"Petunjuknya mungkin ada di sekitar bebatuan atau di bawah jembatan kayu itu," ujar Dimas sambil menunjuk ke jembatan kecil yang melintasi sungai.
Emily berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai, matanya menyisir setiap sudut dengan teliti. Sementara itu, Sylvester berjongkok di dekat sekumpulan batu besar, mencoba mengangkat salah satunya.
"Aku menemukannya!" seru Clara tiba-tiba.
Semua anggota tim segera berlari ke arahnya. Clara memegang sebuah botol kaca kecil yang terjebak di antara akar pohon yang menjorok ke sungai.
"Baiklah, ayo kita lihat petunjuk berikutnya," ujar Emily sambil membuka gulungan kertas yang ada di dalam botol.
"Petunjuk ketiga: Aku adalah tempat berkumpul saat malam, di sekelilingku orang-orang berbagi cerita dan tawa."
"Perapian perkemahan!" Sylvester langsung menebak.
"Ayo cepat!" seru Dimas, semangatnya semakin membara.
Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke area perkemahan. Saat mereka tib
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Emily akhirnya melangkah mendekat. "Jika perlu, aku bisa menemani Clara ke klinik."Sebelum Clara bisa menjawab, Sylvester langsung berkata, "Aku yang akan menemani."Emily menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah."Setelah Sylvester dan Clara serta Carol yang ikut menemani pergi ke klinik, Emily kembali ke kelompoknya, mencoba mengalihkan pikirannya ke sisa acara."Kau baik-baik saja?" tanya Amore, menatapnya dengan penuh arti.Emily mendesah. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."Amore mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Aku pikir kau akan lebih kesal."Emily menoleh padanya dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus kesal?""Oh, kau tahu alasannya," jawab Amore sambil menyeringai. "Carol terlihat sangat menunjukkan bahwa ia sangat perhatian dihadapan Sylvester tadi. Dan sekarang, dia pergi menemani Clara. Jika aku jadi kau, aku pasti sedikit… cemburu."Emil
Amore, yang menangkap nada sindiran dalam ucapan Carol, langsung menanggapi. "Menurutku, tak ada yang salah dengan itu. Perasaan tidak bisa dipaksakan."Carol tertawa kecil. "Itu kau yang bodoh. Bagaimana bisa kau berpacaran dengan lelaki yang berada di bawahmu?"Ucapan Carol membuat Emily, Sylvester, dan Amore saling melirik.Amore tersenyum miring sebelum berkata dengan nada tajam, "Lalu, jika yang setara denganmu adalah pria tua berperut buncit, apakah kau tetap mau? Aku lebih baik dengan pria yang kucintai, meskipun dia berada di bawahku, daripada mengejar seseorang yang sudah memiliki kekasih."Emily menyadari bahwa Carol dan Amore sedang saling menyindir.Tiba-tiba, Sylvester menoleh ke arah Amore. "Mengapa aku tidak tahu kalau kau sudah punya kekasih?"Amore tersenyum misterius. "Aku ingin menikmati kekasihku seorang diri. Orang lain tak perlu tahu."Sylvester mengangguk pelan. "Baiklah."Suasana sedikit mencair, tetapi Carol masih belum menyerah. Menyadari bahwa tidak ada gela
Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik.“Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja
Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang."Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat."Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas."Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas."Informasinya sudah dikasih di grup,"
Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik."Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang
"Untuk apa main-main ke luar? Lebih baik temani Ibu di rumah. Kalau Ibu ada apa-apa, siapa yang tahu?" ucap Emily, nadanya terdengar lebih serius sekarang. Kekhawatirannya akan kondisi ibunya di rumah memang sering menghantui pikirannya."Sudah-sudah. Muka kamu jadi jelek lagi tuh kalau terus marah-marah. Ingat waktu, jangan sampai kamu terlambat," ucap ibunya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.Emily cemberut, tapi tidak bisa menahan senyumnya. "Iya, Bu. Kalau Ibu yang bilang, aku nggak bisa protes.""Sudah, siap-siaplah. Jangan terlambat, Kak," ujar ibunya lagi, nada penuh perhatian itu membuat hati Emily terasa lebih ringan."Iya, Bu. Jangan lupa makan, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu," pamit Emily, melambaikan tangan ke layar."Iya, Kakak. Jaga dirimu, ya," balas ibunya, senyum hangatnya masih terpancar hingga panggilan berakhir.Emily menutup panggilan dan menghela napas panjang. Ia meletakkan ponselnya di meja dan memandangi wajahnya di cermin. Rasanya sedikit lebih ten
"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni."Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas."Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan,
Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap
Amore, yang menangkap nada sindiran dalam ucapan Carol, langsung menanggapi. "Menurutku, tak ada yang salah dengan itu. Perasaan tidak bisa dipaksakan."Carol tertawa kecil. "Itu kau yang bodoh. Bagaimana bisa kau berpacaran dengan lelaki yang berada di bawahmu?"Ucapan Carol membuat Emily, Sylvester, dan Amore saling melirik.Amore tersenyum miring sebelum berkata dengan nada tajam, "Lalu, jika yang setara denganmu adalah pria tua berperut buncit, apakah kau tetap mau? Aku lebih baik dengan pria yang kucintai, meskipun dia berada di bawahku, daripada mengejar seseorang yang sudah memiliki kekasih."Emily menyadari bahwa Carol dan Amore sedang saling menyindir.Tiba-tiba, Sylvester menoleh ke arah Amore. "Mengapa aku tidak tahu kalau kau sudah punya kekasih?"Amore tersenyum misterius. "Aku ingin menikmati kekasihku seorang diri. Orang lain tak perlu tahu."Sylvester mengangguk pelan. "Baiklah."Suasana sedikit mencair, tetapi Carol masih belum menyerah. Menyadari bahwa tidak ada gela
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Emily akhirnya melangkah mendekat. "Jika perlu, aku bisa menemani Clara ke klinik."Sebelum Clara bisa menjawab, Sylvester langsung berkata, "Aku yang akan menemani."Emily menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah."Setelah Sylvester dan Clara serta Carol yang ikut menemani pergi ke klinik, Emily kembali ke kelompoknya, mencoba mengalihkan pikirannya ke sisa acara."Kau baik-baik saja?" tanya Amore, menatapnya dengan penuh arti.Emily mendesah. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."Amore mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Aku pikir kau akan lebih kesal."Emily menoleh padanya dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus kesal?""Oh, kau tahu alasannya," jawab Amore sambil menyeringai. "Carol terlihat sangat menunjukkan bahwa ia sangat perhatian dihadapan Sylvester tadi. Dan sekarang, dia pergi menemani Clara. Jika aku jadi kau, aku pasti sedikit… cemburu."Emil
"Petunjuknya mungkin ada di sekitar bebatuan atau di bawah jembatan kayu itu," ujar Dimas sambil menunjuk ke jembatan kecil yang melintasi sungai.Emily berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai, matanya menyisir setiap sudut dengan teliti. Sementara itu, Sylvester berjongkok di dekat sekumpulan batu besar, mencoba mengangkat salah satunya."Aku menemukannya!" seru Clara tiba-tiba.Semua anggota tim segera berlari ke arahnya. Clara memegang sebuah botol kaca kecil yang terjebak di antara akar pohon yang menjorok ke sungai."Baiklah, ayo kita lihat petunjuk berikutnya," ujar Emily sambil membuka gulungan kertas yang ada di dalam botol."Petunjuk ketiga: Aku adalah tempat berkumpul saat malam, di sekelilingku orang-orang berbagi cerita dan tawa.""Perapian perkemahan!" Sylvester langsung menebak."Ayo cepat!" seru Dimas, semangatnya semakin membara.Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke area perkemahan. Saat mereka tib
Setelah bahan terkumpul, Emily dengan hati-hati menyusun ranting dan daun dalam bentuk piramida kecil di tengah lingkaran batu. Dimas menyalakan korek dan mencoba menyalakan api."Ayo... ayo...," gumamnya, meniup perlahan saat api mulai menyala.Lidah api kecil mulai menjilat ranting-ranting kering, tumbuh perlahan tapi pasti. Sylvester menambahkan beberapa ranting lebih besar untuk memperkuat api.Beberapa meter dari mereka, tim lain juga tengah berusaha menyalakan api. Tim Amore terlihat cukup cepat, sementara tim Carol masih berjuang dengan bahan-bahan mereka."Huh..." Carol menghela napas kesal sambil melirik ke arah tim Emily."Apakah hanya laki-laki saja yang bekerja?" sindir Beni, menatap Carol yang hanya berdiri tanpa membantu.Carol mendengus. "Apa kau lupa siapa aku? Aku akan mengadukannya pada Sylvester!""Silakan saja, Tuan Putri yang terhormat," balas Beni dengan nada sarkastik. "Tapi saat ini kita sedang dalam satu tim,
Mereka duduk dalam diam selama beberapa detik, menikmati suasana. Sampai akhirnya Sylvester bersuara lagi."Hari ini kita akan ada kegiatan outdoor. Sudah siap?"Emily mengangguk. "Ya, aku tidak keberatan. Toh ini bagian dari acara."Sylvester menatapnya dengan lembut. "Kalau begitu, aku akan memastikan kau bersenang-senang hari ini."Emily mendelik. "Aku tidak perlu dijaga sepanjang waktu, Sylvester."Sylvester terkekeh. "Bukan soal menjaga, Emily. Aku hanya ingin berada di dekatmu."Sebelum Emily bisa membalas, Amore tiba-tiba muncul dan duduk di sampingnya."Oh, pagi yang indah! Apa aku mengganggu?" goda Amore dengan senyum penuh arti.Emily menutup wajahnya dengan satu tangan sementara Sylvester hanya tersenyum. "Tidak, kau datang tepat waktu."Amore tertawa kecil. "Bagus. Karena aku lapar, dan aku tidak mau makan sendirian."Emily menggelengkan kepala, sementara Sylvester hanya mengamati mereka berdua dengan ekspresi puas. Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang panjang."Hai,
Saat mereka tiba di restoran hotel, suasana sudah cukup ramai. Beberapa karyawan berkumpul di meja masing-masing, bercengkerama dengan santai sambil menikmati hidangan mereka.Emily dan Amore mengambil nampan lalu berjalan ke meja prasmanan, memilih makanan yang mereka inginkan."Kau mau duduk di mana?" tanya Amore sambil melirik sekeliling ruangan.Sebelum Emily sempat menjawab, suara familiar menyapanya dari kejauhan. "Emily, Amore, sini duduk bersama kuEmily menoleh dan melihat Dimas melambaikan tangan ke arah mereka."Sepertinya kita tak punya pilihan," gumam Amore sambil tersenyum kecil.Emily mengangguk dan berjalan ke meja itu bersama Amore. Begitu mereka duduk, Dimas langsung berseru, "Hei, kenapa kalian lama sekali? Apa kalian sengaja menunggu restoran sepi supaya bisa makan dengan tenang?""Bukan urusanmu," balas Emily santai sebelum mulai menyantap makanannya." jadi kalian sekamar?" tanya dimasAmore terseny
Saat mereka hendak pergi, Sylvester tiba-tiba menghampiri mereka."Emily, kau yakin ingin sekamar dengan Amore?" tanyanya dengan nada datar.Emily menatapnya bingung. "Tentu. Memangnya kenapa?"Sylvester menghela napas, lalu menatap Amore sekilas sebelum kembali ke Emily. "Tidak ada. Pastikan saja dia tidak membuatmu susah.""Hei, aku ini teman baiknya, bukan musuhnya," protes Amore.Emily mendengus kecil, lalu menarik koper dan berjalan menuju lift bersama Amore. Sepertinya kegiatan ini akan lebih menarik dari yang ia kira.Sesampainya di lantai tiga, Emily dan Amore berjalan menyusuri koridor menuju kamar mereka. Suasana hotel terasa tenang, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki karyawan lain yang juga menuju kamar masing-masing.Setibanya di depan kamar 308, Emily memasukkan kartu kunci dan membuka pintu. Begitu masuk, ia langsung mengamati ruangan yang cukup luas dengan dua tempat tidur, balkon kecil yang menghadap ke laut, serta sofa dan meja di sudut ruangan."Lumayan," gu
Tanpa terasa, dua hari telah berlalu. Selama itu, tim Emily bekerja keras tanpa henti hingga akhirnya mereka berhasil menyelesaikan proyek tersebut tepat waktu. Hubungannya dengan Sylvester pun tampak baik-baik saja—atau lebih tepatnya, Emily memilih untuk tidak memikirkan kecurigaan-kecurigaan yang sempat terlintas di benaknya. Lagipula, sebentar lagi ia akan kembali ke Indonesia."Apa kau sudah packing, Em? Sepertinya belum," ucap Dimas begitu melihat Emily baru saja masuk ke apartemen mereka."Packing?" Emily mengerutkan kening, jelas tidak mengerti maksudnya."Kita akan berkumpul besok siang di depan gedung Whiteller Corp," jawab Dimas sambil sibuk memilih sepatunya."Sepertinya kau tidak tahu apa-apa," sela Jesselyn yang baru keluar dari kamarnya menuju dapur untuk mengambil minum."Kau belum tahu?" Dimas menatap Emily dengan heran. "Sudah berapa lama kau tidak membuka ponselmu?"Emily mengangkat bahu."Mr. Whiteller mengadakan semacam retret. Kita akan menginap selama tiga malam
Emily tidak langsung menjawab. Ia tahu jika ia menyebut nama Amore atau Ben, Sylvester mungkin tidak akan menyukainya."Itu tidak penting," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin tahu... siapa dia bagimu? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"Sylvester menatapnya dalam diam selama beberapa detik, lalu berkata dengan suara rendah, "Bella adalah seseorang yang kucintai dulu."Emily menggigit bibirnya."Dia... hamil, bukan?" tanyanya pelan.Mata Sylvester sedikit melebar sebelum ia segera mengendalikan ekspresinya kembali. "Ya."Emily merasakan sesuatu yang berat menekan dadanya. "Dan dia...""Dia bunuh diri," potong Sylvester, suaranya terdengar dingin dan tajam.Emily menahan napas."Kau ingin tahu kenapa?" Sylvester melanjutkan. "Karena aku tidak bisa melindunginya."Emily terdiam."Aku egois. Dia menderita... dan aku tidak ada di sana untuknya."Ada kesedihan yang tersembunyi di balik nada suaranya, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang Sylvester yang selalu tampak begitu percaya diri.E