Bab 141 “Pa, Papa Eril dengerin Ayang, gak?” tanya Ayang berulang kali. Tidak ada jawaban dari seberang. “Halo, kamu siapa?” Ayang terkejut, karena yang menjawab teleponnya seorang perempuan. “Ini siapa? Ayang mau bicara Papa Eril,” kata Ayang. Tidak ada jawaban, hanya bunyi kresek – kresek. “Halo, halo!” “Ayang menelpon siapa?” tanya Amina yang matanya masih sembab. “Papa Eril, Bu. Tadi ada suara perempuan, setelah itu tidak ada,” kata Ayang. Amina terperanjat. “Coba Ibu yang menelpon.” Ia segera berlari ke kamar dan mengambil telepon. Telpon Eril sudah tidak aktif. Ia mencoba berkali – kali dan hasilnya tetap sama. Wanita itu mengeluh panjang. “Telponnya tidak aktif,” kata Amina. “Apa Ayang yakin, tadi menelpon Papa Eril?” Ayang memberikan ponselnya pada Amina untuk diperiksa. Anak itu betul, dia menelpon nomor pribadi Eril. “Ngomong – ngomong, kenapa Ayang menelpon Papa Eril?” Ayang menunduk. Ekor matanya melirik Bik Susi dan Fahri yang turun ke bawah. “Ayang kangen Papa
Bab 142 “Kenapa Tante melimpahkan semua masalah ke sini?” tolak Amina tegas. “Saya sudah pusing dengan masalah saya sendiri!” Iswati memijit kepalanya yang pening. Masalah kehamilan Dokter Kartika membuat pikirannya buntu. “Saya tidak mau tahu, Eril pergi gara – gara kamu! Sekarang kalian berdua yang harus tanggung jawab membawa Eril kembali kepada saya!!” teriaknya membabi buta. “Terserah Tante! Saya tidak mau!!” Saking kesalnya, Amina meninggalkan Iswati dan pergi ke kamarnya dengan wajah bersungut – sungut. Reynard menarik napas. Ia melihat Iswati. Meski dalam hatinya kesal, ia masih bisa menahan emosinya. “Amina benar. Ini tidak adil baginya. Beban dia banyak. Dia harus melunasi hutang bapaknya yang pinjam ke rentenir 300 juta. Kemudian kepergian Eril. Asal Tante tahu, uang Amina yang dipegang Eril tidak main – main lho. Lebih dari 5 Milyar! Bisa saja Amina melaporkan Eril melakukan penggelapan uang, tapi dia tidak melakukannya. Sekarang ditambah lagi dengan kehamilan Dokter
Bab 143 "Ngagetin saja kamu," canda Reynard, saat melihat Amina melangkah ringan ke dapur. "Tante Iswati tidak mau pulang, dia bersikeras mau menginap di rumahmu." "Apa aku harus panggil satpam untuk mengusirnya?" Reynard mengintip Iswati dari balik tirai yang menghubungkan rumah makan dan dapur. Perempuan setengah baya itu, menyandarkan badannya ke sofa, sedangkan matanya terpejam. Entah dia tidur atau tidak. "Biarkan saja dia menginap di sini," kata Amina seraya membuka kulkas dan mengambil buah apel. Ia lalu menggigitnya dalam gigitan besar. "Ngapain kamu memasukkan singa ke dalam rumahmu? Apa kamu belum puas mendengarkan cemohannya?" Reynard geregetan mendengar jawaban Amina. "Aku hanya mau membalas perbuatan Tante Iswati," kata Amina pelan, ia melenggang anggun ke kamarnya. Reflek, Reynard mengikuti langkah Amina ke kamarnya. "Kamu jangan bikin aku deg – degan! Beri tahu aku sekarang apa yang mau kau lakukan?" tuntut Reynard. Suaranya sengaja ia pelankan supaya Iswati tid
Bab 144 “Awas!!” teriak Amina dan Bik Susi yang melihat Dokter Kartika berlari ke tengah jalan dan hendak menubrukkan badannya ke mobil yang ditumpanginya. Dengan sigap Reynard memutar kemudi mobil, dan membelokkannya ke taman. Laju mobil sedikit oleng sebelum menabrak perosotan. BRAK Semua yang berada di dalam mobil menahan napas. Sedangkan orang – orang yang lewat di situ berhenti dan mulai mengerubungi mobil. “Dasar perempuan gila!” maki Reynard seraya memukul tangannya ke kemudi. “Dokter itu sengaja mau mencelakakan kita semua!” Ia lalu membuka pintu mobil dengan wajah masih tegang. Ia bisa menghindari aksi bodoh Dokter Kartika dan akibat perbuatannya, mobil baru Amina rusak. Bagian depannya penyok parah. Amina mendekati Reynard. “Gak usah dipikir, yang penting kita selamat,” ujar Amina menepuk pundak Reynard. “Aku sebaiknya naik taksi ke RTV bersama Bik Susi, dan tolong telpon dealer mobilnya untuk mengurusi ansuransi.” Amina kembali ke mobil. “Bik, kita naik taksi.” Wan
Bab 145Tangan Amina gemetar membaca screenshoot yang diberikan Bu Hesti. Di sana ada nomor dan foto dirinya yang mengekspos bagian – bagian vital tubuhnya. Matanya mengamati dengan jeli dan menemukan keganjilan. Andai ada Eril, pria itu pasti akan menolongnya.“Semua ini salah paham dan saya menduga ada orang yang sengaja mau menfitnah saya,” ucap Amina dengan suara bergetar.“Tidak usah muter – muter, jelaskan semuanya pada saya sekarang!” perintah Bu Hesti.Amina menarik napas dan menghembuskannya pelan. Berat rasanya menceritakan sebagian masalahnya pada orang lain. Meski itu kepada Bu Hesti. “Saya tidak pernah pinjam kepada rentenir, Bu. Yang meminjam uang itu adalah Bapak. Dia meminjam uangnya dari Jazuli, lelaki yang menyekap saya.”Suara Amina tercekat di tenggorokannya. “Sayangnya, uang saya dibawa Eril, dan dia tidak bisa dihubungi.” Ia menyusut air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Saya sangat bodoh, saya amat percaya kepada Eril, dan saya tidak pernah mengira k
Bab 146Eril melirik dan hatinya tergerak melihat foto seorang wanita sedang memeluk anak perempuan di sebuah taman. Keduanya tersenyum manis. Ingatan- ingatan Eril melesat memenuhi otaknya.Lelaki itu menelungkupkan kepalanya pada kedua kaki. Ia lalu menangis tergugu teringat senyum yang membuat hatinya meronta – ronta rindu.Amina mengusap pundak Eril. Ia tak pernah melihat pria itu menangis sebelumnya. “Are you okay, Ril?”Eril mendongak, matanya masih basah oleh air mata. “Iya, aku baik – baik saja.”“Apakah kamu ingat sesuatu?” tanya Adrien lagi dengan penuh perhatian.Pria itu tidak menjawab, sebagai gantinya ia menarik napas berat. “Aku sangat mencintai wanita itu. Aku mau menikahinya, sayangnya…” Eril terdiam.“Apakah karena ada pria lain?” tanya Adrien hati – hati.“Tidak ada. Dia setia.” Eril menunduk dan mengambil ranting pohon yang terjatuh di sampingnya. Ia lalu memainkan ranting itu dengan memutarnya.“Kalau kalian sama – sama saling mencintai dan setia, kenapa kalian ti
Bab 147Adrien berbalik dan melangkah perlahan ke mejanya, kemudian meneruskan pekerjaannya.Sikap diam Adrien membuat Eril tidak nyaman. Lelaki itu pergi ke kamarnya yang berjarak 8 meter dari living room, dan sengaja membuka pintu lebar – lebar, membiarkan udara pantai bebas masuk.Lelaki itu diam tanpa melakukan apa - apa, ia hanya merebahkan badannya di atas dipan kayu seraya berpikir.Sampai malam, Eril berbaring di sana, dengan mata nanar menatap dinding bambu. Berulang kali ia terlihat mendesah, terasa berat sekali beban yang ia pikirkan.KRIEKLamat – lamat telinga Eril mendengar suara langkah kaki masuk. Pria itu waspada. Kamarnya gelap dari tadi, dan ia tidak tahu jam berapa sekarang.“Ril?” Apa kamu di situ?” tanya suara perempuan yang sangat dikenal Eril.“Iya,” jawab Eril pendek.“Apa lampunya mati? Aku tak bisa melihat apapun,” keluh Adrien.Eril menyalakan saklar lampu yang berada di sebelahnya. Kamarnya sudah terang sekarang. Dia bisa melihat Adrien sedang membawa rant
Bab 148 “Saran dealer, mobilnya lebih baik dijual. Pihak ansuransi menolak memberikan konpensasi, karena menurut mereka itu akibat kelalaian kita.” Reynard menarik napas panjang. Mukanya kelihatan kesal sekali. “Siapa yang mau membeli mobil yang sudah rusak parah?” tanya Amina getir. Ia masygul menerima berita tak mengenakkan di pagi hari. “Pasti ada, tapi harganya jauh dari pasaran.” Pria itu memandang Amina dengan sedih. “Menurut perkiraanku, mungkin harganya sekitar 50 sampai 60 juta.” Mata Amina mendelik! “Apaaaaa!! Aku membeli mobil itu seharga 400 jutaan, dan sekarang aku hanya dapat 50 juta? Ini tidak masuk akal sama sekali!!” katanya marah. Ia memukul cushion yang ada di sampingnya. Perempuan itu kesal sekali. Saat ini keuangannya tidak baik – baik saja. Sedangkan masalah muncul bertubi – tubi. “Bagaimana kabar Eril? Apa kamu sudah bisa menghubunginya?” tanya Amina kalut. Reynard menggeleng. “Telponnya tidak aktif. Aku sudah memberi tahu mamanya supaya menghubungi kita
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men