Meta pulih setelah mendapatkan perawatan yang baik. Waktu yang seharusnya dia habiskan bersama Adam harus dihabiskan di rumah sakit. Gadis yang tengah menunduk-dengan kaki diayun- mendongak saat pintu terbuka. Senyum hangatnya menyambut kedatangan Adam yang ditemani Regano.“Pa,” sambutnya.“Bagaimana keadaan kamu?”“Sudah jauh lebih baik. Bolehkah kita menghabiskan sisa hari ini bersama, sebelum Edward menjemputku?” pinta Meta memeluk lengan Adam. Sesuai perjanjian, seharusnya hari ini Edward akan terbang ke AS untuk menjemput Meta. Ada rasa tidak rela jika harus berpisah dengan Adam secepat itu. Dia bahkan belum melakukan banyak hal dengan pria itu.“Tentu, kita akan menghabiskan sisa waktu bersama hari ini,” sahut Adam.Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong ruah sakit, menaiki lift untuk membawa mereka ke lantai dasar. Selama berjalan, tidak sekalipun Meta melepaskan tangannya dari lengan Adam, memeluk erat pria itu seolah itu akan menjadi hari terakhir kebersamaan mereka. Di
Negara yang dijuluki le france menjadi tempat yang Meta dan Adam tuju. Mereka disambut oleh orang-orang berjas hitam. Sepertinya, Adam sudah merencanakan pelarian ini cukup lama, terbukti dari persiapa yang sangat matang. Mereka menuntut ayah dan anak itu untuk menaiki sebuah mobil.Meta hanya diam selama perjalanan, hanya menatap jalanan yang lenggang. Menara serta gedung yang menjulang tinggi, berjajar di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan, tak berbeda dengan ibuk kota Indonesia. Negara yang identik dengan menara eiffel, mona lisa dan kota fashion itu sudah sangat sering Meta datangi, jadi sudah tidak asing baginya. Selama belajar tentang fashion, gadis itu bolak-balik ke sana, induknya fashion.“Nak,” panggil Adam.“Iya, Pa?”“Kamu masih sakit?” Adam mengulurkan tangan, memeriksa suhu tubuh putrinya, kalau-kalau Meta masih sakit. Gadis itu menggeleng pelan. Hanya saja dia merasa tubuhnya sedikit lemas.“Kamu bisa istirahat dengan tenang setelah ini. Papa akan memastikan Edward tid
Meta ingin menguji kesabaran Edward sepertinya. Gadis dengan balutan gaun hitam yang memperlihatkan bahu serta paha bagian kanan yang mulus. Dia menatap penampilannya lewat cermin, sudah sempurna. Dia tidak lagi peduli jika wajahnya terekspos, malah lebih bagus. Edward akan mudah menemukannya. “Kamu gak perlu melakukan ini, Nak. Kita hanya harus melarikan diri lagi, kalau mereka menemukan kita,” Adam berjalan mendekat, hingga bayangan pria paruh baya itu tampak lewat cermin di depan Meta. Tanpa menoleh pun, Meta bisa melihat ekspresi cemas pria itu. Pada akhirnya mereka akan terus berlari dari Edward dan itu melelahkan, Meta merasa tidak akan mampu melakukannya. Dia tidak akan bisa terus menyembunyikan identitasnya. Dia berbalik, kini bisa menatap wajah Adam dengan jelas. “Ini adalah pilihan yang Meta ambil, Pa. Edward adalah suami, meski tidak sungguh seperti itu. Papa harus pergi seolah tidak mengetahui apa pun tentang pelarian ini. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindung
Gadis berharga lima puluh juta euro kini tengah dipeluk dan dimiliki sepenuhnya oleh suaminya sendiri. Terdengar sedikit aneh, mengingat suami sendiri harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk mendapatkan istrinya kembali. Tentu saja Edward tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, melakukan hubungan layaknya suami-istri. “Aku menginginkanmu, satu kali lagi,” bisik Edward. Meta mendumel dalam hati, tubuhnya sudah sangat lelah dan terasa remuk. Siapa sangka Edward secandu itu padanya, hingga sulit untuk berhenti. “Sekali lagi, gitu aja terus. Besok, aku gak akan bisa jalan kalau begini caranya,” dumel gadis itu, seharusnya dia sudah pantas disebut wanitanya Edward sekarang. “Siapa suruh nakal, heum?” Selanjutnya terjadi sesuai yang Edward harapkan. Namun, kali ini pria itu menepati janjinya, membaringkan tubuhnya di sisi gadis itu. Tangannya terulur, mengusap pipi gadis itu. Setelah menghilang beberapa hari, akhirnya gadis itu kembali ke sisinya. “Aku lelah, jangan ganggu!” Meta
Edward sibuk dan Meta butuh perhatian! Entah sejak kapan perasaan kesal itu datang. Intinya gadis itu merasa kesal karena kesehariannya ke kampus selalu saja hanya didampingi oleh Ren atau Regano. Akhir-akhir ini pria itu bahkan jarang berada di rumah. Kalau ditanya, jawabannya simpel, ada urusan di luar. “Apa Edward jadi pulang hari ini?” ulang Meta, sepertinya udah yang ke sepuluh mempertanyakan hal yang sama. Regano kembali menggeleng, membuat bahu Meta semakin merosot. Mata coklatnya senantiasa memandang ke luar mobil. “Kamu merindukan dia?” Mampus, dipertanyakan sekarang. Regano melirik gadis itu sesekali, menunggu jawaban. “Dia itu abu-abu, kadang manis, kadang menyebalkan. Muncul tiba-tiba, bilangnya rindulah, terus menghilang tanpa jejak. Lama-lama aku kayak istrinya bang toyip, ditinggal melulu buat cari sesuap nasi, tapi Edward udah kaya, ngapain kerja buat cari sesuap nasi lagi,” Regano tertawa mendengar ocehan istri sahabatnya itu. Perlahan, rasa itu semakin luntur, me
Kerusuhan yang Asnaf ciptakan ternyata bukan hanya sebagai ancaman belaka, tetapi dia ingin menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Dia ingin mempertegas bahwa arah dia dan Edward berbeda. Dia adalah musuh sesungguhnya dari putra dan keluarganya sendiri. Di hari dia hampir ketahuan melakukan pembantaian oleh polisi, seseorang mendatangi dan mengajaknya bekerja sama. Satu hal yang Asnaf inginkan hanya kebebasan. Sosok itu menawarkannya lebih dari sekedar kebebasan. Dia menawarkan diri sebagai backingan jikalau Asnaf ketahuan dan tertangkap polisi. Sama seperti hari ini, setelah melakukan kerusuhan, pria paruh baya itu bisa terbebas dengan mudah bahkan berita penyerangan itu segera lenyap dari media. “Orang yang ada di belakang Asnaf pasti bukan orang biasa,” ucap Ren, mematikan ponsel, memijit keningnya yang terasa pening. Masalah tidak berhenti datang. Dia sudah membaca semua berita yang diupload di media sosial. Asnaf sempat tertangkap, tetapi terbebas kurang dari 24 jam. “Siapa seb
Satu semester tanpa terasa akan segera berlalu. Yup, Meta berhasil melaluinya, meski tertatih, terjungkal bahkan hampir mati. Dia tetap bisa menyelesaikan tugas, kuliah dengan benar meski kadang Edward suka jahil. Minggu ini adalah ujian praktek setelah ujian akhir semester selesai. Namun, yang Edward lakukan adalah menahan Meta, bahkan tidak memberi izin gadis itu untuk keluar rumah.“Aku harus ujian, Ed. Ini ujian terakhir!” Ingin sekali Meta meneriaki Edward, menyatakan kekesalannya lewat sebuah bogeman mentah.“Tidak.” sahut Edward santai, menaikkan kaki ke atas meja kerja, lantas meraih buku untuk dia baca.Meta mengepalkan tangan kuat, tersisa beberapa jam sebelum ujian praktek, dan Edward masih terus menolak permintaannya.“Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kalau aku akan aman?” tanya gadis itu mulai kehabisan stok kesabarannya.Edward menurunkan kaki dari meja, lantas menatap gadis yang masih kekeh pergi ke kampus, di saat situasi masih kurang baik. Pria itu berdiri,
Perjalanan kisahnya dimulai dari saat berada dalam kandungan, buah cinta dari dua orang yang saling mencintai. Bayi itu kemudian akan bertumbuh, seiring waktu yang berlalu, menjadi anak-anak, kemudian remaja muda, dewasa dan pada akhirnya akan menemukan cinta sejatinya. Begitulah siklus yang akan terus berlangsung.Kehidupan tidak akan selesai begitu saja, akan terus berulang dan tak akan pernah mati. Meta menjalani siklus itu dengan baik, diperlakukan dan dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang yang utuh. Skenario hidupnya sudah tampak sejak kecil, menjadi model, menikah dengan pria yang dicintai dan memiliki anak-anak yang lucu.Namun, entah apa yang terjadi dalam sekejap skenario hidupnya berubah. Bukan itu lagi yang kini ada dalam benaknya. Toh, semua sudah berlalu, dia sudah menikah dengan Edward, pria yang menciptakan ilusi sempurna dalam hidupnya. Satu-satunya hal yang mengganggu pikirannya hanya bayi yang tengah bertumbuh dalam kandungannya. Bayi berusia tiga minggu yang akan