“Ayo ikut aku!” Raizel menggandeng tangan Gabby usai dirinya mandi dan berpakaian rapi. Pria itu memang sengaja mengurung Gabby di kamarnya agar bisa keluar kamar bersama. “Kita mau ke mana Pak Bos? Tapi aku belum mandi.”“Udah ikut aja! Gampang nanti bisa mandi di sauna!”Gabby membelalakkan matanya seolah-olah tak percaya. “Sauna? Pak Bos mau bawa aku ke luar? Apa di rumah ini juga ada sauna?”Raizel mengulas senyum yang mampu menggetarkan hati kecil Gabby. “Di rumah ini nggak ada sauna,” jawab Raizel dengan lembutnya. “Terus? Beneran ke luar?”Raizel mengangguk pelan, masih dengan senyuman manisnya.“Iya, bawel! Udah buruan!” Raizel segera menyeret Gabby ke luar kamar untuk membawanya pergi. “Ini nggak mimpi, kan?” batin Gabby. “Kenapa sejak tadi malam sikap dia aneh. Apa mimpi buruknya udah berhasil bikin otak dia konslet? Terlebih lagi, senyum apa itu? Aku nggak pernah lihat dia senyum sehangat itu, kecuali senyum kematian yang bikin dia keliatan mirip zombie.”Langkah Gabby
Setelah menikmati relaksasi di sauna, Gabby memakai baju baru yang sudah Raizel belikan beberapa menit lalu saat sedang menunggu dirinya. Gabby bahkan diajak ke salon untuk didandani sebelum berkeliling di mall. Tak dapat dipungkiri bahwa gadis itu memiliki kecantikan alami di balik wajah lugunya. Citra pelayan yang akhir-akhir ini melekat dalam diri Gabby kini sirna, berganti dengan aura kecantikan yang membuat gadis itu terlihat berkelas dan elegan. Kurang lebih hampir serupa saat dia pertama kali menjadi penari di El Camorra. Bedanya, kini dia didandani bukan sebagai gadis nakal. Raizel terpana saat melihat Gabby yang menghampirinya dengan warna rambut yang berbeda. Gadis berkulit putih itu terlihat cocok dengan rambut ash grey- nya yang ditata menjadi bergelombang. Bahkan ada sedikit poni tipis ala-ala gadis korea yang membuatnya terlihat imut.Sejujurnya, sosok Gabby saat ini adalah salah satu tipe gadis idaman Raizel. Dia terlalu lelah berhadapan dengan gadis nakal yang selalu
Wanita itu terlihat cantik dan sangat berkelas dengan kaos lengan panjang turtle neck berwarna hitam dan rok motif kotak-kotak yang dihias ikat pinggang merek ternama. Sepertinya dia sangat mengenal Raizel. Namun tatapan sinisnya membuat Gabby benar-benar tak nyaman.“Kamu pacarnya Raizel, ya? Salam kenal aku Diana, mantannya Raizel,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Gabby hanya tersenyum meringis, tak tahu harus bagaimana menghadapi situasi yang membingungkan tersebut.Untung saja Raizel peka dan buru-buru menepis tangan Diana sambil berkata, “Di, pacarku nggak nyaman kamu ajak kenalan.”“What?”Bukannya membuat Gabby tenang, ucapan Raizel malah membuat pikiran Gabby tambah runyam.“Bisa-bisanya dia bilang kita pacaran. Wah, kayaknya otaknya emang bener-bener konslet gara-gara mimpi buruk.”Diana manggut-manggut, merasa paham dengan apa yang dia lihat. “Oh, jadi beneran pacar kamu? Selera kamu emang selalu bagus ya, dari dulu.”Diana mencoba tersenyum dan memperhatikan Gabby sekal
“Bos sakit, ya?” tanya Gabby memicingkan matanya. Raizel terkekeh melihat gadis di hadapannya yang sedang kebingungan. “Kenapa jadi sakit, dah?”Gabby meletakkan garpu dan pisau lalu melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap Raizel dengan penuh curiga. “Tunggu sebentar!”Raizel mengangkat sebelah alisnya, merasa heran akan sikap Gabby.“Kali ini aku bener-bener yakin kalau otak Pak Bos beneran konslet,” ucap Gabby, memicingkan matanya sambil menggeleng pelan. “Konslet?”Gabby mengembuskan napas kasar lalu meraih air mineral dan meminumnya sebelum melanjutkan obrolannya. “Abis dari tadi pagi sikap Pak Bos aneh banget. Udah ngomongnya halus, pake aku kamu, eh sekarang malah ....”“Malah apa Gabby?” Tatapan tajam Raizel lagi-lagi menggetarkan hati Gabby. Dia pun menunduk tersipu, tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Sampai akhirnya teringat perkataan Diana saat bertemu di restauran shabu-shabu.“Emmm, nggak deh. Tiba-tiba aku jadi keinget mantan Pak Bos tadi. Siapa namanya
George menggertakkan rahangnya saat menyadari bahwa isi rekaman dari blackbox yang dia dapatkan ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berkali-kali Gerorge mengeluh, mengusap wajahnya secara kasar hingga Dion—rekan seperjuangannya yang berada dalam satu ruangan dengannya pun tampak heran oleh sikap George yang terlihat sedikit frustrasi.Dion yang duduk di seberangnya dengan santai mengedikkan dagu. “Kenapa lo?” Kedua pipinya menggembung akibat roti keju yang sedang dia kunyah. “Percuma gue bawa kabur blackbox-nya. Nggak ada rekam jejak dia bertemu dengan Richardo di sini. Kayaknya ini bukan mobil yang biasa dia bawa.”Dion terkekeh lalu menyeruput kopinya yang sudah tak panas lagi. “Mafia kelas kakap kayak dia nggak mungkin seceroboh itu bawa mobil pribadi sendirian, George. Apalagi dekengannya seorang jenderal bintang dua.”“Argh!” George semakin kesal dengan ucapan temannya. Dia menjambak rambutnya sendiri, membuat Dion semakin terkekeh.“Lo nggak mau nyerah aja? Pak ketua
Danny makin diperam kelesah saat pria paruh baya di sebelahnya mendadak murka dan menjambak Danny hingga mendongak. “Kenapa dia bisa tau? Katanya kau mengeksekusi Jonathan tepat di blind spot CCTV?” geram pria itu dengan tatapan berapi-api. Danny hanya bisa meringis dan memohoh ampun. Pemuda itu rupanya tak berkutik dan sangat ketakutan menghadapi pria paruh baya di sebelahnya. “Siap! Maaf Komandan! Saya bersumpah bahwa saya tidak menemukan adanya CCTV lain di ruangan itu. Saya tidak tahu bagaimana George mengetahuinya.”Pria paruh baya itu melepas cengkraman pada rambut Danny setelah dia berhasil membenturkan kepalanya ke kaca mobil. “Kalau sudah begini, aku tak bisa membantumu. Kau harus menerima konsekuensinya, Danny.”Danny menoleh, sedikit terperanjat. Sebelah tangannya mengusap kening yang tampak benjol akibat benturan di kaca mobil. “Ma-maksud Komandan? Saya harus terima jika mendekam di penjara dan kehilangan seluruh pencapaian saya saat ini?”Pria paruh baya itu mengisa
“Siap, saya tidak tahu, Yang Mulia. Mungkin ajakan Brigjen J untuk memberikan surprise hanyalah alibi agar beliau bisa melancarkan aksinya untuk melecehkanku,” jawab Danny, berusaha tenang.“Sial!” geram George. “Mau sampai kapan kau terus berbohong, Danny?” “Senjata siapa yang kau gunakan untuk menembak?” “Siap, senjata saya sendiri, Yang Mulia. Namun setelah saya menemukan senjata milik beliau, saya menukarnya.”“Apa kau memang selalu membawa senjata kemana pun kau pergi?” “Siap, kadang-kadang, Yang mulia. Saat itu saya hanya khawatir di perjalanan karena hari sudah terlalu larut.”Hakim mengangguk, mendengar pernyataan Danny walau hal itu masih tak dapat diterima oleh George.Keterbatasan bukti CCTV membuat George kesulitan untuk membuktikan bahwa pernyataan Danny palsu atau benar adanya. Pasalnya, CCTV yang dimiliki George hanya dapat menampilkan gambar, tanpa adanya suara. Jadi baik dia beserta pihak pengadilan tak dapat mengetahui dengan pasti apa yang dibicarakan oleh Danny
Laporan George yang berkata bahwa Danny mengaku disuruh seseorang berhasil membuat gaduh seisi kantor. Bahkan berita itu sampai ke kantor pusat dari mulut ke mulut beberapa polisi yang gemar bergosip. Sayangnya laporan George tak dapat diproses karena tak ada bukti yang menyertakan ucapan tersebut. Peraturan yang melarang bawa ponsel saat membesuk narapidana membuat George kesulitan untuk merekam. Apalagi di era modern seperti ini dia tak kepikiran sama sekali untuk membawa alat perekam.“Argh! Kayaknya gue harus ketemu Danny lagi.” Sejak lima hari George membuat laporan, akhirnya dia memiliki waktu luang untuk bertemu kembali dengan Danny karena jadwalnya yang terlalu padat akhir-akhir ini. Pasalnya, George sedang mengikuti seleksi untuk menjadi anggota BIN. Baru saja George memarkirkan mobilnya di parkiran lapas, tiba-tiba dia mendengar suara ambulans dan beberapa keributan di pintu masuk. Entah kenapa perasaan George tak enak saat berniat KEPO dengan apa yang terjadi. “Siapa y
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Gabby dan George mencari cara untuk mengawasi gerak-gerik Raizel secara intens, tiba-tiba saja Gabby mendapatkan tawaran sebagai asisten pribadinya dengan menggantikan sosok Lascrea. Bagaimana mungkin Gabby menolak jika hal tersebut dapat menguntungkannya? Dia akan jadi lebih mudah mengumpulkan bukti tentang bisnis kotor Raizel secara spesifik. Dengan menjadi asisten pribadinya, Gabby dapat mengikuti Raizel dengan mudah, kapan pun dan di mana pun. Di tengah lamunan yang diiringi perasaan antusias, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh pertanyaan Raizel yang tengah menanti jawabannya. "Jadi gmana, Gabby? Apa kamu mau jadi asisten pribadiku?"Sontak Gabby terperangah dan mengenyahkan lamunannya. Dia pun mengerjapkan mata seraya bertanya dengan raut kikuk. "Eh? Emang Lascrea ke mana?"Raizel menghela napas gusar. Sejujurnya dia enggan membahas wanita itu serta masalah yang tengah mereka alami. "Emm, Paniang ceritanya. Intinya Lascrea udah nggak tinggal di
Sepulangnya dari taman, Raizel menemukan sepucuk surat yang tergeletak di atas kasur. Dia menautkan kedua alisnya saat meraih selembar kertas itu, lalu terduduk di tepi kasur untuk membacanya dengan hikmat. Dear, Raizel Eleizer. Terima kasih sudah memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga selama sepuluh tahun ini. Aku sangat bahagia pernah menemanimu walau hanya sebatas asisten. Tapi sekarang aku mau minta maaf kalau aku nggak bisa lanjut kerja dan tinggal sama kamu lagi. Jaga diri baik-baik, Rai. Aku akan berusaha buang perasaan terlarang ini buat kamu. Semoga kita bisa dipertemukan kembali sebagai partner yang lebih baik. Thanks, Lascrea Raizel meremas surat itu usai membacanya, lalu melempar kertas yang sudah berubah menjadi gumpalan ke sembarang arah. "Argh!" Pemuda itu mengerang dalam kamarnya seraya mengacak rambut sendiri. Dia tak pernah berekspektasi bahwa keadaannya akan brakhir seperti ini. "Kalau udah kayak gini, siapa yang akan hanndle pekerjaanku ke depann
Raizel termenung di sebuah taman sambil membenamkan wajah di kedua telapak tangan. Kali ini ada yang berbeda darinya. Pria itu benar-benar sendiri tanpa ditemani ajudan maupun Lascrea. Dia cukup syok setelah mendengar kenyataan bahwa asisten sekaligus orang terdekatnya, ternyata memendam rasa. Terlebih lagi, pagi itu mereka terbangun tanpa busana setelah Raizel mabuk parah sebelumnya. "Aish! Apa yang udah gue lakuin malam itu? Kenapa gue nggak inget sedikit pun?" Raizel tampak frustrasi hingga mengacak-ngacak rambutnya sendiri. "Gue nggak mungkin segampang itu tidur sama dia kalau nggak ada sesuatu yang aneh." Raizel terus bermonolog hingga akhirnya raut yang tampak gusar itu seketika berubah setelah melihat kehadiran seseorang yang membuatnya terperangah. "Ga-Gaby?" Raizel tak berkedip sedetik pun. Bahkan kedua matanya terbelalak, disertai mulut yang terbuka lebar. "Ka-kamu Gabby, 'kan?" Raizel berdiri lalu mengucek matanya, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Se
Setelah memarkirkan mobilnya di halaman depan, George turun dengan menenteng beberapa kantung belanjaan dan memasuki villa yang kini ditempati oleh Gabby. Sorot matanya tampak berbinar disertai senyum merekah yang menghias wajah tampannya. Pria itu berlari kecil, memasuki villa sambil berseru, "Gabby ...!" Sementara sosok yang dipanggil tengah bersantai di depan televisi seraya memakan sepotong kue. Wanita itu menoleh ke arah seruan yang terdengar dari arah belakangnya. Sampai akhirnya dia melihat sosok George yang menenteng beberapa kantung belanjaan. "George?" lirih Gabby, tak kalah semringah. "Lihat, aku bawa apa!" George menaik-turunkan kedua alisnya sambil menunjukkan apa yang ada di tangannya. Sementara Gabby terlihat bingung hingga kedua alisnya bertaut. "Apa?" tanya Gabby. George pun terkekeh lalu melangkah, mendekati Gabby. "Aku beliin beberapa baju buat kamu. Nggak mungkin kan, kamu tiap hari pake baju papaku," jawab George seraya meletakkan kantung belanjaannya
Raizel terbangun di kasurnya dengan tubuh polos yang sudah terbalut oleh selimut. Awalnya dia belum tersadar dan hanya bisa menguap seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa sedikit pegal. Sampai akhirnya dia menoleh ke arah samping dengan mata terpicing. Samar-samar, terlihat sosok wanita yang tengah terlelap di sebelahnya. Raizel pun terpaku selama beberapa detik hingga akhirnya terperangah dengan apa yang dia lihat. "Lascrea?" pekik Raizel seraya terbelalak. Kenyataan yang begitu menghantam benaknya adalah saat menyadari bahwa Lascrea dan dirinya sama-sama tak berpakaian dan hanya dibalut oleh selimut. "Apa yang terjadi?" Berbagai macam pertanyaan terus bergelayut dalam benak. Raizel benar-benar tak ingat dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Pengaruh alkohol yang kuat telah membuatnya lupa diri bahkan menguasai alam bawah sadarnya. Raizel pun mendengus kasar seraya menjambak rambutnya sendiri. Pria itu khawatir jika dia benar-benar melalukan hal yang sama sekali tak d
Lascrea berhasil melumat bibir Raizel hingga pria itu mengerutkan keningnya di tengah rasa pengar. Aroma alkohol yang menguar dari mulutnya tak menghentikan Lascrea untuk terus menjelajahi mulut pria itu, bahkan kini tangannya mulai beraksi untuk menanggalkan kemeja Raizel. Raizel yang mengira bahwa gadis di pangkuannya adalah Gabby pun hanya bisa pasrah dan membalas lumatan pada bibirnya. Kedua tangannya melingkar di pinggang Lascrea, sesekali mengelus punggung wanita itu yang masih dibalut oleh blazer hitam andalannya. Sementara Lascrea semakin gencar dengan aksinya. Ciuman yang semula intens di sekitar bibir, kini pindah ke leher jenjang Raizel. Sontak pria itu mulai melenguh indah, merasakan sensasi yang luar biasa di tengah rasa pengar. Jemari indah Lascrea kini melepas ikat pinggang Raizel dan berusaha untuk menanggalkan celananya. Dia tak ingin melewatkan kesempatan indah yang mungkin tak akan datang dua kali dalam hidupnya. Entah apa jadinya jika Raizel tahu bahwa wanita y
Raizel hampir putus asa karena Gabby tak kunjung ditemukan. kehampaan bergelung dengan perasaan gundah karena tak ada lagi senyuman manis yang selalu menyejukkan hati. Hari-harinya menjadi berantakan karena fokusnya menjadi terpecah-belah. 'Sebenarnya pergi ke mana dia?'Raizel meneguk sebotol wine sambil terduduk di bangku kerjanya. Tersirat sebuah sesal karena sempat mengizinkan Gabby turut serta dalam menjalankan misi.'Andai dia nggak baper sama George, mungkin semuanya nggak akan kayak gini.' Tiba-tiba Raizel menggeleng kuat, menepis lamunannya. 'Nggak! Andai sejak awal aku nggak izinin dia buat jadi umpan, mungkin mereka nggak akan berhubungan sejauh itu." Raizel menggeram sambil meletakkan gelas wine dengan kasar hingga dia tak sadar akan kehadiran Lascrea yang tiba-tiba masuk ke ruangannya. "Boss?"tanya Lascrea pelan. Raut wajahnya terlihat meringis saat memperhatikan kondisi bosnya saat ini. Sementara Raizel melirik ke arah Lascrea dengan mata terpicing. Mungkin pengaruh
Gabby menceritakan kronologis saat mengenal Raizel tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dia bahkan bercerita tentang pertemuannya dengan Elven hingga menemukan villa ini untuk bersembunyi. George menyimak seraya terduduk di sebelah Gabby. Dia mulai memahami situasi yang dialami oleh gadis itu. "Kalau begitu, kau bisa bersembunyi di sini untuk sementara waktu, Angella!" Ucapan George membuat kedua alis Gabby terangkat. Pria itu lupa kalau nama Gabby bukanlah Angella. Atau mungkin jauh di dalam lubuk hati George, dia masih menganggap sosok Gabby adalah Angella yang pernah dia cintai. Melihat raut wajah Gabby, seketika George tersadar bahwa dia salah ucap. "Ah, maaf! Maksudku.... " Perkataan George terhenti karena dia lupa siapa nama asli Angella."Gabby! Panggil saja aku Gabby!" Untung saja Gabby langsung memotong ucapan George dan memperkenalkan diri sehingga kecanggungan yang tercipta segera terempas. "Maaf, aku belum terbiasa memanggilmu dengan nama lain," ucap George seraya
George memasuki pekarangan villa dengan mengendarai mobil SUV hitam miliknya. Setelah turun dari mobil, George melangkah menuju pot tempat dia biasa menyembunyikan kunci. Namun, baru saja pria itu menghentikan langkah, alangkah terkejutnya dia saat mendapati potnya jatuh dan terpecah belah. George bahkan tak dapat menemukan kunci villanya di sana. "Sial! Siapa yang udah ke sini?" George segera menghambur ke dalam untuk memastikan bahwa ada seseorang yang telah menerobos masuk ke villanya. Pemuda itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan hingga terdistraksi oleh suara televisi di ruang tengah. Dia bahkan melihat pantulan cahaya yang terpancar dari televisi. George melangkah secara perlahan untuk mendekati sumber suara. Setelah dia menghentikan langkah, kedua matanya membulat secara otomatis. Ternyata benar dugaannya. Ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam villa. Seorang wanita yang tengah bersantai di depan televisi dengan secangkir teh hangat dan memakai handuk kimono milik