“Sat, kamu tahu kan kalau aku sayang kamu?”
Ksatria menggeleng. “Kayaknya kamu belum pernah bilang ke aku soal itu.”
“Masa?”
Tawa segera meluncur dari bibir Ksatria ketika melihat raut wajah Rinai yang tak percaya sekaligus kesal karena jawabannya tadi.
“Seingetku, kamu nggak pernah ngomong secara gamblang,” koreksi Ksatria sebagai upayanya untuk menenangkan Rinai. “Tapi lewat mata kamu aja, aku tahu kok sayangnya aku ke kamu itu berbalas.”
Rinai tertawa geli mendengar kata-kata Ksatria.
Malam ini, sepula
“Kamu beneran bakal pergi, Nai?”“Kamu lama-lama kayak Ksatria ya. Kalau nggak percaya, bisa nanya sampai sejuta kali.”Rinai memasukkan baju-bajunya ke dalam kontainer yang akan dikirim tiga hari lagi—menunggu semua barang di rumah itu siap untuk dikirim, melalui jasa pengiriman kargo ke alamatnya di Jogja.Matanya melirik ke arah Shua yang ikut duduk di lantai sembari memasukkan pakaian-pakaian Rinai ke kontainer yang sesuai dengan namanya.“Rasanya masih nggak percaya aja sih.” Shua menghela napasnya untuk yang kesekian kalinya. “Aku bakal kangen kamu yang kadang-kadang suka nginep tanpa pemberitahuan.”Rinai meringis begitu mendengarnya. “Aku juga bakal kangen kamu sama Janar. Baik-baik ya selama usaha nyari ‘ayam bakar’-nya.”Shua tertawa kala Rinai menyinggung istilah yang ia gunakan untuk candaannya kalau mengatakan ia ingin mencari suami baru. ‘Ayam bakar’ atau yang merupakan kepanjangan dari ayah muda badan kekar itu rasanya masih jauh panggang dari api.Alias masih belum kel
“Nih, makanan buat di sepanjang jalan nanti.”“Udah kayak ngasih bekal buat satu bus pariwisata,” sindir Rinai ketika melihat berapa banyak plastik sampai cooler box yang dimasukkan Rinai ke bagasi mobilnya.“Lebay,” cibir Ksatria tak terima. Usai menutup pintu bagasi, ia beralih ke kursi belakang dan menaruh satu plastik lagi berisi berbagai macam snack.“Selesai,” tandas Ksatria dengan bangga. Lelaki itu menutup pintu mobil dan tersenyum lebar kepada Rinai yang sejak tadi mengamatinya. “Di bagasi ada termos juga, in case kamu mau minum yang hangat. Ada tiga termos, isinya kopi, teh, dan air hangat kalau kamu mau makan Pop Mie.”“Emang kamu bawain Pop Mie juga?”“Iya, sama Super Bubur yang di cup juga sih sebenernya.”“Sat, ini tuh kayak bekel buat anak Jambore seminggu. Naik mobil ke Jogja juga nggak sampai sehari semalam deh.”“Kan nggak ada yang tahu, Nai. Daripada pas lagi laper atau haus terus masih jauh dari rest area? Mending sediain dari sekarang.” Ksatria masih bersikukuh de
“Beneran nih pindah?”“Udah bawa koper gini masih perlu ditanyain?”Nara mendengus mendengar pertanyaan Ksatria. Lelaki itu menyerahkan access card di tangannya dan membiarkan Ksatria membuka pintu apartemen di kawasan SCBD miliknya tersebut.“Ada yang bersihin tiap hari?”“Nggak tiap hari, paling seminggu dua kali.” Nara beranjak ke dapur selagi Ksatria menaruh kopernya di samping sofa dan mengambil dua kaleng soda yang ada di sana.Sementara itu, Ksatria berkeliling apartemen dengan dua kamar milik Nara yang akan ia huni sejak hari ini hingga seterusnya.Entah sampai kapan.“Bisa nggak minta yang bersihin itu dateng ke sini tiap dua hari sekali?” Ksatria bertanya saat keluar dari kamar utama yang sudah rapi dan tak berdebu sama sekali. “Buat belanja, masak makanan yang bisa dimasukin ke microwave lagi besoknya, sama bersih-bersih.”“Bisa. Dia juga megang beberapa apartemen di sini, nanti kukasih nomornya.”“Oke.”“Nih.”Ksatria menerima kaleng soda yang disodorkan Nara dengan ragu.
“Menurut kamu bawain apa? Beli banyak snack sekalian nggak?”“Boleh sih, tapi jangan satu troli kamu isinya snack semua.”Ksatria tertawa mendengar ocehan Rinai. “Iya, Yang. Setengah troli deh.”“Paling kamu abis itu ditembak Padma.”Gelak tawa Ksatria kembali terdengar dan lelaki itu bisa melihat Rinai yang juga ikut tertawa.Saat ini ia tengah berada di supermarket, bersiap membeli beberapa makanan titipan Padma dan jajanan untuk anak-anaknya (dan tentu saja untuk Ksatria), sebelum bergegas ke rumah Badai dan Padma.Ksatria pun menghubungi Rinai melalui video call supaya bisa berbelanja dengan perrempuan itu. Akhir-akhir ini Ksatria suka melakukannya, karena rasanya seperti saat dulu ia suka menemani Rinai belanja.“Yang ini boleh nggak?” Ksatria mengambil satu snack yang ukurannya lebih besar daripada wajahnya dan memperlihatkan snack itu ke layar ponselnya.“Jangan deh, kamu waktu itu pernah makan yang ukuran kecilnya dan besoknya langsung batuk-batuk.”“Oke….” Ksatria mengembali
“Aku punya tebak-tebakan, Yang.”“Ah, males. Nanti garing lagi kayak waktu itu.”Bukan Ksatria namanya kalau langsung menyerah begitu saja setelah ditolak mentah-mentah. “Nggak kok, nggak garing.”“Buat nanti malem aja gimana?” Rinai malah bernegosiasi. “Aku lagi di toko, nanti kalau mau ketawa ngakak kan jadi aneh karena ketawanya nggak ngajak-ngajak.”Kali ini malah Ksatria yang tergelak karena ucapan Rinai. “Oke, oke, save the best for the last.”“Kamu belajar dari akunnya bapak2ID di Instagram deh, jokes-nya lumayan di sana dibanding tebak-tebakan kamu kemarin. Meskipun ya… jadinya nanti humor kamu bisa dibilang bapak-bapak banget.”“Nggak apa-apa. Siapa tahu kalau selera humorku meningkat, kamu makin sayang sama aku. Kayaknya selera humor bapak-bapak lagi jadi pesona sendiri buat perempuan zaman sekarang.”“Dasar ngaco,” ledek Rinai lagi. “Udah sana, mending kamu makan siang. Bener udah mau jam makan siang kan?”“Bener kok. Kamu nggak salah hitung jam,” canda Ksatria. “Ya udah, k
“Jadi apa tebak-tebakannya, Sat?”“Maaf karena ngecewain kamu yang dari siang tadi nungguin tebak-tebakan aku, tapi aku sekarang malah lupa, Yang.”Daripada tebak-tebakan garing yang akhir-akhir ini sering diberikan Ksatria, ungkapan jujur Ksatria barusan lebih lucu bagi Rinai. Di seberang sana, Rinai tertawa terbahak-bahak. Geli dengan tingkah Ksatria yang benar-benar absurd.“Bener-bener deh kamu….”“Bener-bener apa?” Ksatria bertanya dengan iseng. “Bener-bener ganteng ya?”“Bener-bener gila.”“Ah, kamu….”Rinai kembali tergelak karena rajukan Ksatria. Ksatria sendiri tersenyum mendengar bagaimana tawa Rinai memenuhi mobil yang tengah ia kemudikan tersebut.Sejak keluar dari rumah, Ksatria memang selalu menyetir sendiri meskipun Pak Anwar tentu saja tak keberatan untuk terus bekerja dengannya.Ksatria memilih untuk tetap sendiri, karena rasanya akhir-akhir ini ia jadi cukup sering pergi keliling Jakarta sendirian untuk menenangkan pikiran.“Kamu udah di rumah belum sih?” tanya Rinai
Rinai Bukan Merek Kompor: Udah bangun?Ksatria Auriga Abimayu: Udah, tapi masih di ranjang, nggak pakai baju, dan males gerak.Rinai Bukan Merek Kompor: Penting banget ngasih tahu bagian ‘nggak pakai baju’-nya ya? -_-Ksatria Auriga Abimayu: Hehehe, siapa tahu kamu penasaran.Rinai Bukan Merek Kompor: Aku nggak bakal penasaran, udah tahu kebiasaanmu sejak kamu masih bocah.Ksatria Auriga Abimayu: Hehehe.Ksatria Auriga Abimayu: Nai, wh
“Ini bukan kencan kan?”“Idih!” Ksatria menatap Nara seakan-akan lelaki itu baru saja kehilangan kewarasannya ketika bertanya apakah makan siang mereka kali ini adalah kencan atau bukan. “Otakmu nyangkut di mana sampai bisa-bisanya nanya begitu?”Nara mendengus. “Lagian aneh banget ngajak makan cuma berdua doang begini.”“Karena yang lain pada nggak bisa,” tukas Ksatria dengan cepat. “Lagipula kalau makan di luar ternyata enak berdua. Jadi kalau aku perlu ke toilet, aku nggak perlu khawatir mejaku tiba-tiba ada yang nempatin.”“Sialan, jadi aku di sini cuma bu