"Ini KTP saya, Pak!" Dengan tangan bergetar, Jessi memberikan identitasnya pada ketua RT di kampung ini. Suaranya bahkan terasa tercekat, menyiksa tenggorokan. Jessi sadar, setelah ini dirinya akan membuat cerita kebohongan agar dirinya diterima di tempat ini. "Jessica Jill," gumam pak RT yang bernama Galuh. "Kata bu Ambar tadi Mbak Jessi ini sedang hamil. Kenapa di KTP statusnya masih belum menikah?" Jessi menunduk. Jujur, ia bingung mau menjawab apa. Namun, dirinya harus membuat keterangan. "Saya sudah menikah dengan suami saya. Baru beberapa bulan. Suami saya belum sempat mengurus perubahan status kami, Pak. Karena dia harus pergi berlayar. Hubungan saya dengan mertua kurang baik. Jadi ..." Jessi menangis karena dirinya harus berbohong. Sedangkan tangannya terus menyentuh perutnya. Sebagai calon ibu, dirinya tidak akan membiarkan orang lain tahu kalau anaknya hadir di luar pernikahan. Orang tidak boleh tahu kalau anaknya hadir karena perbuatan buruknya sendiri. Urusan dosan
Sebagai seorang istri, Lia tentu masih menyimpan perasaan curiga pada Bagas, karena pulang membawa Jessi. Perasaan was-was itu terus menghantui pikiran Lia. Apalagi wanita hamil memang sangat sensitif perasaannya. Namun, beberapa hari ini, Lia tidak melihat gerak-gerik yang aneh dari Bagas. Bahkan suaminya itu terlihat menjaga jarak. Hanya dirinya dan mertuanya saja yang bersikap ramah pada Jessi. Hal ini tentu menenangkan perasaan Lia. "Tolong kamu hubungi mas Bagas, Jessi." "Baik, Mbak." Jessi mengikuti perintah Lia untuk membuka sandi ponsel Lia. Namun, sudah 3 kali Jessi menghubungi nomor Bagas yang Lia beri nama suamiku, tapi nomor Bagas tidak aktif. "Masih tidak bisa, Mbak. Sebenarnya mas Bagas tadi pergi kemana?" Jessi mulai panik. "Tadi katanya mau ke ladang sebentar terus mau antar ibu belanja, Jess. Siap-siap untuk syukaran adek. Agh ..." Bagas dan Ambar pergi karena merasa Lia belum ada tanda-tanda untuk melahirkan. Selain itu, niat mereka memang hanya kelu
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Bagas terus menggenggam tangan Lia. Air matanya menetes. Setelah melihat keadaan anaknya yang sudah tak bernyawa. Sekarang dirinya harus melihat Lia yang hampir hilang kesadaran. Bagas harus kuat dengan cobaannya sekarang. Saat ini Lia sudah menggunakan selang oksigen. Dalam keadaan perdarahan setelah bayinya lahir, Lia sangat syok karena dirinya hanya sesaat mendengar suara bayinya menangis pelan. Karena setelah itu, bayinya dinyatakan meninggal dunia. Setelah bidan melakukan segala tindakan sesuai prosedur. Lia menangis karena merasa bersalah. Merasa kalau dirinya kurang kuat mengejan sehingga anaknya tidak cepat lahir. "Dek, tolong bertahan." * Sudah banyak orang yang berdatangan di rumah Ambar. Para tetangga datang untuk ikut berbela sungkawa. Jasad janin langsung di makamkan sejak tadi sore. Hingga malam pun tiba. Sebuah ambulan datang. "Bagas," panggil Ambar. Perasaan Ambar tidak menentu. Apalagi sekarang Bagas keluar mobil
Selama hampir 1 minggu, kesehatan Jessi menurun. Tubuhnya terasa panas dan rasa pusing yang datang dan pergi. Jessi sudah memeriksakan diri ke bidan. Jessi mendapatkan keterangan kalau dirinya harus menenangkan pikiran. Jessi tidak ingin berpikir negatif. Tapi mau terus berpikir positif juga tidak mungkin. Di kampung ini, Jessi tidak memiliki sanak saudara. Jika hal buruk terjadi padanya, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas dirinya. Untuk membuang segala pikirannya, Jessi memilih untuk menyibukkan diri. Setiap hari Jessi selalu datang ke rumah Ambar dan Bagas untuk mengantarkan sayuran dan lauk matang. Meski Ambar lebih banyak diam, Jessi tidak tersinggung. Ia paham, pasti sulit untuk Ambar dan Bagas kehilangan Lia dan bayinya dengan cara seperti ini. Sedangkan Bagas sendiri, setiap hari selalu datang kemakam. Tidak ada yang mencegah apa yang Bagas lakukan. Karena setiap orang, pasti punya caranya sendiri untuk merasa ikhlas. Meski rasa itu sulit dan memerlukan waktu
Derasnya air hujan hari ini, seolah menggambarkan dan menemani air mata Jessi yang tidak mau berhenti. Setiap hari Jessi selalu ingat Farrel. Rasa cinta dan benci yang terus membelenggu hati Jessi. Hari ini, entah sebab apa yang membuat hati Jessi terasa begitu sakit. Sampai membuatnya tidak bisa untuk tidak menangis. "Maafin Mama, Sayang!" Jessi mengusap perutnya. Tanpa sadar, Jessi terus berandai-andai. Kalau saja waktu itu Farrel mau menggunakan pengaman, mungkin sekarang dirinya tidak akan hamil dan dirinya tidak akan berada di sini. Kemungkinan besarnya, Jessi pasti masih bersama Farrel. Apalagi saat cuaca dingin begini. Banyak perkiraan yang Jessi pikirkan. Hingga dirinya sadar kalau semuanya ada kebaikan yang harus ia ambil. "Karena baby ada, Mama jadi berhenti untuk tidak terus menerus melakukan kesalahan." Jessi terkekeh sambil mengusap air matanya. "Bisa-bisanya Mama berpikir yang tidak-tidak. Baby adalah penyelamat dan kebaikan untuk hidup Mama. Terima kasih s
Acara pernikahan kemarin sepertinya tidak membuat rasa kantuk menyerang Farrel. Karena semalam, Farrel hanya berpura-pura memejamkan mata. Setelah Dania tidur pulas, Farrel kembali ke balkon untuk berdiam diri dan memikirkan langkah selanjutnya. Rencana Farrel, begitu semua harta warisan sudah dialihkan menjadi atas namanya, tidak sampai 1 tahun Farrel akan menyusun skenario untuk berpisah dengan Dania. Rasanya baru saja Farrel terbuai mimpi indah. Sekarang tidur nyenyaknya jadi terusik karena merasakan sebuah tangan yang meraba dadanya. Grep. 'Tumben sekali Jessi menyentuh tubuhku lebih dulu, saat bangun tidur seperti ini,' batin Farrel. Deg. Baru saja Farrel akan mencium tangan yang meraba dan telah menggugah hasratnya, tiba-tiba Farrel tersadar kalau Jessi sudah tidak bersamanya lagi. Farrel ingat kalau sekarang dirinya sudah menikah. Dania sendiri tersenyum bahagia karena Farrel merespon sentuhannya. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Farrel dan berharap menda
Dalam keadaan hamil, Jessi memilih pergi ke kota untuk datang ke bank cabang utama di kota tersebut. Beberapa hari yang lalu, Jessi sudah mendapatkan informasi persyaratan untuk bisa membuat rekening baru. Karena dirinya bukanlah warga tetap di daerah tersebut. Jessi sudah sangat yakin untuk memblokir rekeningnya. Karena dirinya tidak ingin terus menerus menerima uang Farrel secara cuma-cuma. Bahkan sekarang saja, Jessi sudah mengetahui kalau hari ini Farrel kembali mengiriminya uang. Membuat Jessi syok melihat nominal saldonya sekarang yang hampir mendekati 1 miliar. Sejak dulu, Farrel memang sangat royal pada Jessi. Selalu memberikan uang lebih jika Jessi sudah membuat Farrel benar-benar puas. Uang gaji Jessi dari perusahaan utuh. Rasanya Jessi menggunakan uang pribadinya hanya saat jajan bersama Rika atau teman lainnya. Karena saat bersama dengan Farrel, lelaki tersebutlah yang akan memenuhi apapun yang sedang mereka beli. "Selain hobby sex, dia juga hobby menghambur-ham
"Apa kalian belum juga mendapatkan kabar Jessi?" tanya Farrel saat beberapa anak buahnya sudah berdiri di depannya. "Belum, Pak. Kami juga sedang menyusup di beberapa perusahaan besar di kota ini. Bahkan penyaluran pekerja juga coba kami kulik. Tapi kami memang belum menemukan informasi tentang nona Jessi." Farrel memijat kepalanya. Dirinya mau menghentikan pencarian, tapi Farrel merasa ragu. Hatinya mengatakan kalau dirinya harus tahu di mana Jessi sekarang. 'Dia bahkan sudah menonaktifkan rekeningnya. Dia pasti sengaja biar aku tidak bisa menyogoknya agar segera menghubungiku. Di mana kamu Jessi?' batin Farrel geram. "Apakah kami masih harus melanjutkan pencarian, Pak?" "Tentu saja," jawab Farrel cepat. "Tugas kalian memang harus mencari keberadaannya. Kalian tidak boleh berhenti mencari sampai sebelum aku perintahkan untuk berhenti," ucap tegas Farrel. "Baik, Pak." "Pergilah dan kembali lakukan tugas kalian. Gunakan cara apapun. Kalau kalian tidak bisa menemukan
"Saya Farrel Gevariel, memilihmu Jessica Jill untuk menjadi istri saya. Saling memiliki dan menjaga di saat susah ataupun senang, di saat kaya ataupun miskin, di saat sehat ataupun sakit. Saya berjanji akan melindungi, mencintai, setia, dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kamu, sampai maut memisahkan kita sebagaimana seperti yang sudah Tuhan perintahkan."Pada akhirnya, setelah merenung beberapa hari, Jessi menerima tawaran Farrel untuk menikah. Bukan hal mudah bagi Jessi memutuskan ini. Karena apa yang Farrel terangkan, sejalan dengan yang selama ini Jessi khawatirkan. Jessi tidak ingin jika dikemudian hari ada yang menghina Rhona karena tidak memiliki seorang ayah. Jessi tidak ingin jika identitas Rhona tidak memiliki kejelasan. Masadepan Rhona masih sangat panjang. Jessi hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak perempuannya. Hari ini adalah hari pernikahan Jessi dengan Farrel. Meski belum mendapatkan jawaban dari Jessi, tapi Farrel sudah lebih dulu mempersiapkan acara
"Eh, Papa!" Baru beberapa langkah Farrel meninggalkan ruang kerjanya. Namun, sekarang ia harus berhenti karena bertemu dengan Regan. "Mau kemana kamu?" Mata tajam Regan nampak menelisik. Ia jelas sadar kalau anak tunggalnya itu terlihat buru-buru. Namun, diwajah Farrel tidak terlihat kepanikan atau hal apapun yang mengkhawatirkan. "Mau pulang, Pa. Kerjaanku sudah selesai." "Kerumah atau keapartemen?" Farrel memang sudah terbiasa tinggal diapartemen. Terutama setelah bercerai. Tentunya untuk menghindari orang tua yang selalu menuntutnya untuk segera menikah. Hanya saja, Regan dan Carla tahunya apartemen Farrel sudah pindah. "Tentu keapartemen, Pa. Aku pulang duluan." "Bukankah sejak kemarin dia terlihat aneh?" gumam Regan. "Wajahnya terlihat senang dan sepertiii ..." Regan jadi mengira-ngira. "Apakah dia sedang jatuh cinta? Kalau benar, semoga dia mencintai perempuan yang tepat dan tidak seperti sebelumnya." Ada rasa sesal dihati Regan karena sudah menuntut Farrel un
Semua barang Farrel sudah selesai dipindahkan ke kamar utama. Beberapa orang yang melakukan pekerjaan juga sudah meninggalkan apartemen. Tanpa bicara apa-apa lagi, Jessi meninggalkan Farrel dan langsung memasuki kamar. "Hah!" Begitu memasuki kamar, Jessi kembali menghelakan nafasnya yang terasa berat. Pandangannya mengedar, menelisik ruangan kamar. "Setidaknya kamar ini lebih baik daripada kamar utama." * Klek. "Rhona." Waktu masih pagi. Niat Jessi memasuki kamar Rhona untuk membangunkan anaknya. Selama ini, Rhona terbiasa tidur dengannya. Baru semalam saja Rhona belajar tidur sendiri hingga membuat Jessi kepikiran. Ia takut kalau Rhona tidak bisa tidur nyenyak. Semua keresahan hati Jessi sepertinya tidak terjadi. Bagaimana mungkin Rhona tidak tidur nyenyak, kalau sejak satu tahun yang lalu Rhona memang sudah ingin tidur dikamar sendiri. Apalagi sekarang kamar yang disediakan Farrel sesuai dengan selera Rhona. Namun, pagi ini Jessi dibuat terkejut karena Rhona tidak ada
Bukan waktu yang sebentar untuk Jessi menjadi teman ranjang Farrel. Memenuhi segala hal keinginan Farrel. Hingga menciptakan banyak kenangan panas dengan berbagai macam gaya. Membuat Jessi bisa memahami bagaimana Farrel. Apartemen yang menjadi saksi bisu bagaimana hangatnya hubungan Jessi dengan Farrel. Hingga membuat Jessi tertahan untuk semakin masuk keapartemen yang sangat familiar ini. Setiap sudut yang sudah memberikan kenangan. Bahkan seperti tidak ada yang berubah. Tetap rapih dan wangi dengan aroma yang sama seperti dulu. "Rhona suka tempat ini, Papa!" Rhona menghampiri Farrel dan menggenggam tangan Farrel. Jessi memejamkan mata. Dadanya terasa sesak. Namun, lagi-lagi dirinya harus menahan diri. "Emmm, Sayang. Sepertinya kita harus mencari tempat yang lain." Farrel sadar. Jessi pasti tidak nyaman dengan tempat ini. Dirinya jadi merasa bodoh karena tidak berpikir terlalu jauh. Karena selama ini, memang hanya tempat ini yang membuat Farrel merasa lebih tenang. "Ken
"Aku mau!" ucap Jessi tiba-tiba. Farrel baru saja menemani Rhona tidur siang, karena hari ini Rhona sudah selesai ujian sekolah. Begitu keluar kamar, dan Farrel baru saja sampai ruang tamu, Farrel dikejutkan dengan ucapan Jessi yang entah mau apa. "Mau apa?" Dengan bodohnya, Farrel memberikan tatapan bingung dan penuh tanya. "Aku melakukan ini untuk Rhona." Kedua tangan Jessi saling menggenggam. Ada rasa ragu, tapi Jessi berpikir kalau keputusannya ini lebih baik daripada kedepannya ia menyakiti Rhona karena egonya sendiri. "Aku mau ikut kamu kembali ke kota." Dalam sekejap, wajah Farrel berubah cerah. Hatinya merasa kalau saat ini takdir baik sedang memihak padanya. 'Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku janji!' batin Farrel. Sudah beberapa hari berlalu, sejak Farrel memberikan tawaran pada Jessi. Namun, Jessi tidak juga segera memberikan keputusan. Bahkan Farrel sudah berpikir untuk menemukan cara lain agar Jessi setuju. Apapun akan Farrel lakukan
Setiap kali melihat kedekatan Rhona dengan Farrel, membuat Jessi semakin berpikir jauh. Pemikiran yang tidak menemukan titik terang. Karena Jessi tidak memiliki ide cara untuk membuat Rhona jauh dari Farrel. Melihat kebahagiaan Rhona, membuat hati Jessi senang. Namun, saat melihat Farrel, rasa sakit hati itu seperti terasa kembali. Beberapa hari terakhir ini, meski Farrel ikut bermalam dirumah kontrakan Jessi, tapi Farrel sering tidur di dalam mobil. Biar bagaimanapun, Farrel berusaha menghargai Jessi yang selalu uring-uringan setiap kali bersama dengannya. Setiap hari, Farrel selalu mengantar jemput Rhona sekolah. Terkadang menggunakan mobil, terkadang juga menggunakan motor. Sesuai inginnya Rhona saja. Karena Farrel hanya ingin menuruti segala hal yang diinginkan Rhona. Setiap pulang sekolah, dan Rhona sudah istirahat siang, Farrel selalu bersepeda dengan Rhona. Seperti keinginan Rhona, Farrel akan lari mengejar Rhona menggoes sepedanya. Atau terkadang mereka bersepeda b
"Ada apa?" Baru saja Farrel akan terlelap setelah memastikan Rhona nyenyak tidur di atas tubuhnya. Kini dirinya terusik karena Jessi berusaha menyingkirkan pelukannya pada tubuh Rhona. "Rhona sudah tidur, jadi aku mau memindahkannya ke dalam kamar. Setelah itu, pergilah dari rumah ini." Meski suara Jessi pelan. Namun, Jessi tetap menekan Farrel agar menjauh dari hidupnya dan Rhona. Farrel bangun perlahan. Mana mungkin ia mau membiarkan Jessi menggendong Rhona seorang diri. Sekalipun Rhona sudah lelap, Farrel tidak ingin perdebatannya dengan Jessi berada diantara Rhona. Segera Farrel memindahkan Rhona ke dalam kamar. "Pergi sejauh mungkin dari hidup kami. Soal Rhona, aku bisa mengurus semuanya!" Jessi berucap demikian seolah melupakan kalau baru saja Rhona sakit karena mencari keberadaan Farrel. "Apa yang bisa aku lakukan buat kamu, agar kamu beri aku kesempatan? Aku ingin memberikan kasih sayangku, dan juga identitas untuk Rhona." Farrel terdiam sesaat sambil menatap
"Papaaa ..." panggil Rhona. Wajah gadis tersebut terlihat begitu ceria. "Iya, Sayang." 'Sayang-sayang! Sayang dari mananya?' batin Jessi kesal. Tatapannya bahkan tersirat kemarahan pada Farrel. Apalagi sekarang Rhona nampak bergelayut manja. Namun, tidak lama kemudian hati Jessi seperti luluh. Merasa melihat kebahagiaan yang diperlihatkan Rhona tidak seperti biasanya. 'Aku cemburu,' batin Bagas. Biasanya Rhona selalu memanggil Bagas dengan suaranya yang cempreng. Namun, sekarang suara menggemaskan itu tidak tertuju untuk dirinya lagi. 'Tapi ini adalah keputusan yang tepat. Aku harap, kamu dan Rhona segera mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya,' batin Bagas tulus. "Selamat siang," sapa Ambar yang baru saja datang bersama dengan Ningrum. "Selamat siang," ucap semua orang yang ada di sana. "Nenek Ambar." "Bagaimana keadaan Rhona sekarang?" "Rhona sehat, Nek. Teman Rhona punya ayah, sekarang Rhona punya papa, Nek!" Rhona begitu semangat memberitahukan apa ya
"Mas!" Jessi meraih tangan Bagas. "Saya tidak berniat kembali padanya. Sebenarnya saya dan dia ..." ucapan Jessi terhenti. Hatinya kembali menolak untuk memberitahu orang lain terkait hubungannya dengan Farrel. Karena pada akhirnya berkaitan dengan Rhona. "Terkadang hati dan mulut itu memberikan pernyataan yang berbeda, Jessi. Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Ini berkaitan dengan Rhona. Kalaupun kedepannya kamu memilih mengakhiri pernikahanmu dengan suamimu, maka jangan memaksa diri untuk bersamaku. Aku tidak mau terlibat dalam kisah kalian bertiga. Karena aku lebih mementingkan perasaan Rhona." Jessi melepaskan genggamannya pada Bagas. "Terima kasih karena Mas sudah sangat menyayangi Rhona begitu tulus. Saya pasti tidak akan punya muka kalau nanti ibu datang dan bertemu dengannya." "Saya belum memberitahu ibu soal hubungan singkat kita yang baru berakhir. Karena sejak awal, saya tahu ini akan berakhir seperti apa. Kamu tenang saja. Sekarang pikirkan kebahagiaanmu dan juga Rh