"Siapa gadis kecil itu, Stev?" tanya Jennie. Saat ini mereka berdua tengah berjalan menyusuri lorong Jenjay bersama. Tanpa Bella, karena gadis itu sedang berjalan-jalan bersama asisten Jennie untuk melihat-lihat isi dari tempat ini. Dan mungkin juga tengah mengisi formulir yang Jennie berikan.Tidak ada jawaban dari Stev. Pria itu terus berjalan tegak dengan pandangan yang lurus ke depan. Kedua tangan pria itu dimasukkan ke dalam celana. Membuat aura maskulin khas Stev terlihat dengan sempurna. "Mainanku," balas Stev pada akhirnya. Pria itu membuka mulut setelah menguncinya rapat-rapat dalam beberapa saat."Apa aku masih belum cukup untukmu, Stev?" tanya Jennie dengan nanar. Wanita itu mengerti, ia sangat mengerti jika Stev tidak akan cukup hanya dengan satu dua wanita saja. Meski Jennie mengetahui hal itu dengan jelas, wanita itu masih saja merasa sedih. Ia berharap jika Stev hanya akan menjadi miliknya saja. Tapi Stev tetaplah Stev, pekerjaan pria itu bahkan sudah membuktikan jika
Bella menatap malas pada wanita yang saat ini menghampiri Stev dengan tatapan manja."Ellen, kau sudah lama?" tanya pria itu.Sementara Ellen hanya menggeleng pelan sembari menampilkan senyum terbaiknya pada Stev. Entah mengapa, Bella merasa mual saat melihat senyum Ellen yang terkesan di buat-buat."Tidak. Aku baru saja sampai," balas Ellen.Stev mengangguk. Lalu memandang Bella yang kini terdiam. Menatap Ellen dengan sorot mata yang tidak dapat di artikan."Aku masuk dulu, Stev." Bella berucap pada pria itu sebelum pergi meninggalkan keduanya di halaman mansion. Stev tidak menjawab, pria itu hanya memandang kepergian Bella dengan tatapan datar seperti biasanya."Ayo masuk Stev," ajak Ellen. Wanita itu merangkul lengan Stev dengan erat. Kemudian mengajak pria itu untuk berjalan bersamanya menuju mansion.Pria itu tidak melakukan apa pun selain mengikuti Ellen. Toh, dia sendiri pasti juga akan masuk pada akhirnya. Tidak ada alasan baginya untuk menolak...."Hei Bella!" panggil ses
"Jam sembilan? Tapi, besok aku tidak bisa mengantarmu. Aku ada urusan, apa kau bisa berangkat sendiri?" tanya Stev. Pria itu menatap Bella yang kini berdiri di hadapannya. Bibir wanita tersebut perlahan terangkat membentuk senyum lebar."Benarkah? Kalau begitu aku akan berangkat sendiri besok. Kau selesaikan saja urusanmu dulu, tidak perlu mengkhawatirkan aku," balas Bella dengan wajah yang berbinar senang.Stev yang melihat Bella itu mendengus pelan, seharusnya ia tidak berbicara seperti itu pada Bella. Karena ia tahu jika gadis itu pasti akan senang jika dirinya tidak ada di sampingnya."Apa kau baru saja mengatakan jika aku mengkhawatirkanmu?" ucap Stev. Pria itu menarik Bella ke dalam pangkuannya. Sontak saja apa yang dilakukan Stev membuat wanita itu menahan napas. Pria itu kemudian mendekatkan wajah pada leher gadis itu. Dan mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh Bella. "Kau terlalu banyak bicara, bagaimana jika aku membungkam mulutmu?" tanya Stev. Dan pria itu terkekeh
"Kau tidak kembali ke kamarmu?" tanya Bella. Gadis itu baru saja keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk yang menutupi tubuhnya. Bella mendesah pelan saat Stev hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Pria itu hanya menatap Bella dengan raut wajah datar, memperhatikan Bella yang kini berjalan menuju lemari untuk mengambil pakaian.Stev mendengus pelan saat Bella kembali masuk ke kamar mandi dan berganti baju di sana. Membuat Stev yang kini bersandar pada kepala ranjang itu memutar bola matanya dengan malas."Apa-apaan dia?" gerutu Stev. Padahal dirinya sudah melihat semua yang ada pada tubuh Bella. Kenapa gadis itu masih saja merasa malu padanya?Stev kemudian menyibak selimut yang menutupi tubuh polosnya, pria itu lantas berdiri dan berjalan meninggalkan kamar Bella. Tak lupa pria itu memungut baju dan celananya yang berserakan di lantai sembari mendengus pelan.Sementara Bella, gadis itu kini tengah mengintip keadaan kamarnya dari balik pintu kam
Bella tersenyum kecil, gadis itu menyendok kan es krimnya dengan satu bulatan besar."Kau mau?" gadis itu menawari Stev. Bisa saja pria itu terus menatapnya sejak tadi karena ingin sedikit merasakan rasa manis yang ada pada es krim itu.Sementara Stev hanya memutar kedua bola matanya sembari mendengus pendek."Makan saja sendiri, aku tidak tertarik." Pria itu kembali memalingkan wajahnya ke depan. Menghindari tatapan Bella yang terlihat menggemaskan itu. "Baiklah. Aku akan menghabiskan ini, jangan menangis dan datang padaku jika kau menginginkan ini, oke?" "Cih, apa kau sangat suka pada es krim?" Bella mengangguk, "Selain cokelat, es krim adalah satu-satunya teman terbaikku," balas gadis itu. "Cokelat? Kau tidak takut gendut?" tanya Stev lagi. Pria itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ada dalam diri Bella. Gadis itu terlihat berbeda.Bella menelan es krimnya pelan sebelum menjawab pertanyaan Stev. "Kenapa aku harus takut gendut?" tanya gadis itu.Sementara Stev malah me
"Stev, keberangkatan kita dipercepat menjadi lebih awal. Bukan jam sembilan." Ellen memberitahu pria yang kini tengah duduk di salah satu kursi yang ada di mini bar milik pria itu. Stev melirik Ellen singkat, "Apakah ada masalah?" tanya pria itu sebelum kembali meneguk minumnya lagi. Ellen menganggukkan kepalanya sembari berjalan mendekat. "Ya. Setelah aku pikirkan lagi, ada kemungkinan kita akan diserang di jalan. Tempat itu sudah mulai memasuki kawasan anak buah Rudolf, jika mereka tahu kita ada di sana, bukan tidak mungkin untuk pria itu mengerahkan anak buahnya," jawab Ellen, wanita itu lantas mendudukkan diri pada kursi yang berada tepat di samping Stev. Wanita itu dapat mencium aroma wangi yang menguar dari tubuh pria di sebelahnya. Ellen dapat menebak jika itu adalah parfum Stev yang dia belikan saat ia pergi ke Paris pada bulan lalu. Dan saat mengetahui jika Stev menggunakan parfum itu, tidak ada yang dipikirkan Ellen saat ini kecuali rasa bahagia. Akhirnya Stev memakai apa
Bella menatap langit malam yang bertabur bintang dari balkon dengan tenang. Gadis itu tidak melakukan apa pun. Karena ia hanya diam saja sedari tadi dengan pandangan yang terus menatap kepada salah satu objek. Beberapa bintang yang ada di langit saling berhubungan hingga membentuk suatu rasi bintang. Dan wanita itu tersenyum kecil, ia tidak bisa melupakan begitu saja kenangan tentang siapa yang mengenalkan sebuah rasi bintang padanya. Orang itu sudah pergi dan tenang di surga, seharusnya Bella tidak sesedih ini saat mengingat kenangan itu. Tiba-tiba saja pintu kamar Bella terbuka, membuat gadis itu membalikkan badan untuk melihat siapa yang datang. Dan dirinya tidak bisa untuk tidak mendesah pelan saat melihat manusia tembok yang menurutnya sangat menyebalkan itu berjalan ke arahnya."Apa kau ingin mati kedinginan? Kenapa membuka jendela selebar itu?" ucap pria itu dengan suara berat yang dingin. Tampak sekali dari raut wajahnya, Stev tidak menyukai apa yang Bella lakukan."Aku hany
Bella menyisir rambut panjangnya dengan perlahan. Gadis itu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, sebelum akhirnya melarikan matanya pada jam yang tergantung di dinding.Bella menghela napas lega, setidaknya masih ada setengah jam lagi untuk sampai ke Jenjay. Gadis itu meletakkan sisir dan bergerak untuk mengambil ponselnya di atas nakas.Saat akan menyentuh ponselnya di sana, ia tidak dapat untuk tidak mengangkat salah satu alisnya ke atas saat mendapati sebuah kartu dambaan semua orang di atas meja dekat ponselnya. Dengan secarik note kecil yang ditinggalkan bersama dengan benda persegi panjang itu di sana. [ Aku meninggalkan salah satu kartu kreditku. Gunakan itu dengan baik selama aku pergi, mungkin aku akan kembali lebih lama. ]Bella mendengus pelan saat membacanya. Gadis itu lantas kembali meletakkan kertas itu di atas meja dan segera mengambil ponselnya tanpa sedikit pun menyentuh benda peninggalan Stev. Gadis itu tidak akan menggunakan uang Stev yang ada di sana sepese
Bella dengan cepat menjauhkan dirinya dari Stev. Wanita itu memandang pria itu dengan waspada. Kalau-kalau pria ini berani berbuat macam-macam padanya. "Apa-apaan kau," ucap Bella dengan sebal. Wanita itu mengambil gelas yang tadi di hidangkan oleh salah satu pelayan di sini."Kau belum menjawab pertanyaanku," ucap Stev. Membuat Bella yang sedang minum itu menatap Stev dengan tatapan bertanya. "Apa?" tanya wanita itu. Dan Stev hanya mendesah pelan. Ia terlalu malas untuk mengulang perkataannya. Namun kali ini sepertinya ia harus kembali mengatakannya pada Bella. Pikiran wanita itu berjalan seperti siput, lambat sekali. "Kau tidak ingin bertanya mengapa aku membawamu kemari?" tanya Stev. Dan Bella yang menyadari jika Stev tadi juga berkata seperti itu hanya mendesah pelan. "Apakah aku harus bertanya seperti itu?" Wanita itu tidak membalas ucapan Stev dan malah balik bertanya.Stev tidak percaya jika Bella akan berkata seperti itu. Padahal wanita itu selalu ingin ikut campur urusan
..."Wow! Ini menakjubkan, kurasa mansion ini lebih indah dari yang saat ini kau tinggali Stev," ucap Bella. Wanita itu menatap bangunan besar yang ada di hadapannya. Di setiap sisi mansion itu terlihat beberapa pohon besar tumbuh dengan taman di depan mansion tersebut, terlihat rindang dan menyejukkan mata.Tampak lebih hidup daripada mansion yang juga digunakan sebagai tempat tinggalnya. "Kau suka?" tanya pria itu masih dengan wajah datarnya yang membuat Bella mendengus pelan. "Tentu saja aku suka. Siapa yang tidak akan suka tinggal di tempat cantik seperti ini? Ini seperti sebuah cerita dalam novel. Hanya saja ini nyata dan bukan fiksi," balas Bella. "Kalau begitu ayo masuk," ucap Stev sembari berjalan. Membiarkan Bella mengikutinya dari belakang. "Apa di sini ada orang?" tanya Bella pada pria yang berjalan di sebelahnya itu. Akhirnya Bella berhasil mensejajarkan langkahnya dengan Stev. "Ada." Pria itu membalas singkat. "Apa mereka keluargamu?" tanya Bella lagi. Dan pria it
Stev mendesah pelan saat pria itu melihat Bella masih terbaring di atas ranjang dengan nyamannya. Tanpa tahu jika dirinya sudah memandang penuh ke arah wanita itu lebih dari sepuluh menit. Ia melihat jam yang ada pada pergelangan tangan besarnya. Padahal waktu yang tertera masih setengah lima pagi, dan Stev sudah siap dengan pakaiannya yang rapi. Ia melesak masuk ke dalam kamar Bella tanpa permisi, dan dengan gerakan cepat tangannya menyingkap selimut yang Bella kenakan hingga membuat gadis itu menggigil kedinginan. "Bangun," ucap Stev pada wanita itu. Dan bukannya bangun, Bella malah berbalik memunggungi Stev dengan tangan yang terus menggapai-gapai di mana selimutnya berada. "Bangun atau aku akan memakanmu saat ini juga," ucap Stev sekali lagi. Dan anehnya, Bella langsung membuka kedua matanya. Gadis itu seperti mendengar suara Stev di kamarnya. Bella berpikir jika itu pasti mimpi. Dia tidak mempedulikan hal ini dan kembali menutup mata, tubuhnya begitu lelah karena ia tidur te
"Lucy akan kembali besok. Kita akan berangkat pagi-pagi sekali. Menggunakan helikopter," balas Stev. Membiarkan Bella membulatkan bibirnya tak percaya. "Apa? Jangan bilang kau belum pernah naik helikopter," ucap Stev yang ternyata tepat. Gadis itu memang belum pernah menaiki helikopter, namun ia pernah melihat benda terbang itu. "Aku memang belum pernah," ucap Bella sembari terkekeh pelan. Dan Stev hanya mendecih mendengar perkataan wanita itu. "Dasar miskin.""Ck! Kau tidak boleh bicara seperti itu meski pun kau orang kaya, Stev! Akan ada saatnya kau di bawah nanti. Lihat saja," balas Bella."Kau sedang mengancamku atau mendoakan aku?" "Terserah kau mau menganggapnya apa," balas Bella. Wanita itu kini lebih memfokuskan diri untuk memasak daripada berbicara dengan Stev yang tidak terlalu penting itu. "Kau membuat apa?" tanya Stev. Pria itu berdiri tepat di belakang Bella, membuat wanita itu menghela napas pelan. "Jauhkan wajahmu dari sana, sebelum aku menyiram wajahmu denga air
Stev menaikkan salah satu alisnya ke atas saat ia melihat Bella menghentikan langkahnya. Wanita itu seperti ragu untuk untuk melangkah masuk ke kamar Ellen. Jadi, yang dilakukannya saat ini hanyalah diam di tempat berdirinya. "Kau tidak mau masuk?" tanya Stev. Pria itu mendekat ke arah Bella dengan langkah kakinya yang lebar-lebar."Apakah dia akan memperbolehkan masuk ke sana?" tanya Bella. Ia tidak yakin jika Ellen akan baik-baik saja dan menerima dirinya. Wanita itu pasti akan langsung mengusir Bella saat Bella hanya baru satu kali melangkah ke dalam kamar wanita itu. Sementara Stev hanya mengendikkan bahunya acuh. "Entahlah. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Bukankah kau sendiri yang bilang jika ingin ke kamarnya?" tanya Stev. Dan tidak ada yang Bella lakukan selain hanya menghela napas pelan sembari mengangguk."Baiklah," balas wanita itu dengan yakin. Ya, setidaknya ia harus mencoba terlebih dahulu. Dan jika Ellen mengusirnya Bella hanya bisa menuruti permintaan wanita itu.
Bella mengerutkan dahi saat dirinya hanya mendapati Lucy yang sendirian."Di mana dua sahabatmu itu?" tanya Bella sembari berjalan masuk ke dalam. Sementara Lucy hanya mendengus pelan mendengar pertanyaan Bella. "Yang kau maksud itu mereka berdua atau hanya Stev saja?" tanya Lucy. Pria itu sedikit tidak yakin jika Bella benar-benar bertanya di mana Ellen berada. Dan Bella hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku tidak peduli dengan pria arogan itu," balas Bella. Tampaknya wanita itu langsung berubah mood menjadi buruk saat mendengar nama Stev yang Lucy ucapkan."Siapa yang kau sebut pria arogan?" ucap suara baritone di belakang Bella. Membuat Bella melotot seketika. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan Stev sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Pria itu menaikkan sedikit dagunya dengan angkuh. Membuat Bella yang melihat itu mendengus. "Kau tidak perlu tahu siapa pria itu," balas Bella dengan nada suara yang sedikit ketus. Memb
"Hati-hati di jalan, Bella!" ucap Freya. Wanita itu melambai ke arah Bella dengan senyum manis yang tersemat di bibir.Sementara Bella hanya mengangguk singkat pada wanita itu. Ia lalu keluar dari Jenjay dengan langit yang sudah mulai berganti warna.Saat dirinya berjalan hendak pulang, tiba-tiba saja seorang anak kecil berwajah manis menghampirinya dengan keranjang bunga yang menggantung di lengan anak kecil itu. "Kakak. Belilah bunga ini, ini sangat cocok dengan kakak yang cantik," ucap gadis kecil itu sembari menyodorkan setangkai bunga lily pada Bella disertai senyum yang menggemaskan.Bella terpaku di tempat. Ia tidak menyangka jika gadis kecil itu menjual bunga sendirian di sini. Tanpa seseorang yang mendampinginya. Apa anak kecil itu tidak takut tersesat? "Bunga yang cantik, aku akan membelinya beberapa tangkai," balas Bella. Ia pun berjongkok, menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi badan gadis kecil tersebut. Sementara gadis kecil itu tiba-tiba mengerjap senang. "Benar
"Dia benar-benar hebat, Bos. Kemampuannya dalam meretas keamanan dan membuat strategi tidak main-main. Aku pernah sekali menghadapinya. Saat itu aku yakin jika aku bisa mengalahkan wanita itu karena dia yang terdesak sendirian tanpa Stev dan Lucy di sana. Namun, dia berhasil membalikkan keadaan dan balas menyerangku dengan beberapa orang yang aku bawa. Aku beruntung, aku tidak mati saat itu juga karena dia yang membiarkanku pergi," ucap pria itu. Sementara bosnya itu hanya mengangguk-angukkan kepala sembari mendesis pelan. "Wanita itu ... aku ingin mendapatkannya," ucapnya dingin.Membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu membelalakkan mata. "Tapi, Bos. Itu sepertinya tidak mungkin, dia adalah musuh kita." Satu-satunya wanita yang ada di sana menolak keras keinginan bosnya itu. "Apa kau takut jika dia akan mengalahkanmu, Vivie?" tanya pria itu sembari menatap datar pada wanita di hadapannya. Ia tahu dengan persis apa yang sedang di pikirkan wanita itu. Vivie menggeleng pe
"Terima kasih, Stev."Stev tidak menjawab. Melainkan hanya mengangguk pelan pada gadis itu tanpa berniat membuka mulut untuk mengeluarkan suara. Sementara Bella yang sudah hafal dengan persis kebiasaan Stev itu hanya bisa tersenyum masam. Ia maklum dengan pria yang menurutnya sangat irit bicara itu. Namun, jika sekali saja Stev berucap. Suara pria itu akan terdengar sangat seksi hingga membuat orang yang mendengarnya merasa tergoda untuk mendekat.Mobil pria itu kembali berjalan. Meninggalkan Bella di depan gedung tempat kerja gadis itu. Bella hanya mendesah pelan sembari menatap kepergian mobil Stev yang semakin lama semakin menjauh. Gadis itu kemudian membalikkan badannya dan memasuki tempat kerjanya dengan langkah senang. Tanpa tahu, jika orang yang sedari tadi berdiri di dalam Jenjay mengamati Bella yang sedang berbicara dengan Stev. Ia dapat melihat Bella yang tersenyum dengan manis pada seseorang yang ada di dalam mobil tersebut. "Ada apa, Ketua?" tanya seseorang yang kini