“Apa?” Sesil menyentuhkan kedua tangannya di kedua daun telinganya. Merasakan salah satu antingnya yang hilang. “Sepertinya aku menjatuhkannya.” Raut Saga membeku. “Kenapa? Kau marah aku menghilangkannya?” “Di mana kau menjatuhkannya?” Saga merasakan sesuatu yang tak beres. Ia ingat dengan jelas Sesil mengenakannya tadi pagi sebelum ia pergi dengan Arga. Ia tak akan merasakan firasat tersebut jika Sesil menjatuhkannya di rumah atau di mobil. Tetapi hari ini Sesil pergi ke sekolah Kei dan café. Dua kemungkinan yang tak bisa membuat tenang. Sesil berusaha mengingat. “Mungkin saat ke kamar mandi atau mengganti pakaian. Aku akan mencarinya.” Saga masih bergeming. “Kau ingin aku mencarinya sekarang?” Saga hanya menggeleng, kembali merangkul Sesil. “Kita turun sekarang.” Dan firasatnya tak pernah meleset, terutama jika berhubungan dengan Sesil. Ketika ia sampai di lantai bawah, kepala pengawalnya muncul dan cukup satu isyarat ia tahu mereka harus bicara. “Pergilah ke dapur, aku akan
“Dia sudah tidur?” Sesil meletakkan nampan berisi teh hijau di meja untuk Reynara yang baru saja menidurkan Cyara di kamar tamu. Ia pun baru saja turun untuk mengantar Kei tidur. Reynara mengangguk, mengambil cangkir di depannya dan mulai menyesapknya. “Apakah masih tidak ada yang turun?” Sesil menggeleng. Setelah acara makan malam selesai, para pria –kecuali Dirga- naik ke lantai dua dan masuk ke ruang kerja Saga. Sebelum turun, Sesil sempat melihat dua pengawal yang berjaga di depan pintu. “Apa kau tahu sesuatu?” “Tentang Saga? Atau Dirga?” Salah satu alis Reynara terangkat. Menatap Sesil yang duduk di seberang meja. “Kupikir keduanya masih saling berhubungan. Ada masalah serius tentang Dirga, kan?” “Hmm, satu-satunya hal yang membuat mereka saling berhubungan hanya Rega, kan? Arga juga tak mengatakan apa pun. Saat aku bertanya tentang penjagaannya yang semakin ketat, dia malah mengatakan sesuatu yang tak masuk akal tentang adik untuk Cyara. Apa dia sudah gila?” gerutu Reynara.
“Apakah menurutmu dia sedang mencari Dirga?” tanya Sesil. “Tapi dia bahkan tak tahu kalau kami sudah putus dan aku menikah denganmu. Dia bilang, sudah enam atau tujuh tahun mereka tak saling bertemu. Aku ingin memastikannya pada Dirga, tapi … aku tahu kau akan marah padaku jika aku ke ruangan Dirga.” Dan jelas masalah ini lebih serius dari Sesil yang diam-diam menyelinap menemui Dirga. “Apa lagi yang dikatakannya?” “Hanya itu. Apa kau mengenalnya juga?” Saga tak menjawab. Gionino Arsyaka Bayu. Tentu saja ia mengenalnya. Juga Dirga. Cukup dibilang saling mengenal. Sekarang ia paham kenapa pria itu menargetnya Dirga, juga dirinya. Masa lalu mereka jelas lebih rumit dari permusuhan antara keluarganya dan Dirga. Sesil mengamati Saga yang tampak sedang berpikir keras, tetapi ia tak berani menanyakan hal apa pun tentang Dirga. “Apa kau bisa menanyakan hal ini pada Dirga? Mungkin ini akan sedikit membantunya untuk waspada pada siapa pun.” Saga mengangguk singkat, pasti akan melakukanny
Dari bayangan kaca mobil bagian depan, Saga bisa melihat mobil yang membawa Sesil melaju semakin jauh. Ia mendesah dengan gusar, menghampiri pintu mobil. Ia sudah membuka pintu mobil ketika sesuatu menahannya. Kepalanya berputar dan menemukan mobil sport hitam yang berhenti di seberang bahu jalan. Kaca mobil bergerak turun, memperlihatkan sang pengemudi yang menurunkan kacamata hitamnya. Wajah Saga mengeras mengenali pria yang duduk di balik kemudi. Cukup lama pandangan keduanya saling bertemu, lalu Saga masuk ke dalam mobil. “Ikuti mobil itu.” Mobil pun melaju, mengikuti mobil sport hitam dengan jarak yang cukup dekat. Tak lebih dari dua menit, kedua mobil itu berhenti di lapangan tenis yang sunyi. Saga turun lebih dulu dan berjalan ke samping agar besi. Wajahnya tampak mengeras, menyimpan kemarahan yang begitu besar, yang nyaris tak mampu dibendungnya. “Kau benar-benar tak melepaskan pandangan dari istrimu setelah menerima kiriman hadiahku, Saga.” Ada tawa kecil yang terselip da
Pada akhirnya, Saga pun membawa Sesil ke pesta di rumah Alec. Keduanya datang terlambat –sengaja melambat. Sepanjang perjalanan, Sesil tak berhenti tersenyum, dan bergelayut manja di lengannya. Ada kelegaan ia bisa melihat Sesil menikmati semua ini, tetapi masih lebih banyak kecemasan dan kekhawatiran yang menggantung berat di atas kepalanya. Matanya tak lepas mengamati area sekitar mereka, dengan sikap siaga dan peganggannya di pinggang wanita itu pun tak melonggar sedikit pun. “Itu Alec dan Alea.” Sesil menunjuk ke arah sebelah kiri mereka. Melihat Alec dan Alea yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Saga pun membiarkan lengannya ditarik Sesil mendekati Alec. “Alec,” panggil Sesil, yang segera mendapatkan perhatian dari Alec. “Sesil?” Alec tersenyum, kemudian pandangannya turun ke arah perut Sesil yang lebih besar dari perut istrinya. Dan yang pasti akan menjadi perempuan. Topik yang sangat tak disukai oleh wanita itu. “Perutmu sudah terlihat lebih besar. Apakah keponakanku
“Kenapa tanganmu?” Sesil berkerut kening melihat telapak tangan kanan Saga yang ditempeli perban. Saga menggeleng singkat. “Hanya luka kecil.” Sesil menyangsikan hal itu karena perbannya yang cukup lebar dan hampir memenuhi seluruh telapak pria itu. “Itu bukan …” “Artinya, kau tak perlu khawatir, Sesil. Bagiku ini hanya luka kecil.” “Dan bagaimana kau mendapatkannya?” “Kau tak akan ingin tahu.” Bibir Sesil memberengut, yang malah dicium oleh Saga. “Apakah bayi kecil kita merindukan ayahnya?” bisik Saga di antara bibir mereka yang saling menempel. Menarik pinggang Sesil semakin menempel di tubuhnya. Sesil terkikik, mengalungkan kedua lengannya di leher Saga dan membiarkan tubuhnya dibawa ke tempat tidur. “Aku yang lebih merindukanmu.” “Baguslah. Kalau begitu kita bisa saling melampiaskan kerinduan.” Saga mengakhiri kalimatnya dengan lumatan yang panjang, dan dengan tangan yang mulai melucuti pakaian Sesil satu persatu. *** Alec membuka pintu ruang kerja Saga dan langsung m
“Aku ingin tempat yang aman. Siapkan beberapa orang di sana dan pastikan tidak aka nada yang mengendus rencana ini. Buat beberapa pengalihan dan gosip tak penting. Mungkin itu akan membantu.” Sesil mengerjap pelan, kemudian berbalik dan berjalan kembali ke kamar tanpa menciptakan suara sekecil apa pun sebelum Saga menyelesaikan panggilan tersebut. Langsung masuk ke kamar mandi dan mengunci lalu menyandarkan punggungnya di pintu. Raut wajahnya masih memucat, menelaah apa yang baru saja didengarnya. Apakah Saga akan mengirimnya dan Kei pergi? Pesawat? Passport? Sudah jelas tidak di negara ini lagi. Jadi Saga akan mengirimnya dan Kei ke luar negeri? Kenapa? Berkali-kali Sesil memikirkannya, semua terasa tidak masuk akal. Suara gagang pintu yang digerakkan dari luar mengalihkan lamunan Sesil. Sesil segera mengeringkan wajahnya menggunakan handuk dan membuka kunci. “Kenapa kau menguncinya?” Sesil mengedipkan mata, menampilkan ekspresi senormal mungkin saat menjawab, “Sepertinya k
Sesil tengah berdiri di depan cermin wastafel, menatap wajahnya yang termenung. Benaknya tak berhenti bertanya-tanya dan berpikir. Juga mencoba introspeksi diri, sikapnya yang mana yang membuat Saga mulai muak? Keras kepalanya? Ketidak patuhannya? Apakah pria itu tidak lagi mencintainya? Cukup lama dan merasa pegal berdiri, Sesil keluar dari kamar mandi. Saga melangkah masuk. “Kau baik-baik saja?” tanya Saga karena Sesil hanya terdiam di depan pintu kamar mandi. Sesil mengangguk, dan tak suka pertanyaan-pertanyaan di kepalanya hanya menggantung begitu saja. Ia pun menghampiri Saga bergelayut manja di lengan pria itu dan menjatuhkan kepalanya di pundak saat membawa pria itu untuk duduk di sofa. “Apakah kau mencintaiku, Saga?” Kening Saga berkerut dengan pertanyaan aneh tersebut. “Kenapa kau mempertanyakan pertanyaan yang kau sudah tahu pasti jawabannya, Sesil.” “Apakah kau bisa hidup tanpaku?” Saga merasa pertanyaan Sesil semakin aneh. “Apa yang kau katakan?” Sesil menggeleng
Wajah Saga seketika mengeras. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dirga hanya mengedikkan bahunya. Mengarahkan pandangannya ke buket mawar merah di meja kecil samping ranjang pasien. Saga mengikuti arah pandangan Dirga, dengan rahang yang semakin menegang. "Pemilihan warna yang bagus, bukan?" Saga segera menyambar buket tersebut dan membuangnya di tempat sampat. "Dan berada di tempat yang tepat." Dirga terbahak. Kemudian menatap Sesil yang meringis penuh penyesalan dan tak bisa berbuat apa pun. "Bukankah aku yang kau lihat saat kau sadar? Sepertinya ada ikatan di antara kita yang berhasil membangunkanmu?" Sesil melirik dengan hati-hati ke arah Saga. Yang dengan jelas menunjukkan kemarahan pria itu. Tubuhnya masih begitu lemah, terutama di bagian perut. Jadi ia hanya mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Saga. Mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti tubuh pria itu. "Jangan dengarkan dia, Saga. Dia memanggil namamu." Alec menyela ketegangan di antara Saga dan Dirga dari set
Wajah Saga terangkat dan melihat perubahan raut dan rintihan Sesil, seketika menyadari ada yang tidak beres. Ia bergegas memutari meja dan jantungnya nyaris melompat dari dadanya melihat darah yang merembes dari kaki Sesil dan membercaki lantai. Kedua tangannya segera menangkap tubuh Sesil dan membawa wanita itu dalam gendongannya hanya dalam satu gerakan singkat. Kemudian setengah berlari keluar dari dapur. “Apakah itu air ketuban?” Sesil bertanya di antara rasa sakitnya. Perutnya yang besar menghalangi pandangannya untuk melihat apa yang membasahi kedua kakinya. “Atau darah?” “Tenanglah. Kita akan segera ke rumah sakit dan biarkan dokter yang menanganinya.” “A-apakah mereka akan segera lahir?” Saga tak bisa menjawab. “Bukankah waktunya masih dua bulan lagi?” Sekali lagi Sesil merintih menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia bisa merasakan wajahnya semakin memucat dan keringat dingin dari seluruh tubuhnya. Menjatuhkan kepalanya di pundak Saga. Saga mengangguk. Memastikan t
Hubungan Saga dan Sesil kembali membaik. Meski ada banyak keamanan yang diperketat oleh Saga, pria itu berusaha menyamarkannya sebaik mungkin. Tak mencegah setiap kali Sesil ingin menjemput Kei di sekolah. Atau pergi ke mana pun yang wanita itu inginkan. Sesil merasa lebih bebas sekaligus aman. Sore itu mereka tengah berada di kolam renang. Akhir minggu dan Saga pulang dari kantor lebih siang. Yang sudah ditunggu Kei untuk berenang. Satu getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya yang sedang mengamati Saga dan Kei di kolam renang. Sesil membaca satu pesan singkat dari Gio. ‘Pilih satu untukku.’ Sebelum kemudian muncul deretan pesan berisi foto-foto para wanita. Mulai dari yang berambut pendek, panjang, lurus, bergelombang, berwrna hitam, merah, pirang, dan ciri lainnya lagi yang membuat Sesil membelalak. Semakin ia melihat, semakin ia menyadari kegilaan pria itu memang tak main-main. ‘Semua itu wanita yang disodorkan mamaku. Aku harus memutuskan pilihanku. Sekarang.’ ‘Kau sudah
Napas Saga tertahan ketika bayangan itu kembali memenuhi kepalanya. Ia begitu terlena dengan kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya hingga tak menyadari bahaya semacam ini pasti akan ada di depan sana. Perlahan keduanya menuju ke sana, tanpa terhentikan. “Saga?!” Suara Sesil lebih kuat dan menggoyangkan lengan pria itu. Saga mengerjap, tersadar dari lamunannya dan menatap wajah Sesil yang diselimuti keheranan. “Y-ya?” “Aku memanggilmu dua kali. Apa yang kau pikirkan?” Saga menggeleng. Bangkit berdiri dan menarik selimut menutupi kaki Sesil lalu berkata, “Istirahatlah. Aku harus ke ruang kerjaku.” Kening Sesil berkerut tetapi tak mengatakan apa pun untuk menahan Saga pergi. *** Saat bangun sore harinya, Sesil merasa pegal di kedua kakinya belum juga mereda. Bahkan rasanya semakin kaku. Ia pun memutuskan untuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk merendam kakinya. Kakinya sedikit bengkak, tetapi tadi dokter mengatakan itu “Apa yang kau lakukan?” sergah Saga yang tib
“Berhenti apa?” Suara Sesil terdengar begitu parau. Napasnya tertahan, menunggu jawaban keluar dari mulut Saga. “Apa kau akan berhenti jika menyakiti dirimu sendiri jika aku berhenti mendorongmu menjauh?” Sesil terpaku pada kalimat terakhir Saga. Pria itu akan berhenti mendorongnya menjauh? “Apakah kau tidak akan mengirimku dan Kei keluar negeri?” Saga mengangguk. Sesil masih tak mempercayai anggukan tersebut. Saga melalukan banyak trik. Siapa yang tahu kali ini juga trik untuk membuatnya lengah sebelum kemudian menyingkirkannya dengan cara yang halus. “Sebaiknya kau tahu dengan benar apa pilihanmu, Sesil.” Ada tekanan yang kuat dalam kalimat Saga. Begitu pun tatapan pria itu. “Aku pegang kata-katamu untuk berhenti membuat onar, membantah apalagi dengan cerobohnya menyelinap dari keamananku.” “Bukankah itu berarti keamananmu memang tidak seketat itu jika aku masih bisa kabur? Kau bilang musuhmu bisa lebih licik dan kejam dari Gio, kan?” Saga tahu itu. Bahkan dengan mengetatkan k
Sesil berbalik, masuk ke dalam kamar dan langsung berjalan ke arah pintu. Menghilang dari pandangan Saga dengan membanting keras pintu kamar. Sementara Saga mengusap wajahnya dengan kasar, membanting tubuhnya ke kursi sambil mendesah keras. Pikirannya benar-benar kacau, semua emosi bercampur aduk memenuhi dada dan kepalanya. 'Aku tak butuh mendengarkan dalih yang membenarkan alasanmu. Satu hal yang kutegaskan padamu. Jangan pernah muncul atau mengusik hidup putraku, Ganuo. Semua ini bukan karena aku memaafkan kesalahanmu, aku hanya tak suka menyeret masa lalu yang sudah lama kutinggalkan di belakang.' Jawaban Ario Bayu seketika membuat Saga mengatupkan bibirnya rapat. Ia belum pernah dibuat bungkam oleh kata-kata sentimentil semacam ini. 'Kenapa Anda lakukan ini?' Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirnya. 'Semua ini tak akan selesai sampai di sini jika bukan diriku sendiri yang menyelesaikannya. Anakmu akan membalas dendam pada keturunanku. Setelahnya keturunanku juga akan
Setelah mengantar Kei ke kamar untuk berganti pakaian dan bersiap ke bawah untuk makan siang. Sesil pergi ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dan langkahnya terhenti melihat Saga yang duduk di sofa panjang. Pria itu sibuk dengan sesuatu di lengan sebelah kirinya ketika tiba-tiba menyadari kedatangannya. Pandangan mereka sempat bertemu. Hanya sekilas. Dan Sesil sempat melihat ke arah lengan Saga yang dibebat perban, hanya sekilas karena pria itu segera menarik lengan kemejanya dan bangkit berdiri. Kemudian membereskan peralatan p3k di meja dan masuk ke kamar mandi. Sesil hanya menatap pintu kamar mandi yang tertutup dan melangkah masuk. Ada perban kotor yang jatuh ke lantai dengan noda darah di bagian tengahnya. Saga sudah terbiasa mendapatkan luka-luka di tubuh pria itu. Ada banyak bekas luka sayatan dan pistol di tubuh pria itu, tetapi melihat noda darah yang tak lebih dari selebar koin saja membuat hati Sesil dirayapi perasaa khawatir. Melihat lukanya yang tidak cukup lebar, past
“Cukup, Sesil.” Suara peringatan Saga segera membelah di antara keduanya. Sesil merasakan keberadaan pria itu di belakangnya. Mendengus kecil dan tanpa menoleh ke belakang, ia berkata, “Ya. Memang inilah yang selalu kalian lakukan. Melakukan apa pun yang diinginkan. Sesuka hati kalian. Akulah satu-satunya yang paling tak berhak tahu apa pun.” Sesil mengakhiri kalimatnya dengan kesininisan yang begitu kental. Sekarang kekesalannya tak hanya pada Saga, tetapi juga pada Dirga. Sesil melangkah melewati Dirga, langsung ke ruang makan dan meminta pada pelayan untuk menyiapkan makan pagi untuknya. “Apa pun. Kecuali omelet dan susu rasa vanilla. Aku ingin coklat, atau jus jeruk. Apa pun.” perintahnya dengan nada ketus yang tak bisa disembunyikannya. Duduk di kursi dan menunggu pelayan menyiapkan semua untuknya. Tak lama sepiring waffle dan segelas jus jeruk diletakkan di depan Sesil. Sesil menghabiskannya dengan lahap hanya dalam beberapa menit kemudian memutuskan duduk bersantai di hal
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?