"Aku akan menjemputmu," ucap Arvin setelah mobil mereka sampai di depan mini market."Tidak perlu! Biarkan sopirku bekerja sesuai dengan upahnya," tutur Zoya sebelum keluar mobil. Wanita itu langsung bergegas memasuki mini market tanpa menoleh lagi.Zoya tahu dengan tatapan penasaran yang dilayangkan Almia, tapi memilih tidak menjelaskan apa pun. Bukan kewajiban Zoya untuk memberitahu orang-orang jika pria kaya yang sering datang maupun mengantarnya adalah suami sahnya.Zoya yang pergantian shift-nya belum dimulai memilih untuk mengambil beberapa snack, minuman dan es krim."Sarapan begini saja, Mbak?" Almia bertanya sembari tersenyum ramah saat menghitung barang-barang yang dibeli Zoya.Zoya tersenyum menanggapi. Ia membawa belanjaannya ke depan, duduk di kursi yang tersedia dan meletakkan camilannya di atas meja. Masih ada satu setengah jam lagi untuk jadwalnya dimulai, tapi Zoya mulai merasa bosan saat satu per satu makanannya habis.Ia sudah menenggak sekaleng soda, juga menyantap
Hari itu pikiran Zoya penuh oleh nama panggilan adiknya. Padahal jelas di kartu bisnis yang pemuda itu berikan, namanya tetap Kaindra Zhevan Aldara, tapi kenapa dipanggil Raz? Perusahaan mana yang memberikan panggilan khusus seperti itu?"Apa dari dulu panggilannya ketika bersama teman-temannya adalah Raz?" Zoya bergumam sambil menata barang-barang di rak, helaan napasnya terdengar saat tidak menemukan satu pun ingatan tentang nama Raz selama ia dan Kaindra masih tinggal bersama."Mbak Zoya!" Panggilan itu membuat Zoya langsung menoleh, menatap Almia yang datang dengan wajah semringah. "Coba tebak aku punya gosip apa?" tanya Almia dengan mata berbinar.Zoya mengangkat satu alis, bertanya dalam diam. "Lihat ini!" ujar Almia sembari menunjukkan ponselnya.Sebuah laman berita yang ditampilkan di layar ponsel gadis di hadapannya membuat Zoya mengerutkan kening. Berita itu tentang Presdir baru JK Grup yang terlibat skandal dengan seorang wanita. Bukankah hal yang biasa bagi seorang peng
Gadis di sisi Zoya mengerutkan dahi, tampak kesulitan menjawab pertanyaan yang dilayangkan. "Pokoknya Raz adalah orang yang berbahaya. Meski Kakak mengenalnya dengan nama Kaindra, tidak ada yang bisa menjamin itu juga nama aslinya. Jangan pernah mempercayainya, mempercayai orang-orang seperti kami lebih tepatnya." Peringatan keras yang dikatakan Rein membuat Zoya terhenyak di tempatnya. Seberbahaya apa adiknya yang memiliki nama samaran Raz? Zoya tidak bisa mengatakan jika Kaindra adalah nama asli pria itu sejak lahir, mengingat Rein bilang mereka melayani 'Tuan' yang berbeda. "Aku tidak mengerti, Rein. Kenapa dia dianggap berbahaya dan kenapa kamu menyebut dirimu bukan orang baik?" Zoya menelan ludah, mengingat lagi kata-kata Kaindra tentang Rein yang berbahaya.Entah siapa yang harus Zoya percayai saat Kaindra dan Rein saling melabelkan kata berbahaya untuk satu sama lain."Pekerjaan kami sama," ucap Rein sembari tertawa pelan. "Aku tidak bisa memberi tahu detailnya, tapi Kakak m
Zoya berdeham pelan, sedikit malu karena berkata dengan tampang bodoh, padahal ia jelas tidak mendengar apa yang sebelumnya dikatakan Arvin. Wanita itu hanya melihat kerutan di wajah suaminya tanpa mendengar sama sekali apa yang pria itu katakan, jadi Zoya pikir Arvin sedang marah-marah melihat dari rautnya."Jadi, kenapa kamu di sini, Arvin?" tanya Zoya lagi. Ia baru saja menjemput Elvio dan akan meninggalkan area sekolah saat putranya itu berteriak memanggil sebelum menyadari keberadaan Arvin.Arvin menghela napas, menahan emosinya melihat Zoya yang jelas sedang tidak berada di tempatnya. "Ayo makan siang bersama," ucap Arvin setelahnya, mengisyaratkan pada Zoya dan Elvio untuk segera memasuki mobilnya.Zoya mengangguk dengan bibir membentuk huruf O. "Aku memang belum makan siang, El juga, kan?! Eh, tapi kami biasanya memakan masakanku bersama-sama di depan mini market!" "Bagaimana kalau membeli beberapa makanan tambahan dan kita makan sambil piknik?" Kening Zoya berkerut mendeng
Jawaban istrinya membuat Arvin terdiam, senyum tipis terpatri di bibirnya melihat bagaimana Zoya berbinar dan tampak bangga dengan perjuangannya. "Aku berharap bisa selalu memakan masakanmu, tapi bukankah itu sama saja dengan menjadikanmu pembantu? Jadi, sekali-sekali, kuharap kamu mau memasak untukku lagi. Tidak perlu seminggu sekali, satu bulan sekali pun tidak apa-apa." Zoya mengerutkan dahi ketika jantungnya berdebar seperti orang bodoh. Padahal mungkin saja Arvin mengatakan itu hanya untuk basa-basi, bukannya benar-benar menyukai masakannya. "Aku memasak untuk El setiap hari, kamu boleh bergabung makan siang bersama kami seperti sekarang kalau mau." Zoya mengangkat bahu, melanjutkan makannya tanpa memperhatikan raut para pria di sekitarnya.Elvio yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, juga sempat hampir terpana saat mendengar kata-kata Arvin tentang pujiannya pada masakan sang ibu, menatap datar pria berstatus ayah kandungnya yang juga tengah membalas tatapnya.'Awas saja ka
"Kau benar-benar akan terus merengut seperti itu?" Elvio yang tengah memandang keluar jendela dengan bibir mengatup rapat langsung mengerutkan dahi mendengar pertanyaan pemuda yang menyetir di sisinya. "Aku tidak akan membawamu kabur dari ibumu, kenapa kau terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka begini?" Arvin kembali bertanya. Iseng sebenarnya, karena dia tahu tidak akan mudah menjadi akrab dengan anak 'spesial' seperti Elvio. "Aku tidak bisa dapat es krim karena Papa membawaku tiba-tiba!" Es krim? Arvin mendegus mendengar jawaban putranya. Benar yang dikatakan Zoya pada pertemuan pertama mereka, Elvio sangat menyukai es krim."Aku bisa membelikanmu es krim juga sebanyak yang kau mau," ucap Arvin sembari menghentikan mobilnya saat telah sampai di depan pintu lobi hotel. "Tapi, tentu saja setelah melalui persetujuan Mama nanti malam," lanjutnya kemudian yang menghapus binar senang di wajah Elvio.Elvio berdecak malas, keluar dari mobil dan menendang pelan ban dengan ujung sep
Elvio tidak sempat bereaksi saat Aileen tiba-tiba mendekat dan mengecup keningnya. Tubuhnya meremang ketika mendengar lagi kata 'Mama' keluar dari mulut Aileen. Hingga wanita itu keluar dari ruangan, Elvio masih dipenuhi ketakutan tanpa dasar."Hey!" Elvio menoleh ke arah Arvin yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya. "Aku sudah pernah mengatakan ini, tapi sampai kapan pun ibuku hanya satu. Aku tidak sudi harus memanggil wanitamu dengan panggilan 'Mama'!" Kemarahan kental yang Arvin rasakan dari kata-kata putranya membuat keningnya berkerut. Omong kosong apa yang sedang anak itu katakan?"Siapa yang kau sebut sebagai wanitaku? Aku memang tidak pernah mengatakannya, Gavin, tapi aku bukan pria brengsek yang bermain dengan wanita lain saat punya istri. Ibumu adalah satu-satunya, entah dulu atau pun sekarang, tidak ada wanita lain dan tidak akan pernah!" Arvin menghela napas, meletakkan berkasnya. "Coba katakan alasan dari omong kosongmu barusan?" Elvio mengerjap di tempatnya, terkeju
Mungkin Zoya keterlaluan, bersikap sedingin itu pada ibu kandungnya, tapi memangnya dia bisa menyambut dengan hangat dan penuh senyum seseorang yang telah meninggalkannya? "Bisakah kita bicara sebentar?" Zoya menarik napas pelan. "Maaf, saya sedang bekerja. Silakan pergi jika tidak ada lagi yang ingin Anda beli," ucapnya tegas.Wanita baya di hadapan Zoya tampak bergetar, tatapannya goyah sejak menerima penolakan tegas dari putrinya. "Kapan kamu selesai bekerja? Mama akan menunggu sampai--!" "Tolong hentikan!" potong Zoya cepat, tangannya berkeringat ketika mendengar lagi kata 'Mama'. "Saya mohon ... jangan mengganggu pekerjaan saya." Tatapan penuh permohonan yang dilayangkan Zoya membuat wanita baya itu tersenyum pahit. "Maaf sudah mengganggu, Mama harap kita bisa bicara suatu saat nanti. Mama akan menunggu kamu. Datanglah ke rumah sakit kapan pun." Zoya tidak menjawab apa pun saat wanita berstatus ibu kandungnya itu membungkuk sebelum meninggalkan mini market. Bahkan setelah ke