“Gimana Nel, rasanya menikah? Enak toh?” seorang ibu-ibu berseragam batik bertanya begitu seorang guru muda masuk ke kantor dengan membawa tumpukan buku didekapannya. Ia meletakkan buku-buku tersebut di meja tepat disamping Sarah yang sedang berkutat dengan laptop.
Sarah pun melirik sekilas pada Nela yang belum menjawab pertanyaan dari Bu Wati. Ia sedari tadi diam saja, fokus dengan pekerjaan dan hanya menimpali sesekali obrolan gosip dua ibu guru yang sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam kelas setelah istirahat.
“Enak bu, enak banget,” jawab Nela santai. Ia kemudian menyeret kursi kayu ke depan meja Sarah setelah mengambil sobekan kardus untuk mengipasi dirinya.
Pagi menjelang siang ini memang terasa panas. Apalagi ruangan kantor yang kecil dan pengap. Kipas angin di dinding yang sudah menyala itu pun tidak bisa menghalau hawa panas di kantor.
“Nah kan enak, gimana gimana malam pertamanya? Sarah pingin denger tuh.”
“Loh, kok aku bu? Dari tadi diam loh ini,” jawab Sarah menghentikan aktivitas mengetiknya.
Bu Wati dan Bu Sri pun tertawa tatkala melihat kepanikan gadis berpakaian muslimah itu. Mereka memang kerap menggoda Sarah si operator yang polos dan cantik.
“Gak mau cerita lah bu, nanti Sarah langsung pingin lagi,” ucap Nela santai. “Pingin ada calonnya sih mending, ini pingin tapi nggak ada calonnya kan bahaya, dosa nanti,” lanjutnya.
“Hish Mbak Nela,” timpal Sarah kesal. Ia lebih baik kembali mengerjakan tugasnya yang sedang menginput data siswa, berusaha menulikan telinga yang mulai panas akibat terus-terusan digempur dengan obrolan ala orang dewasa yang sudah menikah.
Sarah Diba Alaesya sebenarnya juga sudah dewasa, berusia 24 tahun yang mana harusnya sudah terbiasa dengan obrolan-obrolan dewasa. Namun nyatanya ia tetap canggung dan sulit menerima tema obrolan yang masih dianggapnya tabu itu.
Faktor keluarga mungkin mempengaruhi sikap tertutup Sarah. Ia di kampung terkenal dengan reputasi keluarga agamis dan religius. Oleh sebab itulah pakaian yang ia gunakan lebih tertutup dari yang lain.
Dan Sarah sendiri bekerja di sekolah menengah pertama di kampungnya sebagai operator sudah ia lakukan selama dua tahun terakhir. Dulu Nela juga masih gadis seperti dirinya. Namun beberapa minggu yang lalu Nela melangsungkan pernikahan yang meriah.
Suaminya seorang polisi. Namun bukan itu yang menjadi permasalahan. Melainkan hanya Sarah lah yang kini berstatus lajang diantara yang lain. Oleh karena itu ia semakin menjadi bulan-bulanan bulian guru-guru dan staf yang lain.
“Nah tinggal Sarah kan? Nela sudah, ya tinggal kamu Sar.” Suara lantang seorang bapak-bapak memenuhi ruangan kantor yang mulai berisik dan penuh. Guru-guru yang lain sudah berkumpul di kantor.
Jika sudah seperti ini, Sarah ingin pergi ke perpus yang letaknya agak jauh dari kantor. Mendekam disana sembari memainkan ponsel akan lebih baik ketimbang menjadi bahan kongekan.
“Kamu itu loh Sar, mau kapan lagi coba? Sudah bapak tawarin jadi mantu, sama si Bayu aja malah nggak mau. Anak bapak ganteng toh kayak bapaknya, masa nggak mau?”
Sarah hanya menanggapi dengan senyum-senyum tidak jelas. Gadis itu sudah tidak kaget lagi dengan ucapan-ucapan Pak Harun, kepala sekolah yang sangat menyenangkan dan disayangi oleh guru atau staf yang lain.
Jelas Pak Harun becanda. Ia hanya berusaha mengompori agar semakin riuh untuk menyudutkan Sarah si gadis polos yang pendiam.
***
“Huft capeknya,” keluh Sarah ketika sampai di pagar bambu bercat biru yang mengelilingi rumahnya.
Ia pun masuk ke halaman rumah dan bertemu Abi nya yang sudah berpakaian rapih, berbaju kokoh memakai peci dan membawa sajadah keluar dari pintu depan.
“Mau ke masjid, Bi?” sapa Sarah sembari menyalimi tangan kanan Abi.
“Iya, kamu jalan kaki?”
Sarah menggeleng. “Nebeng sama Mbak Nela sampai depan gang.”
“Oh,” Abi mengangguk pelan. “Ya sudah, nanti kamu jangan tidur dulu Sar, Abi mau bicara.”
“Iya Bi,” jawab Sarah mengangguk. Ia memperhatikan Abi yang mulai menjauh dari halaman rumah.
Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang akan dibicarakan Abinya itu. Namun rasa penasaran tersebut harus Sarah tahan dulu.
Karena matahari sangat terik sekali. Sarah tidak tahan untuk berdiam diri lebih lama di halaman rumah. Ia pun segera masuk dan menuju kamarnya setelah menyalimi Umi yang sedang membaca buku di ruang tengah.
***
Sampai di kamar dan setelah mengunci pintu kamar, Sarah membuka hijab dan kemudian mengganti seragam kerja longgarnya dengan memakai kaos oblong serta celana training. Dia kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur sambil memejamkan mata sejenak.
Mungkin jika tak ingat bahwa Abi akan bicara, Sarah akan terlelap seperti biasanya. Sepulang kerja langsung tidur, begitulah kebiasaan Sarah.
“Lagian Abi mau bicara apa ya?” pertanyaan yang dilontarkan Sarah menguap dengan sendirinya tanpa ada yang menjawab.
Daripada semakin penasaran akhirnya Sarah memainkan ponsel, membuka status wha*sapp satu persatu teman-temannya. Dan kemudian tibalah pada status wha*sapp yang menampilkan foto candid seseorang di sebuah pusat perbelanjaan. Adilla, nama kontak si pemilik status tersebut.
(Sarah) : Jadi pingin main ke Jakarta.
Sarah membalas pada status foto tersebut. Tidak lama kemudian bunyi notifikasi pun masuk dari Dilla.
(Dilla) : Sini lah
(Dilla) : Jangan di kampung terus.
(Sarah) : Hahaha iya iya yang sudah jadi anak kota mah
(Sarah) : Enak ya Dil di Jakarta?
(Dilla) : Emang Jakarta makanan Sar haha
(Dilla) : Jakarta itu kejam sis, enak nggak enak harus dienak enakin
(Sarah) : Ya tapi tetap aja pingin kerja di Jakarta
Tok.. tok.. tok..
Suara ketukan pintu mengagetkan Sarah yang sedang berbalas chat dengan sahabatnya Dilla.
“Sar, ayo makan siang, sudah ditunggu Abi,” ucap Umi dibalik pintu.
“Oh iya Mi sebentar,” balas Sarah dan segera turun dari ranjang. Ia pun langsung keluar kamar dan menyusul Umi menuju ruang makan di dapur.
***
Suara dentingan sendok dan piring menguasai sepenuhnya di ruang makan. Abi, Umi dan Sarah tampak khusyuk memakan hidangan yang tersaji.
Sayur asam, tempe goreng, sambal terasi serta kerupuk merupakan sajian nikmat yang Sarah sukai. Sebetulnya ia suka apapun masakan Umi. Tidak pilih-pilih, jika Uminya yang memasak apapun akan ia makan dan sukai.
“Gimana di sekolah Sar? Makin betah?” tanya Abi membuka obrolan.
Sarah mendongak melihat Abi yang sudah selesai makan. Ia sendiri baru akan menambah sayur asam jadi belum selesai makan.
“Betah-betah aja sih Bi, tapi ya itu, sebenarnya Sarah pingin cari pengalaman kerja yang lain, pingin kerja di Jakarta.”
“Masih pingin kerja? belum mau menikah?” tanya Abi.
Sarah diam sejenak, ia melirik Umi yang hanya diam saja, padahal biasanya Umi paling cerewet membuka obrolan di meja makan. Karena itulah Sarah sadar bahwa apa yang akan dibicarakan Abinya mengenai masalah yang serius, apalagi tiba-tiba bertanya mengenai menikah. Sarah tiba-tiba merasakan kekhawatir pada dirinya.
“Ya sebenarnya masih pingin kerja dulu sih Bi, pingin cari pengalaman,” jawab Sarah pelan.
“Kalau Abi nyuruh kamu menikah bagaimana?”
“Hah? menikah?” ucap Sarah kaget bukan main. Padahal Abi bertanya dengan tenang dan biasa saja, namun itulah yang membuat Sarah was-was.
Ia tidak lupa bahwa kakak dan abangnya menikah secara perjodohan. Dan kenyataan itulah yang membuat Sarah semakin was-was.
“Menikah ya Bi, itu...” Sarah menggaruk tengkuknya merasa bingung, padahal ia ingin mengucapkan banyak alasan. Misalkan saja dia masih muda, masih ingin bekerja, masih ingin mencari pengalaman dan tentunya masih ingin sendiri. Tetapi alasan-alasan itu tertelan dengan sendirinya ketika melihat raut wajah Abi yang sangat tenang.
“Itu Bi, Sarah belum ada calonnya,” akhirnya hanya itu alasan yang keluar dari mulut Sarah. Ia sendiri tidak yakin bahwa alasan tersebut mampu menekan Abinya.
“Masalah calon, Abi sudah menyiapkan.”
Kan!
Sarah Diba Alaesya merupakan anak bungsu Kyai H. Zaelani dan Hj. Aisyah. Seorang gadis yang dikenal polos, pendiam dan alim karena pakaian kebesaran yang ia kenakan. Namun bagi Sarah sendiri ia bukan orang yang seperti orang lain gambarkan. Ia belum alim seperti dugaan orang lain hanya karena pakaian kebesaran dan reputasi keluarga yang religius. Ia hanyalah gadis biasa seperti teman-temannya tidak terlalu polos dan juga tidak terlalu pendiam. Bahkan menurut Sarah sendiri, ia termasuk pembangkang dibanding kakak dan abangnya. Ia merupakan anak bungsu yang berkemauan keras, egois dan keras kepala. Tidak segan-segan membantah jika ada keputusan yang kurang pas menurutnya. Seperti sekarang, suasana menyenangkan yang tadi melingkupi ruang makan kini menjadi tidak mengenakkan. Bukan menegangkan tetapi tidak mengenakan bagi Sarah. Hasrat makannya pun telah pudar beberapa menit yang lalu, ia menatap pada semangkok sayur asam tidak lagi berminat seperti sebelumnya.
Menikah adalah impian semua orang termasuk juga Sarah. Namun jika ditanya perihal bagaimana penikahan yang ia impikan. Sarah pasti akan menjawab dengan tegas, pernikahan yang sederhana, saling mencintai satu sama lain, saling menerima dan sama-sama mengharai.Sarah walaupun dari keluarga religius, ia tidak memiliki tipe pria spesifik seperti kakaknya Hanum. Dulu Hanum memiliki tipe pria yang sholeh, rajin beribadah, perangai yang baik, bertanggung jawab dan ditambah memiliki wajah yang tampan supaya paket komplit katanya. Tapi bagi Sarah itu terlalu berlebihan.Ia menyederhanakan tipe pria nya sendiri yaitu bertanggung jawab, berpikiran terbuka dan bisa menghargai orang lain.Bertanggung jawab tandanya mampu mempertanggung jawabkan komitmen-komitmen hidup berumah tangga. Berpikir terbuka artinya mau sama-sama belajar dan beradaptasi. Sedangkan menghargai orang lain supaya bisa menghargai keberadaan satu sama lainnya.Namun itu semua bisa dilihat dengan ca
“Loh kok sudah pulang Sar?” Pertanyaan Umi menyambut Sarah yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ia kemudian menyalimi tangan Uminya yang sedang duduk membaca buku di sofa ruang tamu. “Sudah Mi, izin sama Pak Harun soalnya mendadak pusing,” jawab Sarah dengan apa adanya. Ia tidak bohong saat mengatakan pusing. Umi pun meneliti raut wajah anak bungsunya yang sedikit pucat dan lesu. Padahal saat berangkat Sarah tampak segar dan baik-baik saja. “Kamu sakit?” “Nggak tau Mi cuma sedikit pusing aja, Sarah pamit istirahat dulu ya Mi?” Umi mengangguk. “Yasudah, kalau belum baikan makan dan langsung minum obat.” Sarah hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan lesu menuju kamarnya. Rasanya ia benar-benar ingin istirahat. Lelah sekali, padahal Sarah tidak banyak tugas hari ini. Ia hanya mendengarkan cerita Bu Yanti saja. Sesampainya di kamar, Sarah langsung menutup pintu kamarnya, kemudian meletakkan tas selempang ke sembarang tempat
“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya. Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang. Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager. “Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu. “Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.” Mas? Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya
“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.” Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven. “Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian. “Gosong sampai item?” “Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.” Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek. “Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah. Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti b
"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu juga duduk, masa berdiri.”“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datang
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya
Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin
"Makan dulu Bay." Adilla menyodorkan nampan makan yang dibawakan oleh perawat tadi kehadapan laki-laki yang duduk di atas brangkar tempat tidurnya. Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas siang. Harusnya Dilla sudah kembali ke mes dan bersiap untuk berangkat kerja. Namun karena masih sekitar dua jam lagi waktu masuk, jadi perempuan itu habiskan untuk membantu temannya yang sedang sakit terlebih dahulu. Sebab bagaimana pun Bayu telah banyak menolongnya. "Malas Dil, makan-makanan yang begitu," tolak Bayu tanpa sungkan. "Gue juga cuman kecapean doang, bukan sakit sekarat yang harus makan bubur nggak ada rasa," lanjutnya. "Terus gue harus gimana?" tanya Dilla mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang setelah meletakkan nampan di meja nakas. "Beliin gue makanan lain di luar." "Ngelunjak," sungut gadis pirang itu. "Ya gimana ... lo nggak mau lihat temen lo sehat lagi?" Adilla menghela nafas, dari pada berdebat dan semakin panjang
[Flashback] Berawal dari kisah kanak-kanak. Mereka semua memang suka bermain bersama, Sarah, Bayu, Adilla dan teman-teman seumuran lainnya. Saat sekolah Adilla dan Sarah selalu berangkat bersama, kemudian ketika pulang teman-teman yang rumahnya searah dengan mereka termasuk Bayu ikut pulang bersama. Masa kanak-kanak yang biasa, bercanda ria, berceloteh tentang permainan-permainan yang akan mereka mainkan. Atau hanya mengobrol sesuatu yang mereka tau. Namun beranjak remaja dan menginjak sekolah menengah pertama, ada hal-hal aneh yang dulu mereka anggap biasa saja malah menjadi sesuatu yang ambigu. Tentang perasaan lawan jenis yang sulit terdeskripsikan dan sulit dimengerti untuk Sarah. Perhatian-perhatian yang ia dapatkan dengan teman menimbulkan getaran aneh. Ia memahaminya sebagai rasa suka terhadap lawan jenis. Tetapi gadis itu selalu menyangkal sebab ia adalah anak seorang yang terkenal religius di kampungnya. "Sar
Jika diingat kembali, dulu adalah masa kanak-kanak yang membahagiakan. Bermain dan tertawa, saling canda ria tanpa beban yang ditanggung. Namun ketika mulai beranjak remaja hingga dewasa, mengapa banyak masalah yang timbul. Mengapa selalu menyakiti diri sendiri mengenai cinta. Harusnya cinta adalah sesuatu yang membahagiakan untuk kedua belah pihak. Bukan untuk saling menyakiti atau memberikan bekas rasa sakit yang sulit tersembuhkan. Namun bodohnya Sarah, rasa sakit yang ia rasakan bercampur dengan cinta yang sulit di hilangkan. Benarkah dia masih mencintai Bayu? Benarkah ia masih menyimpan rasa suka itu kepada orang yang salah? "Sarah," suara pelan nan lembut memanggil. Perempuan berhijab yang melamun memperhatikan luar jendela kaca mobil itu sempat tersentak kaget. Dia telah terbuai dengan pikiran rumitnya, hingga lupa bahwa ada Rafi di sampingnya. "Ada yang mau dibicarakan?" tanya laki-laki itu menoleh sesaat yang kemudian kembali fokus me