“Mama titip pesen, katanya besok Abang diminta makan malam di rumah.”
“Ada apaan? Tumben,” komentar Ksatria. Lelaki itu memindai isi piring Shahia dan tersenyum saat menemukan kalau bihun di piring ketoprak milik Shahia masih tersisa banyak. “Bagi dong bihunnya.”
“Enak aja!” Shahia langsung menjauhkan piringnya dari jangkauan Ksatria. “Sana, beli lagi! Aku juga suka bihunnya."
"Pelit," cibir Ksatria. “Kalau sama Rinai, aku pasti dikasih walaupun kadang dia ngomel.”
“Karena Mbak Rinai tahu, Abang kalau nggak diturutin resenya bisa seminggu. Tapi karena kita udah ngga
Katanya, manusia yang berencana, Tuhan yang menentukan.Pada akhirnya, itulah yang terjadi pada Ksatria dan Rinai saat ini.Ksatria ingat, diam-diam ia sudah membeli tiket pesawat ke Jogja untuk mengunjungi Rinai, apalagi setelah Rinai tak kunjung mengabarinya soal hasil dari wawancara kerjanya waktu itu.Ksatria pikir, mungkin Rinai gagal mendapatkan pekerjaan itu. Makanya Ksatria berniat datang ke Jogja dua minggu lagi untuk memberi kejutan pada perempuan yang rambutnya sudah melewati bahu di sampingnya ini.“Ngelihatin aku doang nggak bikin kamu kenyang, Sat,” canda Rinai sembari menaruh beberapa potongan daging kambing d
Rinai melangkah masuk ke gedung kantor yang dulu pernah jadi tempatnya bekerja selama bertahun-tahun. Heavenly & Co terlihat lengang karena memang belum jam makan siang saat Rinai tiba.Perempuan di balik meja resepsionis yang tentu saja masih mengenali Rinai, menyapa perempuan itu dengan ramah ketika Rinai hendak menukar KTP-nya dengan access card. Tidak hanya itu, pegawai lain yang kebetulan berpapasan dengan Rinai selama menunggu lift pun ikut menyapa Rinai.Perasaan familier itu melingkupi Rinai sepanjang langkahnya menuju ruangan Ksatria berada. Di lift pun ada yang mengenalinya, salah satu nose yang lumayan sering bertemu dengan Rinai.
Ksatria turun dari mobil dan menatap halaman rumahnya, yang dipenuhi mobil ayahnya dan Shahia.Setahu Ksatria, hari ini ibunya tidak pergi ke Kaia Jewellery karena acara makan malam ini. Makanya tidak terlihat mobil yang biasa digunakan ibunya itu di halaman tersebut.Lelaki itu melangkah masuk sambil bersiul pelan. Perlahan, pulang ke rumah bukan menjadi sesuatu yang menyebalkan lagi.Meski kadang-kadang masih teringat jelas di benak Ksatria bagaimana ia selalu tak betah di rumah, tapi kali ini ia sudah bisa mengendalikan emosinya.Apa yang sudah berlalu tak bisa ia atau bahkan orangtuanya perbaiki. Ya, dulu bagi Ksatria pulang ke ruma
“Damn! Ksatria!!!”Rinai menatap panik ke sebelahnya, di mana Ksatria tidur dengan nyaman—berkebalikan dengannya yang saat ini sedang panik dan langsung bangun hingga menyebabkan kepalanya terasa berputar seperti gasing.“Ksatria! Bangun!”“Lima menit lagi, please,” gumam Ksatria dengan mata yang masih terpejam. “Lima menit lagi, baru aku pulang, Yang.”“Nggak ada lima menit lagi!” Rinai menjewer telinga Ksatria. “Ini udah pagi! Kamu pikir ini masih jam sembilan malam, hah?!”“Hah?!” Ksatria se
“Are you okay?”Rinai menggeleng, tak tahu juga harus menjawab bagaimana. Apakah ia baik-baik saja?Setelah menaruh dua kaleng soda di atas meja, Rinai menyusul Ksatria duduk di sofa dan melamun, kembali memikirkan tentang jam-jam yang ia lalui hari ini.Sebenarnya, seharian ini Rinai beberapa kali kehilangan fokusnya. Padahal seharusnya pertemuan dengan ibu tiri Atlas tidak terlalu mempengaruhinya.Iyakan?Tetapi, ada kalanya Rinai masih tak bisa mengendalikan pikirannya. Sampai akhirnya saat tadi sedang menunggu Ksatria menjemputnya, Rinai menghubungi orang yang selama
Ksatria bersiul pelan saat memasuki Kaia Jewellery. Ingatannya tentang ia yang sengaja membelikan cincin untuk Rinai di sini hanya untuk membuat ibunya marah, melintas sejenak dan membuat lelaki itu tertawa kecil.Bocah banget ya Anda, batinnya kepada diri sendiri.“Selamat malam, Mas,” sapa salah satu pegawai Kaia Jewellery yang mengenali Ksatria sebagai anak Leona. “Ada yang bisa dibantu?”“Bu Leona ada?” Ksatria mengedarkan pandangannya dan tak menemukan sosok sang ibu.Seperti apa yang dibilang Rinai semalam, Ksatria ingin bicara dengan ibunya dulu selagi menunggu jam kerja Rinai berakhir
“Apa yang mau kamu lakukan kalau suatu hari nanti kamu ketemu sama mantan calon suami kamu, Nai?”Rinai masih mengingat dengan jelas pertanyaan ayahnya, yang dilontarkan kira-kira satu tahun yang lalu—atau lebih ya? Rinai sendiri lupa kapan tepatnya pertanyaan itu terucap dan apa jawabannya saat itu.Sampai akhirnya Rinai kini dihadapkan pada sosok Marco yang masih bisa ia kenali bahkan setelah lama tak berjumpa.“Rinai…,” panggil Marco begitu tiba di hadapan Rinai. “Kamu… apa kabar?”Di sebelahnya, Ksatria mendengus kasar dan Rinai bisa merasakan genggaman tangan kekasihn
“Sejujurnya, aku emang mencari-cari kamu, Nai.”“Kamu tahu aku kerja di Kaia PI dari Danang?”Marco mengangguk enggan, sementara Rinai hanya bisa menghela napasnya. Siang ini, ia dan Marco benar-benar duduk berhadapan untuk membicarakan apa yang tidak pernah mereka bicarakan sebelumnya.Lelaki itu muncul di Kaia tepat saat jam makan siang. Tanpa banyak bicara, Rinai mengajaknya ke Sushi Hiro. Kebetulan Rinai sedang ingin sushi dan Marco mengiakan tawaran Rinai dengan mudah.“Setelah kita batal nikah, katanya kamu ke Jogja,” kata Marco lagi. “Saat itu aku masih menjalani proses rehab dan