Tidak ada hari tanpa dikerjai oleh Edward. Pria itu sangat senang membuat Meta dalam masalah. Jika kemarin masalah pakaian, maka hari ini Edward tidak mengizinkan Meta beanjak sedikit pun dari atas kasur. Tidak ada yang terjadi semalam.Edward tiba-tiba saja menarik Meta ke kamarnya. Gadis itu juga berpikir kalau Edward akan menagihnya malam itu. Nyatanya pria itu hanya meminta Meta menemaninya, cicilan seperti biasa. Malam itu juga, Edward membiarkan Meta tetap dalam pangkuannya, sembari berusaha memahami materia pertamanya.“Aku bisa terlambat kalau begini terus, Ed,” pinta Meta ke sekian kali, berusaha menyingkirkan tangan kekar yang memeluk pinggangnya. Edward hanya bergumam pelan, mengeratkan pelukannya. Meta mulai kesal, menepuk-nepuk tangan pria itu agar si empunya terbangun.“Ed, ada praktik pagi ini di laboratorium. Please, aku gak mau telat lagi,” mohon Meta masih berusaha keluar dari kukungan Edward.“Gak perlu ke kampus, kamu gak akan di DO hanya karena gak masuk beberapa
Seharusnya saat pandangan semua orang tertuju padanya, dia sudah terbiasa. Dia adalah seorang model yang harus tampil di depan banyak orang. Wajahnya terpampang di khalayak ramai. Namun, kembali menjadi topik pembicaraan satu kelas rasanya berbeda.Seorang mahasiswi bersama kekasihnya kembali mengumbar keromantisan, menimbulkan rasa iri khususnya bagi kaum hawa. Penggalan kalimat yang bisa menjadi headline berita hari ini. Beberapa kali pisau bedah di tangan Meta hmpir jatuh sankin tremor. Jantungnya masih berdebar, mungkin karena Edward bersikap sangat manis pagi ini.Seperti ada sesuatu yang spesial.“Hati-hati kalau enggak bisa menimbulkan kerusakan pada bagian tertentu,” tegur pria tersebut, mendekati Meta. Tangan pria itu terulur, menunjukan bagian penting yang harus diperhatikan saat melakukan pembedahan. Pengalaman pertama yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Pak Iqbal terkekeh menyadari kebingungan mahasiswanya tersebut. Tangannya kembali terulur, bahkan tidak segan meng
Setelah diterbangkan, kini Meta dijatuhkan ke bumi. Edward kembali jahil padanya. Ah, pria itu sangat plin-plan, kadang kala manis, juga menjadi kejam bahkan sebelum hari itu berlalu. Berjarak sekitar 100 m dari mansion, Edward menurunkan Meta di pinggir jalan, meminta gadis itu berjalan kaki sampai mansion. Meta tentu saja tidak terima begitu saja, merengek capek dan tidak tau arah pulang. “Kamu itu mahasiswa, harus tau jalan dan capek biar kalau sukses ada yang mau diingat. Kalau gampang meraihnya, mudah juga lupanya.” Jawaban yang sungguh membuat Meta naik pitam. Pertama dia menurut saja, mencoba mengelus dada. Meski lelah luar biasa, Meta tetap berjalan kaki, hingga tiba di mansion. Gadis itu disambut oleh Regano. Ah, untuk bertemu Regano masih canggung untuk Meta. Pria itu secara tidak langsung mengatakan kalau dia menyukai Meta seperti Xadira. “Seharusnya telpon saja aku, gak perlu jalan kaki begitu,” tegur Regano, Meta menghela napas, masih sangat lelah untuk mendebat Regano
Edward menghilang, bak ditelan bumi sejak berkata akan menunggu Meta siap untuk melayaninya. Pertanyaanya, apakah sepenting itu kesiapan Meta? Edward memiliki hak penuh atas dirinya. Entah sebanyak apa hutang Adam hingga menjadikan Meta sebagai jaminan. “Apa dia benar-benar berharap aku akan jatuh cinta? Apa itu penting untuknya?” Pertanyaan yang terus menghantui pikiran Meta. “Cia gak hadir lagi pagi ini?” tanya Pak Iqbal. Tentu saja, Cia adalah salah satu kebanggaan beliau. Saat tidak menampakkan diri, menjadi pertanyaan besar. Cia bukan mahasiswi yang senang bolos, sangat taat aturan. Sudah tiga hari belakangan gadis berkacamata itu tidak datang ke kampus. Hal yang tidak biasa terjadi. Selama itu pula, Meta merasa lebih tenang. Tidak ada lagi yang menghakiminya sesuka hati. “Meta, apa kamu tau ke mana Cia pergi?” Meta menggeleng. Bagaimana dia bisa tahu, kalau kenal Cia saja tidak. “Kalau ada informasi tentang Cia tolng kabari saya ya, ada hal penting yang ingin saya sampaikan
“Bangun, bitch!” Bentakan disertai air dingin yang disiramkan padanya, membuat kelopak matanya mengerjap dan perlahan terbuka. Meta mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Di hadapannya saat ini berdiri seorang wanita bersetelan blazer hitam dan kemeja putih. Wanita itu berusia sekitaran 40 tahun. “Akhirnya, udah puas tidurnya? Setelah ini kamu akan melayani banyak orang, jadi siapkan tenagamu,” ucap wanita itu lagi. Suara yang sama persis dengan yang dia dengar saat masih pingsan. “Siapa Anda dan apa mau Anda?” Meta memperlihatkan keberaniannya, agar tidak terintimidasi oleh wanita itu. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi kanan Meta, membuat sudut bibirnya berdarah. Gadis itu menatap tajam wanita di hadapannya. Dia sama sekali tidak mengetahui letak masalahnya dan diperlakukan begitu kasar. “Gara-gara aduan bodohmu, putriku dilecehkan!” Deg! Jantung Meta mendadak berhenti mendengar perkataan wanita itu. Perkataan yang keluar dari mulut seorang ibu yang tengah dipenuhi
Meta menghilang! Ren panik dan terlambat datang untuk menyelamatakan Meta. Saat tiba di parkiran kampus, tempat terakhir posel Meta terlacak, gadis itu sudah tidak ada di sana, pula dengan ponselnya. Seseorang menjawab panggilan, saat Ren mencoba menghubungi Meta lagi. Bukan Meta melainkan salah seorang satpam yang menemukan ponsel dan beberapa buku milik Meta.“Boleh saya lihat cctv, Pak?”Seharusnya ada cctv di lahar parkir seluas itu. Ren menggerakkan anak buahnya untuk mengambil rekaman mobil yang membawa Meta pergi. Plat mobil dicatata dan diserahkan pada pihak yang lebih ahli.Tidak sampai hitungan jam, data pemilik mobil itu sudah di tangan mereka. Regano mengerahkan anak buahnya untuk andil bagian. Sementara waktu, masalah itu akan disembunyikan dari Edward sampai pelakunya ketemu.“Keluarga Renaldi, bukan termasuk musuh atau teman. Kita jelas gak ada masalah dengan keluarga itu. Bagaimana mungkin mereka menjadikan Meta tawanan?” Regano mulai menggunakan logika, menghubungkan
Edward kembali dan itu tiba-tiba saja terjadi. Tanpa adanya aba-aba atau informasi sebelumnya. Pria itu kini berdiri tegap di depan pintu mansion, mengejutkan semua orang yang tengah dilanda panik. Masalah yang menimpa mereka belum selesai, dan bos mereka kembali di waktu yang tidak tepat.“Apa yang terjadi?” tanya pria itu.Tidak ada yang berani membuka suara. Edward menatap anak buahnya satu per satu. Firasatnya buruk, alasan dia melakukan penerbangan tanpa diketahui siapa pun. Dia mencoba menghubungi Ren dan Regano bahkan Meta, tetapi tidak satu pun menjawab panggilannya.“Katakan padaku apa yang terjadi!”Prang!Sebuah vas bunga terbanting ke lantai marmer hingga hancur berantakan.“Di mana Ren dan Regano?” Dua orang yang harus bertanggung jawab atas semua tanda tanya besar dalam otaknya.“Mereka di rumah sakit, Tuan bersama Nona Meta,”Edward menarik orang yang menjawabnya tersebut, menyuruhnya mengendarai mobil ke rumah sakit yang dimaksud. Selama di perjalanan Edward tidak berh
Tidak seorang pun bisa menghentikan pria yang tengah melangkah lebar itu. Dia sendirian tanpa didampingi anak buahnya. Dia bertekad untuk menyelesaikan semua dengan tangannya sendiri.“Di mana wanita itu?”Edward bukan orang yang bodoh. Dia memang ingin memberi keluarga Renaldi pelajaran. Namun, dia juga butuh tahu siapa dalang di balik ini semua, dengan begitu tak ada penyesalan jika dia melakukan hal terburuk pada keluarga itu.“Saya Tuan,” sahut seorang wanita paruh baya berpakaian bercorak biru. Wanita itu memegang erat kain pel dalam genggamannya.“Jadi kamu yang menemukan Cia hari itu?” Wanita itu kembali mengangguk. Saat itu dia hendak membersihkan toilet saat menemukan seorang gadis tergeletak tak berdaya dengan kondisi mengenaskan. Tubuh polosnya hanya ditutupi jas hitam.Saat itu wanita yang tak lain adala cleaning servis di kampus tersebut, segera mencari bantuan terutama pakaian untuk menutupi tubuh gadis itu.“Di mana jasnya?”wanita tersebut melangkah ke dekat loker, mem
Dua tahun berlalu begitu saja. Dengan sedikit bantuan dari world agency hukumannya bisa selesai lebih cepat. Dia kini bisa menghirup udara dengan bebas. Tangannya terentang, menyambut dunia barunya.Mobil hitam berhenti, membuat senyumnya semakin lebar.“Selamat datang kembali, Edward,” sapa Regano.Tidak ada embel-embel ‘tuan’ lagi, karena sejak hari itu mereka hanyalah saudara yang akan memulai hidup baru. Edward terkekeh, lantas masuk ke dalam mobil, mendahului sang supir.“Bagaimana keadaannya?”Sebulan yang lalu, dia akhirnya mendengar berita terbaiknya. Meta akhirnya bangun setelah tidur cukup lama. Edward sungguh berpikir tidak memiliki kesempatan untuk bersama wanitanya lagi. Namun, harapan itu sedikit memudar kala mengetahui kalau Meta kehilangan cukup banyak kenangannya.“Keadaannya mulai membaik, meski harus menjalani latihan untuk bisa berjalan lagi,” jelas Regano.Selain memori, Meta juga sempat tidak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya atau disebut lumpuh total. Sebulan t
Dia terlahir dengan julukan monster, tatapan benci bercampur rasa takut yang sering dijumpainya. Bukan hanya orang-orang, bahkan ibunya tak pernah mau menatapnya sebagai seorang putra. Bertahun-tahun, dia hidup dalam kegelapan. Edward Leonardo, namanya. Si pria berhati dingin dan beku. Tidak ada cinta, bahkan tidak ada rasa sedikit pun. Ditolak oleh orang-orang memaksa kepribadian gelapnya muncul. Asnaf adalah role model yang dia miliki, satu-satunya. Hanya Asnaf-yang sama dengannya- yang mau dekat dengan Edward. Asnaf membesarkannya dengan cara yang salah, hingga Edward tumbuh sesuai keinginan pria psikopat tersebut. Waktu berjalan begitu cepat. Edward yang tanpa perasaan, dinobatkan sebagai leader dalam organisasi besar dunia. Mafia yang akan mengambil organ milik orang lain yang tak mampu memenuhi target. Apa saja, termasuk hidup mereka jadi jaminannya. “Kamu hanya perlu menjalani hukuman penjara selama dua tahun, leader,” ucap Mr. Secret A. Tidak ada pilihan. Masalah sudah mera
Bagi Dion terlalu mudah mengakhiri rasa sakit hanya dengan membunuh Edward. Bertahun-tahu dia hidup dalam penderitaan setelah kehilangan gadis yang dia sayangi, sementara Edward terus beraksi tanpa takut sedikit pun. Kali ini, dia hanya ingin pria itu merasakan penderitaan yang sama dengannya. Dia ingin Edward merasakan ketakutan yang luar biasa. “Kamu pikir aku akan mudah melakukannya?” Dion terkekeh, menarik Meta agar mengikuti langkahnya. Tidak seorang pun berani melangkah. Meta menangis, menatap Adam yang semakin melemah. Dia sungguh ingin berlari dan memeluk pria tersebut. “Tolong Papa,” gumam Meta sebelum Dion memaksanya masuk ke dalam mobil. Edward menurut, menyuruh anak buahnya untuk segera membawa Adam ke rumah sakit. Dia dan Regano akan mengejar mobil yang Dion bawa. Di dalam mobil Meta hanya terus menangis, bukan karena dirinya dalam bahaya, melainkan karena takut tidak bisa melihat Adam lagi. “Kamu hebat! Aku akui itu. Kamu bisa membuat leader tergila-gila, bahkan tak
Kakinya terus melangkah, tanpa keinginan melihat ke belakang. Dia semakin jauh ke dalam kegelapan, ke tengah pepohonan yang semakin menjulang tinggi. Rasa takut kerap muncul. Namun, tekad untuk segera pergi dari tempat itu tak kalah besar. Dia terus melangkah lebar. Sebelah tangannya memegang satu-satunya pistol yang jadi alatnya untuk saat ini.Dor!Dia kembali menembak di salah satu pohon, memberi petunjuk. Dia sadar akan ada seseorang yang mencarinya nanti. Petunjuk itu akan membantunya untuk ditemukan lebih mudah.“Sssh, bertahanlah, Nak. Kita akan segera keluar dari tempat ini,” gumamnya mengelus perutnya yang semakin perih.Sesuatu yang buruk bisa terjadi jika dia terlambat keluar dari tempat itu.“Awss,”Pada akhirnya, Meta kehilangan tenaga untuk terus melangkah. Rasa sakit melanda seluruh tubuhnya, bukan hanya perut. Napasnya mulai tercekat, pelipinya dipenuhi keringat. Tubuhnya lemas, seolah tenaganya terserap habis tanpa sisa.“Ed, tolong,” gumamnya lirih. Dia bersandar di
Dari mana semua permasalahan ini bermula? Rasa cinta yang tidak bisa dikendalikan adalah awal semua dimulai. Azura jatuh hati pada pangeran kegelapan. Jika waktu diputar dan Azura tidak pernah menikah dengan Asnaf, mungkin kisah ini gak akan dimulai. Tidak ada Edward atau pewaris gen psikopat dari pria kegelapan tersebut. Satu sisi, jika saja Dion tidak jatuh hati pada gadis kecil itu, pasti tidak akan ada akar pahit, hingga sejauh ini.Rasa yang tak seharusnya hadir, terkadang menjadi sebuah kesalahan, menjadi pemicu akan skenario yang lebih rumit. Akan tetapi, apakah manusia bisa mengatur segalanya? Tentu saja tidak.Sebagai seorang anak, Edward dulunya selalu mengikuti jejak Asnaf, sampai semua semakin memburuk saat Asnaf hampir saja menjadikan Xadira-putrinya sendiri- sebagai korbannya. Edward jelas tidak terima, dan memutuskan untuk mengurung Asnaf selama bertahun-tahun. Pada awalnya, pria itu akan rutin memerintah anak buahnya mengirimkan beberapa ekor kelinci sebagai pemuas has
Meta berusaha menahan diri untuk meneriaki Dion sekarang juga. Rasa bencinya menumpuk begitu mengetahui kalau Dion yang memaksa Xadira melompat dari atas gedung. Perlahan tangannya menyusup ke sela kemeja yang dikenakannya, meraih sesuatu dari dalam sana. “Kamu tidak ingin minum dulu, manis? Bukankah kamu butuh tenaga untuk menghadapi ini semua?” Dion menyodorkan segelas susu. Awalnya Meta curiga, tetapi juga tidak memiliki pilihan lain. Dia menegok cairan kental berwarna putih itu meski sedikit. “Manis sekali,” tangan Dion terulur, membersihkan sisa susu di bibir Meta. Pria itu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya. Dia memperhatikan detail wajah Meta, sangat indah. Pantas saja Edward yang notabenya tidak memiliki hati, bisa luluh pada gadis itu, bahkan sampai membuat Meta mengandung keturunannya. “Seandainya kita bertemu lebih awal, mungkin aku akan jatuh cinta padamu. Sayang sekali, kamu adalah milik dari musuhku sendiri,” lontar pria itu lebih mirip seperti psikopat menge
Satu per satu kebenaran terungkap. Edward yang ternyata tidak mewarisi gen dari Asnaf. Banyak hal yang berubah akibat satu kebenaran yang disembunyikan. Azura jelas tidak terima akan kegagalan itu. Saat itu juga, dia mengajukan agar rumah sakit tersebut ditutup, didukung dengan data yang ada. Akan lebih banyak korban jika rumah sakit itu terus beroperasi. “Mulai sekarang, kamu harus hidup normal. Kalau perlu keluar saja dari world agency,” pinta Azura. “Tidak semudah yang Mama pikirkan,” Azura mengangguk paham. Perlahan, dia ingin Edward menjalani hidup selayaknya pemuda pada umumnya. Mungkin, jika Meta mau kembali, hidup putranya itu akan lebih sempurna. “Soal Meta, Mama sungguh minta maaf udah buat kalian takut memiliki anak. Sekarang, Mama justru ingin segera menimang cucu. Melihat keriput yang semakin banyak, rasanya tak sabar dipanggil nenek,” Azura terkekeh, membayangkan dirinya menimang bayi mungil. Dia bisa menebus kesalahan dengan membantu Meta membesarkan cucunya dengan
Saat kesempatan itu datang, Meta hanya ingin memperbaiki apa yang rusak di antara dia dan Edward. Mungkin cara Xadira salah, tetapi dia tetap seorang adik yang ingin saudaranya sembuh. Jika aku tidak bisa, maka setidaknya kamu harus membantu Bang Edward untuk sembuh. Tolong, wujudin mimpi aku, Ta. Meta akhirnya membuka mata. Mimpi itu kembali, mimpi yang sama di mana Xadira muncul dan memintanya untuk kembali. Xadira berkali-kali mengigatkannya untuk berhati-hati dengan Dion. “Sudah bangun, manis?” Meta menoleh, Dion tersenyum miring. Meta memegangi keningnya yang terasa pening, baru sadar ada cairan kental berwarna merah di tangannya. Benar juga, dia sempat kejar-kejaran sebelum kecelakaan itu terjadi. Rasa pusing menyerangnya, tetapi itu tidak seburuk rasa khawatir pada anaknya. Meta memegangi perutnya, bersyukur tidak terjadi hal buruk pada anak itu. “Kamu butuh sesuatu?” tanya Dion bersikap sok manis, hingga membuat Meta ingin muntah di hadapan pria itu. Si perusak yang mengha
Perkembangan baru terlihat hari ini, setelah dua bulan berlalu. Kelopak mata sang leader akhirnya menunjukkan pergerakan, sebelum akhirnya terbuka. Langit-langit putih menyambutnya. Pertama kali selam hidupnya, dia terbaring selama itu di rumah sakit.Pintu ruangan yang terbuka, menarik atensi pria itu. Wajah Azura tampak sembab, kantung matanya menghitam bersama kerutan yang menandakan usia wanita itu yang semakin menua. Sudut bibir Azura terangkat, membentuk lengkungan sabit tipis.“Akhirnya kamu bangun juga, Nak,” gumam Azura penuh haru.Dua bulan dipenuhi rasa takut akan kehilangan. Hanya Edward yang kini dia miliki. Tangan Azura terulur, membantu pria itu untuk duduk, lantas menyodorkan air minum untuknya. Meski tampak enggan, Edward tidak menolak semua bantuan wanita tersebut.“Mama baik-baik aja?”Tangis Azura pecah mendengar pertanyaan putranya. Tak menunda lagi, dia memeluk tubuh putranya dengan lembut. Tidak ada kata yang bisa mendeskripsikan hati Azura saat ini. Hanya tangi