Richardo menyesap cerutunya setelah menghabiskan satu mangkuk ramen di ssbuah restauran. Rupanya dia mengajak George untuk makan siang bersama seraya berbicara satu dan lain hal. ‘Kenapa di mengajakku? Tumben sekali,’ batin George. Pemuda itu mengedarkan pandangannya hingga melihat dua ajudan yang duduk beberapa meter di sebelah kanan. “Santai saja, George. Aku sudah lama mengenal ayahmu. Aku turut berduka cita atas kepergiannya yang secepat ini.”George hanya mengangguk pelan, memaksakan senyumnya untuk menghormati sosok atasan di hadapannya. “Terima kasih komandan.”Richardo menghela napas gusar, bersamaan dengan gumpalan asap yang keluar melalui lubang hidungnya. “Sejujurnya aku tak percaya dengan pernyataan Danny bahwa Jonathan telah melecehkannya. Entah apa yang ada di otak anak itu, kenapa bisa memberikan suatu pernyataan yang tak masuk akal,” tutur Richardo. Dia memperhatikan George yang tengah mengaduk es teh manis dengan tatapan kosong. “Dia memang berbohong. Tujuan Dan
Setibanya di rumah, George segera berlari ke kamar Jonathan untuk menggeledah barang-barang sepeninggalannya. “Kenapa aku nggak mencurigainya dari awal?” desis George sambil sibuk membuka laci dan lemari. Pemuda itu baru menyadari satu hal bahwa Danny merupakan ajudan Richardo, mantan bawahan Jonathan yang karirnya melejit pesat dengan sangat mudah dan tak masuk akal. Bagaimana jika kecurigaan George benar? Bahwa orang yang memerintah Danny adalah Richardo. Terlebih lagi, kenapa pria paruh baya itu tiba-tiba mengajak George makan siang setelah mengetahui bahwa dia pergi untuk menemui Danny hari itu juga? Apa benar hanya sekadar berbela sungkawa? Namun, kenapa dia tak berbela sungkawa sejak awal? Sejak hari pertama George merasa terpukul dan kehilangan. Sebuah tanda tanya besar berkelindan dalam benak. Sampai akhirnya George berhasil menemukan sebuah brankas kecil di dalam lemari. Dia mencoba berbagai kata sandi tapi nihil. Brankasnya tak dapat dibuka hingga George bergeming beberap
Sebuah club malam dengan bangunan cukup besar terlihat di sudut jalanan sepi di pinggiran kota. Tulisan El Camorra yang dihias oleh lampu kerlap-kerlip membuat George yakin bahwa tempat itu memang tujuannya. Pemuda itu hanya bisa mengamati dari dalam mobil. Dia tak ingin bertindak gegabah untuk masuk begitu saja sebelum mencari tahu lebih detail mengenai El Camorra. “Sepertinya Ayah berkunjung ke sini akhir-akhir ini. Namun ada apa? Kenapa dia tak menulis penjelasan lebih detail mengenai club ini dalam buku catatannya?” George bermonolog sendiri. “Tak mungkin club sebesar El Camorra tak memiliki legalitas usaha dan tak terdaftar di pajak. Pasti ada seseorang yang menyokongnya dari belakang. Seseorang yang memiliki kekuatan hukum hingga berani memanipulasi data.”George mengetuk-ngetuk kemudi menggunakan telunjuknya sambil memandang club tersebut dengan mata terpicing. Tak lama berselang, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan club. Tampak seorang pria tampan dengan rambut s
Gabby menenteng banyak sekali tas belanja di tangannya, dibantu oleh Raizel dan beberapa staff yang sudah siap siaga di depan rumah. Lascrea yang berdiri di ambang pintu masuk pun mengernyit heran melihat bosnya yang baru tiba bersama Gabby dengan begitu banyak belanjaan.“Bos, nggak salah?” bisik Lascrea, menghampiri Raizel yang tengah melangkah ke arah pintu masuk. Raizel menaikkan kedua alisnya, memperhatikan Gabby dan seluruh belanjaannya, lalu menoleh ke arah Lascrea sambil menggeleng. “Enggak! Emang salah kenapa?” “Bos beli apa aja sebanyak ini?” Lascrea pantas protes karena dia yang mengatur keuangan Raizel dan selalu mewanti-wanti kepada pria itu agar tidak menghambur-hamburkan uangnya, apalagi saat bisnis tidak berjalan lancar yang menyebabkan berkurangnya pemasukan. Raizel pun menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal. Kemudian terkekeh sambil menjawab, “Emm, ya buat baju ganti Gabby.” Lascrea menggeleng dengan tatapan nanar. Tak habis pikir dengan jalan pikiran Raize
“Sini saya bantu bawakan,” ucap salah satu ajudan, ngambil beberapa tas belanjaan Gabby. Dengan perasaan bimbang, dia pun menyerahkan semuanya kepada ajudan Raizel dengan tergesa-gesa. “Maaf, Pak. Boleh bawakan semua? Saya mendadak ada keperluan yang harus saya selesaikan terlebih dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari ajudan tersebut, Gabby lekas berlari mengejar Raizel. Dia khawatir kehilangan jejaknya. Sampai akhirnya Gabby melihat selintas punggung lebar Raizel yang memasuki kamar Lacrea. “Ah, itu dia!” Gabby berjalan mindik-mindik untuk mengintip sekaligus menguping percakapan Raizel dan Lascrea di dalam sana. Untung saja Raizel tak menutup rapat pintunya sehingga menciptakan celah kecil untuk dia mengintip.‘Apa yang mereka bicarakan?’ Gabby tak dapat mendengar jelas ucapan mereka karena Lascrea dan Raizel berbicara dengan suara pelan. Sampai akhirnya Gabby harus dikejutkan oleh pemandangan yang begitu membuat jantungnya hampir copot. Lascrea berciuman dengan Raizel. Itu yan
Gabby mengempaskan tubuhnya ke kasur lalu membenamkan wajah di atas bantal sambil menggeram kesal. “Arghh! Aku kenapa, sih?”Dia sendiri bahkan tak mengerti kenapa harus merasa kesal saat melihat Raizel berciuman dengan Lascrea. Apa mungkin karena Gabby merasa dipermainkan? Pasalnya hanya kepada Raizel saja dia berani menyerahkan kesuciannya. Sementara Raizel bisa dengan mudahnya melakukan apa pun dengan wanita lain.“Dasar Cowok Brengsek!”Gabby jadi teringat ucapan mantan Raizel saat ditemui di restauran. Pikirnya, Apa memang Raizel sesering itu mempermainkan wanita? Namun kenapa harus Gabby yang jadi korban selanjutnya? Wanita itu sangat jauh dari kesan seksi. Hanya seorang gadis sederhana yang memiliki paras manis dan lugu. Berbeda dengan Lascrea ataupun mantan-mantan Raizel.“Kalau tau bakal begini, harusnya aku nggak sebodoh itu nyerahin semuanya.”Gabby mengacak-acak rambutnya sendiri, merasa sedikit frustrasi. Sementara Raizel tersipu saat memasuki kamar yang tadi pagi sempat
Raizel memanggil Gabby ke ruangan kerjanya dengan alasan ingin dibuatkan kopi seperti biasa. Sebenarnya itu hanya akal-akalan Raizel saja agar bertemu dengan Gabby dan memastikan perasaannya sekali lagi.Gabby yang masih menyimpan kesal kepada Raizel terpaksa harus membuatkan kopi dengan malas-malasan. Saat dia meraih wadah gula untuk menaburkannya ke kopi hitam Raizel, tiba-tiba tangannya menyentuh wadah garam sehingga Gabby memiliki ide gila untuk menukar rasa manisnya dengan sejumput garam.“Urusan dia marah mah belakangan. Yang penting kerjain aja dulu!” gumamnya, menyeringai sambil menabur garam lebih banyak lagi.Setelah kopi sudah siap disajikan, Gabby pun bergegas ke ruang kerja Raizel dengan membawa nampan. Sementara Raizel rupanya sudah menanti kehadiran Gabby sejak tadi. Dia bahkan membawa cermin kecil ke mejanya dan berkali-kali menatap wajah tampannya di cermin. Memasang berbagai macam ekspresi seraya menyapa bayangannya sendiri di cermin, seperti tengah latihan percakap
Sudah tiga hari lamanya Gabby bersikap ketus terhadap Raizel. Tiap kali pria itu bertegur sapa atau memerintahkan sesuatu, pasti tak pernah Gabby kerjakan dengan sungguh-sungguh. Tentu saja hal tersebut membuat Raizel sangat geram. Apalagi respons Gabby terhadapnya sangat berbeda dari sebelumnya. Biasanya, gadis itu selalu membantah jika disalahkan dan mengucap seribu alasan untuk membela diri. Namun, sekarang sudah tidak lagi. Tiap Gabby disalahkan, dia selalu pasrah dan membawa-bawa nama Lascrea.Pagi itu Raizel bangun terlalu siang dan merasakan dahaga yang membuat tenggorokannya seperti tercekat. Dia meregangkan otot-ototnya sambil menguap. Kemudian menoleh ke atas nakas untuk mengambil segelas air putih yang selalu tersedia seperti biasa.Tangan kekar Raizel terulur sembarang. Kepalanya tak menoleh sedikit pun dan kedua mata yang menatap lurus ke depan itu masih terlihat sayu. Telapak tangan yang sudah menyentuh permukaan nakas melambai-lambai karena tak dapat meraih benda yang d
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik