Kerusuhan yang Asnaf ciptakan ternyata bukan hanya sebagai ancaman belaka, tetapi dia ingin menunjukkan dirinya yang sesungguhnya. Dia ingin mempertegas bahwa arah dia dan Edward berbeda. Dia adalah musuh sesungguhnya dari putra dan keluarganya sendiri. Di hari dia hampir ketahuan melakukan pembantaian oleh polisi, seseorang mendatangi dan mengajaknya bekerja sama. Satu hal yang Asnaf inginkan hanya kebebasan. Sosok itu menawarkannya lebih dari sekedar kebebasan. Dia menawarkan diri sebagai backingan jikalau Asnaf ketahuan dan tertangkap polisi. Sama seperti hari ini, setelah melakukan kerusuhan, pria paruh baya itu bisa terbebas dengan mudah bahkan berita penyerangan itu segera lenyap dari media. “Orang yang ada di belakang Asnaf pasti bukan orang biasa,” ucap Ren, mematikan ponsel, memijit keningnya yang terasa pening. Masalah tidak berhenti datang. Dia sudah membaca semua berita yang diupload di media sosial. Asnaf sempat tertangkap, tetapi terbebas kurang dari 24 jam. “Siapa seb
Satu semester tanpa terasa akan segera berlalu. Yup, Meta berhasil melaluinya, meski tertatih, terjungkal bahkan hampir mati. Dia tetap bisa menyelesaikan tugas, kuliah dengan benar meski kadang Edward suka jahil. Minggu ini adalah ujian praktek setelah ujian akhir semester selesai. Namun, yang Edward lakukan adalah menahan Meta, bahkan tidak memberi izin gadis itu untuk keluar rumah.“Aku harus ujian, Ed. Ini ujian terakhir!” Ingin sekali Meta meneriaki Edward, menyatakan kekesalannya lewat sebuah bogeman mentah.“Tidak.” sahut Edward santai, menaikkan kaki ke atas meja kerja, lantas meraih buku untuk dia baca.Meta mengepalkan tangan kuat, tersisa beberapa jam sebelum ujian praktek, dan Edward masih terus menolak permintaannya.“Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kalau aku akan aman?” tanya gadis itu mulai kehabisan stok kesabarannya.Edward menurunkan kaki dari meja, lantas menatap gadis yang masih kekeh pergi ke kampus, di saat situasi masih kurang baik. Pria itu berdiri,
Perjalanan kisahnya dimulai dari saat berada dalam kandungan, buah cinta dari dua orang yang saling mencintai. Bayi itu kemudian akan bertumbuh, seiring waktu yang berlalu, menjadi anak-anak, kemudian remaja muda, dewasa dan pada akhirnya akan menemukan cinta sejatinya. Begitulah siklus yang akan terus berlangsung.Kehidupan tidak akan selesai begitu saja, akan terus berulang dan tak akan pernah mati. Meta menjalani siklus itu dengan baik, diperlakukan dan dibesarkan dengan cinta dan kasih sayang yang utuh. Skenario hidupnya sudah tampak sejak kecil, menjadi model, menikah dengan pria yang dicintai dan memiliki anak-anak yang lucu.Namun, entah apa yang terjadi dalam sekejap skenario hidupnya berubah. Bukan itu lagi yang kini ada dalam benaknya. Toh, semua sudah berlalu, dia sudah menikah dengan Edward, pria yang menciptakan ilusi sempurna dalam hidupnya. Satu-satunya hal yang mengganggu pikirannya hanya bayi yang tengah bertumbuh dalam kandungannya. Bayi berusia tiga minggu yang akan
Sebentar lagi dia akan menjadi seorang ibu, hal yang mengingatkannya pada sosok Yoona. Wanita yang melahirkannya itu meninggal dengan cara tragis. Sampai hari ini, Meta belum menemukan cara untuk menghukum pelakunya. Tangan gadis yang sbeentar lagi jadi ibu itu terulur, menyentuh nisan bertuliskan nama Yoona.“Maaf baru bisa mengunjungi Mama sekarang,” gumamnya lirih.Perlahan air matanya mulai turun, membasahi pipi juga wajahnya. Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan.“Nak, udah jangan terlalu larut dalam kesedihan lagi. Mama udah tenang di alam sana,” ucap Adam mengusap punggung Meta.Permintaan Meta soal bertemu Adam, akhirnya dikabulkan oleh Edward. Pria paruh baya itu kembali ke Indonesia, tak lama setelah kepulangan putrinya. Kalau perihal cara Meta membujuk Edward agar mengizinkan mereka bertemu, sudah pasti tidak mudah.Meta merengek, bahkan mogok makan agar permintaannya dikabulkan. Beberapa malam terakhir, memilih tidur terpisah sampai pria itu menyerah. Edward tentu saj
Matahari yang masuk lewat celah jendela, sudah mengusik mereka yang masih bergelung di balik selimut. Tidak ada niatan untuk bangun, tepatnya oleh gadis yang masih nyaman dalam pelukan sang suami. Sudah sekitar sepuluh menitan Edward terus mencoba mengusik gadis itu agar membuka mata, mulai menoel pipinya, menarik hidungnya sampai mengelus perut Meta, agar gadis itu membuka mata. Namun tak satu pun yang berhasil mengusik gadis itu. Dia malah semakin nyaman, masuk dalam pelukan Edward. “Ta, bangun, ini di perut kamu kenapa kayak ada benjolan? Kamu sakit?” Pertanyaan Edward membuat Meta membuka mata, menjauhkan tangan pria itu dari perutnya. “Gak apa-apa, paling karena akhir-akhir ini aku banyak makan. Aku mandi duluan,” sahut gadis itu turun dari ranjang terburu-buru. Berkali-kali, gadis itu hampir terjatuh karena belum sepenuhnya sadar. Edward hanya menautkan alisnya, tingkah Meta memang agak berbeda akhir-akhir ini. Dia menyadari itu, tetapi memilih untuk tidak ambil pusing. Semen
Awalnya Regano tidak setuju dengan ide gila Meta yang ingin memancing kemarahan Edward. Menurutnya hal itu terlalu berbahaya untuk Meta dan calon bayinya. “Ini cara yang bisa aku lakukan, Gano. Kalau aku dan Edward gak bercerai sebelum kandunganku semakin besar, mereka bisa sadar dan menyingkirkan anak aku,” ucap Meta meyakinkan Regano. Gadis dengan gaun hitam selutut itu memperhatikan penampilannya sekali lagi. Tubuhnya tidak lagi seramping dahulu, mengharuskannya mengenakan pakaian yang lebih besar. “Aku janji gak akan minum wine kok. Aku tau batasan, Gano, tenang saja,” “Kamu tau batasan, bagaimana dengan bocah itu? Bagaimana kalau di melewati batasan, Ta?” cecar Regano masih khawatir. Masalahnya, Meta pergi bersama seorang pria yang baru dikenal. “Kalau begitu, kamu harus mendampingiku.” Kesepakatan dibuat. Regano ikut bersama gadis itu, tetapi harus mengawasi dari kejauhan. Seorang pria berjaket jeans tampak menghampiri Meta, menggenggam tangan gadis itu dan mengajaknya ke la
Meski gagal, tekad untuk berpisah dari Edward belum juga pudar. Setelah semalam bertengkar hebat dan bahkan mendapat luka baru, pagi ini pria itu justru bersikap manis padanya. Edward seperti menyesali perbuatannya, tapi gengsi untuk sekedar meminta maaf? Entahlah, hanya Edward dan Tuhan yang tau. “Bangun, setelah itu sarapan,” suruh Edward lebih lembut, mengusap kepala Meta agar gadis itu membuka mata. Pandangan keduanya bertemu, tidak satu pun yang berniat untuk mengalihkan pandangan. Keduanya saling menenggelamkan satu sama lain lewat tatapan. “Maaf udah buat kamu marah,” gumam Meta. Edward mengangguk kecil, membantu gadis itu untuk duduk. Pria itu mengangkat sedikit baju tidur yang Meta kenakan, lantas mengoleskan saleb ke luka akibat ulahnya. “Jangan diulangi. Kamu tau aku gak akan diam aja, melihat tingkah kamu kemarin,” Meta mengangguk kecil, sangat polos seperti anak kecil yang baru dinasehati orang tuanya. Gadis itu menurut saja, saat Edward malah mengangkat tubuhnya, me
Edward sadar akan kehilangan Meta saat melanggar sebuah kesepakatan yang dia buat dengan Regano. Pria itu meneguk wine yang ke sekian kalinya. Pintu ruangan yang terbuka menarik atensi pria itu. Dia terkekeh, menyadari berakhirnya sebuah permainan. Di tempat yang sama dengan kesepakatan itu dibuat, di situ pula dia akan mengakui kekalahannya.Regano mengambil posisi di hadapan Edward, menuang wine ke dalam gelas, lantas meneguknya hingga kandas.“Aku pikir kamu akan pergi bersenang-senang, bersama mereka yang tidak bisa memenuhi target,” ucap Regano membuka pembicaraan. Biasa kalau Edward sedang stress, pelariannya pasti memainkan alat-alat kesayangannya. Suasana hatinya akan kembali saat korbannya menderita dan memohon ampun padanya.“Aku tidak ingin dia semakin membenciku. Bukan, aku tidak ingin dia terseret dalam duniaku yang semakin gelap. Dia terlalu bersih untuk kuberi warna hitam,” ungkap Edward terkekeh, ada sekelibat rasa pedih yang tampak di mata pria itu.Regano menuang wi