"Disini saja, silahkan duduk Mas." Sarah buru-buru beralih ketika pandangan mata mereka bertemu. Senyum simpul terbit di bibir laki-laki tampan itu ketika melihat calon istrinya yang masih malu-malu karena belum kenal.
Sejujurnya Rafi juga merasa gugup. Ia sudah terbiasa berdiskusi dengan klien yang tidak ia kenali sebelumnya, dari yang penting hingga biasa saja, tapi dengan Sarah tetap saja gugup apalagi ini adalah pertemuan pertama mereka.
“Kamu juga duduk, masa berdiri.”
“Oh iya!” seru Sarah tiba-tiba kaget sendiri. Ia sontak duduk di satu kursi kosong sebelah Rafi namun dibatasi dengan meja bundar kecil di sisinya.
Laki-laki itu pun tidak bisa menahan senyum gelinya atas tingkah Sarah. Ia berdehem agar mengurangi kecanggungan yang ada.
Suasana di teras rumah tampak segar dengan angin sepoi. Apalagi rumah Sarah banyak tertanam bunga dan pohon yang terawat. Walaupun sederhana, Rafi terkesan dengan rumah yang baru ia datangi itu. Ia juga merasa nyaman berada di desa. Jarang sekali ia pergi ke tempat yang masih asri, dengan penduduk yang masih alami dan suasana yang tidak sumpek akan keramaian.
Rafi menghirup udara dalam-dalam dan merasakan perbedaannya. Segar, tidak seperti udara yang ia hirup di Jakarta.
“Saya pertama kali datang ke desa, ternyata nyaman juga,” ucap Rafi mengawali pembicaraan. Ia menoleh ke gadis ayu disampingnya. Benar-benar cantik, berbeda dengan cantiknya perempuan kota, pikir Rafi.
“Enak ya Sarah, tinggal di desa?” tanyanya membuat Sarah menoleh sekilas saja. Gadis itu kembali memandang depan sembari meremas-reman jemarinya sendiri. Sarah pun menghela nafas, ia harus menghilangkan kegugupannya.
“Ya nggak juga,” sahut Sarah memberanikan diri. “Bagi orang seperti Mas Rafi yang tinggal di kota pasti selalu menganggap di desa enak, tapi bagi kami sebaliknya menganggap hidup di kota juga enak.”
“Oh iya ya, berarti kamu ingin hidup di kota?”
Sarah tidak ragu untuk mengangguk. “Ingin merasakan hidup di kota,” katanya.
“Saya tinggal di Jakarta,” ucap Rafi. “Nanti kamu bisa merasakan hidup di Jakarta.”
Sarah tidak lagi menyahut. Ia tiba-tiba merasa canggung lagi, teringat dengan statusnya yang akan datang. Karena Sarah selalu memimpikan Jakarta untuk mencari pengalaman bekerja, merintis karir dan juga beradaptasi hidup di kota. Namun jika Sarah datang kesana dengan status baru yang ia sandang, pasti tidak ada harapan lagi impian itu bisa dirasakan.
“Sarah,” panggil Rafi yang membuyarkan lamunan gadis disampingnya. “Kalau boleh tau, kenapa seminggu ini saya nggak bisa menghubungi kamu?”
Pertanyaan itu terlontar dengan hati-hati. Takut jika menyinggung dan terkesan sangat ingin tau. Namun nyatanya Rafi memang ingin tau mengapa ia tidak bisa menghubungi Sarah seminggu yang lalu. Sebab melihat sorot mata melamun tadi, membuat sesuatu dalam diri Rafi merasa simpati. Ia merasa tidak bisa menahannya untuk langsung bertanya.
“Maaf Mas, ponselnya saya matikan, belum saya hidupkan.”
“Kenapa?” tanya Rafi yang kini menyoroti penuh gadis disampingnya. “Kenapa dimatikan?” tanyanya sekali lagi.
Sarah tidak langsung menjawab. Sebab ia terhipnotis sesaat dengan sorot mata itu. Penuh simpati dan lembut.
“Karena waktu itu lowbat, terus saya lupa cas,” jawabnya dan langsung mengalihkan mata.
Rafi sendiri tau jika gadis itu berbohong dengan kata-katanya. Sarah terlalu menutup diri, bahkan dengan orang tua pun dia menutup perasaannya yang seungguhnya. Laki-laki itu bisa tau karena melihat sorot mata kebingungan dan kesedihan yang terpancar dibalik mata pasrah dan menurut milik Sarah. Karena mata tidak pernah bisa berbohong walau bibir sedang tersenyum.
Rafi pun hanya bisa menghela nafas. Ia tidak bisa memaksa agar Sarah mau membuka sedikit perasaannya yang sesungguhnya. Bisa-bisa, Sarah akan mencapnya sebagai orang yang terlalu kepo dengan privasi orang lain.
“Padahal saya waktu itu mau diskusi banyak hal karena juga melibatkan kamu,” sahut Rafi pada akhirnya.
“Maaf,” ucap Sarah yang tidak bisa berkata lain.
“Saya ambil cuti sepuluh hari dan sudah mendiskusikan sama orang tua saya, bahwa seminggu kedepan langsung acara pernikahan, supaya nggak bolak-balik Jakarta Palembang.” Rafi menerka ekspresi wajah gadis disampingnya. Kaget, sesuai ekspetasinya.
“Maaf Sarah, saya nggak bermaksud untuk semena-mena, karena sebetulnya saya bisa bantu kamu untuk menolak kalau kamu ingin menolak, tapi Mama bilang kalau kamu sudah setuju dan terlebih saya nggak bisa menghubungi kamu. Jadi, yang bisa saya lakukan ya melangkah maju dan membuat rencana untuk kedepan.” Rafi membuang nafasnya sejenak kemudian kembali berkata. “Saya termasuk orang yang perhitungan, apalagi masalah waktu dan pekerjaan, jadi saya pikir kalau bisa cepat maka akan lebih baik.”
Sarah hanya diam, mencerna segala ucapan laki-laki disampingnya. Otaknya sekarang sedang lambat bekerja untuk memahami perkataan orang lain. Bahkan ia seketika linglung dan rasa pusing mulai menjalari kepalanya. Sampai-sampai Sarah memejamkan matanya karena siapa tau ia sedang bermimpi seperti waktu itu saat akan bertemu dengan Rafi. Dan siapa tau kejadian sekarang hanya lanjutan mimpi kemarin yang tak nyata. Siapa tau juga ini hanya halusinasi Sarah saja yang sedang banyak pikiran. Siapa tau—
“Sarah,” panggil Rafi yang kembali membuyarkan lamunan perempuan disampingnya itu.
Sarah seketika menoleh. Dengan sangat jelas dan nyata Rafi melihat bola mata yang berair dan sedikit memerah.
“Pegang janji saya kalau saya nggak akan menuntut banyak hal sama kamu. Hidup lah dengan nyaman bersama saya, dan anggap saja saya teman kamu atau sahabat kamu, jangan terbebani dengan simbol penikahan.”
Karakteristik kampung yang mana gosip akan cepat menyebar luas memang benar adanya. Satu orang berbicara dengan satu orang lainnya. Kemudian satu orang lainnya kembali berbicara dengan geng ibu-ibu gosip dan kemudian menyebar luas lagi hingga seluruh kampung tau. Sehingga yang sedang dibicarakan itu menjadi hot news dan viral.Dan Sarah seminggu yang lalu dari acara pertunangan hingga sekarang acara pernikahan akan digelar menjadi headline mulut ke mulut orang-orang di kampungnya.“Anak bungsunya Pak Zaelani dijodohkan lagi, apa nggak memaksa kehendak anak kalau begitu?”“Eh Bu Tiya nggak tau aja sih, calon lakinya itu kaya loh, kayak Hanum waktu dulu, suaminya kan kaya raya, sekarang pasti hidupnya tentram dan betah-betah aja, nggak kayak awal sampai menghebohkan kampung nolak perjodohan.”“Maksudnya kok dijodoh-jodohkan segala, kalo memang berjodoh kan ketemu juga.”“Duh Bu,
[Keesokan hari setelah acara pernikahan berlangsung] “Abi, Umi, izin untuk bawa Sarah ke Jakarta, tinggal bersama saya. Saya akan perlakukan dengan baik anak bungsu Umi dan Abi.” Perkataan Rafi mengundang perhatian Sarah yang tadi hanya menunduk. Ia sendiri duduk berdampingan dengan Rafi di ruang tamu. Di hadapan mereka Umi dan Abi juga duduk bersebelahan. Sedangkan di sudut lainnya Bang Rizam bersama istrinya Mbak Anya, serta Kak Hanum dengan suaminya Kak Fajar. Keponakan-keponakan Sarah yaitu Attamimi, Bilqis dan Deva sedang bermain di teras. Rafi berkata tegas dan bersungguh-sunggu dengan ucapannya. Bang Rizam selaku Abang yang sangat menyayangi adik bungsunya itu merasa bersyukur dan semakin rela melepaskan sang adik. Sebab ia walaupun terlihat tidak begitu ikut campur dengan perjodohan Sarah, namun nyatanya sebelum acara pertunangan sang adik, Rizam lebih dulu menghubungi Rafi, berbincang-bincang untuk menilai calon dari adiknya itu. “Meman
Pagi sudah menjelang, tidak ada suara ayam yang berkokok, namun sempat ada suara deru mobil di luar. Sarah yang baru saja menyelesaikan ibadah subuh pun segera melipat sajadah dan mukenanya. Lalu meletakkannya kembali ke dalam lemari geser menempel dinding. Awalnya Sarah tertegun dengan kamar tidur yang akan ia tempati. Saat pertama kali Rafi membuka pintu kamarnya dengan lebar-lebar, wanita itu hanya bisa terpesona. “Sebenarnya ini kamar cadangan, kalau ada tamu bisa tidur di kamar ini, tapi sekarang sudah jadi kamar kamu, sudah saya rapihkan sedikit juga, tapi maaf kalau nggak sesuai sama kamu.”
“Kamu bisa memilih apapun buat stok bahan masakan,” kata Rafi sembari mendorong trolly disamping Sarah. Laki-laki itu berpakaian santai, kaos oblong dan celana bahan. Sedangkan Sarah memakai pakaian kebesarannya, rok dengan kemeja oversize dan hijab pashmina menutupi dada. “Karena saya nggak tau soal dapur, jadi saya menyerahkan dan percaya ke kamu,” ucap laki-laki itu sekali lagi karena melihat kesungkanan wanita disampingnya. Kini mereka sudah berada di rak bumbu-bumbu dapur dan sayuran di sebuah supermarket daerah Mampang Jakarta Selatan. Sarah mengamati secara seksama, namun yang paling ia amati tentu adalah harganya yang cukup mahal menurutnya. Dengan harga seperti itu Sarah semakin sungkan untuk mengambil banyak bahan masakan. “Sarah,” panggil Rafi. “Ambil-ambil aja,” katanya lagi. Sarah menghela nafas, ia pun kemudian mengangguk dan mulai mengambil bahan masakan yang sangat diperlukan seperti cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, sa
Pada layar ponsel, jam analog menunjukkan angka 4. Kesunyian melanda sebab di luar masih petang, hanya beberapa kali terdengar suara kendaraan dengan samar. Sedangkan waktu subuh juga masih lama sekitaran tiga puluh menitan lagi.Sarah yang belum lama bangun pun segera mencuci muka dan gosok gigi di kamar mandi. Ia akan ke dapur lebih dulu, memasak untuk sarapan karena Mas Rafi akan berangkat kerja jam tujuh pagi.Namun sebelum keluar, Sarah memakai kerudung bergo miliknya dan barulan keluar menuju dapur. Kesunyian menyambutnya ketika ia baru membuka pintu kamar. Sempat wanita itu melihat pintu di depan kamarnya. Masih tertutup dan tidak ada tanda-tanda terbuka.Maka Sarah pun kembali berjalan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang terlalu nyaring dan mengganggu.Namun semakin ia berjalan dan menuruni tangga, semakin terdengar jelas pula suara televisi di ruang keluarga. Wanita itu pun sedikit mempercepat langkahnya.Apa, Mas Rafi s
Perkara menjadi diri sendiri, Sarah pernah merasakannya sewaktu kost di kota sembari kuliah. Di sana ia tinggal bersama dua teman satu jurusan. Banyak sekali kenangan yang tak terlupakan. Sebab saat itu Sarah benar-benar merasa plong, seperti tidak ada yang ditutup-tutupi. Karakternya yang sebenarnya penyuka kebebasan pun tereksplor semasa kuliah dan semasa menjadi anak kost.Sarah sering berjalan malam menjelajah jalanan hanya semata ingin terkena sepoi angin malam, supaya menghilangkan stres akibat tugas menumpuk. Lalu tak lupa pulangnya membeli es krim. Teman-temannya juga sering mengajak traveling ramai-ramai dengan motor selepas ujian. Saat satu kost gabut ditanggal tua, Sarah dan kedua temannya itu akan berjalan sore hingga malam menjelajah jalanan tanpa tujuan dan kemudian balik setelah lelah. Kurang kerjaan, tetangga lain berpikiran seperti itu. Namun bagi Sarah dan kedua temannya itu menganggap apa yang mereka lakukan adalah bentuk untuk menggenggam kebahagi
Sabtu pagi tampak kabut awan menutupi sinar matahari yang terpancar. Tidak mendung, hanya saja langit yang biasanya cerah kini tertutup gumpalan awan putih tebal. Sehingga lebih redup dari biasanya. Cocok sekali untuk menikmati weekend, pikir Rafi. Laki-laki itu pun sudah siap dengan perlengkapan olahraganya. Sudah memakai sepatu dan menyampirkan handuk kecil ke lehernya. Ia juga menyempatkan untuk merenggangkan otot-ototnya dengan gerakan kecil di teras sembari menunggu seseorang. “Bik Arni, Sarah mana?” tanya Rafi setelah melihat wanita gempal usia lima puluh tahun keluar dengan membawa ember dan gayung. “Mbak Sarah lagi diatas Mas, lagi c
“Maaf ...” ucap Rafi dengan tulus.Laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu memapah Sarah di punggungnya. Setelah membalut pergelangan kaki Sarah yang terkilir dengan handuk, Rafi memutuskan langsung pulang dengan cara menggendong istrinya.Namun bukan hal mudah membujuk Sarah untuk bersedia digendong. Sebab wanita itu benar-benar kepala batu, alhasil Rafi harus membujuk bak membujuk anak kecil, dengan pelan dan berdebat terlebih dahulu.“Bagaimanapun tadi gara-gara saya, minta maaf ya, Sarah.”Rafi menolehkan kepalanya untuk melih
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya
Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin
"Makan dulu Bay." Adilla menyodorkan nampan makan yang dibawakan oleh perawat tadi kehadapan laki-laki yang duduk di atas brangkar tempat tidurnya. Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas siang. Harusnya Dilla sudah kembali ke mes dan bersiap untuk berangkat kerja. Namun karena masih sekitar dua jam lagi waktu masuk, jadi perempuan itu habiskan untuk membantu temannya yang sedang sakit terlebih dahulu. Sebab bagaimana pun Bayu telah banyak menolongnya. "Malas Dil, makan-makanan yang begitu," tolak Bayu tanpa sungkan. "Gue juga cuman kecapean doang, bukan sakit sekarat yang harus makan bubur nggak ada rasa," lanjutnya. "Terus gue harus gimana?" tanya Dilla mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang setelah meletakkan nampan di meja nakas. "Beliin gue makanan lain di luar." "Ngelunjak," sungut gadis pirang itu. "Ya gimana ... lo nggak mau lihat temen lo sehat lagi?" Adilla menghela nafas, dari pada berdebat dan semakin panjang
[Flashback] Berawal dari kisah kanak-kanak. Mereka semua memang suka bermain bersama, Sarah, Bayu, Adilla dan teman-teman seumuran lainnya. Saat sekolah Adilla dan Sarah selalu berangkat bersama, kemudian ketika pulang teman-teman yang rumahnya searah dengan mereka termasuk Bayu ikut pulang bersama. Masa kanak-kanak yang biasa, bercanda ria, berceloteh tentang permainan-permainan yang akan mereka mainkan. Atau hanya mengobrol sesuatu yang mereka tau. Namun beranjak remaja dan menginjak sekolah menengah pertama, ada hal-hal aneh yang dulu mereka anggap biasa saja malah menjadi sesuatu yang ambigu. Tentang perasaan lawan jenis yang sulit terdeskripsikan dan sulit dimengerti untuk Sarah. Perhatian-perhatian yang ia dapatkan dengan teman menimbulkan getaran aneh. Ia memahaminya sebagai rasa suka terhadap lawan jenis. Tetapi gadis itu selalu menyangkal sebab ia adalah anak seorang yang terkenal religius di kampungnya. "Sar
Jika diingat kembali, dulu adalah masa kanak-kanak yang membahagiakan. Bermain dan tertawa, saling canda ria tanpa beban yang ditanggung. Namun ketika mulai beranjak remaja hingga dewasa, mengapa banyak masalah yang timbul. Mengapa selalu menyakiti diri sendiri mengenai cinta. Harusnya cinta adalah sesuatu yang membahagiakan untuk kedua belah pihak. Bukan untuk saling menyakiti atau memberikan bekas rasa sakit yang sulit tersembuhkan. Namun bodohnya Sarah, rasa sakit yang ia rasakan bercampur dengan cinta yang sulit di hilangkan. Benarkah dia masih mencintai Bayu? Benarkah ia masih menyimpan rasa suka itu kepada orang yang salah? "Sarah," suara pelan nan lembut memanggil. Perempuan berhijab yang melamun memperhatikan luar jendela kaca mobil itu sempat tersentak kaget. Dia telah terbuai dengan pikiran rumitnya, hingga lupa bahwa ada Rafi di sampingnya. "Ada yang mau dibicarakan?" tanya laki-laki itu menoleh sesaat yang kemudian kembali fokus me