“Oh iya halo,” suara lembut seorang wanita menyapa ramah gendang telinganya.
Laki-laki itu pun berdiri meninggalkan kursi kebesarannya untuk menuju sofa di ruang kerjanya. Tubuhnya tinggi, tegap, berbalut jas formal yang pas di badan sehingga menambah kesan karismatik sesuai dengan tampangnya yang bersih dan enak dipandang.
Di satu-satunya meja kerja terdapat name tag stand yang menampilkan namanya beserta jabatan yang disandang. Yaitu Rafi Anggara Jaya dengan jabatan marketing manager.
“Maaf Sarah, apa saya ganggu? Kamu lagi sibuk?” pertanyaan itu terlontar akibat tidak ada respon setelah beberapa kali ia menghubungi wanita itu.
“Nggak terlalu sibuk, ini baru pulang kerja, maaf Mas tadi belum sempat respon chatnya.”
Mas?
Entah bagaimana panggilan umum itu membuat Rafi berdebar sejenak. Ia selalu dipanggil Mas di rumah karena memiliki adik, namun saat Sarah yang faktanya merupakan wanita yang akan dijodohkan dengannya memanggil Mas, terasa saja anehnya, berbeda dengan yang lain.
“Oh baru pulang kerja, berarti saya mengganggu ya karena mungkin kamu mau istirahat?”
Rafi menyenderkan punggungnya ke sofa setelah melepas kancing jas dan melonggarkan dasi yang terasa mencekik. Jam di dinding menunjukkan pukul satu yang tandanya ia telah melewatkan waktu istirahat sekali lagi.
“Nggak, nggak ganggu juga.”
“Kok ada juganya?” tanya Rafi langsung.
“Maksudnya nggak ganggu.”
Laki-laki itu tersenyum simpul. Jabatan sebagai marketing manager membuatnya mampu berkomunikasi dengan baik walaupun dengan orang yang sebelumnya belum ia kenali. Apalagi jabatan tersebut sudah ia emban selama tiga tahun terakhir. Tepatnya pada usia 23 tahun Rafi sudah menjabat sebagai marketing manager. Sedangkan pada usia 19 tahun ia sudah bekerja di perusahaan tempatnya bekerja kini sembari berkuliah.
“Baiklah kalau seperti itu, saya menghubungi kamu karena mau berkenalan lebih dulu, sebelum berdiskusi lebih lanjut tentang perjodohan yang sudah diniatkan oleh keluarga, oh ya kamu sudah tau kan kalau kita akan dijodohkan?”
“Iya sudah tau.”
“Jadi bagaimana menurut mu, Sarah?”
Pertanyaan itu tidak langsung mendapat jawaban. Tidak ada suara yang mampu Rafi dengar sehingga ia kembali berkata.
“Kalau kamu mau menolak nggak apa-apa, nggak usah sungkan ataupun nggak enak hati, saya orangnya fleksibel menerima kalau kamu menerima, menolak kalau kamu menolak.”
“Maaf Mas saya belum bisa mengambil keputusan, saya belum tau karena terlalu mendadak.”
“Oke nggak masalah, itu wajar karena ini menyangkut pernikahan, nggak bisa diburu-buru dan mendadak seperti ini,” kata Rafi menanggapi dengan santai.
“Mungkin besok saya bisa kasih keputusan.”
“Nggak usah terlalu terburu,” jawab Rafi agak kaget juga dengan perkataan Sarah yang ia nilai terburu-buru.
“Gak papa, karena pada akhirnya harus menerima juga kan?”
Suara itu pelan terdengar namun masih mampu masuk ke pendengaran Rafi. Dari dalam lubuk hatinya ia merasa bersimpati akan keadaan Sarah yang seperti sudah pasrah dan tidak mampu melawan. Tetapi Rafi tidak bisa berkata-kata selain mengakhiri sambungan telepon dan memberikan kalimat menenangkan agar tidak tergesa-gesa. Bahkan ia juga memberikan opsi untuk membantu Sarah jika ingin menolak perjodohan.
Entahlah, Rafi hanya reflek berkata demikian. Ia sendiri tidak ada niatan untuk menolak seperti perjodohan-perjodohan sebelumnya yang dicanangkan oleh Mama nya.
Mungkin karena sudah lelah, atau karena perempuan yang akan dijodohkan Mama nya adalah Sarah?
Rafi pun tak tau, intinya saat melihat beberapa foto Sarah yang diberikan Mama nya, ia merasa sedikit tertarik sehingga tidak langsung menolak seperti sebelumnya. Sebab Rafi tidak bisa memungkiri keadaan yang ada, kenyataan alami seorang laki-laki yang tertarik dengan apa yang terlihat lebih dulu. Yaitu paras Sarah yang cantik alami. Dan ditambah dengan pernyataan yang benar bahwa sebejat-bejatnya lelaki tetap menginginkan perempuan baik-baik untuk menjadi istrinya.
Jujur, ia bukanlah laki-laki baik yang religius sebanding dengan Sarah dan keluarganya yang pernah ia dengar dari cerita Papa. Rafi kecil hingga besar tinggal di Jakarta yang mana sudah berteman akrab dengan hal baik-baik dan hal buruk.
Oleh karena itulah kombinasi kehidupan baik dan buruk Rafi jalani, sehingga ketika teman akrabnya yang bernama Aldi tau ia akan dijodohkan dengan wanita yang berpenampilan seperti Sarah langsung berkomentar.
“Kasian gue sama si Sarah, kok bisa dapetnya elo.”
Bahkan Aldi dengan mulut lemes nya juga berkomentar, “lo harus tobat, belajar wudhu yang bener, sholat lima waktu, bersyahadat di depan ustad masuk agama Islam.”
“Anjir, lo pikir gue non islam.”
“Islam buat identitas doang, tapi hidup jauh dari agama.”
“Ngaca njiir, gue hidup jauh dari agama, lo lebih jauh.”
“Makanya itu lo mesti tobat, untung Tuhan masih baik sama lo.”
Tobat?
Rasa-rasanya Rafi mulai merasa tertohok dengan kenyataan yang ada. Ia pun langsung meluruhkan dirinya ke sofa dan menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang jadi kemana-mana.
***
“Eh Mas Rafi, sini bentar.”
Ucapan Mama menghentikan langkah Rafi yang baru saja melewati ruang tamu. Ia baru pulang dari kantor dan masih berpakaian kerja lengkap. Niatnya ingin langsung ke kamar tanpa lebih dulu menyapa Mama dan adik perempuannya yang sedang asik menonton tv di ruang keluarga. Namun karena di panggil, ia pun berbalik tidak jadi menaiki tangga penghubung menuju lantai dua.
“Apa Mah?”
“Sini, Mama mau kasih kabar gembira.” Perkataan Mama yang sangat antusias menarik perhatian Rafi untuk semakin mendekat. Bahkan Bella, adik Rafi pun juga beralih ke Mama dan jadi ikut penasaran.
“Kamu sudah hubungi calon mantu Mamah?”
“Sudah,” jawab Rafi cepat. Ia bisa melihat cahaya di mata Mama, berbinar terang ketika mengatakan ‘calon mantu mamah’. Siapa lagi jika bukan Sarah.
“Emang kamu bilangnya gimana?” tanya Mama yang membuat anak sulungnya itu bingung.
“Bilang gimana apanya?”
“Kata Papa, Sarah sudah nerima perjodohan ini.”
“Hah demi apa!” Bukan Rafi yang berseru kaget melainkan Bella yang jadi heboh sendiri. Gadis berusia 20 tahun itu bahkan menatap kakaknya dengan tatapan curiga sekaligus menuntut jawaban.
“Lo ngomong apa ‘dah Mas? Masa Mbak Sarah cepat banget nerimanya.”
“Iya kamu ngomong apa Mas?” Mama ikutan bertanya. Sebab suaminya pernah memberitahu bahwa mungkin butuh waktu untuk Sarah memberikan jawaban. Suaminya itu diberi tahu Zaelani, Abi Sarah sendiri.
“Tapi ya bagus berarti Sarah bakal jadi mantu Mamah.”
Mama tiba-tiba berseru senang, ia jadi tidak begitu peduli dengan apa yang diobrolkan anak dan calon menantunya. Sebab yang terpenting adalah anak sulungnya akan segera menikah dengan gadis baik-baik. Yaitu impian sejak lama yang ingin Mama lihat dan wujudkan sehingga ia selama tiga bulan terakhir bekerja dengan keras mencari gadis-gadis baik untuk dijodohkan dengan anak sulungnya itu.
“Lo nggak maksa Mbak Sarah kan Mas? Ancem-ancem dia?” tanya Bella masih menuntut jawaban.
“Nggak lah,” jawab Rafi. Ia sebetulnya kaget bukan main, masalahnya Sarah bilang kepadanya akan memutuskan besok. Tapi hari belum berganti namun Sarah sudah memutuskan. Apakah itu tidak terlalu cepat? Namun kenapa muncul sedikit perasaan senang dalam diri Rafi?
“Sudah, kamu ini Bell nggak percaya sama kemampuan negosiasi Mas mu sendiri,” lerai Mama yang sungguh tidak peduli dengan mengapa Sarah cepat menerima perjodohan. Ia sudah tidak tahan untuk menyiapkan berbagai rencana tentang pernikahan anaknya. Karena itulah ia menoleh pada anak sulungnya semakin berbinar.
“Besok pagi kita langsung diskusi sama papa ya, sekarang papa tidur kecapaian, mama sih maunya cepat cepat, minggu besok kita ke rumah Sarah buat lamaran, minggu berikutnya langsung resepsi ijab kabul, nanti mama yang siapin semuanya.”
Rentetan ucapan Mama yang seperti sudah merencanakan banyak hal itu membuat Rafi pasrah saja. Ia tidak ingin berdebat dengan mamanya dan menghilangkan binaran kebahagiaan di mata wanita yang melahirkannya itu.
“Terserah mama sama papa saja nanti, ini aku mau keatas, mandi dan istirahat, capek mah,” ucap Rafi. Ia berencana untuk menghubungi Sarah, meminta penjelasan alasan mengapa keputusannya cepat sekali.
Karena masih teringat dengan jelas kalimat pasrah yang gadis itu ucapkan di sambungan telepon, “Gak papa, karena pada akhirnya harus menerima juga kan?”
Memang ada perasaan senang yang muncul ketika mendengar kabar bahwa perempuan itu menerima perjodohan, namun perasaan tak tega juga dirasakan Rafi. Ia bisa membantu jika Sarah ingin menolak saja. Namun sudah panggilan ke lima, Sarah tidak mengangkat teleponnya, bahkan Rafi sudah mengirimi banyak chat dan sama sekali tidak dibalasnya.
“Itu kue nya sudah matang belum, coba kamu liatin dulu.” Sarah pun hanya mengangguk. Gadis itu meletakkan pisau ke wastafel kemudian mencuci tangannya dan beralih ke pemanggangan untuk melihat kue brownis terakhir yang di oven. “Sudah matang Mi, tapi kayaknya agak gosong.” Sarah mengeluarkan loyang yang ada di urutan tiga paling bawah, kemudian ia juga mengeluarkan kedua loyang dari urutan satu dan dua bergantian. “Gosong sampai item?” “Nggak sampai item, cuman coklat kaya gini.” Gadis itu menunjukkan sisi bawah kue brownis yang tampak kecoklatan kearah Uminya yang sedang mengulek bumbu dengan cobek. “Nggak papa, yang agak gosong-gosong itu buat makan kita saja, nggak disuguhkan ke tamu,” kata Umi yang kemudian diangguki Sarah. Beberapa jam sudah berlalu, Sarah dan Umi sudah sibuk di dapur sejak jam di dinding menunjuk pukul lima dini hari. Dan sekarang baru pukul tujuh sedangkan Sarah sudah berkeringat seperti b
"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu juga duduk, masa berdiri.”“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datang
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s
Perkara menjadi diri sendiri, Sarah pernah merasakannya sewaktu kost di kota sembari kuliah. Di sana ia tinggal bersama dua teman satu jurusan. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Sebab saat itu Sarah benar-benar merasa plong, seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Karakternya yang sebenarnya penyuka kebebasan pun tereksplor semasa kuliah dan semasa menjadi anak kost.Sarah sering berjalan malam menjelajah jalanan hanya semata ingin terkena sepoi angin malam, supaya menghilangkan stres akibat tugas menumpuk. Lalu tak lupa pulangnya membeli es krim. Teman-temannya juga sering mengajak traveling ramai-ramai dengan motor selepas ujian. Saat satu kost gabut ditanggal tua, Sarah dan kedua temannya itu akan berjalan sore hingga malam menjelajah jalanan tanpa tujuan dan kemudian balik setelah lelah. Kurang kerjaan, tetangga lain berpikiran seperti itu. Namun bagi Sarah dan kedua temannya itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk untuk menggenggam kebahagi
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya
Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin
"Makan dulu Bay." Adilla menyodorkan nampan makan yang dibawakan oleh perawat tadi kehadapan laki-laki yang duduk di atas brangkar tempat tidurnya. Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas siang. Harusnya Dilla sudah kembali ke mes dan bersiap untuk berangkat kerja. Namun karena masih sekitar dua jam lagi waktu masuk, jadi perempuan itu habiskan untuk membantu temannya yang sedang sakit terlebih dahulu. Sebab bagaimana pun Bayu telah banyak menolongnya. "Malas Dil, makan-makanan yang begitu," tolak Bayu tanpa sungkan. "Gue juga cuman kecapean doang, bukan sakit sekarat yang harus makan bubur nggak ada rasa," lanjutnya. "Terus gue harus gimana?" tanya Dilla mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang setelah meletakkan nampan di meja nakas. "Beliin gue makanan lain di luar." "Ngelunjak," sungut gadis pirang itu. "Ya gimana ... lo nggak mau lihat temen lo sehat lagi?" Adilla menghela nafas, dari pada berdebat dan semakin panjang
[Flashback] Berawal dari kisah kanak-kanak. Mereka semua memang suka bermain bersama, Sarah, Bayu, Adilla dan teman-teman seumuran lainnya. Saat sekolah Adilla dan Sarah selalu berangkat bersama, kemudian ketika pulang teman-teman yang rumahnya searah dengan mereka termasuk Bayu ikut pulang bersama. Masa kanak-kanak yang biasa, bercanda ria, berceloteh tentang permainan-permainan yang akan mereka mainkan. Atau hanya mengobrol sesuatu yang mereka tau. Namun beranjak remaja dan menginjak sekolah menengah pertama, ada hal-hal aneh yang dulu mereka anggap biasa saja malah menjadi sesuatu yang ambigu. Tentang perasaan lawan jenis yang sulit terdeskripsikan dan sulit dimengerti untuk Sarah. Perhatian-perhatian yang ia dapatkan dengan teman menimbulkan getaran aneh. Ia memahaminya sebagai rasa suka terhadap lawan jenis. Tetapi gadis itu selalu menyangkal sebab ia adalah anak seorang yang terkenal religius di kampungnya. "Sar
Jika diingat kembali, dulu adalah masa kanak-kanak yang membahagiakan. Bermain dan tertawa, saling canda ria tanpa beban yang ditanggung. Namun ketika mulai beranjak remaja hingga dewasa, mengapa banyak masalah yang timbul. Mengapa selalu menyakiti diri sendiri mengenai cinta. Harusnya cinta adalah sesuatu yang membahagiakan untuk kedua belah pihak. Bukan untuk saling menyakiti atau memberikan bekas rasa sakit yang sulit tersembuhkan. Namun bodohnya Sarah, rasa sakit yang ia rasakan bercampur dengan cinta yang sulit di hilangkan. Benarkah dia masih mencintai Bayu? Benarkah ia masih menyimpan rasa suka itu kepada orang yang salah? "Sarah," suara pelan nan lembut memanggil. Perempuan berhijab yang melamun memperhatikan luar jendela kaca mobil itu sempat tersentak kaget. Dia telah terbuai dengan pikiran rumitnya, hingga lupa bahwa ada Rafi di sampingnya. "Ada yang mau dibicarakan?" tanya laki-laki itu menoleh sesaat yang kemudian kembali fokus me