Jawaban istrinya membuat Arvin terdiam, senyum tipis terpatri di bibirnya melihat bagaimana Zoya berbinar dan tampak bangga dengan perjuangannya. "Aku berharap bisa selalu memakan masakanmu, tapi bukankah itu sama saja dengan menjadikanmu pembantu? Jadi, sekali-sekali, kuharap kamu mau memasak untukku lagi. Tidak perlu seminggu sekali, satu bulan sekali pun tidak apa-apa." Zoya mengerutkan dahi ketika jantungnya berdebar seperti orang bodoh. Padahal mungkin saja Arvin mengatakan itu hanya untuk basa-basi, bukannya benar-benar menyukai masakannya. "Aku memasak untuk El setiap hari, kamu boleh bergabung makan siang bersama kami seperti sekarang kalau mau." Zoya mengangkat bahu, melanjutkan makannya tanpa memperhatikan raut para pria di sekitarnya.Elvio yang sejak tadi hanya diam mendengarkan, juga sempat hampir terpana saat mendengar kata-kata Arvin tentang pujiannya pada masakan sang ibu, menatap datar pria berstatus ayah kandungnya yang juga tengah membalas tatapnya.'Awas saja ka
"Kau benar-benar akan terus merengut seperti itu?" Elvio yang tengah memandang keluar jendela dengan bibir mengatup rapat langsung mengerutkan dahi mendengar pertanyaan pemuda yang menyetir di sisinya. "Aku tidak akan membawamu kabur dari ibumu, kenapa kau terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka begini?" Arvin kembali bertanya. Iseng sebenarnya, karena dia tahu tidak akan mudah menjadi akrab dengan anak 'spesial' seperti Elvio. "Aku tidak bisa dapat es krim karena Papa membawaku tiba-tiba!" Es krim? Arvin mendegus mendengar jawaban putranya. Benar yang dikatakan Zoya pada pertemuan pertama mereka, Elvio sangat menyukai es krim."Aku bisa membelikanmu es krim juga sebanyak yang kau mau," ucap Arvin sembari menghentikan mobilnya saat telah sampai di depan pintu lobi hotel. "Tapi, tentu saja setelah melalui persetujuan Mama nanti malam," lanjutnya kemudian yang menghapus binar senang di wajah Elvio.Elvio berdecak malas, keluar dari mobil dan menendang pelan ban dengan ujung sep
Elvio tidak sempat bereaksi saat Aileen tiba-tiba mendekat dan mengecup keningnya. Tubuhnya meremang ketika mendengar lagi kata 'Mama' keluar dari mulut Aileen. Hingga wanita itu keluar dari ruangan, Elvio masih dipenuhi ketakutan tanpa dasar."Hey!" Elvio menoleh ke arah Arvin yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya. "Aku sudah pernah mengatakan ini, tapi sampai kapan pun ibuku hanya satu. Aku tidak sudi harus memanggil wanitamu dengan panggilan 'Mama'!" Kemarahan kental yang Arvin rasakan dari kata-kata putranya membuat keningnya berkerut. Omong kosong apa yang sedang anak itu katakan?"Siapa yang kau sebut sebagai wanitaku? Aku memang tidak pernah mengatakannya, Gavin, tapi aku bukan pria brengsek yang bermain dengan wanita lain saat punya istri. Ibumu adalah satu-satunya, entah dulu atau pun sekarang, tidak ada wanita lain dan tidak akan pernah!" Arvin menghela napas, meletakkan berkasnya. "Coba katakan alasan dari omong kosongmu barusan?" Elvio mengerjap di tempatnya, terkeju
Mungkin Zoya keterlaluan, bersikap sedingin itu pada ibu kandungnya, tapi memangnya dia bisa menyambut dengan hangat dan penuh senyum seseorang yang telah meninggalkannya? "Bisakah kita bicara sebentar?" Zoya menarik napas pelan. "Maaf, saya sedang bekerja. Silakan pergi jika tidak ada lagi yang ingin Anda beli," ucapnya tegas.Wanita baya di hadapan Zoya tampak bergetar, tatapannya goyah sejak menerima penolakan tegas dari putrinya. "Kapan kamu selesai bekerja? Mama akan menunggu sampai--!" "Tolong hentikan!" potong Zoya cepat, tangannya berkeringat ketika mendengar lagi kata 'Mama'. "Saya mohon ... jangan mengganggu pekerjaan saya." Tatapan penuh permohonan yang dilayangkan Zoya membuat wanita baya itu tersenyum pahit. "Maaf sudah mengganggu, Mama harap kita bisa bicara suatu saat nanti. Mama akan menunggu kamu. Datanglah ke rumah sakit kapan pun." Zoya tidak menjawab apa pun saat wanita berstatus ibu kandungnya itu membungkuk sebelum meninggalkan mini market. Bahkan setelah ke
Memperbaiki? Zoya tidak tahu harus tertawa dengan cara apa, kata-kata Arvin terlalu lucu. Sudah terlambat untuk memperbaiki sesuatu saat seluruh pelayan di kediaman itu tahu siapa 'Nyonya' sebenarnya di sana. Tapi, Zoya tidak bisa mengatakan jika kehadiran Aileen di antara mereka akan membuat orang-orang mengabaikan keberadaan Zoya dan Elvio. Pagi ini Arvin mungkin mengembalikan seluruh hak untuk mengatur rumah pada Zoya karena kesalahan yang Aileen yang buat. Tapi, satu hal itu saja tidak cukup, karena sejak awal posisi Aileen dan Zoya sudah sangat berbeda. Dilihat dari kamar saja sudah sangat berbeda. Bukan Zoya yang tinggal di kamar utama, melainkan Aileen, dan seluruh pelayan di sana sudah pasti tahu."Tidak ada yang perlu diperbaiki, aku bisa mengatasinya dengan caraku." Jawaban Zoya membuat Arvin mengumpat dalam hati. Dia berharap istrinya mengatakan tentang kesalahpahaman yang ada di kepalanya seperti Elvio, tapi melihat bagaimana Zoya sangat teguh tidak mengatakan apa-apa me
Arvin terhenyak melihat amarah yang tercetak di mata istrinya. Tampilan yang sama persis seperti Zoya beberapa tahun lalu. Zoya yang selalu marah dan tidak puas pada Arvin. Pria itu bangkit dari duduknya dan langsung menarik pinggang Zoya mendekat, tangannya menahan belakang kepala wanita itu sebelum menyatukan bibir mereka. Zoya yang tidak sempat menghindar berusaha untuk mendorong Arvin, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan pemuda itu. "Hmph!" Mata Zoya mulai berair ketika lidah Arvin masuk dan menjelajah mulutnya, membuat napasnya tercekat seiring dengan rasa panas yang mulai menyebar hingga pusat tubuhnya. Arvin melangkah mundur dan kembali duduk di ranjang putranya tanpa melepaskan tautan bibirnya dan Zoya, membawa wanita itu ke atas pangkuan. Suara basah yang tercipta dari pagutan keduanya membuat Zoya melingkarkan kedua tangannya ke bahu Arvin."Ehm!" Zoya melebarkan mata saat mendengar gumaman Elvio, tangannya memukul Arvin beberapa kali, memohon agar pemuda itu menghent
Aileen lagi. Arvin tidak tahu bagaimana harus menanggapi saat ia belum tahu di mana letak kesalahan Aileen hingga menimbulkan kesalahpahaman seperti ini."Dia tidak punya hak untuk merasa cemburu hanya karena aku bersama istriku." Arvin menjauhkan laptop yang telah ditutupnya, memilih untuk menghentikan keinginannya bekerja sejak Zoya membuka pembicaraan lain.Zoya terdiam, kepalanya menunduk saat menenangkan pikirannya. Tidak ada yang salah dari kata-kata Arvin. Aileen memang tidak punya hak untuk merasa cemburu karena secara hukum, Zoya adalah istri sah Arvin. "Kamu benar," ucap Zoya pada akhirnya, tidak mau lagi membahas sesuatu yang hanya akan menyakitinya. Seperti inilah Zoya sekarang, seluruh pikiran negatif dan ketakutan yang terkadang tidak jelas asalnya membuat wanita itu lebih baik menutup diri dan menjauh. Dulu dia akan dengan lantang bertanya pada Arvin dan membuat pria itu menghela napas jengkel, tapi sekarang ketika usianya semakin dewasa dan banyak kesulitan sudah ia l
Lagi, seolah segalanya hanyalah kebetulan, pagi ini Zoya kembali bertemu Aileen di dapur. Sama seperti kemarin, wanita itu pun memasuki dapur sambil menguap dan raut wajahnya menunjukkan keterkejutan yang kentara. "Sepertinya sejak kemarin kamu bangun subuh, Aileen, padahal sebelumnya tidak pernah. Ada apa?" Zoya langsung bertanya saat Aileen berdiri tidak jauh darinya.Aileen berdeham pelan, suaranya terdengar serak saat menjawab. "Aku haus, tidak ada minum di kamarku," ucapnya seraya berjalan pelan menuju lemari pendingin.Zoya menarik napas panjang, berusaha melanjutkan pekerjaannya tanpa harus melirik pada gaun tidur Aileen yang sangat terbuka. Kali ini Zoya tidak tahu bagaimana cara Aileen mendapatkan bercak-bercak baru di sekitar lehernya.Kemarin malam mungkin Zoya bisa berpikir jika Arvin memang melakukan 'itu' dengan Aileen sebelum menemuinya di dapur, tapi bagaimana dengan sekarang? Jelas Arvin selalu bersamanya sepanjang malam, jadi Zoya tidak tahu siapa yang memberikan ta
Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it
Zoya menyambut paginya dengan ketukan keras di pintu kamar. Masih subuh, tapi orang-orang di sekitarnya sudah sangat sibuk. Wanita itu duduk melamun di atas ranjang, membiarkan pelayan mondar-mandir di sekitar kamarnya.Ini adalah hari yang penting. Hari pernikahan Kaindra dan Mia digelar. Padahal yang menjadi pengantin hari ini bukan Zoya, tapi pelayan malah sangat sibuk mempersiapkan banyak hal untuknya. Ini bukan pertama kali Zoya menerima perlakuan seperti Tuan Putri. Saat masih di kediaman utama Aldara, setiap kali ada pesta perusahaan yang akan dilaksanakan, Zoya tidak pernah berdandan sendiri. Setiap kali dandanannya tidak sesuai selera sang Oma, wanita itu akan memarahi para pelayan karena tidak memperhatikan dengan benar saat merawat Zoya.Kalau sudah seperti itu, Zoya akan kembali ke depan cermin dan membiarkan pelayan memperbaiki riasannya. Padahal saat itu ia bahkan masih remaja yang harusnya tidak menggunakan make up terlalu tebal.Menghela napas, Zoya beranjak dari ranj
"Sudah tidur, ya?" Kaindra bertanya pelan sembari menatap pada Freya yang tengah terlelap, tampak beberapa bulir keringat di wajahnya. Mia yang baru selesai meletakkan guling dan bantal di sekitar Freya sedikit terkejut ketika Kaindra tiba-tiba sudah berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu memberi isyarat agar Kaindra tidak berisik dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Freya baru tertidur setelah meminum obat penurun panas.Kaindra mengecup kilat jari telunjuk Mia yang masih berada di bibir, tersenyum jahil melihat kening berkerut wanita di hadapannya sebelum kembali melayangkan kecupan lain di pipi wanitanya.Mia segera menarik Kaindra keluar dari kamar. Sepasang manusia itu berpapasan dengan Zoya yang juga ingin memeriksa kondisi Freya."Wah, si tidak tahu malu ini benar-benar menyusul ke sini!" Zoya mencubit lengan saudara kembarnya. "Bagaimana kondisi Freya?" tanyanya pada Mia setelah mengabaikan ringisan Kaindra."Dia tidur setelah minum obat, aku juga sudah memasang ple
"Selamat siang, Putri Tidur!" Sapaan itu membuat Zoya yang baru sampai di ruang keluarga sambil menguap, menggaruk kepalanya seraya tertawa canggung. Ia ingin menyalahkan Arvin yang mengajaknya begadang hingga membuatnya kesiangan, tapi pria itu bahkan sudah tidak ada di sisinya saat Zoya membuka mata."Halo, Ma!""Hai, Tante!"Zoya terkekeh gemas saat Elvio dan Freya juga turut menyapa."Selamat siang, anak-anak! Hehe ... selamat siang juga, Mama tersayang!" Zoya membalas sapaan sang ibu dengan senyum lebar. "Di mana yang lain?" tanya Zoya sembari berjalan mendekati ibunya."Arvin di taman belakang bersama Prazta dan Hannes." Vanya menjawab lembut pertanyaan putrinya. "Kamu makan dulu sana! Jangan sampai terlambat bangun membuatmu mengabaikan makan," peringatnya sembari memberi isyarat Zoya untuk pergi.Zoya hampir menanyakan apakah putranya dan Freya sudah makan, tapi segera menutup mulutnya saat mengingat jika matahari sudah cukup tinggi sekarang."Papa pasti ke kantor, kan? Tapi,