“Mama, kita mau ke mana?” Sesil yang tengah melamun terkesiap pelan mendengarkan pertanyaan Kei. Kepalanya berputar dan menatap wajah putranya dalam diam. Lalu menghela napas panjang dan bertanya, “Kei lelah?” Kei tak mengangguk, juga tak menggeleng, Sesil merangkum wajah sang putra dan mengelusnya dengan lembut. Mata putranya tampak sayu. Sudah lebih dari satu jam keduanya naik taksi tanpa arah dan tujuan. “Kei mengantuk?” Kei menggeleng. “Kalau begitu kita akan istirahat dulu.” Sesil menyuruh sopir membawa mereka ke hotel terdekat. Dalam perjalanan, Sesil singgah sebentar untuk membeli pakaian ganti Kei. Ya, mereka berdua jelas tak membawa apa pun ketika menyelinap keluar. Tetapi beruntung ia membawa uang cash yang cukup banyak dari lemari penyimpanan Saga untuk membayar tagihan taksi yang membengkak. "Kenapa Kei hanya diam saja? Apakah Kei tidak suka pergi dengan mama sendiri?" Kei menggeleng. Mendadak Sesil bertanya, apakah bocah ini tahu kalau diajak melarikan diri? "Kei
Sesil tahu Saga tak butuh jawaban darinya. "Kau bahkan akan melenyapkan kami dan mengubah identitas kami, kan? Saga menghela napas panjang dan berat. Inilah sebabnya ia benci melepas CCTV di area dalam rumah. Lupa kalau istrinya akan selalu punya pendapatnya sendiri. "Aku memiliki alasan untuk melakukannya." "Kau selalu punya alasannya, Saga." "Kita akan membicarakannya di rumah." "Atau kau hanya menunda rencana itu?" sengit Sesil. Dan kali ini ia tahu tebakannya benar, Saga tak mengatakan apa pun." Hening sejenak "Kita pulang sekarang." Suara Saga setengah membujuk. "Hanya dengan satu syarat." Saga kembali membisu. Ia tahu syarat yang diberikan Sesil tak akan mudah. Bahkan tak mudah masih lebih baik jika dibandingkan dengan tak masuk akal. "Kau tak tahu seberapa besar bahaya yang mengintaimu dan Kei, Sesil." "Setidaknya tak akan lebih buruk dari ingatanku yang hilang dan terbangun sebagai tunangan dari musuh kekasihku, kan?" Kata-kata Sesil berhasil menohok hati Saga. Mulu
Sepanjang sisa hari, Sesil sama sekali tidak keluar dari kamar. Berbaring di tempat tidur dan hanya bangun untuk memakan makanan yang terasa hambar di lidahnya. Bayangan masa depannya yang tanpa Saga membuat seluruh tenaganya raib entah ke mana. Malamnya, pria itu tidak tidur di kamar. Dan Sesil tak peduli. Menekan rasa membutuhkan yang meronta di dalam hatinya. Memaksa matanya terpejam meski sulit. Ia ingin memeluk Saga. Entah karena ia mencintai pria itu atau memang hormon kehamilan yang membuat keinginan itu sulit ditahan. Lelah memikirkan semua itu, pada akhirnya Sesil tertidur. Keesokan pagi, Sesil terbangun lebih pagi dari biasanya. Rasa kosong dan hatinya yang patah menyambut harinya dengan muram. Memaksa kedua kakinya turun dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Menghabiskan waktu di dalam kamar pun ternyata lebih membosankan. Saat ia keluar dari kamar dan hendak ke kamar Kei, ia melihat Saga yang baru keluar dari ruang kerja. Pandangan mereka bertemu sesaat
Selama tiga hari berikutnya, Saga masih tak kembali ke tempat tidur. Membuat Sesil semakin tertekan. Sesil bahkan tak tahu apakah pria itu ada di rumah atau tidak, bermalam di rumah atau tidak. Ia nyaris tak melihat batang hidung pria itu meski Kei mengatakan setiap malam Saga datang untuk melihat sebelum tidur. Dan Sesil yakin kedatangan pria itu hanya untuk meracuni pikiran Kei untuk melemparkan tanggung jawab melindunginya pada bocah mungil yang masih polos itu. Sungguh licik, batin Sesil mendengus. Saga benar-benar membiasakan dirinya untuk tidak membutuhkan pria itu. Mencicipi perasaan terbuang yang akan diberikan pria itu dalam dua hari ke depan. Kemarin dokter datang melakukan pemeriksaan terhadapnya dan kandungannya. Yang Sesil yakin untuk persiapan perjalanan. Mungkin tubuh dan kandungannya baik-baik saja. Tetapi hatinya jelas tidak. Bahkan pagi tadi Saga tak lagi menyembunyikan rencana pria itu. Meletakkan amplop coklat yang pernah ia temukan di meja kerja pria itu di nak
Bibir Sesil menipis, Saga tertawa kecil dan memberikan perhatian pada wanita pirang yang centil. Kemudian tersenyum lebih lebar dan mengambil botol anggur yang sudah diulurkan si wanita. "Butuh bantuan lainnya, tampan?" Wanita itu membungkuk sehingga wajahnya lebih dekat ke arah Saga, juga belahan dada yang memperlihatkan hampir seluruh bentuk benda itu di depan Saga. "Tidak sekarang," jawab Saga sambil menuangkan anggur ke gelas kosong dan wanita di depan mereka tampak kecewa meski melemparkan kerlingan mata nakalnya pada Saga. Wajah Sesil memerah, berusaha keras menahan diri dan menekan kuat-kuat amarahnya. Marcuss dan kedua wanitanya turun ke dek bawah air setelah mengeraskan suara musik di ruangan ini. Membuat telinga Sesil lelah meski suaranya tak berdentum hingga membuat telinga tuli. Jika mereka tidak berada di dalam kapal, tentu saja Sesil akan segera angkat kaki dari tempat ini. Dan memang Saga sengaja menjebaknya di sini agar tak bisa melarikan diri dari pelajaran yang d
Dengan salah satu lengan untuk mengayun di permukaan air laut sementara lengan lainnya melingkari dada di tubuh Sesil, pria itu akhirnya berhasil mencapai daratan. Membaringkannya di tanah berumput dan merobek bagian depan gaun yang basah tersebut lalu mengecek pernapasan. Keningnya berkerut tipis ketika dua jemari tangannya menempel di leher dan berpindah ke pergelangan tangan. Tubuhnya membungkuk, mendekatkan telinga di mulut Sesil dan segera melakukan CPR. Dua kali tiga kali, Sesil masih tak bernapas juga, pria itu pun memberinya napas buatan. Yang berhasil di usaha pertama. Napas Sesil kembali meski masih belum sadar. Pria itu bergegas mengambils tas hitam yang disandarkan di samping pohon dan tertutup ranting. Mengambil pakaian berwarna hitam dari dalam sana dan bergegas menggunakannya untuk membungkus tubuh Sesil. Lalu membawa wanita itu ke dalam hutan yang rimbun. *** Pagi harinya …. Kepala saga tertunduk dalam dengan kesepuluh jemari yang tak henti-hentinya menggusur deng
Sesil tak kalah tercengangnya dengan wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu. Bahkan tubuh paruh baya tersebut terhuyung ke belakang dengan tangan berpegangan pada kusen pintu sementara tangannya yang lain membekap mulut demi meredam kesiap kagetnya yang begitu keras. Sesil melotot ke arah Gio. "Apa yang kau katakan?" desis Sesil tajam. "Kau sudah gila?" Gio hanya menyeringai, kilat kelicikan melintasi kedua matanya. Tetapi seringai itu hanya bertahan beberapa detik, ketika wanita paruh baya yang tadi berada di ambang pintu, kini memukul pundak pria itu dengan keras. "Istri?!" ulang wanita itu dengan suara syok yang berusaha ditahan. "Apa kau sudah gila?" Gio hanya mendesah pelan. "Ya, inilah alasan aku menyembunyikan pernikahanku. Karena tahu mama akan marah." Wanita paruh baya itu memberikan pelototan selebar mungkin dengan geraman tertahan. "Apakah ini alasanmu tiba-tiba kembali ke negara ini dan menolak semua perjodohan yang mama atur untukmu?" Sekali lagi Gio mendes
Sesil menggelengkan kepalanya dengan cara yang pilu. Bibirnya terasa kelu, tetapi suaraya berhasil keluar dengan keyakinan yang dipaksakan. "Aku tak tahu selera dramamu semurahan ini," degusnya. "Kau tak percaya?" "Tak ada alasan aku percaya padamu." Gio tertawa kecil. Antara gemas dan tertarik dengan sejauh apa keyakinan wanita ini akan bertahan. "Kau ingin bertaruh?" Sesil tak mengatakan apa pun. Perasaannya mulai kacau, tapi ia segera mengendalikan ketenangannya. Itulah yang diinginkan Gio. Gio terkekeh lagi. "Apakah jika aku lebih berengsek dari Saga, kau akan mengulangi kebodohanmu dan jatuh cinta padaku?" "Apakah kau menginginkanku karena Saga?" Pertanyaan itu terdengar hambar di ujung lidahnya. Seolah mengulang takdir yang sudah pernah terjadi. Saga menginginkannya karena Dirga, dan sekarang Gio akan menginginkannya karena Saga. Lingkaran setan ini benar-benar memuakkannya. "Tapi … aku sama sekali tak keberatan." Mata Gio memindai Sesil dari atas ke bawah dengan lekat. S