter

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 10 (Ada Apa Dengan Dadong?)

    "T-tali mayit!" ucap Pak Artadi bergetar saat mengangkat kain putih yang dijadikan tali pengikat mayit di sudut rumah Sukreni.Pak Artadi yang dulu pernah mengungsi karena takut, kini ikut memburu pelaku teror selama ini. Ia tampak muak, sama seperti warga lainnya, mereka kini memiliki keberanian untuk melawan.Melihat kain putih pengikat mayat ditemukan di luar rumah Sukreni, warga berkumpul seketika dengan penuh tanda tanya. Ada perasaan takut juga menyelimuti. Mereka merasa sudah berkeliling ke seluruh sudut dusun dan tidak menemukan mahluk yang dicari, tapi kenapa kain pengikat mayat itu ada di halaman rumah Sukreni? Kecurigaan pun bermunculan kepada pemilik rumah. Sukreni dan Dadong.Mata warga tertuju pada rumah Sukreni yang tampak gelap tanpa penerang. Saat siang hari pun rumah di bawah pohon ketapang itu memang terlihat menyeramkan dengan sumur tua di sampingnya. Sumur itu tampak berlumut dan ditumbuhi pakis."Hanya mereka yang tinggal di sini! Pasti mereka leak yang cari tum

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 9 (Perburuan)

    Kematian Asgaf membuat warga semakin yakin bahwa tidak hanya bayi-bayi di Dusun Indus yang menjadi incaran, melainkan bayi-bayi di dusun lain juga tak luput dari sasaran. Semua hanya menunggu waktu.Suasana duka menyelimuti kediaman Fajar. Langit seakan turut berkabung dengan warna kelabunya. Awan abu pekat menggantung di bawah kolong langit, bergolak, dan bergulungan seakan hendak terjadi badai. Namun fenomena alam pagi itu tak menyurutkan niat warga untuk datang melayat. Beras tampak menggunung di dalam beberapa bakul besar yang terbuat dari anyaman bambu sebagai bentuk belasungkawa warga atas kematian Asgaf. Banyak warga penasaran dengan kondisi jenazah bayi itu, tetapi Pak Umar melarang mereka untuk menyaksikan karena hal itu hanya akan membuat Fajar dan Syahida semakin sedih.Syahida telah berkali-kali tak sadarkan diri karena belum bisa menerima kenyataan anak pertamanya telah pergi. Begitu besar sesal dalam dirinya karena menolak anjuran untuk menginap di rumah Pak Umar. Tak j

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 8 (Siapa Pelakunya?)

    Mentari seakan melunturkan ilmu pengeleakan yang dimiliki Norman. Anehnya, ia terlihat bingung kenapa tangannya terikat di bawah pohon waru seperti itu dan menjadi bahan tontonan warga."Leak kamu!" "Tuselak kamu Norman! Kamu tidak pantas jadi warga di sini!""Usir! Usir!"Teriakan-teriakan bernada mengucilkan menggema di pasar itu. Mereka tak ingin Norman berjualan lagi di pasar itu."Kenapa saya diikat?!" teriak Norman tampak bingung."Jangan pura-pura kamu, Norman! Kamu itu leak!" Udin menunjuk wajah Norman."Pak Ida Bagus, saya pamit pulang dulu. Saya titip Norman ini agar dia tidak dilukai oleh warga. Yang penting kita sudah tahu siapa leaknya. Lebih baik lepaskan saja. Mungkin nanti kita bisa tahu siapa ratu leaknya dari dia. Saya yakin dia tidak akan berani lagi berbuat macam-macam," ucap Pak Umar kepada tokoh Dusun Indus itu."Nggih semeton ... saya akan meminta warga saya untuk melepaskan Norman. Tetapi, kemungkinan warga tidak menerima Norman berjualan lagi di pasar ini," b

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 7 (Leak Tertangkap)

    Melihat kejadian di luar nalar, sontak semua warga yang mencari Pak Umar terperanjat dan berlari berusaha keluar dari area kebun jati. Semua lari tunggang langgang tanpa peduli satu sama lain, semak-semak pun diterobos, bahkan Pak Samsuri tak menyadari sarungnya terlepas entah di mana. Semua warga terus berlari menembus gelapnya kebun jati yang rapat dan sangat luas. Hujan yang terus mengguyur menambah ngeri suasana."Sialan, apa tu barusan?" tanya Pak Tohri panik sambil terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Perutnya yang buncit menggelambir terguncang hebat saat berlari."Huaaa ...," teriak Pak Muksan berlari menyalip warga yang lain dengan langkah seribu, bahkan ia berhasil melompati kali selebar tiga meter lebih karena lari yang sangat kencang.Setelah mereka berhasil keluar dari kebun jati, mereka berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah. Tak ada suara lain selain engahan napas memburu.Pak Samsuri yang tiba paling akhir, seketika menjadi perhatian warga yang lain. Darah menga

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 6 (Kepala Terbalik)

    Fajar bersama Pak Tohri, Pak Muksan, dan Pak Samsuri bergegas mencari Pak Umar ke arah balai desa. Sekali lagi Fajar kembali untuk memastikan, ternyata Pak Umar memang tidak berada di sana. "Kira-kira paman saya di mana ya, Pak Kadus?" tanya Fajar kepada Pak Tohri."Terakhir saya lihat ya di sini, Jar," jawab Pak Tohri sambil menyapukan pandangan ke sekitar balai."Sepertinya, Pak Umar memang tidak di sini, Jar," sambung Pak Samsuri. "Sudah dua kali saya kelilingi tempat ini hingga halaman belakang, tapi ndak ada siapa-siapa.""Kalau begitu kita coba kembali saja, kita cari ke arah lain," usul Fajar.Tak bertemu siapa pun, mereka akhirnya kembali dan mencoba mencari ke arah lain. Saat mereka hendak kembali dan melewati kebun bambu, samar-samar tampak seseorang berjalan ringkih menembus gelap tanpa penerangan sama sekali."Hujan-hujan begini, itu siapa yang jalan sendirian, Jar?" tanya Pak Samsuri saat kilat memberikan pandangan sekilas.Perlahan langkahnya semakin dekat ke arah warga

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 5 (Di Mana Pak Umar?)

    "Sudah pulang, Kak?" tanya Syahida sambil tangannya lincah mengipasi putera kecilnya. Suhu siang itu memang terasa agak panas dan gerah."Iya, Dek. Nanti, dusun kita akan ada ronda tiap malam, jadwalnya sedang dibuatkan. Yang laki semuanya wajib kena jadwal bergilir," jawab Fajar sambil membuka baju karena gerah."Kalau Kak Fajar kena jadwal ronda, saya di rumah sama siapa?" Syahida tampak khawatir."Ya sendiri dong ... lagian warga ngeronda di sekitar sini aja, kok. Toh, rumah Pak Umar juga depan mata. Kalau ada apa-apa, kamu tinggal teriak, Pak Umar pasti datang.""Ya tetep aja saya gak berani, Kak. Apalagi, anak kita masih kecil begini. Kata orang tua-tua sini, kan, bayi itu masih amis baunya ... bau begitu disenengi leak. Kak Fajar nggak khawatir apa?""Amis? Ha-ha, bahasamu itu. Emang ikan baunya amis?" canda Fajar."Pokoknya bau-bau yang bisa mengundang gitu, dah, Kak.""Nggak apa-apa, kok. Nanti, sesekali saya pulang untuk ngawasi kamu sama Asgaf." Fajar mencoba meyakinkan. Dia

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 4 (Guru Ngaji Disesatkan)

    Setelah kejadian tewasnya laki-laki pencari kayu bakar itu, warga dikumpulkan di balai desa untuk mencari solusi terbaik dari masalah yang terjadi."Kecerobohan seperti ini tidak boleh terjadi lagi! Orang tak berdosa malah jadi sasaran. Seharusnya, kita tidak boleh main pukul ... main hakim sendiri!" tegas Pak Tohri sebagai Kepala Dusun Karang.Hampir semua warga tertunduk mendengar Pak Tohri berbicara agak keras. Wajar saja jika dia agak keras karena kejadian ini terjadi di dusun yang menjadi tanggung jawabnya."Tapi, bagaimana kita hadapi masalah seperti ini, Pak Kadus? Sudah cukup lama kita hidup dalam ketakutan, selalu was-was karena kita belum tahu siapa dalang dari masalah ini." Pak Sukri menimpali."Itulah makanya kita urun rembuk di sini, Pak. Kerja sama antar warga dusun sangat penting! Saran saya, ketika bapak-bapak lihat sesuatu yang mencurigakan, mohon agar segera melaporkan ke pos ronda terdekat agar kita selesaikan bersama. Di pos ronda akan tetap ada orang berjaga siang

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 3 (Salah Sasaran)

    "Kak ... Kak Fajar, bangun ...." Terdengar suara yang tak asing memanggil berulang-ulang seakan berusaha menarik Fajar dari ketidaksadaran. Suaranya terdengar begitu jauh, jauh sekali.Perlahan Fajar membuka mata. Samar-samar, wajah Syahida tergambar. Tak lama, wajah istrinya terlihat semakin jelas, tetapi ia hanya bisa diam. Perasaan bingung menyerang. Kenapa banyak warga di tempat itu? Kenapa bajunya tanggal dan sekujur tubuhnya dirasa pegal? "Fajar, lebih baik kamu segera pulang. Warga semakin ramai karena penasaran apa yang menimpamu" saran Pak Tohri.Fajar masih tak mengerti ada apa sebenarnya. Ia benar-benar seperti orang bingung dan linglung."Fajar!" Suara Pak Tohri agak keras diiringi tepukan di bahunya.Sontak tubuh Fajar sedikit terangkat karena terkejut, lalu menghadapkan wajah ke arah Pak Tohri."Ini ke-kenapa, Pak?" tanya Fajar bingung."Nanti kita bicarakan di rumahmu, yang penting pulang saja dulu." Fajar pun menarik napas dalam dan segera berusaha bangkit. Ia masih

  • Tenebrarum; Tumbal Leak   Bab 2 (Nenek Di Kebun Pisang)

    Matahari kini tepat berada di atas ubun-ubun. Teriknya begitu menyengat. Tak ada gumpalan awan di langit yang menaungi bumi siang itu. Semua biru dan tak ada tanda-tanda akan turun hujan.Suhu panas yang terpantul dari permukaan tanah membuat Fajar menyeka peluh berkali-kali. Bahkan, bau pesing dari genangan kencing kuda menguar, menusuk rongga hidung karena terpanaskan.Perlahan pasar mulai sepi dari pengunjung. Tak lama, azan zuhur pun terdengar dikumandangkan oleh beberapa orang dari atas menara masjid tua yang berada di Dusun Karang.Satu persatu pedagang menutup lapaknya. Begitu juga dengan Dayu Siam dan Sukreni, mereka juga hendak menutup dagangannya.Fajar melihat ada pemandangan tak biasa yang terjadi saat hendak membereskan lapaknya. Dari balik pohon waru yang teduh, Nyoman Ari menatap tajam kepada dua perempuan cantik itu sambil menancap-nancapkan ujung keris pada permukaan batang pohon di hadapannya. Ia mencabutnya kemudian menancapkan lagi, berulang-ulang hingga kulit poho

DMCA.com Protection Status