“Aku ingin tempat yang aman. Siapkan beberapa orang di sana dan pastikan tidak aka nada yang mengendus rencana ini. Buat beberapa pengalihan dan gosip tak penting. Mungkin itu akan membantu.” Sesil mengerjap pelan, kemudian berbalik dan berjalan kembali ke kamar tanpa menciptakan suara sekecil apa pun sebelum Saga menyelesaikan panggilan tersebut. Langsung masuk ke kamar mandi dan mengunci lalu menyandarkan punggungnya di pintu. Raut wajahnya masih memucat, menelaah apa yang baru saja didengarnya. Apakah Saga akan mengirimnya dan Kei pergi? Pesawat? Passport? Sudah jelas tidak di negara ini lagi. Jadi Saga akan mengirimnya dan Kei ke luar negeri? Kenapa? Berkali-kali Sesil memikirkannya, semua terasa tidak masuk akal. Suara gagang pintu yang digerakkan dari luar mengalihkan lamunan Sesil. Sesil segera mengeringkan wajahnya menggunakan handuk dan membuka kunci. “Kenapa kau menguncinya?” Sesil mengedipkan mata, menampilkan ekspresi senormal mungkin saat menjawab, “Sepertinya k
Sesil tengah berdiri di depan cermin wastafel, menatap wajahnya yang termenung. Benaknya tak berhenti bertanya-tanya dan berpikir. Juga mencoba introspeksi diri, sikapnya yang mana yang membuat Saga mulai muak? Keras kepalanya? Ketidak patuhannya? Apakah pria itu tidak lagi mencintainya? Cukup lama dan merasa pegal berdiri, Sesil keluar dari kamar mandi. Saga melangkah masuk. “Kau baik-baik saja?” tanya Saga karena Sesil hanya terdiam di depan pintu kamar mandi. Sesil mengangguk, dan tak suka pertanyaan-pertanyaan di kepalanya hanya menggantung begitu saja. Ia pun menghampiri Saga bergelayut manja di lengan pria itu dan menjatuhkan kepalanya di pundak saat membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Apakah kau mencintaiku, Saga?” Kening Saga berkerut dengan pertanyaan aneh tersebut. “Kenapa kau mempertanyakan pertanyaan yang kau sudah tahu pasti jawabannya, Sesil.” “Apakah kau bisa hidup tanpaku?” Saga merasa pertanyaan Sesil semakin aneh. “Apa yang kau katakan?” Sesil menggeleng
Langkah Sesil terhenti ketika melihat seseorang yang baru saja menaiki tangga berbelok ke arah ruang kerja Saga. Pria itu membawa amplop coklat di tangan kanan. Dan tak lebih dari satu menit, pria itu keluar dengan tangan kosong. Sesil bersembunyi di balik partisi, mengintip hingga pria itu menghilang dari lantai satu. Lalu menyelinap ke ruang kerja Saga. Amplop coklat yang dibawa pria itu diletakkan di meja. Sesil membukanya dan terkesiap menemukan isi amplop tersebut adalah passpor atas namanya dan Kei juga kartu identitasnya. Beberapa kartu berwarna hitam dan gold. Lalu kartu identitas lainnya dengan fotonya tetapi dengan nama yang berbeda. Aileen Jacqueline Clayton Jorda Dan terakhir, yang membuatnya semakin syok adalah tiket penerbangan ke Turki. Untuk dua hari ke depan. Tubuh Sesil terhuyung ke belakang. Jatuh terduduk di kursi. Semua isi amplop tersebut jatuh ke lantai karena tangannya yang bergetar hebat. Menggigit bibirnya demi menahan isak tangis yang terasa mencekik l
“Mama, kita mau ke mana?” Sesil yang tengah melamun terkesiap pelan mendengarkan pertanyaan Kei. Kepalanya berputar dan menatap wajah putranya dalam diam. Lalu menghela napas panjang dan bertanya, “Kei lelah?” Kei tak mengangguk, juga tak menggeleng, Sesil merangkum wajah sang putra dan mengelusnya dengan lembut. Mata putranya tampak sayu. Sudah lebih dari satu jam keduanya naik taksi tanpa arah dan tujuan. “Kei mengantuk?” Kei menggeleng. “Kalau begitu kita akan istirahat dulu.” Sesil menyuruh sopir membawa mereka ke hotel terdekat. Dalam perjalanan, Sesil singgah sebentar untuk membeli pakaian ganti Kei. Ya, mereka berdua jelas tak membawa apa pun ketika menyelinap keluar. Tetapi beruntung ia membawa uang cash yang cukup banyak dari lemari penyimpanan Saga untuk membayar tagihan taksi yang membengkak. "Kenapa Kei hanya diam saja? Apakah Kei tidak suka pergi dengan mama sendiri?" Kei menggeleng. Mendadak Sesil bertanya, apakah bocah ini tahu kalau diajak melarikan diri? "Kei
Sesil tahu Saga tak butuh jawaban darinya. "Kau bahkan akan melenyapkan kami dan mengubah identitas kami, kan? Saga menghela napas panjang dan berat. Inilah sebabnya ia benci melepas CCTV di area dalam rumah. Lupa kalau istrinya akan selalu punya pendapatnya sendiri. "Aku memiliki alasan untuk melakukannya." "Kau selalu punya alasannya, Saga." "Kita akan membicarakannya di rumah." "Atau kau hanya menunda rencana itu?" sengit Sesil. Dan kali ini ia tahu tebakannya benar, Saga tak mengatakan apa pun." Hening sejenak "Kita pulang sekarang." Suara Saga setengah membujuk. "Hanya dengan satu syarat." Saga kembali membisu. Ia tahu syarat yang diberikan Sesil tak akan mudah. Bahkan tak mudah masih lebih baik jika dibandingkan dengan tak masuk akal. "Kau tak tahu seberapa besar bahaya yang mengintaimu dan Kei, Sesil." "Setidaknya tak akan lebih buruk dari ingatanku yang hilang dan terbangun sebagai tunangan dari musuh kekasihku, kan?" Kata-kata Sesil berhasil menohok hati Saga. Mulu
Sepanjang sisa hari, Sesil sama sekali tidak keluar dari kamar. Berbaring di tempat tidur dan hanya bangun untuk memakan makanan yang terasa hambar di lidahnya. Bayangan masa depannya yang tanpa Saga membuat seluruh tenaganya raib entah ke mana. Malamnya, pria itu tidak tidur di kamar. Dan Sesil tak peduli. Menekan rasa membutuhkan yang meronta di dalam hatinya. Memaksa matanya terpejam meski sulit. Ia ingin memeluk Saga. Entah karena ia mencintai pria itu atau memang hormon kehamilan yang membuat keinginan itu sulit ditahan. Lelah memikirkan semua itu, pada akhirnya Sesil tertidur. Keesokan pagi, Sesil terbangun lebih pagi dari biasanya. Rasa kosong dan hatinya yang patah menyambut harinya dengan muram. Memaksa kedua kakinya turun dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menghabiskan waktu di dalam kamar pun ternyata lebih membosankan. Saat ia keluar dari kamar dan hendak ke kamar Kei, ia melihat Saga yang baru keluar dari ruang kerja. Pandangan mereka bertemu sesaat
Selama tiga hari berikutnya, Saga masih tak kembali ke tempat tidur. Membuat Sesil semakin tertekan. Sesil bahkan tak tahu apakah pria itu ada di rumah atau tidak, bermalam di rumah atau tidak. Ia nyaris tak melihat batang hidung pria itu meski Kei mengatakan setiap malam Saga datang untuk melihat sebelum tidur. Dan Sesil yakin kedatangan pria itu hanya untuk meracuni pikiran Kei untuk melemparkan tanggung jawab melindunginya pada bocah mungil yang masih polos itu. Sungguh licik, batin Sesil mendengus. Saga benar-benar membiasakan dirinya untuk tidak membutuhkan pria itu. Mencicipi perasaan terbuang yang akan diberikan pria itu dalam dua hari ke depan. Kemarin dokter datang melakukan pemeriksaan terhadapnya dan kandungannya. Yang Sesil yakin untuk persiapan perjalanan. Mungkin tubuh dan kandungannya baik-baik saja. Tetapi hatinya jelas tidak. Bahkan pagi tadi Saga tak lagi menyembunyikan rencana pria itu. Meletakkan amplop coklat yang pernah ia temukan di meja kerja pria itu di nak
Bibir Sesil menipis, Saga tertawa kecil dan memberikan perhatian pada wanita pirang yang centil. Kemudian tersenyum lebih lebar dan mengambil botol anggur yang sudah diulurkan si wanita. "Butuh bantuan lainnya, tampan?" Wanita itu membungkuk sehingga wajahnya lebih dekat ke arah Saga, juga belahan dada yang memperlihatkan hampir seluruh bentuk benda itu di depan Saga. "Tidak sekarang," jawab Saga sambil menuangkan anggur ke gelas kosong dan wanita di depan mereka tampak kecewa meski melemparkan kerlingan mata nakalnya pada Saga. Wajah Sesil memerah, berusaha keras menahan diri dan menekan kuat-kuat amarahnya. Marcuss dan kedua wanitanya turun ke dek bawah air setelah mengeraskan suara musik di ruangan ini. Membuat telinga Sesil lelah meski suaranya tak berdentum hingga membuat telinga tuli. Jika mereka tidak berada di dalam kapal, tentu saja Sesil akan segera angkat kaki dari tempat ini. Dan memang Saga sengaja menjebaknya di sini agar tak bisa melarikan diri dari pelajaran yang d