Setelah bahan terkumpul, Emily dengan hati-hati menyusun ranting dan daun dalam bentuk piramida kecil di tengah lingkaran batu. Dimas menyalakan korek dan mencoba menyalakan api.
"Ayo... ayo...," gumamnya, meniup perlahan saat api mulai menyala.
Lidah api kecil mulai menjilat ranting-ranting kering, tumbuh perlahan tapi pasti. Sylvester menambahkan beberapa ranting lebih besar untuk memperkuat api.
Beberapa meter dari mereka, tim lain juga tengah berusaha menyalakan api. Tim Amore terlihat cukup cepat, sementara tim Carol masih berjuang dengan bahan-bahan mereka.
"Huh..." Carol menghela napas kesal sambil melirik ke arah tim Emily.
"Apakah hanya laki-laki saja yang bekerja?" sindir Beni, menatap Carol yang hanya berdiri tanpa membantu.
Carol mendengus. "Apa kau lupa siapa aku? Aku akan mengadukannya pada Sylvester!"
"Silakan saja, Tuan Putri yang terhormat," balas Beni dengan nada sarkastik. "Tapi saat ini kita sedang dalam satu tim,
"Petunjuknya mungkin ada di sekitar bebatuan atau di bawah jembatan kayu itu," ujar Dimas sambil menunjuk ke jembatan kecil yang melintasi sungai.Emily berjalan perlahan di sepanjang tepi sungai, matanya menyisir setiap sudut dengan teliti. Sementara itu, Sylvester berjongkok di dekat sekumpulan batu besar, mencoba mengangkat salah satunya."Aku menemukannya!" seru Clara tiba-tiba.Semua anggota tim segera berlari ke arahnya. Clara memegang sebuah botol kaca kecil yang terjebak di antara akar pohon yang menjorok ke sungai."Baiklah, ayo kita lihat petunjuk berikutnya," ujar Emily sambil membuka gulungan kertas yang ada di dalam botol."Petunjuk ketiga: Aku adalah tempat berkumpul saat malam, di sekelilingku orang-orang berbagi cerita dan tawa.""Perapian perkemahan!" Sylvester langsung menebak."Ayo cepat!" seru Dimas, semangatnya semakin membara.Tanpa membuang waktu, mereka berlari kembali ke area perkemahan. Saat mereka tib
Tak ingin terlalu memikirkan hal itu, Emily akhirnya melangkah mendekat. "Jika perlu, aku bisa menemani Clara ke klinik."Sebelum Clara bisa menjawab, Sylvester langsung berkata, "Aku yang akan menemani."Emily menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Baiklah."Setelah Sylvester dan Clara serta Carol yang ikut menemani pergi ke klinik, Emily kembali ke kelompoknya, mencoba mengalihkan pikirannya ke sisa acara."Kau baik-baik saja?" tanya Amore, menatapnya dengan penuh arti.Emily mendesah. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."Amore mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Aku pikir kau akan lebih kesal."Emily menoleh padanya dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus kesal?""Oh, kau tahu alasannya," jawab Amore sambil menyeringai. "Carol terlihat sangat menunjukkan bahwa ia sangat perhatian dihadapan Sylvester tadi. Dan sekarang, dia pergi menemani Clara. Jika aku jadi kau, aku pasti sedikit… cemburu."Emil
Amore, yang menangkap nada sindiran dalam ucapan Carol, langsung menanggapi. "Menurutku, tak ada yang salah dengan itu. Perasaan tidak bisa dipaksakan."Carol tertawa kecil. "Itu kau yang bodoh. Bagaimana bisa kau berpacaran dengan lelaki yang berada di bawahmu?"Ucapan Carol membuat Emily, Sylvester, dan Amore saling melirik.Amore tersenyum miring sebelum berkata dengan nada tajam, "Lalu, jika yang setara denganmu adalah pria tua berperut buncit, apakah kau tetap mau? Aku lebih baik dengan pria yang kucintai, meskipun dia berada di bawahku, daripada mengejar seseorang yang sudah memiliki kekasih."Emily menyadari bahwa Carol dan Amore sedang saling menyindir.Tiba-tiba, Sylvester menoleh ke arah Amore. "Mengapa aku tidak tahu kalau kau sudah punya kekasih?"Amore tersenyum misterius. "Aku ingin menikmati kekasihku seorang diri. Orang lain tak perlu tahu."Sylvester mengangguk pelan. "Baiklah."Suasana sedikit mencair, tetapi Carol masih belum menyerah. Menyadari bahwa tidak ada gela
Emily sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Namun, setelah beberapa detik, ia tersenyum lembut. "Tentu saja."Sylvester menatapnya dalam, lalu tersenyum puas. "Bagus. Aku ingin memastikan itu."Emily tertawa kecil. "Apa kau pikir aku tidak bahagia?"Sylvester mengangkat bahu. "Aku hanya ingin mendengar jawabannya langsung darimu."Emily menggeleng pelan, merasa pria di hadapannya semakin sulit ditebak. Tiba-tiba, angin laut bertiup lebih kencang, membuat rambut Emily sedikit berantakan. Sylvester tertawa kecil, lalu tanpa ragu, ia merapikan helai rambut yang jatuh di wajah Emily, jemarinya menyentuh pipi gadis itu dengan lembut.Emily membeku sejenak, jantungnya berdetak lebih cepat."Rambutmu berantakan," bisik Sylvester.Emily menelan ludah, lalu berusaha bersikap biasa. "Salahkan angin, bukan aku."Sylvester tersenyum miring. "Tapi aku menyukainya."Emily memalingkan wajahnya, merasa wajahnya semakin panas. "Kau terlalu banyak bicara hari ini."Sylvester hanya terkekeh, lalu kemb
Sylvester tertawa kecil dan mengusap kepala Emily dengan lembut. "Jangan terlalu banyak berpikir."Emily tersenyum tipis dan mengangguk. "Terima kasih, Sylvester."Sylvester menatapnya penuh arti, lalu menggenggam tangannya lebih erat. "Ayo, kita kembali. Amore pasti sudah menunggumu dengan sejuta pertanyaan."Mereka berjalan beriringan menuju kamar, dengan perasaan yang lebih tenang—meskipun di benak Emily, masih ada banyak hal yang belum bisa ia cerna sepenuhnya.…Di dalam kamar, jam sudah hampir tengah malam, namun Emily masih belum bisa memejamkan mata. Ia melirik ke arah Amore yang ternyata juga belum tidur."Am," panggil Emily pelan."Ya?" sahut Amore tanpa mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamar.Emily ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Menurutmu, Carol itu seperti apa?"Amore menoleh sekilas, lalu mengernyit. "Kenapa tiba-tiba menanyakannya?"Emily menggigit bibirnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku rasa… dia menyukai Sylvester."Amore diam, masih mena
Emily mendelik curiga. "Apa lagi sekarang?"Sylvester tersenyum penuh arti, mendekatkan wajahnya ke arah Emily. "Sebagai gantinya, setelah ini kau harus menemaniku berjalan-jalan sepanjang pantai."Emily menatapnya ragu. "Kau yakin ini bukan jebakan lagi?"Sylvester tertawa. "Tidak. Ini hanya tawaran eksklusif yang sangat sulit untuk kau tolak."Emily pura-pura mendesah, lalu melanjutkan makannya. "Baiklah, tapi aku tetap tidak mau jadi gemuk."Sylvester hanya terkekeh. "Tidak apa-apa. Kalau kau gemuk, aku yang akan jadi treadmill pribadimu."Emily menahan senyum, tapi pipinya bersemu merah. "Baiklah, kau boleh makan setengahnya. Tapi jangan sekali-kali mengambil bagian ayam favoritku!""Tergantung, seberapa cepat kau menghabiskannya," balas Sylvester dengan nada menggoda, membuat Emily buru-buru menyuapkan makanan lagi ke mulutnya.Tawa mereka mengisi udara pagi yang sejuk, menciptakan kenangan manis.Setelah sarapan yang penuh tawa dan godaan, mereka berjalan santai di sepanjang pan
Sylvester membalas tatapannya dengan lembut. "Aku senang jika kau menyukainya."Tiba-tiba, Emily mengeluarkan ponselnya dari kantong. "Boleh kau fotokan aku?" tanyanya sambil menyerahkan ponselnya pada Sylvester.Sylvester mengambil ponsel itu, lalu mengawasi Emily yang mulai melangkah ke arah pinggir tebing untuk mencari angle yang bagus."No, Emily. Jangan terlalu ke pinggir," ucap Sylvester tegas.Emily menoleh, melihat ekspresi khawatir di wajah pria itu."Kembalilah ke sini. Aku akan memotretmu dengan bagus dari sini," lanjutnya.Emily terkekeh. "Baiklah, baiklah."Ia pun kembali ke tempat yang lebih aman dan mulai berpose. Sylvester mengambil beberapa foto, sesekali memberikan arahan agar hasilnya lebih bagus.Setelah puas dengan hasil foto, Emily tiba-tiba tersenyum jahil. "Sylvester, kita belum ada foto bersama. Kemarilah."Tanpa menunggu jawaban, Emily menarik tangan Sylvester agar lebih dekat, lalu membuka kame
Sylvester terdiam sesaat, menatap Emily dengan mata yang berkabut oleh perasaan yang sulit dikendalikan. Napasnya berat, seolah tengah menahan diri."Aku menginginkannya, Emily…" ucapnya lirih.Emily menatapnya dalam, melihat sorot mata pria itu. Ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya menggeleng pelan."Maaf… Aku tak bisa," ucapnya dengan suara penuh ketulusan.Sylvester menutup matanya sejenak, menarik napas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan. Lalu, alih-alih memaksakan keinginannya, ia malah menarik Emily ke dalam pelukannya, merengkuhnya erat."Baiklah… Maafkan aku," bisiknya di dekat telinga Emily.Emily tersenyum kecil, mengusap punggung Sylvester sebagai isyarat bahwa semuanya baik-baik saja."Bolehkah… kita tetap seperti ini sebentar saja?" pinta Sylvester dengan suara rendah, seolah masih menenangkan debaran jantungnya yang tak karuan.Emily mengangguk pelan, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan hangat pria itu.Mereka tetap dalam posisi itu selama beberapa
Sylvester mengangkat pistolnya sedikit lebih tinggi."Jika dia mati... kau pun akan mati, Carol." suaranya rendah, dingin seperti es.Carol menyeringai, langkahnya pelan mengarah ke Emily."Mulai detik ini... aku menyatakan perang. Lupakan soal persahabatan kita dulu, Sylvester. Aku sudah selesai menjadi bayangan di hidupmu."Sylvester menegang. Tangannya sedikit gemetar.Namun kali ini, bukan karena takut. Tapi karena marah.Carol bergerak cepat. Ia menarik pistol kecil dari balik jaketnya dan mengarahkannya langsung ke kepala Emily."SATU LANGKAH LAGI, DAN DIA MATI!" teriaknya keras, matanya liar, suara gemetar tapi penuh tekad.Sylvester membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak."Letakkan senjatamu, Carol. Ini bukan kamu… Bukan seperti ini."Carol tertawa getir."Kamu tak pernah tahu siapa aku sebenarnya, Sylvester. Karena kamu terlalu sibuk mencintai perempuan-perempuan yang tak pantas."Ben mencoba bergerak perlahan dari samping, tapi Carol menyadarinya."JANGAN COBA-COBA!" b
Penjaga mendorongnya lebih dekat. Ben terhuyung dan jatuh berlutut di samping Emily."Maaf, Em... aku tak cukup cepat," bisiknya lemah. Emily langsung memeluknya sejenak sebelum melepaskannya dan menatapnya dengan khawatir.Sylvester menatap Ben, lalu beralih ke Carol dengan sorot mata dingin membeku."Apa maksudmu dengan semua ini, Carol?"Carol melangkah perlahan ke arah mereka."Kau tak lihat? Aku menangkap mereka saat mereka bersama. Kau tahu, Mereka beberapa kali bertemu diam-diam di belakangmu.""Cukup!" bentak Sylvester.Ia merangkul Emily dan membantunya berdiri."Kita pulang."Carol tersenyum tipis. Lalu tawanya keluar, pelan, datar, getir."Kalian pikir bisa pergi begitu saja?"Beberapa penjaga di sekitar pintu mengangkat senjata dan menarik pelatuknya.Bodoh. Aku terlalu meremehkannya… datang tanpa persiapan, pikir Sylvester.Carol menatap Emily."Emily... kau ingin tahu
Seorang penjaga berlari tergesa melewati lorong yang gelap, napasnya memburu. Saat ia mencapai area dalam yang lebih terang, ia mendobrak pintu dan berteriak,“Nona Carol! Tahanan—Ben, dia kabur!”Carol yang sedang berdiri menatap monitor pengawas CCTV langsung memutar tubuhnya, ekspresinya berubah dari tenang menjadi tajam dan berbahaya.“Apa maksudmu kabur?” suaranya datar, tapi dinginnya menembus tulang.“Dia memukul penjaga dan melarikan diri ke arah tangga atap. Kami sedang mengejarnya.”Carol mengepalkan rahangnya, menahan amarah yang mulai mendidih.Tiba-tiba, seorang penjaga lain masuk terburu-buru, memotong momen tegang itu.“Nona Carol… ada tamu. Seorang pria... katanya ia ingin berbicara dengan Anda. Mendesak.”Carol menoleh cepat, matanya menyipit curiga. “Siapa?”“Dia tidak mau menyebutkan nama. Tapi… Dia tahu nona, dan… dia terlihat tenang. Terlalu tenang.”Carol terdiam beberapa detik. Matanya memandang kosong ke arah layar CCTV yang kini menampilkan Ben berlari menaiki
"Emily, lihat itu," ucap Ben, menunjuk ke arah atas ruangan. "Di sana… corong udara."Emily mendongak. Di langit-langit yang tinggi dan berdebu, tampak sebuah corong ventilasi besi. Tidak terlalu besar, tapi mungkin cukup untuk tubuhnya yang kecil."Kau pikir aku bisa muat?" tanyanya, napasnya mulai memburu karena harapan kecil mulai tumbuh di hatinya."Sepertinya iya. Kau lebih kecil dariku, dan… sepertinya itu satu-satunya jalan keluar." Ben memeriksa sekeliling. "Kita harus naik. Kursi itu, dan... lemari tua, kita bisa susun."Tanpa banyak bicara, mereka mulai bergerak. Emily menarik kursi tua ke bawah ventilasi sementara Ben mendorong lemari besar, berdecit pelan di lantai beton yang dingin.Mereka bekerja cepat meski tubuh masih terasa lemah. Ben menopang kursi di atas lemari, lalu membantu Emily naik."Pelan-pelan. Aku tahan dari bawah," ucap Ben sambil menahan kursi agar tidak goyah.Emily melangkah ke atas lemari, lalu naik ke kursi dengan hati-hati. Tangannya meraih jeruji ve
"Kau..." bisik Emily, hampir tak percaya."Ya, sayang. Aku." Suara Carol begitu tenang, seperti sedang menyapa tamu yang datang untuk minum teh."Kupikir kalian akan sedikit lebih kuat… tapi ternyata baru dua hari saja sudah seperti ini."Emily menggertakkan giginya, tubuhnya bergetar karena amarah dan ketakutan."Apa yang kau mau dariku?"Carol mendekat. Suara sepatunya terdengar hanya beberapa langkah dari kepala Emily."aku butuh dia, butuh spermanya." Suaranya penuh sindiran."dan kau sebagai... penampungnya."Ben menelan ludah, wajahnya memucat."Carol, hentikan ini..." ucapnya pelan.Carol tertawa kecil, renyah, tapi tajam seperti pisau."Ben, Ben… kau sangat luar biasa. Aku akan memberimu apapun yang kau mau jika kau mau menurutiku, dan aku akan melepaskanmu sehingga kau dengan bebas menjamahnya."Emily mengepalkan tangan. Meski tubuhnya terikat dan tak berdaya, ada nyala kecil dalam dirinya yang mulai membara."Kau sakit, Carol. Kau membutuhkan bantuan.""Oh, sayangku… yang sa
Di layar, keduanya berbicara selama beberapa saat. Lalu…Sosok lain mendekat dari belakang.Gerakannya cepat. Seketika suasana menjadi kacau—Emily jatuh. Ben tampak terserang.Layar mendadak gelap.“Rekaman selanjutnya hilang. Sinyal kamera terputus setelah itu.” jelas Amore, suaranya serius.Sylvester mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Kita harus temukan mereka sekarang.”“Aku mencoba melacak keberadaan Ben lewat sinyal ponsel dan kartu identitasnya,” lanjut Amore, “Tapi jejaknya hanya sampai bandara. Setelah itu… hilang. Tak terdeteksi.”Sylvester mengumpat pelan. “Mereka pasti menggunakan pesawat. Ini kerjaan orang-orang yang tahu cara menyembunyikan jejak. Mereka bukan penjahat jalanan biasa.”Amore menatapnya lekat. “Apa kau punya musuh, Sylvester?”Pertanyaan itu menggantung.Sylvester terdiam. Matanya menatap kosong sejenak, lalu berubah tajam.“Cari tahu semua penerbangan hari itu. Semua. Tak peduli kemana arahnya.”Amore mengerutkan dahi. “Kau gila? Ini bandara internas
TOK TOK TOK...Pintu kos terbuka perlahan, menampilkan wajah Amore yang terlihat agak kaget melihat siapa yang berdiri di depannya.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar.“Aku mau menemui Emily,” jawab Sylvester tanpa basa-basi.Amore mengangkat alis. “Bukankah dia bersamamu? Semalam dia mengirim pesan padaku katanya menginap di tempatmu.”“Iya, memang. Tapi pagi tadi dia pulang sendiri... Aku nggak sempat mengantarnya,” ucap Sylvester sambil merogoh ponsel dari sakunya, berusaha menghubungi Emily.Namun layar ponsel hanya menunjukkan satu hal: tidak tersambung.Wajah Sylvester semakin tegang. Ia buru-buru menekan kontak lain.“Dim, apa kau bersama Emily?”Suara Dimas terdengar dari seberang, terdengar bising di latar.“Tidak, Tuan Whiteller. Saya sedang bekerja sekarang.”“Baiklah.” Sylvester mengakhiri panggilan, napasnya mulai berat.“Mungkin dia cuma sedang cari makan, atau jalan-jalan sebentar. Atau bisa juga pergi ke suatu tempat. Nggak usah khawatir, nanti juga pulang,” ujar Am
“Aku menyakitinya, Em…” lanjut Sylvester, suaranya bergetar. “Seharusnya aku mengajaknya bicara baik-baik… seharusnya aku tenang. Tapi aku terlalu emosi. Aku melukai dia… secara fisik dan batin. Aku jahat, Em. Aku jahat…”Ia menggenggam bantal di pangkuannya, mencoba menahan isak yang meledak.“Dia pergi… karena aku. Bersama anak dalam kandungannya. Aku bahkan tak tahu anak siapa itu… tapi aku... aku telah membunuh dua makhluk hidup, Em. Dua nyawa.”Emily menundukkan kepalanya, air matanya jatuh satu demi satu. Tapi ia tetap memeluk Sylvester, lebih erat ia bisa merasakannya.“Aku tak tahu bagaimana harus menebusnya. Tak ada yang bisa mengembalikan mereka. Aku hidup dengan bayang-bayang itu setiap hari…”Emily mengangkat wajahnya, menatap Sylvester dalam-dalam, matanya sembab namun penuh kelembutan.“Sylvester… kau memang melakukan kesalahan. Kau menyakiti seseorang, dan kau menyesalinya. Kau bukan jahat. Jika kau jahat, kau tak akan menangis malam ini… kau tak akan terbuka seperti in
Emily masih menatap Sylvester, menunggu dengan sabar jawaban yang tak kunjung keluar. Hening menyelimuti mereka, seolah waktu pun ikut menahan napas.Tepat saat Sylvester hendak membuka mulut untuk bicara, suara langkah kaki pelayan memecah ketegangan.“Permisi, pesanannya, Kak,” ucap pelayan dengan senyum ramah, namun matanya sempat melirik Sylvester sejenak sebelum meletakkan makanan di atas meja mereka.Emily yang melihat itu hanya mengerjap pelan, menahan rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul.“Terima kasih, Kak,” ucap Emily dengan senyum tipis namun suaranya terdengar dingin.“Sama-sama, Kak. Selamat menikmati,” balas si pelayan sebelum akhirnya berlalu, tak lupa melirik sekali lagi ke arah Sylvester.“She is my girlfriend,” ucap Sylvester tiba-tiba, lantang dan jelas, membuat Emily menoleh cepat, cukup terkejut dengan pernyataan itu.Pelayan yang masih berada tak jauh langsung menghentikan langkahnya.“Ah… maaf, Kak,” ucapnya terbata, lalu buru-buru menambahkan,“Ini pesanan yan