“Hai, Beb!”Suara seorang perempuan yang baru saja muncul dari balik pintu sebuah kafe membuat Dante kemudian mendongak dengan cepat.“Udah lama nungguin aku, ya?” ujarnya lagi.“Duduk, Sy. Ada yang pengen aku omongin sama kamu.”Sissy menarik kursi di hadapan Dante. Senyumnya masih merekah sempurna. “Kenapa? Kamu pasti kangen sama aku, ya?”Dante menarik napas pendek lalu mengangsurkan sebuah map berwarna putih ke hadapan Sissy. “Kamu buka itu," ujar Dante sembari mengedikkan dagu ke arahnya.“Apa ini?”“Kamu akan tahu setelah membukanya.”Sissy menghela napas. Tangannya terulur ke depan, membuka map putih yang ada di hadapannya. Dan detik itu juga matanya membelalak lebar.“Kamu mencoba mencari tahu tentang aku?”“Aku sedang memberi peringatan buat kamu, Sy.” Dante menegakkan posisi duduknya, tatapnya tajam ke arah Sissy. “Sebentar lagi aku akan menikah dan aku nggak mau kamu ganggu hubunganku dengan Cintara.”“Kamu ngancem aku?”“Sy, perasaan kamu dengan aku itu bukan cinta. Jadi m
“Dante! Tante Kinnas!”Suara Cintara sejenak membuat Kinnas yang baru saja mengobrol dengan Dante lantas menoleh dengan cepat dan mendapati Cintara berlari menghampiri mereka.“Eh, Ta? Kok lari-lari, sih?”“Tante Kinnas udah nunggu lama, ya?”“Belum, Sayang. Tante juga baru aja sampai terus ngobrol sama Mas Dante, kok.”Cintara menghela napas lega. “Maaf ya, Tante. Tadi tuh macet banget. Pakai ada acara mogok segala pula taksinya. Untung mogoknya nggak jauh dari kantornya Dante. Jadi ya, tadi ngojek aja.”“Ya ampun, Ta. Tahu gitu tadi biar Mas Dante yang jemput aja.” Kinnas mendecak, menoleh ke arah Dante. “Gimana sih, Mas?”“Udah aku tawarin, Ma. Tapi calon menantu Mama ini bebal banget.”Cintara mendelik ke arah Dante. “Nggak usah, Tante. Lagian Dante kan pasti sibuk banget. Aku nggak mau ngerepotin dia.”“Padahal kan nggak sibuk, Ma.”“Te…”“Ya ampun, kalian tuh, ya… nggak sadar apa kalau sebentar lagi bakalan nikah?” Kinnas terkekeh. Tidak heran jika Dante dan Cintara akan saling
Suara dentuman musik discjokey memecah keheningan malam yang pekat. Udara pengap yang bercampur dengan asap rokok menguar memenuhi ruangan, tetapi tidak menyurutkan keinginan mereka untuk menggerakkan tubuhnya di atas lantai dansa.“Sumpah lo? Satu setengah bulan lagi?” Kanaya membelalak. “Gokil ya, kalian berdua! Gue yang ngebet pengen nikah muda, eh malah diduluin sama kalian!”Cintara tertawa. “Gue aja masih nggak percaya, Nay. Ya lo tahu lah, kalau keluarga nyokap gue masih mikirin soal tanggal bagus buat nikah.”“Dih! Iya, iya!” Kanaya mendecak. “Tapi lo yakin udah dikasih izin sama Dante buat ke sini kan, Ta? Awas aja lo ya, kalau sampai gue kena omel sama dia! Nggak lucu aja kita have fun, eh gue malah kena semprot sama calon suami lo! Nggak ada begini-begini lagi, ya. Cukup sekali waktu sama Romeo itu. Dante tuh kalau lagi ngamuk serem banget tahu, nggak!” teriak Kanaya sembari meneguk minumannya.“Aman, Nay. Gue udah izin, kok. Dan dia tahu kalau gue lagi di sini sama lo.”“D
“Terima kasih, Pak. Semoga kedepannya kita bisa kerjasama lagi.”“Saya juga berharap begitu, Dante. Pokoknya saya tunggu kabar baiknya, ya.”“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.”Setelah menyapa beberapa koleganya, Dante melangkah menjauh. Sesekali ia menoleh ke samping, ke arah Clara. Lalu, “Udah malam banget, Ra. Kalau kamu mau pulang, pulang duluan saja nggak apa-apa. Tapi saya minta maaf karena nggak bisa nganterin kamu.”“Ngg, nggak apa-apa, Pak. Terus ini Bapak mau ke mana?”“Saya harus pergi ke Alexis Bar untuk jemput Cintara.”“Oh gitu. Baik, Pak. Kalau begitu saya langsung pulang saja, Pak.”Sepeninggal Clara, Dante mengeluarkan ponsel. Ingin rasanya Dante mengumpat sejadi-jadinya lantaran gala dinner-nya dengan klien harus berlangsung lama, padahal kepalanya sudah dijejali rasa khawatir akan Cintara.Entah mengapa firasatnya buruk. Bahkan saat ia sudah membalas pesan dari perempuan itu lalu berusaha menghubunginya. Namun tidak ada satupun panggilan yang diangkat.
“Mas!”Suara derap langkah Arjuna dan Kinnas yang baru saja tiba di rumah sakit membuat Dante lantas menoleh dengan cepat.“Ma… Pa…”“Gimana kondisinya Cintara sekarang, Mas?”Dante menggeleng. Raut wajahnya terlihat sangat frustasi. “Dia udah tidur, Ma, Pa. Setelah dikasih obat penenang, akhirnya dia bisa tidur.” Pria itu menundukkan wajah. “Aku takut kalau Cintara kenapa-napa, Ma. Aku—”“Mas, Cintara pasti akan baik-baik saja. Jadi kamu yang tenang, ya?” ujar Arjuna mencoba menenangkan. “Tangan kamu harus diobati, Mas.”Dante meraup wajahnya dengan kasar lalu tatapannya terpaku pada punggung tangannya yang terluka. Dan luka itu sudah mengering. “Aku nggak apa-apa, Pa.”“Tetap saja, Mas. Kamu nggak mungkin menemui Cintara dalam kondisi kayak gini, kan?”Dante menarik napas pendek. Tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Pikirannya justru melayang, membayangkan bagaimana kondisi Cintara tadi membuat pria itu terlihat begitu kacau.“Tante Elisa udah dikabarin, Mas?”Dante mengangguk. “Uda
“Good morning.” Suara serak Dante sejenak mengalihkan perhatian Cintara yang baru saja membuka matanya.Perempuan itu menggeliat di atas ranjang sempit lalu ia tersenyum kecil. “Good morning.” Ia mendongak agar tatapannya bertumbukan dengan Dante. “Kamu nggak tidur semalaman?” tanya Cintara dengan keningnya yang mengernyit.“Tidur, Sayang. Cuma ya… sesekali aku bangun. Cuma pengen memastikan kalau tidur kamu nyenyak.”Sementara Cintara hanya tersenyum.“How do you feel today?” tanya Dante penasaran.Cintara mengerjap lalu mengangguk. “I feel good. Makasih ya, udah nemenin aku di sini.”“Good. I’m happy to hear that.” Dante mengusap wajah Cintara dengan lembut lalu mengecup puncak kepalanya dengan lembut. “Mau aku ambilkan air putih?”Cintara mengangguk. “Iya. Aku haus.”“Bentar.” Tangan Dante terulur ke samping lalu ia meraih segelas air putih itu dari atas nakas dan langsung mengangsurkannya kepada Cintara. “Pelan-pelan minumnya, ya?” Dante membantu Cintara untuk duduk dengan punggun
“Sekarang gimana perasaan kamu, Ta? Maksud saya, setelah sesi konseling ini selesai. Merasa sedikit lebih baik?”Cintara tersenyum lalu mrngangguk. “Iya, Dok. Saya merasa sedikit lega sekarang.”“Saya senang mendengarnya, Ta.” Dokter Bastian menuliskan sesuatu pada lembaran yang ada di pangkuannya. “Pokoknya jangan pernah sungkan untuk cerita sama saya, Ta. Kamu tahu, kan kalau saya di sini ada buat membantu kamu?” ujarnya lagi.Cintara tersenyum lalu mengangguk. “Pasti, Dok. Makasih sudah mendengarkan banyak hal tentang saya hari ini.”Dokter Bastian tersenyum kecil. “Sama-sama, Cintara.”“Kalau begitu saya pamit dulu ya, Dok. Sampai ketemu minggu depan.”Cintara baru saja selesai dengan sesi konselingnya bersama Dokter Bastian, salah satu psikolog yang sempat dikenalkan Dante kepadanya.Perempuan itu keluar dari ruang konseling lalu melangkah menyusuri koridor yang tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tengah duduk di depan ruang konseling. Mungkin mereka juga mengalami hal
“Widih, tumben banget Mas Dante pagi-pagi ke sini? Ada angin apa, nih?”“Selamat pagi, Anak Kecil.” Dante mengayunkan langkahnya mendekati adiknya lalu mengacak-acak rambutnya karena gemas. “Pa, apa kabar?”“Eh, Mas. Papa kabarnya baik. Tumben nih mampir? Ada apa?”“Iya, Pa. Aku ada janji sama Kevin pagi ini.” Mata Dante lantas mengedar ke sekitar. “Terus ini Mama ke mana?”“Dih! Tuh kan, Pa, Mas Dante tuh pilih kasih. Gitu deh sukanya, yang dicariin pertama kali pasti Mama!” sungut Zidny tak terima.Dante tertawa. “Apa, sih? Kalau kamu kangen tuh bilang aja, Dek. Atau kamu pasti lagi ada maunya aja, kan?”Zidny tertawa. “Apaan deh. Nggak usah mancing-mancing ya, Mas, kalau aku minta apartemennya Mas Dante aja nggak dikasih!”“Lho, Mas Dante kapan sampainya?” Kinnas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu taman rumah lantas melangkah mendekati Dante dan langsung mengecup pipinya. “Dari apartemen?”“Iya, Ma. Barusan banget kok datangnya. Datang-datang udah dipalakin apartemen nih, Ma.”
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan