“Pergilah!” usir Saga pada perawat yang sedang mengoleskan salep pada tumit Sesil dengan sangat lambat.
Perawat itu mematung lalu mendongak dengan ketakutan. Wajah tampan Saga menakjubkan, dengan mata sebiru lautan yang menghanyutkan wanita mana pun. Tetapi, aura berbahaya yang menyelubungi pria itu adalah sesuatu yang dijauhi secepat mungkin.
“Tinggalkan semua itu di sini. Aku yang akan melakukannya sendiri,” jelas Saga tak sabaran. Ia sudah biasa terluka dan merawat lukanya sendiri dengan benar tanpa bantuan seorang dokter. Tentu merawat luka seringan lecet karena sepatu berhak tinggi bukanlah masalah.
Perawat itu masih tak bergerak. Hendak menjelaskan bagaimana cara merawat luka lecet itu dengan benar. Tetapi, aura mencekam yang memenuhi udara di sekitar mereka membuatnya membeku. Belum lagi dengan pistol nampak jelas bersarung di pinggang Saga, membuatnya semakin menggigil oleh ketakutan.
Mata Saga mendelik, siap memakan perawa
“Kau mungkin bisa memaksa kita menjadi pasangan, Saga. Tapi kautahu kita tak akan bisa menjadi orang tua.” Sesil memecah keheningan ketika mobil yang mereka tumpangi mulai keluar dari halaman rumah sakit dan membelah lalu lintas yang padat. Setelah mereka bangun jam delapan pagi, Sesil bersikeras meminta pulang. Ia merasa dirinya sudah kembali bugar setelah tertidur dan tak mendapatkan keluhan apa pun. Ia beralasan merasa pusing mencium bau rumah sakit. Beruntung alasan tak masuk akalnya diterima oleh Saga tanpa perdebatan sekecil apa pun.“Kita sudah menikah.” Saga menjawab dengan enggan masih dengan kepala menghadap ke depan. Entah apa yang dipikirkan pria itu ketika mengurut-urut dagunya yang tak gatal sejak masuk ke mobil. Bahkan pria itu tak banyak mengeluh dan terkesan menutup mulut dengan permintaan atau penolakan Sesil yang biasanya akan menjadi masalah besar.“Ini bukan pernikahan ...”Saga menoleh. “Terima saja
“Apa kauingin sesuatu?”“Jangan bertanya jika kau memang tak akan mengabulkannya.” Sesil menggumam lirih sambil membalik buku yang ada di pangkuannya tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun untuk pria itu.“Biasanya wanita hamil menyukai berdekatan dengan ayah si bayi, kurasa aku tak keberatan jika kau tiba-tiba begitu bernafsu padaku.”“Jangan bermimpi dengan mata terbuka, Saga.” Sesil mengangkat wajahnya dan menatap dengan sinis ke arah Saga. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk di pinggang. Titik-titik air masih membasahi dada bidang pria itu yang terekspos bebas. Aura kejantanan yang begitu kuat dan keras sesaat mengirimkan sinyal gelenyar aneh ke pikiran Sesil yang sedikit konslet. Lalu, gelenyar itu menyebar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh tubuhnya melemah. Dan semakin tak terkendali saat pria itu mulai mendekat dan duduk di sofa tunggal di sa
Gedoran keras di pintu mengagetkan Sesil dari lamunannya. Sesil terkesiap kaget, memutar tubuh bersandar pada wastafel, dan menatap pintu dengan ngeri. Apa Saga mulai naik darah? Apa pria itu menyadari kebohongannya secepat ini? Tidak, mungkin dari awal pria itu memang sudah mengetahui kebohongannya. Pria itu tahu segalanya, bahkan pikiran terdalam yang berusaha ia tutup rapat-rapat sekalipun. Tubuhnya membeku dan kedua tangannya yang memegang pinggiran wastafel mulai berkeringat.“Apa kau pikir aku tak tahu apa yang kaulakukan di dalam sana? Aku bahkan tak bisa berkata-kata dengan ketololanmu, Sesil,” geram Saga dengan kedua tangan terkepal. Rahang pria itu mengeras, seolah menahan emosi yang meluap-luap tak terkendali.Setelah semua kesabarannya menghadapi sikap Sesil sejak di rumah sakit, dan wanita itu masih berpikir bisa mempermainkannya lebih jauh. Ia tak menyangka Sesil menipunya mentah-mentah begini. Ia hampir percaya semua kebohongan wanita itu, ji
Alec terdiam sejenak. Lalu beralih mengamati wajah Sesil. “Dan sepertinya kau tidak terlalu senang. Apa Saga akan merawat anak kalian?”Sesak itu datang lagi ketika kepalanya hendak mengangguk mengiyakan. Jadi ia hanya terpaku dan menatap Saga di kejauhan dari samping tubuh Alec.“Apa dia juga berjanji akan melepaskanmu lengkap dengan nyawamu?”Sesil tersentak. Matanya membelalak tak percaya. Apa yang dimaksud Saga melepaskannya itu adalah membunuhnya? Sesil menelan ludahnya yang serasa seperti gumpalan batu. “Aa ... apa maksudmu, Alec?”Alec mengibaskan tangan di depan wajah dengan kekehan ringannya. “Kau tahu, Saga sangat pandai memanipulasi pikiran orang. Memanipulasi kata-kata tentu jauh lebih mudah. Aku hanya ingin kau memastikan kesepakatan apa pun yang kau buat dengan Saga, buatlah setidaknya pria itu membiarkan nyawamu masih melekat di tubuhmu. Serusak apa pun kau, bernapas melebihi segalanya, Ses
Sesil menatap dua pelayan yang masuk dan meletakkan nampan berisi daging panggang, berbagai macam sayuran yang ditusuk jadi satu, segelas jus berwarna merah, dan saus sebagai pelengkap. Air liur Sesil seketika membasahi seluruh mulutnya dan ia segera mengambil tempat di sofa untuk mulai menyantapya. Ia tak menahan diri untuk memenuhi perutnya dengan semua santapan nikmat itu. Sikap Saga yang menyebalkan dan memeras emosi Sesil, membuatnya lebih sering merasa lapar.Mungkin diagnosis dokter yang salah. Mengatakan bahwa nafsu makan wanita hamil berkurang di trimester pertama. Mual dan muntah karena mencium bau makanan. Tetapi Sesil, saat ia mencium bau makanan, ia merasa liurnya hampir menetes dan ia akan memakan apa pun demi menuntaskan mulutnya yang tak pernah ingin berhenti mengunyah.Tanpas sadar, salah satu kamera menyala dan terfokus hanya pada Sesil. Menangkap sekecil apa pun ekspresi yang melintas di wajah mungil itu. Termasuk saus yang belepotan di sisi bibir Se
Sesil meletakkan gelas kosong yang sebelumnya berisi susu ibu hamil tepat ketika Saga berjalan masuk ke ruang makan. Bola matanya mengikuti pria itu dengan tatapan sinis. Saga sudah mengganti jubah mandinya dengan pakaian santai. Kaos hitam pendek dan celana selutut. Rambutnya yang masih basah sudah tersisir rapi ke belakang. Wajah pria itu terlihat segar. Lalu hidungnya yang mancung, matanya yang tajam, bibirnya yang tebal dan menggaris dingin. Apa orang brengsek memang bisa terlihat setampan dan sememukau itu? Hentikan Sesil! Tangan tak kasat mata memukul kepalanya keras-keras. Menyadarkannya untuk segera kembali ke akal sehatnya. Pria itu baru saja berselingkuh di depan matamu. Pujian hanya boleh dihadiahkan pada orang yang baik dan setia.Sesil meletakkan lap di pangkuannya ke meja, merasa beruntung ia menghabiskan makannya di waktu yang tepat sehingga ia tak perlu berada di waktu dan tempat yang sama dengan Saga. Ia sudah berdiri ketika tangan Saga menahan pergelangan ta
Sesil mendengar pintu terbuka, langkah kaki yang mendekat membuat Sesil segera menutup pintu kamar mandi dan berniat menguncinya.“Jangan coba-coba mengunci kamar mandiku lagi, Sesil!” Suara ancaman Saga menghentikan tangan Sesil melayang di udara. Lalu pintu terayun membuka dan Saga masuk. Bersandar pada pinggiran pintu mengamati wajah Sesil yang memerah dan basah. “Apa kau menangis?”“Bukan urusanmu!” Sesil menghentakkan kaki dan berjalan keluar kamar mandi. Salah satu tindakan bodoh, karena gerakannya malah membuat Saga menarik pinggang wanita itu dan menempelkan tubuh mereka.“Lepaskan aku, Saga!” Sesil memegang lengan Saga yang melingkari pinggangnya. Tetapi, pria itu malah mengangkatnya hingga wajah keduanya berada sangat dekat dan kakinya melayang di udara. Sesil menyerah, membuang wajah ke samping dengan rona merah yang semakin memenuhi seluruh wajahnya. Berdekatan dengan Saga tak pernah membuatnya waras.
Reynara terisak, meringkuk dengan kedua tangan memeluk kedua lututnya di balik selimut. Tubuhnya remuk, hatinya dunianya hancur, dan sprei yang berantakan di sekitarnya menjadi saksi bisu atas hilangnya kesucian yang selama ini ia pertahankan. Arga telah merenggutnya, dengan sangat kejam dan tanpa belas kasihan. Arga memperkosanya.Tubuhnya menegang ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Seumur hidup, ia belum pernah merasakan bagaimana rasanya ketakutan. Tidak pernah hingga di detik Arga merenggut mahkotanya. Ia merasa marah karena pria itu mengenalkannya rasa takut. Ketakutan hanya akan membuatnya menjadi lemah, dan ia benci menjadi lemah.Pria itu mengatakan tak berselera menidurinya dengan pikirannya yang dipenuh Saga. tetapi, lihatlah. “Kau menjilat ludahmu sendiri,” geram Reynara penuh kebencian.“Well, saat kita bersetubuh, otakmu hanya dipenuhi kemarahan yang kautujukan padaku, bukan obsesimu pada Saga.” Arga melempar h
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?